Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Jumat, 10 Desember 2010

Hijrah Melepas Duka

Ketika Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah, masih ada sejumlah sahabat yang tetap bertahan di Makkah. Mereka tak mau meninggalkan Makkah dengan berbagai alasan. Namun, selama bertahan di Makkah, umumnya mereka merasa tertindas sehingga diliputi rasa duka.
Alquran melukiskan mereka sebagai orang-orang yang menganiaya diri sendiri. Ketika mereka wafat dalam kondisi luka karena teraniaya, Malaikat pun bertanya, “Bagaimana keadaan kalian menjadi seperti ini?''  “Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri Makkah,” jawab mereka. Alquran kemudian merekam peringatan Malaikat berikutnya, “Bukankah bumi Allah itu luas, maka berhijrahlah di bumi itu?” (QS Annisa [4]: 97).
Secara historis, ayat tersebut di atas termasuk kategori ayat Madaniyah. Pesan Alquran ini turun kira-kira setelah tatanan masyarakat Madinah tertata rapi, tumbuh penuh harmoni dalam nuansa multikultural sebagai wujud perpaduan kebudayaan antara Anshar dan Muhajirin.
Melalui firman-Nya ini, Allah seakan-akan tengah mengamini tindakan Rasulullah dalam berhijrah, meskipun sempat beberapa kali gagal. Hijrah memang tidak sederhana. Ia tidak hanya melibatkan tindakan fisik, tetapi juga menggambarkan kekuatan psikologis yang mendasari ketulusan berikhtiar untuk mewujudkan kehendak Allah.
Hijrah dilakukan bukan semata-mata untuk memperoleh kesenangan duniawi ataupun kesejahteraan material, melainkan juga kesempurnaan pengabdian untuk mewujudkan tatanan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang lebih mampu menjamin tegaknya hak-hak individu.
Oleh karena itu, hijrah menjadi solusi manusiawi sebagai wujud pengakuan atas segala keterbatasan manusia dalam memperoleh semua haknya sekaligus pernyataan sikap teologis untuk membuktikan segala Kemahamurahan Allah bagi manusia. Bahkan, Allah sendiri menegur dengan tegas orang-orang yang memaksakan kehendaknya untuk tetap bertahan dalam ketidakberdayaan, memaksakan bertahan dalam ketidaknyamanan ataupun ketidaksejahteraan.
Dalam situasi Indonesia yang tengah diliputi berbagai duka saat ini, kita tidak bisa tetap “menikmati” penderitaan hanya karena alasan sabar dan tawakal. Kita juga tidak bisa terus-menerus membiarkan ketidakadilan melilit kehidupan. Saatnya kita berhijrah untuk melakukan perubahan sekaligus mengingatkan siapa pun yang dipandang menjadi sumber kesemrawutan.
Berhijrahlah dengan meminta semua pihak tulus mengakui kekhilafan, mencairkan egoisme politik yang hanya akan menyengsarakan kehidupan, dan membangun komitmen kebangsaan yang lebih jujur serta demokratis dengan melepaskan kepentingan pribadi ataupun golongan.
Alquran mengingatkan, Allah membenci orang-orang yang membiarkan diri bertahan di tengah kesemrawutan sosial, politik, dan ekonomi. “Kecuali mereka, baik laki-laki, perempuan, maunpun anak-anak, yang tertindas karena tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan untuk berhijrah.” (QS Annisa [4]: 98).
(sumber Republika.co.id)

Keutamaan Bulan Muharram

Dalam kalender Hijriah terdapat empat bulan haram, yakni Dzulqaidah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab. Disebut haram karena keempat bulan itu sangat dihormati, dan umat Islam dilarang berperang di dalamnya. Muharam yang berarti diharamkan atau yang sangat dihormati, memang merupakan bulan gencatan senjata atau bulan perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di manapun harus selalu bersikap damai, tidak boleh mengobarkan api peperangan jika tidak diperangi terlebih dahulu. Seyogianya, umat Islam menghormati dan memaknai Muharam dengan spirit penuh perdamaian dan kerukunan. Sebab, Nabi Muhammad SAW pada khutbah haji wada-yang juga di bulan haram, mewanti-wanti umatnya agar tidak saling bermusuhan, bertindak kekerasan, atau berperang satu sama lain.
Esensi dari spirit Muharam adalah pengendalian diri demi terciptanya kedamaian dan ketenteraman hidup, baik secara fisik, sosial, maupun spiritual. Karena itu, di bulan Muharam Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk berpuasa sunah: Asyura (puasa pada hari kesepuluh di bulan ini).
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharam. Dan, shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim).
Ibnu Abbas berkata, “Aku tak melihat Rasulullah SAW mengintensifkan puasanya selain Ramadhan, kecuali puasa Asyura.” (HR Bukhari). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Abi Qatadah, Nabi SAW bersabda, “Puasa Asyura itu dapat menghapus dosa tahun sebelumnya.” (HR Muslim).
Melalui puasa sunah itulah, umat Islam dilatih dan dibiasakan untuk dapat menahan diri agar tidak mudah dijajah oleh hawa nafsu, termasuk nafsu dendam dan amarah, sehingga perdamaian dan ketenteraman hidup dapat diwujudkan dalam pluralitas berbangsa dan bernegara.
Puasa sunah di bulan Muharam agaknya juga harus menjadi momentum islah bagi semua pihak. Agar perdamaian dan ketentramaan terwujud, Muharam juga harus dimaknai sebagai bulan antimaksiat, yakni dengan menjauhi larangan-larangan Allah SWT, seperti fitnah, pornoaksi, pornografi, judi, korupsi, teror, dan narkoba.
Muharram juga penting dijadikan sebagai bulan keselamatan bersama dengan menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang dapat menyengsarakan manusia, baik di darat, laut, maupun di udara. (Sumber Republika)

Esensi Hijrah

Momentum pergantian tahun Hijriah selalu mengingatkan umat Islam pada peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Peristiwa maha penting dalam sirah Rasulullah itulah yang menjadi dasar pijakan di balik pemilihan nama kalender Islam tersebut.

Tentu bukan tanpa alasan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab menetapkan peristiwa hijrah sebagai dasar perhitungan tahun dalam kalender kaum Muslimin. Hijrah berarti berpindah dengan meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain, atau berubah dengan meninggalkan suatu kondisi untuk menuju kondisi yang lain. Dalam Islam, hijrah memang ada dua macam.

Pertama, hijrah hissiyyah (hijrah fisik dengan berpindah tempat), dari darul khauf (negeri yang tidak aman dan tidak kondusif) menuju darul amn (negeri yang relatif aman dan kondusif), seperti hijrah dari Kota Makkah ke Habasyah (Ethiopia) dan dari Makkah ke Madinah.

Kedua, hijrah ma'nawiyyah (hijrah nilai). Yakni, dengan meninggalkan nilai-nilai atau kondisi-kondisi jahiliah untuk berubah menuju nilai-nilai atau kondisi-kondisi Islami,  seperti dalam aspek akidah, ibadah, akhlak, pemikiran dan pola pikir, muamalah, pergaulan, cara hidup, kehidupan berkeluarga, etos kerja, manajemen diri, manajemen waktu, manajemen dakwah, perjuangan, pengorbanan, serta aspek-aspek diri dan kehidupan lainnya sesuai dengan tuntutan keimanan dan konsekuensi keislaman.

