Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Kamis, 27 Oktober 2011

STRUKTURALISME KONFLIK: Upaya Penyelesaian Konflik Agama di Masyarakat Pluralis


Oleh: Sulaiman Ibrahim

I. Pendahuluan

Kehidupan sosial-keagamaan era modern ini ditandai oleh semakin seringnya terjadi tantangan dan benturan kultural, sosial, etnis dan agama yang melibatkan masyarakat sipil. Hal ini memperkuat alasan betapa pentingnya upaya menambah, mengembangkan, dan memperkaya intensitas saling tukar-menukar pengetahuan yang dapat dipercaya sebagai penghubung tentang berbagai agama (aspek doktrin) dan kehidupan sosial-keagamaan (aspek empiris-historis).[1]
Dilihat dari jumlah penganutnya, keberadaan agama yang ada di suatu negara, terdapat agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya, dan ada pula agama lainnya yang dianut oleh minoritas penduduknya. Di Indonesia misalnya terdapat agama Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Agama Islam dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, diikuti oleh Kristen dan seterusnya. Memang, keberadaan agama yang berbeda-beda itu pada suatu negara terkadang ditandai oleh adanya hubungan yang mesra dan harmonis, dan kadang pula ditandai adanya hubungan yang penuh ketegangan, konflik dan permusuhan yang membawa pertumpahan darah. Agama Kristen misalnya telah berhubungan dengan agama Islam selama lebih dari empat belas abad lamanya. Rentang waktu begitu panjang dan terus menerus dalam hubungan itu telah menjadi saksi dari berbagai perubahan dan naik turunnya batas-batas kebudayaan dan toritorial antara keduanya.[2]
Kecendrungan kekerasan bernuansa agama juga konflik etnik yang semakin kental dibeberapa bagian wilayah Indonesia makin mengancam keberadaan masa depan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Kekerasan tersebut tentu saja tidak boleh berkembang dan dibiarkan. Ini tidak dapat dilepaskan dari upaya setiap elemen bangsa untuk mencari jalan keluar dari ancaman konflik agama dan etnik.
Kritik bahwa kekerasan berwajah agama itu tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan agama yang cenderung memperkeras identitas keagamaan secara eksklusif dan secara bersamaan menumpulkan kepekaan sesama umat yang berbeda keyakinan. Klaim kebenaran (truth claims)  suatu agama oleh pemeluknya acapkali dijadikan dasar untuk menegasikan keberadaan pemeluk agama lainnya. Dalam kehidupan masyarakat yang sangat majemuk baik dari aspek agama maupun etnik, tentu saja hal ini tidak menguntungkan bagi harapan terciptanya sebuah kehidupan umat beragama yang harmonis, toleran dan dialogis.[3]
Masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang majemuk, terlingkup di dalamnya berbagai komposisi sosial dan aliran. Heteregonitas masyarakat tersebut membuat sistem sosial selalu terus progresif dan berjalan dinamis. Akan tetapi, heterogenitas dalam masyarakat di sisi lain akan mengakibatkan rawannya terjadi konflik di antara sesama masyarakat. Terjadinya konflik lebih disebabkan oleh pengelolaan stratifikasi sosial dalam masyarakat tidak berfungsi. Berbagai pendekatan teori telah diupayakan oleh beberapa sosiolog untuk meneliti kestabilan terhadap tingkat kerawanan sosial tersebut, tetapi kebanyakan sosiolog tersebut mengacuhkan analisa konflik sosial. Kaum fungsional struktural misalnya, melihat bahwa konflik hanyalah manifes dari disfungsinya sebuah struktur dalam masyarakat dan melihat masyarakat hanya sebagai sebuah struktur yang paten.
Sebagai antitesa dari teori tersebut, dalam melihat struktur masyarakat maka muncullah teori baru, yakni strukturalisme konflik. Teori ini mengemukakan kondisi-kondisi di mana secara positif, konflik membantu mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya terbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan para anggota kelompok lewat pengukuhan kembali identitas kelompok.
Di dalam teori konflik dikenal adanya ukuran kepentingan sebagai unsur dasar dari kehidupan sosial, bukan berdasarkan nilai. Dengan demikian, kehidupan sosial melibatkan dorongan atau terjadinya dinamisasi bahkan dengan berbagai gesekan-gesekan sosial bila diperlukan. Dari gesekan tersebut sebagian yang bertentangan dengan sebuah gesekan atau yang pro pada reaksi aksi mengambil jalur oposisi. Dari gerakan ini dapat melahirkan konflik struktural. Dari konflik ini memicu lahirnya kecenderungan kehidupan sosial yang selalu mementingkan kelompok. Akhirnya, terjadi perbedaan yang menonjol yang melibatkan kekuasaan, menyebabkan sistem sosial terintegrasi dan ditimpa oleh berbagai bentuk kontradiksi. Kemudian sistem sosial cenderung selalu berubah. Dengan argumen seperti ini, maka strukturalisme konflik dapat dipahami sebagai ilmu yang berusaha memberikan pengertian, gambaran tentang aktivitas sosial, bahkan aksi-aksinya menurut lapisan atau susunan masyarakatnya yang berkaitan dengan konflik sosial di dalam suatu kelompok masyarakat, baik secara vertikal maupun horisontal.


