Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label lontarak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lontarak. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Januari 2013

AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (4-habis)


Tafsir al-Munir, Sebuah MahakaryaAGH Daud Ismail memang dikenal gemar menulis. Sejumlah kitab pun dihasilkannya. Salah satunya, yang dianggap sebagai mahakarya ulama Bugis ini adalah “Kitab Tafsir al-Munir”.

Kitab tafsir Alquran 30 juz ini ditulis dalam bahasa Bugis dan telah dicetak serta disebarkan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Bugis. Kitab ini merupakan salah satu dari sembilan karya ulama besar kelahiran Soppeng ini.

Delapan karya lainnya adalah Riwayat Hidup AG Kyai Haji Muhammad As’ad (Gurutta Sade) yang ditulis dalam tiga bahasa, yakni Bugis, Indonesia, dan Arab, kemudian Pengetahuan Dasar Islam yang terdiri atas 3 jilid; Hukum Puasa; Hukum Shalat; Hukum Nikah; Kumpulan Khutbah Jumat; Kumpulan Doa-Doa; dan Fatwa-Fatwa.

Sulaiman Ibrahim, dosen tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo, dalam salah satu artikelnya menilai, Tafsir al-Munir berperan besar dalam memberikan pemahaman Alquran kepada masyarakat lokal.

Menurut Sulaiman, ada dua alasan yang membuat Daud Ismail mempergunakan bahasa Bugis dalam kitab Tafsir al-Munir. Pertama, kata dia, Daud Ismail berada di tengah masyarakat Bugis, tempat bahasa tersebut sangat dominan digunakan oleh masyarakat. “Sehingga, karyanya lebih mudah dipahami oleh masyarakat setempat,” tulisnya.

Pertimbangan kedua, usaha dari Daud Ismail ini menjadi jalan penting untuk melestarikan bahasa dan lontara (aksara) Bugis. “Adanya tafsir Alquran ini, memegang peranan penting dalam kehidupan keagamaan, terutama bagi suku Bugis,” kata Sulaiman.

Dalam pandangan Sulaiman, kehadiran kitab Tafsir al-Munir menjadi sangat penting mengingat perkembangan penafsiran Alquran di Indonesia berbeda dengan di dunia Arab.

Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial budaya, geografis, dan bahasa. “Dalam konteks itulah, kehadiran sebuah tafsir bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Bugis, sangat diperlukan,” pungkas Sulaiman.


Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/08/mgahkv-agh-daud-ismail-penerjemah-alquran-ke-bahasa-bugis-4habis

Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya


Sabtu, 07 April 2012

Abdurrahman Ambo Dalle: Mahaguru Bugis

Kemunduran umat Islam Indonesia yang kita lihat dan alami saat ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh para pemimpin dan tokoh-tokoh Islam yang kurang memerhatikan metode pendidikan dan seni dakwah serta tidak menggunakan senjata berupa sumber daya manusia dan dakwah sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, umat membutuhkan keteladanan dan ulama serta pemimpin bangsa.
Dalam bukunya yang berjudul Anregurutta Ambo Dalle: Mahaguru dari Bumi Bugis, HM Nasruddin Anshoriy Ch mengungkapkan, sangat sedikit para pemimpin dan tokoh Islam saat ini yang mampu melakukan kerja keras di bidang pendidikan, menebarkan kasih sayang kepada segenap umat dengan jalan silaturahim, serta berjihad dengan indah melalui jalan dakwah untuk mengajak masyarakat ke jalan benar, lurus, dan lempang sebagaimana yang telah dilakukan sosok mahaguru dari bumi Bugis bernama Abdurrahman Ambo Dalle.
Keteladanan ini pula yang dilakukan Ambo Dalle dalam menebarkan Islam dan kasih sayang kepada umat Islam di Sulawesi Selatan dan murid-muridnya.
Penikmat novel trilogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tentu masih ingat dengan apa yang dilakukan Lintang, seorang anak nelayan yang harus mengayuh sepeda sejauh 40 kilometer agar bisa menuntut ilmu di SMP Muhammadiyah, Belitong.
Seperti itulah yang dilakukan Ambo Dalle. Ulama asal Sulawesi Selatan ini mengayuh sepedanya sejauh 35 kilometer demi mengajar murid-muridnya dan menemui umatnya untuk berdakwah. Ambo Dalle menunjukkan keteladanan seorang pemimpin dalam mengayomi dan melayani umat. Masihkah ada pemimpin dan ulama seperti Ambo Dalle saat ini?
Anregurutta (guru--Red) Abdurrahman Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan, sekitar tahun 1900, di sebuah desa bernama Ujung yang berada di Kecamatan Tanasitolo, sekitar tujuh kilometer sebelah utara Sengkang yang merupakan ibu kota Kabupaten Wajo. Ayahnya bernama Puang Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Puang Candara Dewi.
Kedua orang tuanya memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak yang memiliki banyak rezeki. Orang tuanya mengharapkan dirinya agar kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abdurrahman diberikan oleh seorang ulama setempat bernama KH Muhammad Ishak pada saat berusia 7 tahun dan sudah dapat menghafal Alquran.