Jika hijrah hissiyyah bersifat kondisional dan situasional serta harus sesuai dengan syarat-syarat tertentu, hijrah ma'nawiyyah bersifat mutlak dan permanen, serta sekaligus merupakan syarat dan landasan bagi pelaksanaan hijrah hissiyyah.

Hijrah ma'nawiyyah inilah yang sebenarnya merupakan hakikat dan esensi dari perintah hijrah itu. Kuncinya ada pada kata perubahan! Ya, ketika seseorang telah berikrar syahadat dan menyatakan diri telah beriman dan berislam, ia harus langsung ber-hijrah ma'nawiyyah ke arah perubahan total--tentu tetap mengikuti prinsip tadarruj (pentahapan)--sesuai shibghah rabbaniyah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 138) dan memenuhi tuntutan berislam secara kaffah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 208).

Guna menyambut--dan bukan memperingati--tahun baru 1432 Hijriah, kita harus melakukan muhasabah dan introspeksi diri dengan bertanya, sejauh mana perubahan, peningkatan dan perbaikan Islami telah terjadi dalam diri dan kehidupan kita, baik dalam skala individu, kelompok, jamaah, masyarakat, bangsa, maupun dalam skala umat Islam secara keseluruhan?

Marilah kita jadikan momentum pergantian tahun Hijriah ini sebagai faktor pemotivasi semangat dan pembaru tekad untuk senantiasa menghijrahkan diri dan kehidupan menuju totalitas Islam sebagai syarat dan dasar dalam mengemban amanah dakwah dan menegakkan kewajiban jihad fi sabilillah untuk memenangkan dinullah dan menggapai surga serta ridha Allah.
(Sumber Republika)

Selasa, 07 Desember 2010

Festival Agama, Agama Festival

Senin, 6 Desember 2010 | 04:07 WIB
Komaruddin Hidayat

Selain predikat sebagai homo religiousus, manusia juga dijuluki sebagai homo viator atau peziarah hidup.
Tulisan ini akan membincangkan manusia sebagai homo festivus, karena kita semua senang mengadakan festival yang terkait erat dengan aktivitas keberagamaan dan memaknai hidup sebagai sebuah ziarah.
Dalam sejarah, festival selalu mengacu pada pesta perayaan keagamaan, meskipun kemudian cenderung bersifat profan, tidak lagi berhubungan dengan agama. Semua agama punya tradisi festival, sebuah seremoni bersifat publik untuk memuja Tuhan yang dipelihara umatnya.
Dalam festival keagamaan terdapat enam elemen pokok. Pertama, untuk mengenang dan mengenalkan tradisi keagamaan agar generasi berikut dapat memahami dan ikut merawatnya. Kedua, membangkitkan kembali nilai-nilai dan semangat perjuangan hidup. Ketiga, membangun kohesi dan solidaritas sesama umat agar lebih solid. Keempat, sebagai hiburan agar kehidupan beragama juga bernuansa kebudayaan yang menggembirakan. Kelima, ada ritual-ritual pokok yang sudah baku dengan kostum unik dan khas. Keenam, merayakan kehidupan sebagai ekspresi rasa syukur kepada Tuhan.
Agama-agama besar dunia, seperti Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, Islam, dan paham kepercayaan lain seperti Konfusianisme, Taoisme, Shintoisme, dan Baha’i masing-masing memiliki tradisi perayaan hari besar keagamaan. Agama Hindu sangat kaya dengan perayaan keagamaan meskipun sebagian besar berlangsung lokal, terutama upacara doa dan syukur berkaitan dengan hari panen. Di Bali, tiada hari tanpa membuat sesaji.
Perayaan umat Buddha yang paling meriah adalah hari Waisak untuk memperingati hari kelahiran, pencerahan, dan kematian Buddha yang terjadi dalam hari dan bulan yang sama antara Mei dan Juni. Mereka menghias kuil dan rumah dengan lilin dan lampu sebagai lambang pencerahan Buddha.
Hari raya umat Kristen yang paling menonjol adalah Natal, Paskah, dan Pantekosta. Hari Natal diyakini sebagai kelahiran Yesus Sang Penebus yang disambut dengan sukacita: menghias rumah dan saling bertukar hadiah. Perayaan Paskah menyambut kebangkitan Yesus memasuki kehidupan baru. Empat puluh hari setelah Paskah, umat Kristen merayakan Pantekosta, memperingati kehadiran Roh Kudus pada umat Kristen perdana di Jerusalem. Kehadiran Roh Kudus diyakini sebagai pengganti Yesus Sang Penolong bagi umat Kristen hingga hari ini.
Mengingat penduduk Indonesia mayoritas memeluk Islam, maka perayaan hari besar agamanya paling meriah, misalnya hari raya Idul Fitri dan hari raya haji. Belum lagi hari-hari lain yang juga setiap tahun dirayakan, seperti kelahiran Nabi Muhammad dan turunnya Al Quran. Festival keagamaan sekarang tambah meriah dengan hari raya Imlek oleh pengikut Konfusianisme.
Demikianlah, Indonesia mungkin sekali merupakan bangsa yang paling senang menyelenggarakan upacara dan festival keagamaan serta memiliki hari libur keagamaan paling tinggi di dunia. Dengan festival itu, emosi dan tradisi keagamaan dilestarikan serta diwariskan dari generasi ke generasi. Baik pemerintah maupun sekian banyak lembaga keagamaan turut meramaikan dengan biaya fantastis.

Agama festival
Tiada agama tanpa upacara dan festival. Dalam festival keagamaan sakralitas dan profanitas menyatu. Antara nilai-nilai agama dan budaya saling mengisi. Melalui wadah budaya, nilai-nilai agama diekspresikan dan dilembagakan sehingga masyarakat mudah memahami dan menerimanya. Budaya masyarakat yang beragam membuat ekspresi dan festival keagamaan juga beraneka. Agama yang diyakini datang dari sumber Yang Satu menjadi semarak dan beragam, ibarat pantulan cahaya lampu kristal atau warna-warni pelangi. Esensi cahaya dan air adalah sama, tetapi ekspresi warna bisa beda karena dilihat dari perspektif berbeda.
Dalam festival agama selalu didapati aneka macam simbol dan aksesori budaya. Misalnya, para imam mengenakan kostum yang khas dalam upacara keagamaan, beragamnya adegan, doa, dan aturan dalam upacara haji. Haji merupakan festival keagamaan paling akbar dan berulang tiap tahun. Di situ nilai dan keyakinan agama berbaur dengan dimensi-dimensi kultural. Orang berhaji tidak hanya beribadah, tetapi ada unsur rekreasinya. Fenomena ini pasti juga terjadi pada agama lain.
Disadari atau tidak, sering kali acara festival yang berdimensi budaya malah lebih diperhatikan ketimbang esensi pesan agamanya. Maka yang lebih fenomenal adalah agama festival, bukannya festival keagamaan. Ini juga terjadi pada komunitas agama di mana saja. Festival tahun baru di Barat semakin hilang dari penghayatan agama. Di Bali beberapa adegan tari yang semula dianggap sakral sekarang untuk konsumsi turis. Di beberapa daerah pesta Lebaran telah berubah jadi ajang budaya yang jauh dari pesan agama.
Acara halal bihalal oleh sebagian komunitas benar-benar telah jadi ritual budaya. Semua ini tentu saja memperkaya tradisi lokal dan nasional. Agama melahirkan festival budaya, tetapi pada urutannya festival yang semula religius cenderung menjadi profan.