[1]Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), h. 145.
[2]Hal ini juga ditandai dengan periode panjang konfrontasi sekaligus juga kerja sama yang produktif. Tetapi bagaimanapun juga, pola hubungan yang paling dominan antara kedua tradisi keimanan ini yaitu permusuhan, kebencian, dan kecurigaan, ketimbang persahabatan dan saling memahami. Lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), cet. III, h.  95.
[3]Lihat Samsuri, "Paradigma Pendidikan Islam dalam Masyarakat Majemuk" dalam Lektur, Vol. X, No. 2, 2004, h. 225.

Selasa, 25 Oktober 2011

Hikmah Memaknai Bencana

Oleh: KH Said Aqil Siradj

Bencana datangnya tak mudah diterka. Sedangkan, berbagai bencana dahsyat yang terjadi selalu diwarnai oleh beragam penjelasan, sikap, dan pola tindakan. Bencana seolah tak mampu menghadirkan keimanan baru yang semakin memusatkan kepercayaan pada sumber utama kehidupan yakni Allah SWT. Sebabnya, masih  sedemikian menancapnya kepercayaan mitologis yang bernuansa takhayul dan khurafat.

Jarak mitos dan nalar rasional pun kian merenggang. Fenomena alam masih lebih banyak dikonstruksi oleh mitos ketimbang ilmu pengetahuan. Demikian dahsyat dan kompleksnya perilaku alam, ilmu pengetahuan, dan teknologi pun masih belum sepenuhnya mampu mencandra geliat alam semesta dengan validitas yang tinggi. Di sela-sela "kenisbian" ini, lalu mitologi pun kian mekar ketimbang sains modern.

Bagaimana agama memaknai bencana? Dalam panduan ajaran Islam, bencana adalah "musibah", bukan petaka atau "azab". Kendati, boleh jadi terdapat dimensi azab Tuhan di dalamnya terutama dalam menghukum perilaku manusia yang merusak (fasad) di alam semesta. Suatu musibah, tentu selalu memerlukan kepasrahan iman dalam sabar dan tawakal, juga hikmah bagi kehidupan. Para korban tak boleh berlama-lama dalam duka dan nestapa, karena jalan hidup masih terbuka dan dibukakan Tuhan. Bencana bukan akhir segala-galanya.

Musibah dalam khazanah Islam adalah apa yang telah menimpa (ashaba) secara tidak menyenangkan, dari yang berkadar ringan hingga berat. Sebab, musibah bisa beragam. Karena ulah manusia sendiri, baik diri sendiri maupun orang lain, yang menyebabkan penderitaan hidup. Atau, karena ulah hukum alam sebagaimana bencana gempa, banjir, tsunami, dan gunung meletus. Kita ingat,  hukuman Tuhan seperti yang menimpa kaum Madyan, Saba, dan Firaun, adalah ulah manusia yang berbuat "fasad" (kerusakan). 