Menuntut ilmu
Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem monolog), yaitu guru membacakan kitab, sementara murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Pelajaran membaca dan menghafal Alquran ia peroleh dari bimbingan bibi serta kedua orang tuanya, terutama sang ibu. Agar lebih fasih membaca Alquran, Ambo Dalle belajar tajwid kepada kakeknya, Puang Caco, seorang imam masjid yang fasih membaca Alquran di Desa Ujung.
Selama menuntut ilmu, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran, seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu, sharaf, tafsir, dan fikih saja, tapi ia juga mengikuti Sekolah Rakyat (Volk School) pada pagi hari serta kursus bahasa Belanda pada sore hari di HIS Sengkang dan belajar mengaji pada malam harinya.
Sementara itu, untuk memperluas cakrawala keilmuan, terutama wawasan modernitas, Ambo Dalle lalu berangkat meninggalkan Wajo menuju kota Makassar. Di kota ini, ia mendapatkan pelajaran tentang cara mengajar dengan metodologi baru melalui Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI). Pada saat itu, SI yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto berada dalam masa kejayaan dan benar-benar membuka tabir kegelapan bagi wawasan sosial, politik, dan kebangsaan di seluruh Tanah Air.
Ketika mengikuti sekolah guru di Makassar inilah, ia menemukan kehidupan sosial yang lain dan jauh berbeda dari tanah Wajo yang masih sepi. Makassar, yang saat itu telah menjadi sebuah kota pelabuhan terpenting di kawasan Indonesia Timur, ramai disinggahi oleh kapal besar dan perahu dari berbagai penjuru yang memuat barang-barang dagangan. Beraneka ragam barang niaga, seperti beras, kelapa, hasil hutan, dan kain tenun sutera, ditawarkan orang-orang di pasar-pasar.
Ketika kembali ke Wajo, Ambo Dalle semakin matang secara keilmuan ataupun wawasan. Karena itu, ia bertekad untuk mencerdaskan putra-putri bangsa, khususnya di daerahnya sendiri. Selain kegiatan rohani dengan pendalaman spiritual yang menjadi gairah hidupnya sehari-hari, kegiatan fisik juga tidak diabaikannya. Misalnya, ia selalu aktif berolahraga. Olahraga yang paling digemarinya adalah sepak bola. Ambo Dalle terkenal sebagai seorang pemain bola yang andal. Karena keahliannya dalam menggiring dan mengolah si kulit bundar, rekan-rekannya menjuluki Ambo Dalle sebagai 'Si Rusa.'
Selain itu, Ambo Dalle terus menambah ilmunya, terutama dalam ilmu agama. Ia pun belajar kepada ulama-ulama asal Wajo yang merupakan alumni Makkah, seperti H Syamsudin dan Sayyid Ali al-Ahdal. Para ulama asal Wajo ini bermaksud membuka pengajian di kampung halaman mereka.