Jangan pentingkan festival
Mengingat masyarakat Indonesia sangat majemuk dan kaya tradisi keagamaan, lama-lama akan terlembaga ”agama festival”. Yang penting festivalnya. Bukankah masyarakat kita memang dikenal santai, senang kumpul-kumpul, dan akomodatif terhadap berbagai unsur agama dan budaya sehingga melahirkan budaya eklektik, sinkretik, dan entah apa lagi?
Acara festival semakin beragam dan mapan ketika negara campur tangan dan menyediakan anggaran. Dari pemerintah pusat sampai daerah, berapa miliar rupiah dana dikeluarkan untuk upacara? Agar ada nuansa keagamaan, setiap upacara dibuka atau ditutup dengan doa, terlepas khidmat atau tidak. Di sisi lain, ketika menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, sekarang sering tidak semangat dan tidak kompak. Artinya, ruh kebangsaan dan keagamaan semakin hilang dari serangkaian upacara kenegaraan dan festival kebudayaan.
Ketika nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, dan ketuhanan telah hilang dari sebuah festival, maka yang terjadi adalah sebuah pameran hedonisme yang dikemas oleh logika industri dan disponsori penguasa demi pencitraan belaka. Simbol dan retorika agama terkesan meriah dalam setiap festival keagamaan, tetapi nilai-nilai dan pesan agama serta kemanusiaan sebagai kekuatan yang membebaskan dan memperkuat kohesi sosial tidak tercapai. Maka festival sebagai sarana revitalisasi perjuangan hidup agar lebih produktif dan bermakna pun menguap, padahal biayanya sangat mahal.

Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah (sumber kompas.com)

Jumat, 19 November 2010

Sulaiman Ibrahim Institute (SII): Font Lontara Bugis

Sulaiman Ibrahim Institute (SII): Font Lontara Bugis: "Bugis (Makassar) Font Although SEAsite does not have any language materials on the Buginese language (or Makassar, on the Indonesian island ..."

Font Lontara Bugis

Bugis (Makassar) Font
Although SEAsite does not have any language materials on the Buginese language (or Makassar, on the Indonesian island of Sulawesi), we do have a Windows True Type font for the language, developed by Andi Malarangeng and Jim Henry a few years ago at Northern Illinois University.
Malaraneng and Henry have jointly declared the font to be in the public domain. However, if you modify it, please rename it before distributing it.
We have added one feature to the font. Because the written language does not include syllable final consonants, it is impossible to transcribe many non- Bugis words, such as "batik". The final 'k' would be 'ka' and so one would be forced to read "batika". We propose that a line under a character be used to mark such a vowel-less consonant. You can type this symbol by typing the underscore character just after typing the consonant to be so marked. So the keystroke sequence for "batik" would be "batik_"
In addition, there is a document by Dr. Jean-Paul Potet that explains how to use the font (i.e. how to type using it).
Download the font
View Potet's explanation of its use. These 4 pages are gif images to display all fonts and diacritics without needing the fonts on your computer. (Sumber http://www.seasite.niu.edu/bugis_font.htm)


TRANSLITERASI BUGIS-LATIN

I. KONSONAN               

BUGIS
LATIN
BUGIS
LATIN

k

Ka  

c

Ca
g
Ga
j

Ja

G
Nga
N
Nya
K
Ngka
C
Nca
p

Pa

y
Ya
b

Ba

r
Ra
m
Ma
l
La
P
Mpa
w
Wa
t
Ta
s
Sa
d
Da
a
A
n
Na
h
Ha
R
Nra




















Tanda Baca


.
   .

e

      o
  
   E
a
ai
au
ea
ao
aE
a
i
u
è
o
e



Lontara
Transliterasi
Arti
meR
Manré
Makan
cEem
Cemmé
Mandi
tiRo
Tinro
Tidur
aEso
Esso
Matahari
an buren
Anaburané
Lelaki
andr
Anadara
Gadis

Kamis, 18 November 2010

Critical Review


Amartya Sen,  “West and Anti-West” in Identity and Violence: The Illusion of Destiny, New York: W.W. Norton & Company, 2006, pp. 84-102.
“West and Anti-West” is a chapter of a book entitled Identity and Violence: The Illusion of Destiny, written by Amartya Sen, a Professor of economics at Harvard University. In the chapter, Amartya focuses on discussing the emerging phenomenon of resistance to westernization which takes form in anti-Western rhetoric ranging from “the championing of Asian values to insisting Islamic ideals.” Although Amartya acknowledges that obsession with the West is due to the history of colonialism, he mainly argues that postcolonial hostility to the West is caused more by colonized mind than a reaction to actual colonial abuse. The writer’s descriptions seem to be convincing as he raises different cases of colonized countries to support his argument. However, relying much on the dialectics of colonized mind as the main factor of anti-West in today world seems to be an unbalanced explanation as the growing reactions to the West, noticeably the US, is considerably precipitated by its ongoing abuse over subordinate countries.
            At the outset of the chapter, Amartya points out that postcolonial disaffection toward the West is correlated with the colonial maltreatment, exploitation, and humiliation in the past. For the writer, the impact of historical colonization has “generated a strong sense of humiliation and an imposition of perceived inferiority” in the part of subordinate countries. In Africa, for instance, the slave trade and colonization over the last few centuries have left a negative legacy that destroys old institutions and social confidence.         
            The writer also argues that colonized mind, as the result of fixation of the West, leads to “reactive self-perception” which has had extensive effects on current affairs. In this respect, he raises an example of the proponents of “Asian values” such as Lee Kuan Yew who value discipline and order for themselves while attributing liberty and individual rights for the West. Furthermore, Amartya exemplifies South Africa in which people are skeptical of “Western science” as the impact of historical apartheid policy, which discriminated indigenous Africans. Finally, he describes Islamic fundamentalist movements, as another case, which perceive themselves as the “other” that lead them to show opposition to the West, whom they perceive as the personification of the “Great Satan”. For the writer, all these seem to be articulations of the so-called “reactive non-Western identity.”
            In response to the writer, I found that his arguments are aiming to alleviate the tension or hostility between the West and non-West society. In other words, he seems to counter the thesis of “clash of civilizations” raised by Samuel Huntington. However, the approach he uses in the chapter tends to contain some weaknesses. First of all, he tends to blame the victims who still preserve colonized mind instead of criticizing the West who brought destructions and humiliations in colonized countries. Victims in this regard are the non-Western society who adversely suffered from Western colonization. Even though he presents the negative impacts of Western colonization, the writer still seems to be unbalanced in presenting both sides as he largely emphasizes the colonized mind factor. Secondly, in analyzing the root cause of anti-West movement the writer tends to separate colonized factor and reaction factor while highlighting the first one and overlooks the latter. This can be seen in his statements, “It would be a mistake to try to see postcolonial disaffection toward the West as just a reaction to actual colonial maltreatment,…There is more to postcolonial alienation than a reaction to the real history of abuse. His approach seems to be quite confusing for the readers since both factors are interrelated to each other. What I mean is that colonial abuse and colonized mind should be seen as integrative factors for the emergence anti-West movement.
            In conclusion, arguments raised by the writer in seeking the cause of anti-West movement tend to be unbalanced as he seems to merely stresses colonized mind factor that in turn has a tendency to blame the non-Western society. However, his attempt to criticize the anti-West movements, as one way to alleviate “clash of civilization,” should be highly valued as it will paves way for a peaceful   world.   