Bagi setiap orang beriman, musibah apa pun sebab dan jenisnya, betapapun menyakitkan dan menyengsarakan, akhirnya harus diterima sebagai kenyataan "qadha dan taqdir" yang memerlukan pengimanan. Itulah, makna dari rukun iman yang keenam, iman kepada ketentuan Allah yang menimpa diri kita. Dengan naik (mi'raj) ke langit iman, maka siapa pun yang mengalami musibah, seberat apa pun, akhirnya akan sampai ke titik keseimbangan. Titik harmoni dalam suasana jiwa yang thuma'ninah dan mutmainah.

Kosmologi "musibah" dalam mengonstruksi bencana, juga memerlukan ikhtiar-ikhtiar dan pertobatan baru bagi siapa pun yang menjalani kehidupan selama ini. Nabi Yusuf, Ibrahim, Ismail, dan Nabi Muhammad SAW memberi teladan bagaimana menghadapi dan mengubah musibah menjadi suatu energi "kesabaran yang indah" (QS al-Ma'rij: 5; Yusuf: 18, 82), juga menghasilkan sikap "syukur", sebagaimana layaknya orang-orang yang tercerahkan dan mencerahkan kehidupan dalam sosok "ulul azmi" (QS al-Ahqaf: 35).

Musibah bahkan diubah menjadi kepasrahan bertauhid dengan simbol inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, sebagaimana menjadi pakaian orang-orang yang sabar yang bermuara pada raihan berkah dan rahmat Allah (QS al-Baqarah: 155-157).

(Sumber; Republika)

Sabtu, 15 Oktober 2011

ISLAM DAN POLITIK DI MALAYSIA: Sejarah Sosial dan Pertumbuhan Institusi Islam Malaysia