Merintis madrasah
Salah seorang guru Ambo Dalle, yakni Gurutta H As'ad, suatu ketika menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata, jawaban Ambo Dalle dianggap yang paling tepat dan benar. Maka, sejak saat itu, ia diangkat menjadi asisten dan mulai meniti karier mengajar serta secara intens menekuni dunia pendidikan.
Berkat kerja sama antara Gurutta H As'ad dan Ambo Dalle, pengajian itu bertambah maju. Hal tersebut terdengar sampai ke telinga Raja Wajo saat itu, Arung Matoa Wajo. Arung Matoa Wajo pun memutuskan mengadakan peninjauan langsung ke tempat pengajian milik Gurutta H As'ad. Dalam kunjungannya, Raja Wajo ini meminta agar Gurutta H As'ad membuka sebuah madrasah yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah setempat. Gayung bersambut. Maka, tak lama kemudian, dimulailah pembangunan madrasah.
Madrasah yang dibangun ini menyelenggarakan jenjang pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD), dan tsanawiyah (SMP). Lembaga pendidikan itu diberi nama Al-Madrasah al-Arabiyah al-Islamiyah (disingkat MAI) Sengkang. Lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan Gurutta H As'ad bin Abdul Rasyid dan ulama lainnya. Dalam waktu singkat, popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasah) menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.
Selanjutnya, atas izin sang guru, Ambo Dalle pindah dan mendirikan MAI di Mangkoso pada 29 Syawal 1356 H atau 21 Desember 1938. Mulai saat itulah, ia mendapat kehormatan penuh dari masyarakat dengan gelar Gurutta Ambo Dalle. MAI Mangkoso ini kelak menjadi cikal bakal kelahiran organisasi pendidikan keagamaan bernama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI).
Sementara itu, sepeninggal Gurutta H As'ad, MAI Sengkang diubah namanya menjadi Madrasah As'adiyah. Perubahan nama tersebut sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Gurutta H As'ad.
Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah yang dipimpin oleh Ambo Dalle ini sangat pesat. Hal ini terbukti dengan banyaknya permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang MAI Mangkoso. Untuk merespons permintaan itu, dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.

Zaman Jepang
Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena Pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah.
Untuk mengatasi masalah ini, Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia pun mengambil inisiatif. Pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca pada bagian pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu, pada malam hari dilarang menggunakan lampu.
Bukannya sepi peminat, justru siasat yang dilakukan Ambo Dalle ini mengundang masyakarat sekitar untuk mendaftarkan anak-anak mereka belajar di madrasah milik Ambo Dalle. Bahkan, cara yang ditempuhnya ini membuat madrasah tersebut luput dari pengawasan Jepang. berbagai sumber ed:sya

Membangun Benteng Tauhid
Setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok Tanah Air.
Melihat kondisi ini, Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang nyaris terbengkalai. Ia sadar, selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dalam kolonialisme selama berabad-abad.
Namun, usaha yang dirintis Ambo Dalle ini sempat mengalami kendala ketika terjadi Peristiwa Korban 40 Ribu Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara sekutu (NICA) di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat Sulawesi Selatan yang dituduh sebagai ekstremis.
Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso. Banyak santri, yang ditugaskan oleh Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat beliau untuk mengembangkan MAI.
Bahkan, dalam situasi seperti itu, bersama beberapa ulama alumni MAI Sengkang, ia mengadakan pertemuan alim ulama se-Sulawesi Selatan di Watang Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 H/7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati pembentukan organisasi yang diberi nama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. Ambo Dalle kemudian ditunjuk sebagai ketua dan Anregurutta HM Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi.
Meski disibukkan memimpin organisasi dan madrasah, Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH Fakih Usman dari Departemen Agama (Depag) Pusat dipercayakan oleh Pemerintah RI untuk membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama wilayah Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakannya dengan baik. Kepala Depag yang pertama diangkat adalah KH Syukri Gazali, sedangkan Ambo Dalle diangkat menjadi kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Pare Pare pada 1954.
Menurut Prof KH Ali Yafie, salah seorang santri Ambo Dalle, apa yang telah dilakukan oleh gurunya itu selama berpuluh-puluh tahun di bumi Bugis pada khususnya dan bumi Sulawesi pada umumnya adalah sebuah gerakan pembaruan membangun benteng tauhid. Dengan kata lain, yang dikembangkan Ambo Dalle melalui program dakwah, pendidikan, sosial, dan kebudayaan tersebut sesungguhnya bagian dari jihad, ijtihad, dan mujahadah untuk membangun 'budaya tauhid'.
Keteguhan sikap Ambo Dalle tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang ia lalui dalam perjalanan hidupnya. Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Pare Pare tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu, dia berpesan kepada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.