Jumat, 22 Oktober 2010

Kebebasan,Hukum,dan Etika Berdemokrasi

oleh Komaruddin Hidayat
TIGA elemen yakni kebebasan, hukum, dan etika sangat vital dalam kehidupan berdemokrasi kalau bangsa dan negara ini ingin tertib dan beradab. Pertama, kebebasan.
Tanpa ada jaminan kebebasan berserikat dan berekspresi, demokrasi tak ada maknanya. Tanpa ada kebebasan, seorang yang beragama bahkan tidak akan bisa tulus dalam melaksanakan ajaran agamanya. Bisakah beriman dengan tulus jika seseorang beragama karena paksaan? Dalam hal kebebasan ini, kondisi sosial politik Indonesia sudah menunjukkan kemajuan luar biasa. Orang bebas mendirikan partai politik (parpol), yang kemudian nanti masyarakat yang akan menentukan hidup-matinya. Kedua, ketegasan hukum. Sebuah masyarakat, jika hanya menikmati kebebasan dan tidak disertai penegakan hukum yang jelas dan tegas, iklim kebebasan lama-lama akan menghancurkan dirinya. Masyarakat akan terjebak dalam suasana kompetisi tanpa kendali yang berujung pada konflik dan pertempuran.
Karena itu, sistem demokrasi dalam sebuah negara yang sehat, kebebasan mesti dikawal dan dijaga oleh penegakan hukum. Lihat dan pelajari saja negara demokrasi yang sudah tua dan mapan seperti di Inggris atau Amerika Serikat (AS), hukum sangat wibawa di sana. Personifikasi hukum ini tampil dalam korps kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan. Di Indonesia aspek penegakan hukum ini sangat menyedihkan sehingga pilar kebebasan menjadi destruktif, menghancurkan dirinya sendiri dan menggerogoti demokrasi, kecuali jika penegakan hukum yang tegas dan wibawa segera diwujudkan. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirancang untuk mengawal demokrasi dan reformasi agar hukum tegak, korupsi bisa dikurangi secara drastis sehingga kesejahteraan rakyat terwujud. Tetapi, yang terjadi sungguh menyedihkan.
Masyarakat semula sangat antusias terhadap peran KPK untuk membangun optimisme masa depan. Tetapi, banyak pihak yang tidak menghendaki KPK ini tumbuh besar, kokoh, dan menjaga ibu pertiwi dari maling-maling, koruptor, dan garong yang menghancurkan ekonomi bangsa. Presiden, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan idealnya merupakan penjaga KPK yang paling setia untuk memberantas korupsi dan menegakkan hukum di Indonesia. Tetapi, berbagai hambatan kerja KPK tampaknya justru datang dari lembaga-lembaga yang mestinya menjadi suporter dan penjaganya. Ini suatu ironi reformasi dan demokrasi di Indonesia. Ketiga, etika berpolitik. Jika mengacu pada Pancasila yang menjadi dasar dan ideologi negara, perjalanan berbangsa dan bernegara ini mestinya sudah sampai pada tahapan etika.
Di atas kebebasan dan penegakan hukum di sana ada etika berpolitik dan berdemokrasi. Ini lebih tinggi derajatnya, merupakan refleksi dan manifestasi sila ketuhanan dan kemanusiaan. Kalau kebebasan dan hukum untuk memperkokoh semangat kebangsaan dan kerakyatan, etika merupakan pesan ketuhanan dan kemanusiaan. Pada tahap ini orang berdemokrasi dan berpolitik tidak saja berpegang pada kaidah hukum, tetapi juga lebih pada kesadaran dan kepantasan moral (moral decency). Ini sesungguhnya bukan suatu utopia. Di Jepang misalnya seorang pejabat tinggi akan mundur karena pertimbangan moral. Malu ketika gagal melaksanakan tugas, lalu mundur. Mereka lebih menghayati sila kemanusiaan. Ada prinsip harga diri.
Pada awal kemerdekaan para pendiri bangsa ini juga memiliki standar etika yang tinggi dalam berpolitik. Hubungan Natsir dan Kasimo misalnya meski berbeda agama dan sering terlibat perdebatan seru dalam persidangan, keduanya dikenal sangat baik dalam hubungan kekeluargaan. Begitu pun Hatta dan Mohamad Roem, mereka sangat sederhana dan bersih dari korupsi. Mereka telah memberikan teladan bagaimana menjunjung etika dalam berdemokrasi. Mereka menghayati spirit sila ketuhanan dan kemanusiaan. Situasi dan perkembangan politik saat ini sungguh semakin menyedihkan. Yang menonjol semua orang ingin bebas. Bebas apa saja.
Bebas mendirikan partai. Bebas berekspresi. Kalau bisa juga ingin bebas menggunakan kekuasaan yang tengah dimiliki untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Bahkan ingin bebas korupsi lalu bebas dari jeratan hukum. Para ekstremis-radikalis dan teroris juga semakin bebas menentang negara dan menghujat Pancasila. Salah satu jalan yang mendesak untuk dilakukan pemerintah adalah menegakkan hukum untuk mengawal pilar kebebasan dalam berdemokrasi. Lembaga penegak hukum mesti diperkuat. Sekarang ini presiden memiliki peluang historis untuk memilih jaksa agung, kapolri, dan ketua KPK baru agar ketiganya membangun sinergi di bawah komando presiden untuk memberantas korupsi secara kencang.
Kalau ini segera dilakukan, wibawa hukum secara perlahan akan membaik. Kalau tidak, yang akan mengemuka adalah kebebasan yang tidak terkontrol. Hukum dilecehkan, etika semakin ditinggalkan dalam kehidupan politik kita. Rakyat semakin merasa letih. Bencana alam sambung-menyambung. Kecelakaan transportasi susul-menyusul. Rakyat mulai bertanya, di mana negara? Apa yang dilakukan pemerintah untuk melindungi rakyatnya? Lagi sibuk apa parpol yang katanya dibentuk untuk memajukan demokrasi demi memajukan bangsa? (*)

Minggu, 10 Oktober 2010

Lebaran dan Misi Kemanusiaan

Tradisi lebaran, konon, hanya ada di negeri kita, negeri mayoritas dan terbesar muslim di dunia. Menurut sosiolog Imam B. Prasojo, lebaran merupakan tradisi keagamaan yang telah bercampur dengan budaya lokal. Salah satu kebiasaan yang paling menonjol pada setiap menjelang dan saat lebaran adalah adanya ritual pulang kampung secara massif dengan alasan utama untuk bersilaturrahmi dengan sanak keluarga dan handai taulan. Di Amerika ada tradisi yang memiliki kemiripan dengan pulang kampung, yaitu thanksgiving day, namun kondisinya tidak sama dengan di Indonesia karena asal-usul keluarga yang dikunjungi telah banyak yang pindah kota.