Oleh: Sulaiman Ibrahim
Add caption
Wacana kontemporer mengenai peran politik Islam dan aplikasinya sangat dipengaruhi oleh Barat, yang secara umum berupa reaksi positif dan negatif terhadap cara hidup. Saat ini umat Islam dihadapkan pada keunggulan teknologi, militer, ekonomi dan penaruh kebudayaan Barat yang deras, sehingga membuat umat Islam merasa dipaksa untuk memfokuskan diri pada tantangan modernitas dalam berbagai dimensinya. Sebagai akibatnya, kebutuhan untuk menilik dan mendifinisi ulang posisi Islam telah menjadi sesuatu yang mendesak. Dan perbincangan berkaitaan dengan masalah itu telah menimbulkan dua arus utama pemikiran politik di antara para ulama ahli fiqih dari kalangan intelektual.[1]
Tantangan terbesar yang dihadapi banyak masyarakat muslim dewasa ini adalah tantangan perubahan. Bagaimana seseorang mendamaikan ajaran-ajaran keyakinannya dengan modernitas, pluralitas, perubahan zaman dan lingkungan.
Seringkali Islam dianggap sebagai cara hidup dan sumber jalan keluar dari segala penyakit dan ketidakadilan yang menimpa masyarakat. Tampaknya, orang-orang yang berpaling kembali kepada Islam itu tidak becus mengatasi tantangan besar yang dimunculkan dan tidak berdaya untuk membuktikan bahwa mereka mampu berkuasa dan membawa perubahan, menurut jalan Islam.[2]
Agenda Islam di banyak negara muslim juga dinominasi oleh wacana kelompok-kelompok Islam yang menuntut pendirian negara Islam dan penerapan syari’ah. Dalam pandangan dunia kelompok ini terdapat sedikit ruang bagi pendapat-pendapat yang berbeda, bahkan ruang itu juga begitu sempit untuk menampung kelompok-kelompok Islam progresif yang ingin melakukan perubahan dari dalam tubuh agama itu sendiri.[3]
            Pencarian konsep tentang negara  oleh para ulama politik mengandung dua maksud. Pertama, untuk menemukan  idealitas Islam tentang negara (menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu mencoba menjawab pertanyaan, ”bagaimana bentuk negara dalam Islam”. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa  Islam memiliki  Konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara (menekankan aspek praksis dan substansial), yakni mencoba menjawab “Bagaimana Isi Negara Menurut Islam”. Pendekatan ini didasarkan  pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu  tentang negara, tetapi hanya menawarkan prinsif-prinsif dasar berupa etika dan moral. Bentuk negara yang  ada pada suatu masyarakat Muslim dapat diterima  sejauh tidak menyimpang dari nilai-nilai dasar tadi.
            Kendati kedua maksud tersebut berbeda dalam pendekatan, namun keduanya mempunyai  tujuan yang sama, yakni menemukan  rekonsiliasi  antara idealitas agama dan realitas politik. Realitas antara cita-cita agama dan realitas politik menjadi tugas utama  pemikiran politik Islam. Hal ini merupakan tuntutan, karena hubungan antara agama dan politik pada giliran berikutnya  antara agama dan negara dalam kenyataan sejarah sering menampilkan fenomena kesenjangan dan pertentangan. Fenomena ini bersumber pada dua sebab yaitu (a). Adanya perbedaan konseptual antara “ agama” dan “Politik” yang menimbulkan kesukaran pemanduan dalam praktek; (b). Adanya penyimpangan praktek politik dari etika dan moralitas agama. Solusi yang ditawarkan para ulama politik, baik pada masa klasik maupun masa modern terhadap kesenjangan hubungan agama dan negara tersebut sangat beragam, sejalan dengan keragaman setting sosio-kultural dan politik yang mereka hadapi. Karenanya, konsepsi pemikir Islam tentang negara tidak luput dari dimensi kultural dan dimensi politik.
Malaka/Malaysia adalah salah satu wilayah negara yang memegang peranan strategis dalam pengembangan Islam di Asia Tenggara. Munculnya Islam di Malaysia berkat atas jasa para pedagang yang mempunyai semangat yang tinggi dalam menyiarkan Islam dari negeri Arab melalui Malaka.[4]
Secara historis, Islam telah menjadi bagian dari negara-negara (pality) tradisional Melayu. Sejak zaman kesultanan Malaka peran Islam sejak itu sudah menjadi hal yang tidak bisa diganggu gugat, secara politik peran Islam bahkan lebih penting lagi Islam telah menjadi faktor penyatu bagi orang-orang Melayu. Evolusi politik negara-negara Melayu tradisional tergantung pada Islam sebagai wahana penting bagi perubahan sosial dan stabilitas.[5] Hanya sedikit negeri Muslim di dunia telah melangkah begitu jauh seperti Malaysia dalam upayanya memanfaatkan kekuasaan negara untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan al-Qur'an dan Hadis dalam kehidupan kaum muslim.
Malaysia menyuguhkan suau pengalaman islami yang unik. Malaysia adalah sebuah masyarakat multi etnik dan multi agama tempat bangsa Melayu merupakan 45 persen dari seluruh penduduknya, namun mempeunyai kekuatan politik dan budaya yang dominan. Sisanya terdiri dari berbagai kelompok etnik dan keagamaan, dan yang terbesar adalah etnik Cina (35 persen) dan India (10 persen). Islam dan identitas Nasional serta politik Melayu telah lama  saling berlindan, seperti tercermin dalam keyakinan umum bahwa orang Melayu mestilah beragama Islam.[6]
Suatu ciri khas dalam perkembangan politik Malaysia adalah peran Islam dalam politik Melayu. Malaysia erupakan federasi negara-negara bagian, sebuah pemerintahan yang secara resmi bersifat pluralistis dengan Islam sebagai agama yang resmi, dan Islam serta kaum muslim menikmati kedudukan istimewa. Meskipun partisipasi partai-partai Islam dalam pemilihan umum dan kiprah mereka sebagai oposisi yang sah merupakan fenomena yang relatif baru dikebanyakan di negeri Muslim. Selama bertahun-tahun partai-partai politik itu telah bersaing dengan partai pemerintah UMNO, juga bersaing satu sama lain dalam proses politik. Kebalikan dengan beberapa sistem poltik di Timur Tengah yang tidak mengizinkan partai-partai politik Islam dan beberapa gerakan Islam kemudian melakukan perlawanan dengan tindak kekerasan. Dalam sistem Malaysia terdapat sebuah partai  penguasa yang dominan yang mengakui keberadaan dan partisipasi politik dan kelompok-kelompok Islam yang berperan sebagai pihak oposisi nonkekerasan. Pengakuan dan integrasi kelompok-kelompok kebangkitan Islam dalam proses demokrasi yang tengah berkembang ini terlihat tidak hanya melalui kemampuan mereka untuk beroperasi di dalam sistem, tetapi juga lewat manuver seorang aktivis Islam yang kharismatik, yaitu Anwar Ibrahim, dari posisinya sebagai pihak oposisi hingga menjadi pihak pemerintah pada tahun 1980-an, dan bahkan pada tahun 1994 dia telah menjadi menteri keuangan dan deputi perdana menteri.[7]
Pertumbuhan dan perkembangan Islam ditunjang dengan munculnya berbagai institusi sosial Islam yang berperan aktif dalam menyebarluaskan kesadaran beragama di Malaysia.[8] UMNO (United Malays Nasional Organization) sekalipun partai ini berbasis nasional namun perhatiannya terhadap Islam sangat besar, apalagi partai yang berbasiskan Islam seperti PAS (Partai Islam Se-Malaysia), ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), PKPIM (Perhimpunan Kebangsaan Pelajar Islam Malaysia) dan berbagai organisasi Islam yang muncul pada tahun 1980-an, misalnya berbagai Perguruan Tinggi di Malaysia yang sangat konsisten dalam ajaran Islam yang berpengaruh besar di kalangan generasi muda sebagai pertanda kebangkitan Islam di Malaysia, yang dapat memberikan pengaruh terhadap pranata-pranata sosial dalam masyarakat.


[1] Ahmed Vaezi, Agama Politik; Nalar politik Islam, terj dari Syi’ah Political Thought oleh Ali Syahab, (Jakarta: Citra 2006), h. 1. Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai Paradigma Hubungan dan negara, Makna Politik Islam adalah sebagai berikut: Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia.dengan demikian maka dapat kita katakan bahwa makna Politik Islam ialah aktivitas Politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok.  Lihat Salim Ali al-Bahnasawi,  Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1999),  Cet. I. h. 32

[2]Ulil Abshar Abdallah (ed.) Islam dan Barat, Demokrasi dalam Masyarakat Islam, dalam Zainah Anwar “Berebut Paling Saleh; Islam dan Politik di Malaysia”, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002), h. 80
[3]Hal ini dilakukan setelah melalui penafsiran kembali dan progresif terhadap al-Qur’an, penilaian kembali teks-teks eksigesis dan hukum dari para sarjana muslim klasik, dan pemikiran ulang tentang bagaimana prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan kebijaksanaan dalam Islam dapat diperapkan dalam masyarakat kontemporer. Lihat Ulil Abshar Abdallah (ed.) Islam dan Barat, Demokrasi dalam Masyarakat Islam, h. 80
[4]Marshall GS. Hodson, The Venturl of Islam, (Chicagho: University of Chicago Press, 1997), vol II, h. 548.
[5]Omar Faroek, “Pemikiran Sosial dan Kebangkitan Islam di Malaysia” dalam Syaiful Manani Islam di Asia Tenggara (Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1993), h. 281-282. Kalau kita surut memperhatikan sumbangan-sumbangan dan artikukasi para penulis Islam pada teori Islam, kebanyakan karya kontemporer  yang ditulis oleh para teoritisi muslim berbentuk “Doktrin Politik  bukannya teori politik atau falsafah politik, sehingga ada kesenjangan kelompok-kelompok Islam yang berkembang  saat ini ingin mengarahkan wacana pemahaman ke-Islamannya  kepada pendekatan  doktrin politik Islam  dengan implikasi realitas adalah lahirnya Islam radikal terus menerus dalam  fragmentasi politk aktual/Islam radikal. Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori  Politik Islam State diterjemahkan dari, State Politic, and Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 15


[6] John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, Problem dan Prospek, diterjemahkan dari Islam and Democracy oleh Rahmani Astuti, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), cet I, h. 165
[7]John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, Problem dan Prospek, h. 166
[8] Selanjutnya lihat Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia, Sejarah dan Aliran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 274-278