Kitab karyanya
Sebagai seorang ulama, Ambo Dalle banyak mengupas berbagai persoalan yang menyangkut hampir semua cabang ilmu agama dalam karya-karya tulisnya. Di antaranya adalah tasawuf, akidah, syariah, akhlak, balaghah, dan mantik. Semua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku.
Salah satu karyanya yang dikenal luas adalah kitab Al-Qaulu as-Shadiq fi Ma'rifati al-Khalaqi yang memaparkan perkataan yang benar dalam mengenali Allah SWT dan tata cara pengabdian terhadap-Nya. Menurutnya, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya.
Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekal akal logika, tapi juga dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makrifat kepada Allah. Meskipun, harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah SWT. Dalam berzikir, harus dilakukan sesuai dengan dalil-dalil naqli (Alquran dan hadis). Yakni, dilakukan dengan hati, istikamah, dan tidak boleh goyah.
Pendirian dan sikap akidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri atas tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah.
Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushul-nya tertulis dalam kitab Tanwiru at-Thalib, Tanwiru at-Thullab, dan Irsyadu at-Thullab. Ilmu balaghah (sastra dan paramasastra) dibahas dalam karyanya yang berjudul Ahsanu al-Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya'i, yang menerangkan kosakata dan cara penyusunan kalimat bahasa Arab. Kitab Sullamu al-Lughah menerangkan kosakata, percakapan, dan bacaan.
Beliau juga mengarang pedoman berdiskusi dalam bahasa Arab, yakni kitab Miftahu al-Muzakarah dan tentang ilmu mantik (logika) dalam kitab Miftahu al-Fuhum fi al-Mi'yarif Ulum.

Sumber: www. Republika.co.id



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Kamis, 05 April 2012

The Qur’anic Exegesis in Bugis Language: Locality and Universality in Daud Ismail’s interpretation


oleh: Sulaiman Ibrahim;
This study argues that the more localized interpretation the easier for ordinary people to understand the intent and purpose of the Qur’an. Form of interpretation that utilizes the language of local community facilitates more access to the Qur'an in terms of comprehension and implementation.
This is evidenced by the Qur’anic exegesis by Daud Ismail who presented the arrangement and style of interpretation by using Bugis language which is more easily accepted and understood by Bugis community. This was a response to the fact that many Qur’anic interpretation mostly uses Arabic language that contains technical terms related to science of balaghah, nah}wu, s}arf, that sometimes confuses the readers who are not familiar with Arabic and Qur’anic science.
This dissertation confirms the argument of Muh}ammad al-Fa>dil ibn A<shu>r in al-Tafsi>r wa Rijāluhu>, that an explanation or interpretation of the Qur’an should uses a language which is easily understood by the community. Indeed, this is in accord with the verse: وماأرسلناك من رسول إلا بلسان قومهم ليبين لهم.
This research is a qualitative one by using interpretive approach. The main source of this dissertation is based on Daud Ismail’s Tafsīr al-Munīr. In attempt to analyze the methodology aspect, it draws on several books of ‘Ulūm al-Qur'an and interpretation (tafsi>r), be it classic or modern one. The data is analyzed with standard interpretation science (‘ilm tafsir) that comprises interpretation method and content analysis. This study uses discourse analysis theory to understand the interpretation while employing interpretation approach to analyze the existing data.

Minggu, 14 Agustus 2011

Anre Gurutta Daud Ismail: Mujahid Dakwah dari Soppeng

Anre Gurutta adalah sebutan bagi sosok yang alim dan tokoh panutan dalam tradisi masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan. Gelar ini hanya disematkan kepada sosok yang disegani, Daud Ismail adalah salah satunya. Pejuang dakwah di tanah Bugis ini mendapatkan gelar dari masyarakat sebagai Anre Gurutta Haji (AGH). Daud Ismail adalah sosok ulama yang ikut mendirikan Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) bersama almarhum AGH Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH Muhammad Abduh Pabbajah serta ulama sunni lainnya. Ia juga dikenal sebagai ulama tafsir melalui karya terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Bugis.
Daud Ismail Lahir di Cenrana Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng tahun 1907, buah perkawinan dari pasangan H Ismail dan Hj Pompola. Setelah mengenyam pendidikan dasar di rumahnya, Daud Ismail melanjutkan belajar ke pesantren-pesantren yang ada di Sengkang.
Sejak kecil, ia dikenal sebagai sosok yang cerdas serta gemar belajar secara outodidak. Terutama ketika belajar mengenal aksara Lontara dan Latin. Kendati demikian, ia tetap menempuh pendidikan formal di Madrasatul Arabiyah Al-Islamiyah (MAI) pada tahun 1930. Selama belajar di Sengkang, ia merasakan banyak kemajuan khususnya dalam menguasai kunci ilmu-ilmu agama. Misalnya, Ilmu Qawaid, Ilmu `Arudh, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Manthiq dan lain-lainnya.
Karena prestasinya yang menonjol, Daud Ismail ditugaskan gurunya, Anre Gurutta As`ad untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Sejak saat itulah, orang-orang mulai memanggilnya Gurutta, panggilan kehormatan setingkat di bawah Anre Gurutta. Perhatian Anre Gurutta As`ad begitu tinggi kepada muridnya itu. Hal ini terbukti dengan pengawasan yang ketat terhadapnya, bahkan ia tidak diizinkan meninggalkan pesantren, hingga memasuki masa sulit ketika harus meninggalkan Sengkang.
Saya merasakan memang agak lain waktu saya belajar pada Gurutta Sade –panggilan akrab bagi Anre Gurutta Muhammad As`ad- dibanding waktu saya belajar di tempat lain,” demikian kenang Gurutta Daud Ismail tentang gurunya ini.