Banyak analisis yang dikemukakan para ahli kenapa tradisi pulang kampung hanya ada di negeri kita. Ada yang menyebut karena kegagalan pembangunan yang hanya berfokus pada kawasan perkotaan, sehingga banyak orang yang mencari penghidupan di sana. Karena berpisah dengan keluarga yang berada di kampung dalam waktu lama, maka momen penting untuk bertemu mereka adalah ketika lebaran tiba. Tapi ada juga yang mengatakan karena alasan agama, yaitu anjuran Islam untuk saling memaafkan dan saling bersilaturrahmi (menyambung hubungan baik) kepada sesama, terutama lingkungan terdekat.

Di Arab Saudi, tempat lahirnya Islam, tidak mengenal tradisi ini, dan tentu saja pemerintahnya tidak pusing menangani transprotasi massal arus mudik dan balik lebaran. Bagi warga Arab Saudi, hari lebaran yang sesungguhnya adalah ketika Idul Adha (musim haji) tiba. Sementara di Mesir, sehabis umat Islam melakukan shalat Idul Fitri, nampak kerumunan para anggota keluarga yang bercengkerama menghabiskan waktu bersantai di tempat-tempat hiburan. Di negeri kita, kebiasaan seperti di Mesir dilakukan oleh sebagian komunitas etnis Madura yang berada di Jakarta dan sekitarnya yang memadati TMII dan Ancol di hari lebaran pertama untuk berekreasi dan bercengkerama bersama keluarga.

Namun demikian, dari tradisi lebaran yang memiliki corak unik dan massif ini menyimpan nilai agung, yaitu misi kemanusiaan yang patut mendapat perhatian, yaitu:

1. Lebaran yang dirayakan oleh umat Islam Indonesia setiap tahunnya telah menjadi milik semua umat yang ada di negeri ini. Bukan hanya Islam, umat Kristen, Hindu, Buddha dan Khonghucu mendapat “berkah” lebaran, seperti bisnis pakaian, makanan, transportasi, dan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan lebaran. Hampir semua umat merasakan kebahagiaan lebaran karena massifnya kebutuhan sosial antara satu dengan yang lain.

2. Momen lebaran yang dibarengi dengan tradisi Halal Bihalal bertujuan untuk mempererat silaturrahmi antar sesama. Tradisi ini seperti telah menjadi bagian tak terpisahkan masyarakat Indonesia yang tidak saja melibatkan umat Islam, namun juga semua kalangan dari semua agama. Bahkan tradisi ini dilakukan pada tingkat pemerintahan, mulai daerah sampai pusat, kalangan swasta maupun di lingkungan masyarakat sendiri dengan berbagai aktifitas keagamaan, seperti pengajian akbar, dzikir akbar dan lain-lain. Uniknya, tradisi Halal Bihalal ini seperti menjadi medium komunikasi antara sesama yang tidak mengenal sekat apapun. Bahkan orang yang tidak pernah melakukan kesalahan atau tidak kenal sekalipun saling bermaaf-maafan.

3. Idul Fitri yang berarti “kembali fitrah” merupakan momen spiritual umat Islam yang menjunjung tinggi kepedulian social, yaitu dengan kewajiban derma berupa zakat fitrah. Manfaat zakat fitrah adalah bagian dari pesan Idul Fitri dimana setiap mukmin yang berpuasa selama sebulan penuh agar terus meningkatkan kualitas kebersamaan, toleransi, dialog, dan saling tolong menolong. Dialog antar agama dan inter agama seharusnya semakin intensif ketika Idul Fitri tiba. Kejadian penusukan yang menimpa seorang jemaat HKBP di bilangan Bekasi pada hari Ahad (12/11/10) yang dilakukan oleh oknum masyarakat patut disayangkan, karena terjadi justru pada saat umat Islam merayakan Idul Fitri. Jika diingat kembali, kerusuhan besar yang melibatkan isyu SARA di Ambon pada awal tahun 1999-an juga terjadi pada saat Idul Fitri. Sementara Idul Fitri merupa momen penting yang perlu dihargai oleh sikap yang toleran, baik umat Islam sendiri maupun umat non-muslim.

Dari ketiga poin tersebut menunjukkan bahwa hari raya lebaran sesungguhnya mengemban misi kemanusiaan yang sangat agung. Bukan sekedar ritual tahunan yang hanya untuk berpesta atau menghabiskan uang untuk kebutuhan-kebutuhan hidup yang tidak perlu, namun harus dimaknai sebagai momen bagi terbangunnya system social yang harmonis, bahagia, adil dan sejahtera. Selamat hari raya lebaran, mohon maaf lahir dan batin. Wallahu a’lam bish-shawab.

(ditulis oleh Thobib Al-Asyhar adalah pengamat social keagamaan, penulis buku).

Senin, 27 September 2010

Takfir dan Hak Berbeda Pendapat: Menimbang Kasus Nashr Hamid Abu Zaid

oleh: Yusuf Rahman

            Dalam salah satu karyanya yang cukup terkenal Tahafut al-Falasifa (Kerancuan para Filusuf), Abu Hamid al-Gazali (w. 1111) memberikan cap kafir kepada para filusuf Muslim karena beberapa pandangan mereka yang dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Sebagai konsekwensi dari pengkafiran ini, banyak orang berpendapat bahwa perkembangan filsafat Islam menjadi mandeg.
            Pengkafiran terhadap pemikiran seseorang atau bahkan institusi ternyata masih terus berlangsung hingga saat ini. Kasus yang ingin dikaji dalam tulisan ini adalah yang menimpa Dr. Nashr Hamid Abu Zaid (l. 1943), seorang pemikir Muslim asal Mesir yang mengajar di Fakultas Sastra Universitas Kairo namun sejak tahun 1995 harus mengasingkan diri bersama istrinya di Leiden, Belanda. “Kasus  Abu Zaid” sangat menarik untuk diteliti tidak saja karena ia telah dikafirkan oleh kalangan fundamentalis, tapi pihak pemerintah pun, lewat perangkat hukumnya, turut serta mendukung pentakfiran itu. Pertanyaannya kemudian adalah: apa alasan kelompok fundamentalis dan pengadilan Mesir mengkafirkan Abu Zaid? apakah “dosa” Abu Zaid? dan mengapa pentakfiran semacam itu bisa terjadi?
            Konflik Kelompok. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Charles Kurzman dalam bukunya Liberal Islam: a Source Book, pertentangan antara kelompok muslim fundamentalis dan muslim liberal sudah merupakan hal yang biasa terjadi di kebanyakan masyarakat muslim. Di Mesir sendiri banyak pemikir muslim liberal yang menjadi “korban” pentakfiran kelompok fundamentalis, sehingga karya-karya mereka dilarang terbit. Sebut saja misalnya kasus Thaha Husain (w. 1973) dan Muhammad Ahmad Khalaf Allah (w. 1998). Yang pertama menulis Fi al-Syi‘r al-Jahili (Tentang Puisi Masa Pra-Islam) pada tahun 1926 namun dicabut dari peredaran karena memuat pandangan yang “dianggap” bertentangan dengan ajaran Islam. Buku tersebut baru bisa diterbitkan kembali pada tahun 1927 dengan menggunakan judul baru Fi al-Adab al-Jahili (Tentang Sastra Pra-Islam) dan beberapa pandangan kontroversialnya dihapus. Demikian pula nasib disertasi al-Fann al-Qashashi fi al-Qur’an (Seni Narasi di dalam al-Qur’an) yang ditulis oleh Khalaf Allah pada tahun 1947 namun tidak jadi dipertahankan karena beberapa anggota tim penguji sudah mencapnya tidak layak untuk diuji karena ditengarai bertentangan dengan Islam.
Perlawanan kelompok fundamentalis terhadap pemikiran liberal tidak bisa dilepaskan dari upaya mereka untuk memberlakukan pelaksanaan syari’at Islam di Mesir
yang sudah bertahun-tahun mereka perjuangkan. Ini berawal dari gebrakan Presiden Anwar Sadat pada tahun 1970-an yang dalam rangka menarik dukungan politis dari umat Islam di negeri itu menggantikan kata-kata di dalam konstitusi Republik Mesir dari kalimat “syari’at Islam adalah salah satu sumber utama dari pembuatan undang-undang” menjadi “syari’at Islam adalah satu-satunya sumber utama legislasi.” 
Kasus Abu Zaid. Kasus Abu Zaid bermula dari dalam lingkungan universitas ketika ia mengajukan karya-karya ilmiahnya untuk keperluan kenaikan pangkat ke tingkat guru besar. Setelah memperhatikan karya-karya tersebut, salah satu dari anggota tim penilai karya ilmiah yang bernama ‘Abd al-Shabur Syahin, seorang dosen di fakultas Dar al-‘Ulum dan juga imam tetap Masjid ‘Amr bin al-‘Ash, memvonis pandangan Abu Zaid tidak sesuai dengan ajaran Islam. Singkat cerita, dari perdebatan di lingkungan universitas beberapa pengacara yang bersimpati kepada kelompok fundamentalis membawa vonis takfir ini ke pengadilan dan mengajukan gugatan cerai tanpa persetujuan atau keinginan sendiri baik dari Abu Zaid maupun istrinya. Mereka menengarai bahwa perkawinan seorang murtad dengan wanita muslim adalah tidak sah dan karenanya memohon kepada pengadilan untuk membatalkan tali perkawinan mereka.
Alasan utama penyebab kemurtadan Abu Zaid, menurut para pengkritiknya, adalah karena ia menganut paham kiri dan menggunakan teori Marxis di dalam tulisan-tulisannya. Sebagai contoh, seorang profesor dari Universitas al-Azhar, Ahmad Fayd Haykal, menilai buku Mafhum al-Nashsh, karya utama Abu Zaid, sebagai suatu kajian al-Qur’an yang menggunakan teori kiri. Bahkan Muhammad ‘Imarah, tokoh Islam moderat yang lain, menulis satu buku yang secara khusus mengkaji pemikiran Abu Zaid yang ia beri judul al-Tafsir al-Markisi fi al-Islam (Penafsiran Marxis dalam Islam).
Untuk membuktikan tuduhannya itu, ‘Imarah menjelaskan bahwa sebagian besar karya Abu Zaid diterbitkan oleh majalah serta penerbit yang berhaluan kiri. Di samping itu, ‘Imarah juga melihat bahwa Abu Zaid menggunakan teori materialis di dalam mengkaji al-Qur’an, seperti pendapatnya bahwa “al-Qur’an dibentuk oleh budaya Arab.” Pandangan ini, menurut ‘Imarah, menegasikan sakralitas al-Qur’an, atau dengan kata lain, menyatakan bahwa al-Qur’an bukan diciptakan oleh Allah akan tetapi oleh budaya Arab.
Mengapa takfir? Benar bahwa Abu Zaid berpendapat al-Qur’an dibentuk oleh budaya Arab, akan tetapi itu tidak berarti bahwa ia tidak meyakini al-Qur’an sebagai ciptaan Allah. Sebagaimana keyakinan kaum muslimin, Abu Zayd juga percaya bahwa al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril dalam waktu lebih dari dua puluh tahun.
            Walaupun al-Qur’an merupakan firman Allah, al-Qur’an menggunakan bahasa manusia (bahasa Arab), diwahyukan kepada manusia (nabi Muhammad) untuk kemudian disampaikan kepada seluruh umat manusia untuk kepentingan mereka. Selain itu, fakta bahwa al-Qur’an diturunkan selama kurang lebih dua puluh tiga tahun, serta adanya literatur tentang asbab al-nuzul, ayat-ayat Mekah dan Madinah dan juga tentang ayat-ayat yang dihapus/diganti dan menggantikan (mansukh wa nasikh), membuktikan bahwa konteks sosio-politik dan historis sangat mempengaruhi turunnya ayat-ayat al-Qur’an.
Pandangan Abu Zayd ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tesis kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluq/muhdats (diciptakan) karena firman Allah merupakan produk dari sifat Allah “Yang Berbicara” (al-Qa’il), salah satu sifat-Nya yang fi‘liyyah. Sebagai produk dari sifat fi‘liyyah, ia diciptakan pada masa tertentu. Sementara itu kelompok Hanbaliyyah dan Asy‘ariyyah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah qadim (tidak bermula) dan eksis bersamaan (co-exist) dengan Allah. Konsekwensinya, situasi sosial dan historis pada saat nuzulnya al-Qur’an tidak terlalu berperan, karena menurut mereka al-Qur’an secara keseluruhan telah ada sebelum dunia ini diciptakan.
Dunia Islam telah sekian lama didominasi oleh pemikiran Hanbaliyyah/Asy’ariyyah, sehingga yang terakhir ini sering diklaim sebagai pemikiran yang terbenar, dan ketika ada pandangan yang berbeda dengan status quo langsung saja dicap sesat dan kafir. Padahal sejarah pernah mencatat bahwa dulunya pandangan Mu’tazilah juga pernah berjaya dan bahkan khalifah al-Ma’mun, khalifah ketujuh dari dinasti Abbasiyyah, sempat menjadikan mazhab Mu’tazilah sebagai mazhabnya negara. Tapi setelah itu, lagi-lagi berkat dukungan penguasa yang menggantikan al-Ma’mun, mazhab Asy‘ariyyah-lah yang kemudian mendominasi hingga saat ini. Kalau pada masa al-Ma’mun pandangan Mu‘tazilah merupakan pemikiran ortodoksi dalam Islam, bahkan mereka yang tidak menganut mazhab Mu‘tazilah dihukum (inquisition/mihnah), setelah itu pemikiran yang sama dicap kafir dan sesat.
Apakah kita akan terus terjebak dalam kungkungan pengkafiran suatu pemikiran yang nyata-nyata sangat dipengaruhi oleh dukungan/kepentingan politik praktis? Tidakkah sepatutnya bagi masing-masing untuk memperoleh hak hidup, hak berijtihad dan hak berbeda pendapat? Apakah kita memiliki otoritas untuk menghakimi keimanan seseorang? Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 147-148: al-Haqq mi ’r-rabbika fala takunanna mina ’l-mumtarin (Kebenaran itu hanyalah dari Tuhanmu, maka janganlah kamu termasuk orang yang ragu-ragu).
Yusuf Rahman. Dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Senin, 20 September 2010