Wasiat sang guru
Tahun 1942, pecah perang dunia II. Masa ini adalah waktu tersulit yang dialami Daud Ismail. Kondisi tersebut membuatnya terpaksa meninggalkan Sengkang untuk kembali ke kampung halamannya di Soppeng. Salah satu cobaan beratnya adalah ketika istrinya meninggal dunia.
Tidak mau larut dalam kesedihan, di tahun itu juga ia mengajar di Madrasatul Amiriyah Watang Soppeng menggantikan Sayyed Masse. Tapi ia tidak bertahan lama, karena gerakannya dibatasi oleh Nippon dan adanya latihan menjadi tentara Jepang (PETA). Selain mengajar, ia juga diangkat sebagai Imam Besar di Lalabata, Soppeng dan sempat menjadi guru pribadi bagi keluarga Datu Pattojo, pada tahun 1944. Karena diakui sebagai seorang ulama yang berilmu luas dan mendalam, Daud Ismail diangkat sebagai Qadhi (hakim) di Kabupaten Soppeng pada tahun 1947 hingga tahun 1951.
Antara tahun 1951-1953, Daud Ismail menjabat sebagai pegawai di bidang kepenghuluan di Kantor Departemen Agama Kabupaten Bone. Sejak saat itu, ia mulai biasa disapa sebagai Anre Gurutta. Sepeninggal sang guru Anre Gurutta As‘ad tahun 1952, Daud Ismail diminta oleh para pemuka masyarakat Wajo dan sesepuh MAI untuk melanjutkan pembinaan madrasah yang ditinggalkan As‘ad. Pada tahun 1953 nama MAI diubah menjadi Madrasah As‘adiyah sebagai penghormatan dan penghargaan kepada Anre Gurutta As‘ad.
Wasiat dari sang guru ia jalankan, meski harus meninggalkan status pegawai negerinya. Namun Daud Ismail hanya memimpin MAI Sengkang selama 8 tahun. Karena adanya desakan dari Soppeng agar ia kembali membina madrasah di daerahnya. Apalagi saat itu merasa sudah ada kader-kader ulama yang dapat menggantikan Anre Gurutta Daud Ismail.
Sekembalinya ke Soppeng, ia mendirikan sekaligus mengetuai Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB) dan membuka Madrasah Muallimin pada tahun 1967. Pada masa ini ia diangkat kembali menjadi Qadhi yang kedua di Soppeng. Ia juga pernah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Soppeng tahun 1993-2005.

Menulis kitab
Sebagai suku yang dikenal kental dengan keagamaan dan taat menjalankan ajaran Islam, masyarakat Bugis sangat bergantung pada pengetahuan yang mereka peroleh dari al-Qur‘an, sehingga tafsir al-Qur‘an memegang peranan penting dalam kehidupan keagamaan mereka. Karena itulah, Daud Ismail menulis sebuah karya tafsir berbahasa Bugis. Maksudnya agar memudahkan masyarakat Bugis mengakses dan memahami Kitab Suci tersebut. Selain agar aksara Lontara, yaitu huruf abjad bahasa Bugis, tidak lekas punah. Karya lain yang pernah ditulis Daud Ismail antara lain Ashshalatu Miftahu Kulli Khair dan Carana Puasae, kitab-kitab ini ditulis dalam bahasa Bugis.
Daud Ismail memimpin Pesantren YASRIB hingga ajal menjemput dalam usia 99 tahun. Tepatnya pada hari Senin 21 Agustus 2006 sekitar pukul 20.00 Wita, setelah sempat dirawat selama tiga pekan, di Rumah Sakit Hikmah, Makassar. Semoga Allah SWT meridhai perjalanannya. Amin.   (FATHURROJI/MG)
(Sumber majalahgontor.co.id)