Zakat dan Kemiskinan

Oleh Azyumardi Azra

Zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Inilah salah satu subjek yang paling banyak dibicarakan dalam berbagai ceramah iftar, kultum, dan dan bahkan seminar sepanjang Ramadhan menjelang Idul Fitri dan bahkan di luar waktu tersebut. Pembicaraan tentang subjek ini umumnya terkait dengan potensi ZIS untuk memberantas atau sedikitnya mengurangi kemiskinan yang masih merajalela di dalam masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia.
Dengan menggunakan kriteria pendapatan Rp 200.269 perkapita/bulan, BPS (Maret 2010) mencatat adanya 31,02 juta penduduk miskin-14,15 persen dari total penduduk Indonesia sekitar 228 juta jiwa. Jumlah warga miskin menjadi berlipat ganda jika menggunakan ukuran kemiskinan versi Bank Dunia, yaitu pendapatan 2 dolar AS per hari. Dengan ukuran ini, jumlah mereka mendekati 100 juta jiwa. Jelas, pemerintah dan bahkan juga donor asing tidak mampu memberantas kemiskinan yang begitu akut. Karena itulah, kontribusi masyarakat, khususnya umat Islam, melalui ZIS diharapkan dapat mengurangi kemiskinan.
Kaitan antara ZIS, khususnya zakat, dengan pemberantasan kemiskinan mendapat perlakuan khusus melalui penelitian Dompet Dhuafa, Peta Kemiskinan: Data Mustahik, Muzaki, dan Potensi Pemberdayaan Indonesia (2010). Hasil penelitian yang saya terima menjelang Idul Fitri ini merupakan sumbangan sangat signifikan dalam melihat peta mereka yang berkewajiban membayar zakat (muzaki) dan mereka yang berhak menerima zakat khususnya (mustahik) di seluruh Indonesia; mencakup semua provinsi sejak Papua sampai ke Nanggroe Aceh Darussalam; sebuah upaya pemetaan potensi zakat secara komprehensif.
Menurut penelitian ini, terdapat 23.676.263 muzaki di seluruh Indonesia dengan jumlah kumulatif terbesar di Jawa Barat 4.721.101 orang, Jawa Timur 2.871.741 orang, DKI Jakarta 2.467.677 orang, Jawa Tengah 2.181.139, Banten 1.324.908 orang, dan Sumatra Utara 1.094.889 orang. Sebagian besar (60,6 persen) muzaki adalah laki-laki; tetapi potensi perempuan tidak bisa diabaikan, yakni 39,4 persen. Penting dicatat, para muzaki ini sebagian besar berusia antara 25-59 tahun (26,1 persen berusia antara 25-34 tahun; 25.00 antara 35-44; dan 26,4 persen antara 45-59 tahun). Tak kurang menariknya adalah latar belakang pekerjaan para muzaki: 27,3 persen bekerja pada sektor pertanian; 20,8 persen pada sektor industri; 18,2 persen pada sektor jasa; dan 10,7 persen di sektor industri.
Sebagai kontras, jumlah mustahik di seluruh Indonesia adalah 33,943.313 jiwa-angka yang tidak berbeda terlalu banyak dengan jumlah penduduk miskin dalam estimasi BPS. Mereka yang berhak menerima zakat paling banyak terdapat di Jawa Timur 7.446.180 jiwa; Jawa Tengah 7.012.814; Jawa Barat 5.736.425; Lampung 1.560516; NAD 1.280.104; Sumatra Selatan 1.219.050; Banten 1.113.876; Sumatra Utara 1.076.778; NTB 1.041.402. Jumlah mustahik di provinsi-provinsi lain berkisar antara 60 ribuan sampai 500 ribuan orang. Dari segi gender nyaris berimbang: 49,9 persen mustahik adalah laki-laki, sisanya 50.1 persen perempuan. Lalu, 52 persen mustahik belum menikah; 42 persen menikah; cerai mati 4,6 persen; dan cerai hidup 1,4 persen. Tingkat pendidikan mereka pun sangat rendah, yakni 77 persen tidak tamat/tamat SD. Sebagian besar mustahik bekerja di sektor pertanian (63,1 persen); industri 8,9; perdagangan 8,8; dan jasa 7.2.
Masih banyak rincian menyangkut berbagai aspek kehidupan muzaki dan mustahik sejak dari status tempat tinggal mereka sampai potensi mereka sejak dari soal simpan pinjam dan kredit sampai kepada akses pada jalan aspal, listrik, dan siaran TV. Semua data ini jelas dapat memberikan banyak perspektif tentang para muzaki dan mustahik, khususnya dalam konteks pengumpulan zakat (dan juga infak dan sedekah) dan distribusinya kepada para mustahik sesuai dengan realitas kesulitan hidup mereka.
Potensi zakat (dan juga infak dan sedekah) Indonesia jelas sangat besar. Tendensi dalam 10 tahun terakhir menunjukkan terus meningkatnya jumlah dana yang terkumpul. Menurut berbagai kajian, kenaikannya rata-rata 38,79 persen per tahun; terakhir pada 2009 diperkirakan terkumpul dana zakat sebesar Rp 1,2 triliun.
Namun, juga jelas, potensi zakat yang ada (27,2 T untuk 2009) masih jauh daripada terealisasi. Karena itu, masih sulit berharap dana zakat dapat berperan penting dalam pengentasan warga dari kemiskinan. Lagi pula, tanggung jawab pemberantasan kemiskinan tetap berada pada pemerintah melalui APBN, bukan Organisasi Pengumpul Zakat (OPZ) dengan dana zakat yang relatif masih sangat terbatas itu.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 16 September 2010
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ru’yat Atau Hisab

Oleh: M. Yusuf Kalla
Hari ini 11 Agustus 2010 adalah hari pertama untuk sebagian besar umat islam di dunia menjalankan Ibadah Puasa. Di Indonesia sendiri umat islam dari mazhab mayoritas sudah mulai menjalankan ibadah puasa. Dan Alhmadulillahb tahun ini tidak ada perbedaan mengenai kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan antara Muhammadiyah dan NU sehingga tidak menimbulkan masalah yang cukup pelik di kalangan umat.
Para ulama NU dan Muhammadiyah masing-masing memiliki cara yang berbeda untuk menetapkan kapan jatuhnya 1 Ramadhan. Yakni melalui cara Ru’yat yakni melihat bulan ketika maghrib dan yang kedua adalah dengan cara melakukan perhitungan berdasarkan peredaran Bulan. Yang jadi masalah dengan system Ru’yat akan sangat susah dilakukan apalagi ternyata pada hari itu terjadi mendung. Saya juga tidak mau serta merta menyatakan bahwa system hisab akan lebih jitu daripada system Ru’yat.
Yang menjadi pertanyaan, Neil Armstrong mendarat di Bulan dengan Apollo pada tahun 1969, yang menjadikan manusia pertama yang mendarat di Bulan apakah itu dengan system Ru’yat atau Hisab ?saya kira Apollo bisa mendarat di Bulan berkat system perhitungan yan g digunakannya artinya itu adalah system Hisab. Dengan system perhitungan itu manusia bukan lagi bisa melihat bulan tapi sudah bisa mendarat di Bulan.
Sesungguhnya saat ini kita sudah hidup di abad Modern dengan segala peralatan canggih dan modern, itu semua bisa hadir berkat perhitungan sebab kalau berbicara tentang teknologi maka kita akan masuk pada system perhitungan. Maka sebaiknya nanti kelak ketika menetukan kapan jatuhnya tanggal 1 Syawal kita tidak perlu lagi terjebak pada metode dan aliran mana yang akan kita pakai untuk menetapkan tanggal 1 Syawal. Kita cukup bersandar pada teknologi untuk melakukan perhitungan dalam menentukan apakah bulan sudah muncul atau tidak. Sebab sekarang ini dengan teknologi bisa membantu kita dengan cepat, bukan hanya melihat bulan, tapi bahkan sampai mendarat di Bulan.
SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA KEPADA ANDA SEMUA,
MOHON MAAF LAHIR BATIN
JUSUF KALLA SEKELUARGA
(Sumber Kompasiana)