Sabtu, 09 April 2011

Rujukan Aksara "Lontarak"

Muhammad Salim

Muhammad Salim adalah bukti hidup bahwa penghargaan datang bukan karena gelar dan jabatan, tetapi karena karya berkelanjutan. Hampir sepanjang hidup ia menekuni ”lontarak”, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Dia menghidupkan dan memaknainya kendati ini kerja sunyi tanpa banyak imbalan.
Kami bertemu di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, tempat Salim ”bekerja” yang tak memberinya honor empat tahun terakhir. Dengan semua itu, ia bersetia mengawal pendokumentasian lontarak dari seluruh penjuru Sulsel.
Lontarak adalah kehidupan Salim. Aktivitas menyalin lontarak ke huruf Latin (transliterasi) lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia (translasi) ibarat menu hariannya. Dalam sehari ia menghabiskan dua hingga tiga jam untuk menyalin lontarak, termasuk Lontarak Enrekang, proyek yang baru dia mulai.
Meski demikian, yang membuat nama Salim diperhitungkan hingga mancanegara tentulah Sureq Galigo. Dia terpilih dalam Proyek Transliterasi dan Terjemahan Sureq Galigo yang digagas Universitas Leiden, Belanda, tahun 1987. Ia mulai bekerja tahun 1988 dan membutuhkan waktu 5 tahun 2 bulan untuk menerjemahkan hikayat penciptaan peradaban manusia di Sulsel itu.
Naskah I La Galigo di Universitas Leiden memiliki tebal sekitar 6.000 halaman. Arung Pancana Toa-lah yang memberikan naskah ini kepada orang Belanda, BF Matthes. Naskah di Leiden termasuk kisah paling lengkap kendati belum sepenuhnya selesai. Sebenarnya masih banyak lontarak yang terserak dan belum ditemukan.
Tidak mudah menerjemahkan I La Galigo, karya sastra terpanjang yang berabad-abad ”tertidur”. Salim tak sekadar membaca teks, tetapi juga konteksnya. Galigo merupakan karya sastra yang khas dengan pola pengejaan lima-lima, seperti: i-la-ga-li-go dan sa-we-ri-ga-ding.
Melalui pergulatannya, Salim menemukan Sureq Galigo juga menggunakan bahasa Bugis klasik dan Sanskerta, contohnya pada Sangiangserri yang artinya Dewi Padi. ”Dalam Sanskerta, dikenal Sang Hyang Sri, yang juga Dewi Padi.”
Dalam penerjemahan, ia membutuhkan tiga kamus sekaligus, yakni bahasa Bugis-bahasa Belanda lama, bahasa Belanda lama-bahasa Melayu lama, dan bahasa Melayu lama-bahasa Indonesia.
Penerjemahan Galigo memang melelahkan. Ruang kerja di rumah panggungnya berupa bilik. Sejak pukul 08.00 hingga 17.00 ia menekuni aksara kuno. Di sebelah meja kerja, ada kasur untuk Salim beristirahat sewaktu-waktu.
Honor transliterasi kala itu 5 dollar AS per lembar, sedangkan translasi 8 dollar AS per lembar. ”Uangnya saya pakai untuk beribadah haji. Saya tak suka beli barang,” tuturnya.
Mendunia
Nama Salim ikut mendunia bersama ”terbangunnya” I La Galigo. Mata dunia memandangnya seakan dia baru muncul. Padahal, jauh sebelumnya ia sudah tenggelam dalam dunia lontarak. Lahir dan besar di Pangkajene, Sidenreng Rappang, Sulsel, ia terbiasa membaca lontarak.
Pada masa lalu masyarakat menuliskan kisah dalam aksara lontarak. Apa pun bisa diceritakan; ilmu perbintangan, hubungan suami-istri, silsilah keluarga, pantangan, doa-doa, hingga nyanyian. Salim kecil belajar membaca lontarak dari neneknya.
Kemampuan ini terasah saat ia masuk pesantren di Allakuang, Sidenreng Rappang (Sidrap). Dia bergurukan KH Muhammad Yafie dan Muhammad Abduh Pabbajah. Murid-murid di sini terbiasa menerjemahkan Al Quran dalam bahasa Arab ke bahasa Bugis. Semuanya ditulis dalam huruf lontarak.
Seperti telah digariskan, hidup Salim tak pernah jauh dari lontarak. Lulus Sekolah Guru Bawah (SGB), ia mengajar pelajaran bahasa Bugis di satu-satunya sekolah menengah pertama di Pangkajene selama delapan tahun.
Berselang setahun, ia menempuh pendidikan guru sekolah lanjutan jurusan Bahasa Bugis di Makassar. Dia lalu ditarik ke kampung halaman, menjadi Kepala Dinas Kebudayaan Sidrap pada 1971.
Dengan posisinya itu, Salim kian gencar memopulerkan lontarak bagi pelajar. Ia mendorong penerbitan buku cerita rakyat dalam huruf lontarak untuk tingkat sekolah dasar dan buku nyanyian untuk tingkat SMP. Satu buku cerita bisa ditukar dengan satu liter beras atau satu kelapa bagi keluarga yang tak punya uang.
Tahun 1980, saat menjadi staf Dinas Permuseuman, Sejarah, dan Kepurbakalaan Sulsel, ia berkesempatan menyelami naskah kuno. Ia lalu menggagas proyek pengumpulan lontarak. Ia menjelajahi seluruh kabupaten di Sulsel hingga Kabupaten Selayar ”berburu” lontarak.
Proyek ini bertujuan mendokumentasikan lontarak di Sulsel dan menerjemahkannya. ”Banyak sekali lontarak berisi pengetahuan yang bisa diterapkan sampai kini, seperti pengobatan dan pertanian,” ujarnya.
Dari perburuan itu, Salim mengumpulkan lebih dari 100 lontarak. Semua tersimpan rapi di Yayasan Kebudayaan Sulsel. Beberapa lontarak sudah disalin ke huruf Latin dan sejumlah kecil diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Namun, banyak yang tak diterbitkan karena kurangnya dana.
Harta karun sejarah ini lebih menarik minat peneliti asing. Bahkan I La Galigo pun diterjemahkan tanpa bantuan uang Pemerintah Indonesia.
Tanpa gelar
Salim menjadi rujukan siapa pun yang meneliti lontarak. Ia masih bersemangat bicara tentang lontarak.
Ia percaya, pengetahuan juga digembleng karena pengalaman. Dia bukan profesor, tetapi kefasihannya memaknai lontarak membuatnya bertemu para profesor asing. Mereka takjub melihat orang yang menghidupkan kembali epos Sawerigading adalah pria sederhana.
Dalam hati, Salim tetap merasa sebagai guru. Ia ingin menularkan ilmunya kepada banyak guru dan mahasiswa. Untuk itu dia mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Dia juga bertahan di Yayasan Kebudayaan Sulsel. Padahal. bisa dikatakan yayasan ini bangkrut, tak ada uang dan peneliti. Beberapa buku penting terkait sejarah di kawasan timur Indonesia diambil alih Arsip Nasional.
Yang tersisa dari yayasan adalah lontarak, pekerja berhonor kecil, dan Salim. Kendati demikian, yayasan ini telah menjadi ”rumah” bagi Salim yang setia dengan Vespa tuanya. Hanya bila hujan deras saja dia urung datang. ”Khawatir Vespa-nya mogok,” kata pria bercucu tujuh dan bercicit satu ini.
Warisan Salim ialah penerjemahan I La Galigo, dan dunia patut berterima kasih kepadanya.

*** 
Muhammad Salim
• Lahir: Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, 4 Mei 1936 
• Istri: Hj Djamiah (65) 
• Anak:  - Husnah Salim - Nurdinah Salim  - Hamdan Salim 
• Kegiatan: - Dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin - Peneliti di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan 
• Lontarak yang disalin dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia antara lain: - Sureq Galigo  - Lontarak Sidenreng - Lontarak Soppeng/Luwu - Budhistihara yang berisi nasihat keagamaan - Pappaseng - Lontarak Enrekang (dalam pengerjaan) 

(Sumber:  kompas.com)