Diplomasi Ala Bugis…

Diplomasi Ala Bugis…
Oleh: M. Yusuf Kalla
Sebelum saya menjabat sebagai WAPRES, karakter dan watak orang Bugis sangat jarang yang mengenalnya di belahan nusantara ini. Bahkan ada banyak pendapat yang keliru dan menyangka orang bugis adalah bangsa yang keras dan tidak pernah kenal kompromi. Ini jika melihat dari sejarah banyak yang menganggap bahwa orang bugis adalah bajak laut pada masa silam. Anggapan ini sungguh tidak berdasar dan keliru.

Sabtu, 07 Agustus 2010

Muslim dan Masyarakat Multikultural

Oleh Azyumardi Azra
Di tengah terus meningkatnya globalisasi dalam beberapa dasawarsa terakhir, kaum Muslim kian terbuka pada kehidupan multikultural. Pada satu pihak, di negara-negara berpenduduk mayoritas kaum Muslim, realitas multikultural itu meningkat dengan kian banyaknya para pendatang, baik imigran maupun ekspatriat multikultural. Gejala ini juga terlihat jelas di negara-negara di mana kaum Muslim merupakan penduduk minoritas meski mereka termasuk pribumi atau pendatang seperti terjadi di Eropa dan Amerika.
Secara historis, kehidupan multikultural bukanlah sesuatu yang baru bagi kaum Muslim. Sejak masa awal Islam dan lebih khusus lagi pada masa pasca al-Khulafa al-Rasyidun, pertumbuhan kaum Muslim yang begitu cepat di berbagai wilayah dunia sekaligus merupakan pertemuan yang melibatkan akomodasi dan konflik dengan realitas lokal yang berkat kehadiran Islam dan kaum Muslim juga kian multikultural. Realitas ini terlihat kian jelas ketika kekuasaan politik yang melintasi berbagai wilayah budaya berada di tangan kaum Muslimin sejak Dinasti Umaiyah, Abbasiyah di Baghdad dan Andalusia, Usmani, Moghul, dan seterusnya sampai ke Asia Tenggara.
Tetapi kaum Muslim sebagai minoritas di berbagai wilayah mancanegara tidak selalu mendapatkan perlakuan atas dasar-dasar multikultural seperti pengakuan untuk menjalankan Islam atas dasar respek dan toleransi. Dan, gejala yang tidak kondusif ini kian meningkat di berbagai negara Eropa, misalnya, ketika kaum Muslim menghadapi stigmatisasi dan diskriminasi. Bahkan, lebih dari itu, terjadi peningkatan sikap anti-Islam dan anti-Muslim dari masyarakat mayoritas, yang memiliki privelege sebagai 'pribumi'.
Pengalaman kaum Muslim, baik sebagai mayoritas maupun minoritas hidup dalam lingkungan multikultural menjadi tema konferensi 'Muslims in Multicultural Societies' yang diselenggarakan Majelis Ugama Islam Singapore (MUIS) bekerja sama dengan Faculty of Oriental Studies, University of Oxford; National Centre for Excellence in Islamic Studies, University of Melbourne; dan Department of Malay Studies, National University of Singapore pada 14-15 Juli 2010 lalu. Konferensi yang dibuka Senior Minister (SM) Singapura Goh Chok Tong ini sepanjang pengetahuan saya merupakan forum cukup besar membahas kehidupan kaum Muslim dalam masyarakat multikultural secara relatif komprehensif.

Dalam sambutannya, mantan PM Goh Chok Tong mengungkapkan, banyak hal tentang kehidupan kaum Muslim Singapura di tengah masyarakat multikultural; negara kota ini berpenduduk mayoritas keturunan Cina (75 persen), Melayu Muslim (14 persen), India dan lain-lain (11 persen). Dengan komposisi seperti itu, kehidupan multikultural Singapura membuat terjadinya berbagai macam 'penyesuaian', khususnya dalam kehidupan keagamaan. Misalnya, suara azan tidak lagi dipancarkan keluar masjid, karena dapat menimbulkan kebisingan ke dalam apartemen yang kian banyak. Penyesuaian juga berlaku bagi para penganut agama lain dalam penyelenggaraan ritual yang menyentuh ranah publik dan karena itu dapat menimbulkan gangguan tertentu.
Kehidupan multikultural memang mengharuskan adanya tolak angsur-toleransi tanpa mengurangi makna agama dan tradisi masyarakat tertentu. Sikap seperti inilah yang dapat menciptakan harmoni dan kedamaian. Seperti diungkapkan Goh Chok Tong dalam kasus Singapura, kekacauan terjadi jika kelompok tertentu dengan melecehkan masyarakat atau pemeluk agama lain. Ia mengungkapkan kasus misionaris yang berusaha melakukan evangelisasi kepada anak-anak yang sedang bermain di lapangan terbuka; dan misionaris yang mengecilkan kepercayaan Budha dan Tao. Dan bagi Singapura, kasus-kasus semacam ini 'dengan mudah' dapat diselesaikan dengan adanya Akta Keamanan Dalam Negeri (ISA) yang bisa digunakan untuk menahan siapa saja yang dianggap menimbulkan kegaduhan.
Tetapi, banyak negara lain tidak punya ketentuan semacam itu. Dalam diskusi pleno dalam konferensi itu bersama Tariq Ramadhan, saya mengungkapkan pengalaman Indonesia yang telah mencabut UU Anti-Subversi pada zaman Presiden BJ Habibie. Jika UU ini masih ada, boleh jadi juga ia dapat digunakan menghadapi kasus konflik dan pelecehan agama. Dengan tidak adanya lagi UU tersebut-walaupun masih ada UU lain dan ketentuan yang pada dasarnya mengatur hal-hal semacam ini-kedamaian dan harmoni dalam masyarakat multikultural Indonesia tetap sangat bergantung pada kesiapan dan kesediaan masing-masing dan setiap kelompok agama untuk tidak melakukan usaha dan tindakan agresif dalam menyebarkan agama. Penggunaan cara-cara tidak fair-yang terjadi bukan hanya di Singapura tadi, tapi juga sering berlaku di Indonesia-hanya berujung pada disharmoni, ketegangan, dan konflik, yang jika tidak ditangani baik dapat menghancurkan kehidupan multikultural yang harmonis dan damai. (Sumber http://www.uinjkt.ac.id/)
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 22 Juli 2010
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta