Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Rabu, 28 Desember 2011

Masa Depan Islam di Eropa

By Khalil El-Anani

Obsesi Barat saat ini terhadap niqab, atau cadar-wajah penuh, sering tampak sebagai bagian dari rencana bawah sadar mereka untuk membatasi apa pun yang mungkin menyangkut simbol Arab dan Islam. Niqab bukanlah pakaian yang khas Islam semata, dan ini adalah hal saya yakin para politisi Barat tahu. Namun hal ini menjadi target kebencian karena dianggap sebagai simbol budaya yang asing, dan memang berbahaya, bagi masyarakat Eropa.

www.aqoul.com

Kadang-kadang saya bertanya-tanya, bagaimana kalau yang memakai niqab itu itu adalah perempuan India, atau Sikh dan Budha dalam hal ini? Apakah parlemen Eropa masih akan menghabiskan seluruh sesi membahas niqab itu?

Perdebatan teologi dalam hal niqab, kemarahan Barat terhadap niqab tampaknya menjadi produk sampingan dari Islamophobia, sebuah fenomena yang mengamuk seperti api di Eropa, kadang-kadang menyatakan dirinya sebagai masjid-phobia dan di kali lain sebagai menara-phobia. Jika trend ini berlanjut, akan datang hari ketika parlemen Eropa melarang orang memakai jenggot panjang dan melarang mencukur kumis mereka. Saya ingin tahu jenis fobia apa lagi yang akan muncul!

Ada krisis nyata dalam kesadaran terdalam Barat. Ketika sesuatu berkaitan dengan Islam, Eropa tampaknya melupakan masa lalu kebebasan dan kesetaraan, sesuatu yang sangat penting dari apa yang mereka klaim akan pertahankan hari ini. Kerusakan apa telah terjadi pada 65 juta orang di Perancis, 22 juta orang di Australia, dan 10 orang juta di Belgia, dan jumlah yang sama di Belanda dari ratusan, atau bahkan ribuan perempuan berpakaian niqab? Apakah niqab adalah ekspresi iman atau kebiasaan, saya tidak melihat ada kerusakan yang patut disalahkan.

Sementara itu, kaum intelektual Barat tampak diam tentang masalah tersebut. Di tengah semua pembelaan keras mereka terhadap hak-hak homoseksual dan perkawinan gay serta lesbian, kaum intelektual Eropa tetap bersimpati kepada siapa saja yang mengkritik Islam dan umat Islam. Kritik Islam dilihat sebagai bagian dari kebebasan berekspresi Eropa.

Parlemen Prancis telah memutuskan untuk melarang niqab, dan menyebutnya sebagai ancaman bagi sekularisme negara Perancis. Namun sekularisme tidak ada hubungannya dengan pemikiran seperti ini. Larangan niqab - dan ada larangan sebelumnya pada jilbab - tidak ada hubungannya dengan sekularisme. Sebagai sebuah doktrin, sekularisme seharusnya untuk membela hak-hak setiap orang, terutama minoritas. Sekularisme seharusnya melindungi hak-hak semua untuk kebebasan beragama dan identitas. Ini seharusnya pernyataan pluralisme dan toleransi beragama.

Saya punya tiga kata yang saya ingin tambahkan pada motto terkenal negara Perancis: kebebasan, kesetaraan, dan kebebasan. Saya ingin menambahkan frase, "hanya untuk non-Muslim".

Larangan niqab adalah skandal moral serta menghina tradisi Barat. Untuk satu hal, kaum anti-niqab berasumsi bahwa setiap wanita yang mengenakan niqab (dan mungkin setiap pria yang mengenakan jubah dan jenggot) adalah sebuah bom waktu yang harus dijinakkan. Kaum anti-niqab tidak membedakan antara ekstremis dan moderat. Kefanatikan seperti mereka ini yang menginspirasi pembunuhan terhadap seorang wanita Mesir yang tidak bersalah, Marwa El-Sherbini, di Jerman setahun yang lalu.

Tidak ada bukti nyata dari sebuah hubungan antara niqab dan teror. Semua operasi teroris yang terjadi di Eropa - dari London hingga Madrid – dilakukan oleh orang-orang memamerkan wajah mereka. Serangan-serangan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan bertopeng di dunia Arab dan Islam jarang terjadi dibandingkan dengan yang dilakukan oleh individu menunjukkan wajah mereka. Teroris ingin dilihat dan diakui. Itulah cara mereka.

Ada yang ironis bahwa karya mengagumkan dari otak intelektual dan filosofis besar dari Pencerahan Eropa, orang-orang seperti John Locke dan Montesquieu serta Kant, sedang dibolak-balik oleh penerus-penerus mereka. Saya menemukan hal yang mengerikan bahwa dalam negara multi-etnis seperti Britania, sebuah negara yang terkenal atas pluralisme agama dan toleransi manusia, lebih dari 30 kuburan Muslim di Leeds telah dinodai. Toko yang dimiliki oleh warga negara Inggris Muslim diserang di Birmingham bulan lalu.

Sama mengganggunya adalah kenyataan bahwa semangat agama dan obsesi yang berhubungan dengan identitas menyebar di masyarakat Muslim di Eropa. Minoritas Muslim di Eropa tampaknya berpikir bahwa masa depan Islam bergantung pada hal-hal luar seperti memakai niqab itu, menumbuhkan jenggot, atau mendirikan menara untuk tempat ibadah. Beberapa anggota masyarakat Islam, terutama yang berasal dari Asia, berurusan dengan masyarakat Barat seolah-olah mereka masih sedang berada di Peshawar atau Islamabad. Tindakan mereka hanya bahan yang akan membakar Islamophobia di ujung berbeda dari spektrum yang sama.

Islam mungkin merupakan agama yang paling cepat berkembang di Eropa, namun kekuatan Islam sebenarnya tidak dalam penampilan luar, tapi di dalam pesan spiritualnya, pesan yang menarik yang ingin membebaskan diri dari materialisme.

Kecenderungan masyarakat Muslim di Eropa untuk menempatkan "secara universal" koneksi di atas kesetiaan lokal mereka adalah seusuatu berbahaya. Ada kecenderungan bagi Muslim Eropa untuk lebih khawatir tentang Palestina, Irak dan Afghanistan daripada tentang tugas-tugas yang lebih mendesak seperti hak-hak perempuan, ikatan komunal dan afiliasi politik.Mereka mengacaukan hubungan antara negara seseorang dengan kewarganegaraannya. Dalam pikiran mereka, negara mereka bukan di mana mereka tinggal, seperti di Britania Raya atau Perancis, tapi dari mana mereka berasal. Tapi ini tidak masuk akal, karena bahwa di Eropa mereka meminta hak-hak mereka sebagai warga negara. Di Eropa mereka menuntut kesetaraan dan kebebasan beragama.

Skizofrenia Muslim Eropa dipicu oleh loyalitas yang salah untuk Salafi, atau kecenderungan fundamentalis. Seperti banyak yang tahu, gerakan Salafi menentang integrasi dan enggan untuk hidup berdampingan secara konstruktif. Kedua gaya Salafi itu adalah bahan bakar bagi Islamophobia saat ini dan berkembang di atasnya.

Beberapa Muslim yang tinggal di Eropa telah berubah menjadi sebuah rintangan bagi Islam. Beberapa di antara mereka aktif menghalangi penyebaran pesan toleransi. Beberapa di antara mereka menghalangi non-Muslim untuk memahami nilai-nilai Islam, karena ketidaktahuan mereka dan obsesi mereka terhadap penampilan.

Ini adalah pendapat saya bahwa konsep agama yang salah sedang disebarkan di kalangan minoritas Muslim di Eropa. Konsep-konsep ini terikat untuk menghambat integrasi mereka ke masyarakat baru mereka. Beberapa hari lalu, saya mendengar bahwa beberapa pria Muslim di London dicap sebagai haram, atau agama dilarang, partisipasi Muslim Inggris dalam pemilihan umum bulan lalu. Ini gila. Bahkan lebih buruk lagi, ucapan-ucapan fanatik dibuat oleh Inggris yang baru masuk Islam baru-baru ini.

Orang-orang yang baru masuk Islam cenderung kepada Salafi yang dilihat sebagai yang murni dan karena itu sempurna. Dengan demikian, mereka berpaling dari pandangan pendapat toleran dan progresif yang diperlukan bagi koeksistensi. Pandangan sempit Islam seperti ini mementingkan penampilan, seperti pakaian dan menara, dan penafsiran teks sastra religius. Hal ini juga cenderung membingungkan kebebasan beribadah dengan menghormati ruang publik. Penting bagi Muslim Eropa untuk menghentikan melihat warisan budaya dari negara-negara Eropa sebagai ancaman terhadap kebebasan beragama mereka.

Negara-negara Barat mempertahankan dan memungkinkan praktek kebebasan beragama tanpa hambatan. Tapi mereka juga ingin mempertahankan warisan budaya mereka dan melindunginya dari ancaman yang dirasakan, terutama ketika ancaman ini - seperti niqab itu - adalah hal pertentangan dalam dunia Islam, bukan hanya di Eropa.

Interpretasi Salafi Islam mungkin tidak dominan di kalangan Muslim Eropa, tapi itu yang paling vokal di ruang publik Eropa. Karena itu menciptakan dinding penghalang antara Muslim di Eropa dan non-Muslim. Hal ini juga yang mengilhami beberapa undang-undang Eropa yang paling rasis. Arus Salafi memberikan kelompok sayap kanan Eropa alasan untuk mengklaim bahwa pengambilalihan Muslim sudah dekat kecuali tindakan segera diambil.

Sebuah polarisasi identitas berlangsung dalam dua kelompok, masing-masing terobsesi dengan yang lain, dan masing-masing meyakini keunggulan sendiri. Jika hal ini terus terjadi, dekade berikutnya hanya akan menjadi seburuk yang terakhir.

(Penulis adalah sarjana senior di Institute for Middle East and Islamic Studies, Durham University, Inggris.)

Sumber: http://weekly.ahram.org.eg/2010/1003/op2.htm
http://nuansaislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=505%3Amasa-depan-islam-di-eropa&catid=58%3Adunia-islam&Itemid=182

Selasa, 13 Desember 2011

PANDANGAN ETIKA ISLAM TENTANG MORALITAS DURKHEIM

Manusia pada eksistensinya di dunia, sebagai khalifah untuk menjaga, memelihara dan mengelola alam beserta isinya, utamanya manusia dengan manusia lainnya. Hal inilah manusia diberikan akal budi untuk berpikir mencari kepuasan dari perbuatannya atau mencari mana yang baik dan buruk dan sekaligus menunjukkan bahwa manusia sangat erat hubungannya dengan moralitas.
Dari awal sampai sekarang dalam perkembangan ke-hidupan bumi, manusia telah banyak mengalami per-kembangan, evolusi pemikiran dan perubahan tatanan  kehidupan, sehingga timbul berbagai pergolakan baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, utamanya integrasi manusia dengan sesamanya.  Hal ini perlu dicermati dan dikaji, persoalan yang satu (individu) membantai yang lainnya, atau sebaliknya sekelompok gerakan (kolektif) membantai kelompok yang lainnya, hal ini menjadi pergolakan egoistis, yang tidak melihat kebenaran, pentingnya solidaritas dalam kehidupan, keselarasan diantara keduanya termasuk keselarasan  seluruh umat manusia.
Pada prinsipnya, manusia dalam perbuatan dan kehendaknya mengarah pada suatu titik (tujuan) yang tinggi (esensi), Aristoteles menandaskan bahwa perbuatan manusia bagaimanapun mengejar sesuatu yang baik. Baik adalah sesuatu yang menjadi arah semua hal, sesuatu yang dikejar atau dituju, dan tujuan adalah sesuatu yang untuknya sesuatu itu dikerjakan.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa ketergantungan dengan orang lain, hidup berbagai rahasia yang banyak ragam dan misteri, maka manusia perlu persatuan dan saling tolong menolong. Gabriel Marcel (1889-1973), menjelaskan dan keterikatan antara sesama manusia adalah:
“Aku hanya mungkin mencapai kesempurnaan, kalau ia mengarahkan dirinya kepada orang lain, sehingga tanpa menghayati itu hidupnya mustahil memadai bagi panggilannya yang paling inti. Aku dan Engkau saling menghidupi, sehingga pada hakikatnya mereka tidak dapat dicairkan satu dari yang lain. Mereka dapat memberi wujud kongkrit kepada saling terjalinan mereka dan kesetiaan dan cinta. Menurut Marcel, kesatuan antara Aku dan Engkau dapat menghasilkan kepenuhan hidup sebagai manusia yang merupakan penyinaran intinya yang paling dalam, yang pada gilirannya memantulkan keterjalinan Aku dan Engkau yaitu Allah ”.[1]
 Manusia (individual) hidup berkumpul dalam lingkungan masyarakat (kolektif), yang dalam sejarah dikatakan bahwa mulai dari zaman Yunani Kuno (dimana masa ini persoalan kemasyarakatan sudah menjadi perhatian, namun belum menjadi pusat perhatian sepenuhnya), sampai sekarang abad moderen, persoalan kemasyarakatan menjadi ciri khas para filusuf, utamanya persoalan moralitas yang menjadi bagian dari persoalan etika sebagai bagian yang sangat penting, mengingat kehidupan masyarakat yang serba pluralistik, membutuhkan perhatian yang serius dan perlu penyelesaian.
Emile Durkheim merupakan salah seorang dari tiga tokoh yang dikenal sebagai pendiri dan peletak dasar sosiologi bersama Karl Marx dan Max Weber dalam berbagai penelitian aspek-aspek sosial. Namun tidak perlu disangkal, dalam konseptual pemikirannya tidak banyak persamaan, bahkan Durkheim banyak menentang sosialisme yang “Revolusioner” dari Marx
Karl Marx menempatkan kerja dalam konteks keseluruhan hidup manusia, sehingga ia berpendapat bahwa pada hakikatnya manusia adalah “pekerja”, mengingat bahwa pada dasarnya segala-galanya berakar pada materi, jadi kerja tidak hanya merupakan inti dari individual, tetapi menerangkan dia dengan kolektifitas besar yaitu umat manusia beserta sejarahnya. Atau dengan kata lain, Marx cenderung melihat masyarakat sebagai wahana dan sekaligus mekanisme penyangga dari berbagai konflik.
Durkheim sangsi akan teori Marx di atas (revolusioner) sebagai cara pemecahan yang tepat dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang bergejolak. Menurutnya masyarakat memerlukan peneguhan dasar “moralitas” yang baru,[2] Konsensus yang dimaksud adalah “persepakatan” atau kesepakatan kehendak antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
Demikian halnya dalam persoalan “perilaku sosial” Max Weber memandang lain dari Durkheim, bagi Weber adalah:

“Prilaku sosial bukanlah struktur-struktur sosial yang pertama-tama menghubungkan orang atau menentukan isi corak kelakuan mereka, melainkan arti-arti yang dikenakan orang-orang kepada kelakuan mereka.”[3]
Durkheim dengan sosialismenya dalam sosiologi moderen, menjelaskan pola-pola interaksi sosial antara seseorang dengan yang lain, melainkan berdasar pada tugas-tugas, kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang dikenakan oleh kolektifitas yang berlaku pada anggotanya (individu).
Dari berbagai paparan singkat di atas, nampak kepada kita, akan perjuangan Durkheim dalam merintis moralitas, khususnya di Perancis sebagai bagian Eropa yang mengalami situasi transpormasi sosial yang juga dialaminya pada masa itu.
Dalam konsep pemikiran Durkheim ada hal yang unik untuk dicermati, persoalan-persoalan ketimpangan sosial memerlukan moralitas, yang arah pemikirannya yaitu dengan jalan Positivisme yang murni, Ilmiah Rasionalis dan Sekuler, sehingga memandang tentang “Ilmu Moralitas” sebagai:
“Ketentuan moral dan hukum, pada dasarnya me-mantulkan keperluan sosial yang hanya bisa di-masukkan oleh masyarakat itu sendiri-sesuatu yang berdasarkan pada pandangan “kolektif”, maka bukanlah tugas kita untuk mendapatkan (ketentuan) etik dari ilmu pengetahuan, melainkan membentuk suatu ilmu tentang etika”. 
Demikian pula moralitas baginya, bukanlah saja sesuatu yang deduktif, melainkan sesuatu yang berangkat dari kenyataan empiris dan ilmiah serta bercorak pasca pengalaman. 
Dengan gagasan filosofisnya ini, Ia nampak sebagai seorang yang konservatif, yang ingin ketentuan sosial berdasarkan ketentuan kolektif (kesadaran), dan tidak ingin kembali pada ketentuan sosial yan lama dan juga sebagai orang yang progresif yang mencari dasar baru dari solidaritas sosial.
Persoalan moral dalam Islam, yang lebih dikenal dengan istilah “akhlak”, dalam hal ini menganut suatu tata aturan (ajaran moral) tersendiri (moral keagamaan Islam), yang dengan pasti tidak akan lepas dari pedoman ajarannya yaitu Alqur’an dan Hadis, karena diyakini bahwa Alqur’an diturunkan kepada Nabi pilihan Tuhan Yang Maha Muliah, untuk memberikan petunjuk kehidupan bumi, termasuk persoalan prilaku kehidupan manusia (sosial), sebagaimana dalam sabdanya:
            “Telah sampai kepadaku kabar; “Bahwa sesungguhnya Rasullah saw. menyampaikan: Bahwa diutusnya beliau untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Secara teoritis dan konseptual, umat Islam yakin akan eksistensinya itu, sebagai rambu, jalur yang menuju pada hakikat manusia, yang namun tidak perlu dipungkiri dalam ajaran ini, wahyu, akaliah dan kekuatannya tetap diakui eksisitensinya serta kapasitasnya dalam melihat fakta realitas yang bergejolak sebagai fenomena kehidupan yang dinamis dialam semesta.                                                   



  [1] P. Leenhouwers, Men Zijn Een Opgave! Op Weg Mec Zichzelf, diterjemahkan oleh K,J. Veeger dengan judul “Manusia dalam lingkungannya; Refleksi Filsafat tentang manusia (Jakarata : Gramedia,1988), h. i
[2]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Edisi I (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), h. 7
[3]K.J. Veeger, Realitas Soaial; Refleksi Filsafat Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sosiologi (Cet. III; Jakarta: Gramedia, 1990), h. 175


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Selasa, 29 November 2011

Belajar Kesederhanaan dari Kiai Rasimin

Oleh: Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA

Kiai Ahmad Muhammad Rasimin tinggal di Kampung Jaha, empat kilometer selatan Anyer. Beliau memimpin pesantren salaf. Kehidupannya sangat sederhana. Rumahnya tidak lebih indah dari bilik-bilik para santri. Tak terlihat ada kendaraan bermotor di rumahnya, apalagi mobil.

Para santrinya tinggal di gubuk-gubuk bambu. Antara santri laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Para santri laki-laki mandi di kolam yang dialiri oleh sungai tadi, sedangkan para santri perempuan mandi di kamar mandi milik masjid kampung.

Beberapa tahun silam, saya diminta berkhotbah di masjid kampung itu. Setelah itu, kami makan siang di rumah Kiai Rasimin. Sebelum berkhotbah, saya diminta untuk berceramah selama 20 menit dengan menggunakan pengeras suara. Kemudian, saat berkhotbah, saya diminta untuk membaca teks khotbah yang hanya berbahasa Arab dan pengeras suara dimatikan. Teks khotbah kami baca kurang lebih lima menit, sesudah itu kami melaksanakan shalat Jumat.

Kiai Rasimin sangat tawadu. Suatu hari, beliau diminta oleh wali kota Cilegon untuk menunaikan ibadah haji karena belum berhaji. Waktu itu, biaya untuk beribadah haji sebesar tujuh juta rupiah. Namun, tawaran itu ditolak dengan alasan beliau belum wajib berhaji karena belum mampu.

Beliau memberikan solusi agar uang untuk berhaji itu digunakan untuk membangun jembatan yang menghubungkan antara kampung bagian timur dan barat. Sehingga, manfaatnya lebih besar dan pahalanya akan terus melimpah karena ekonomi kampung itu menjadi semarak. Sedangkan jika berhaji untuk beliau, pahalanya kecil. Saran itu pun diterima oleh wali kota Cilegon.

Ketika berkunjung ke Kampung Jaha beberapa waktu lalu, jembatan itu sudah lama dibangun. Dan, Kiai Rasimin masih tetap belum berhaji. Kami sungguh sangat mengagumi sikap dan perilaku Kiai Rasimin. Beliau lebih mendahulukan kepentingan umat daripada kepentingannya sendiri. Barangkali perilaku di negeri kita yang seperti Kiai Rasimin ini jarang dijumpai. Kebanyakan oknumoknum kiai di Indonesia justru bersikap sebaliknya, mereka merengekrengek kepada penguasa untuk dapat diberangkatkan ke Makkah.

Beberapa tahun lalu, saat diselenggarakannya Seminar Zakat di Padang, Sekretaris Dewan Fatwa Suriah, Prof Dr Ala al-Din al-Za'tari, menceritakan kehidupan seorang syekh. Suatu hari, syekh ini kedatangan tamu yang bermaksud meminta restu untuk berhaji yang kedua kali. Syekh memberikan saran agar biaya berhaji kedua itu digunakan untuk membantu anak yatim. Sang tamu pun menuruti nasihatnya.

Tahun berikutnya, sang tamu datang lagi, dan syekh memberikan saran agar keinginannya untuk berhaji yang kedua diberikan untuk membantu janda-janda miskin di kampungnya. Ia pun kembali ke kampungnya dan menyerahkan uangnya untuk janda-janda miskin, sebagaimana saran syekh.

Setahun kemudian, sang tamu datang lagi dan menyampaikan keinginan yang sama untuk berhaji. Lagi-lagi, syekh ini memberikan saran agar uangnya diberikan kepada orang fakir yang tak punya rumah di kampungnya. Karena menurut syekh, membantu orang yang membutuhkan (miskin), jauh lebih bermanfaat dibandingkan berhaji berulang-ulang.
Tulisan ini dimuat di Republika cetak dengan judul Kesederhanaan Kiai Rasimin

 (Sumber Tulisan: republika.co.id)

Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Jumat, 11 November 2011

Kisah Sahabat Nabi: Mu'adz bin Jabal, Pelita Ilmu dan Amal

Tatkala Rasulullah mengambil baiat dari orang-orang Anshar pada perjanjian Aqabah yang kedua, diantara para utusan yang terdiri atas 70 orang itu terdapat seorang anak muda dengan wajah berseri, pandangan menarik dan gigi putih berkilat serta memikat.  Perhatian dengan sikap dan ketenangannya. Dan jika bicara maka orang yang melihat akan tambah terpesona karenanya. Nah, itulah dia Mu'adz bin Jabal RA.

Dengan demikian, ia adalah seorang tokoh dari kalangan Anshar yang ikut baiat pada Perjanjian Aqabah kedua, hingga termasuk Ash-Shabiqul Awwalun—golongan yang pertama masuk Islam. Dan orang yang lebih dulu masuk Islam dengan keimanan serta keyakinannya seperti demikian, mustahil tidak akan turut bersama Rasulullah dalam setiap perjuangan.

Maka demikianlah halnya Mu'adz. Tetapi kelebihannya yang paling menonjol dan keitstimewaannnya yang utama ialah fiqih atau keahliannya dalam soal hukum. Keahliannya dalam fiqih dan ilmu pengetahuan ini mencapai taraf yang menyebabkannya berhak menerima pujian dari Rasulullah SAW dengan sabdanya: "Umatku yang paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu'adz bin Jabal."

Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu'adz hampir sama dengan Umar bin Khathab. Ketika Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, "Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu'adz?"

"Kitabullah," jawab Mu'adz.

"Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?", tanya Rasulullah pula.

"Saya putuskan dengan Sunnah Rasul."

"Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?"

"Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia," jawab Muadz.

Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah," sabda beliau.

Dan mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu'adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh Rasulullah sebagai "orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram".

Suatu hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar, A'idzullah bin Abdillah masuk masjid bersama beberapa orang sahabat. Maka ia pun duduk pada suatu majelis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih. Masing-masing menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah SAW.

Pada halaqah atau lingkaran itu ada seorang anak muda yang amat tampan, hitam manis warna kulitnya, bersih, baik tutur katanya dan termuda usianya di antara mereka. Jika pada mereka terdapat keraguan tentang suatu hadits, mereka tanyakan kepada anak muda itu yang segera memberikan fatwanya.

"Dan ia tak berbicara kecuali bila diminta. Dan tatkala majelis itu berakhir, saya dekati anak muda itu dan saya tanyakan siapa namanya, ia menjawab, saya adalah Mu'adz bin Jabal," tutur A'idzullah.

Shahar bin Hausyab tidak ketinggalan memberikan ulasan, katanya, "Bila para sahabat berbicara, sedang di antara mereka hadir Mu'adz bin Jabal, tentulah mereka akan sama-sama meminta pendapatnya karena kewibawaannya."

Dan Amirul Mukminin Umar bin Khatab RA sendiri sering meminta pendapat dan buah pikirannya. Bahkan dalam salah satu peristiwa di mana ia memanfaatkan pendapat dan keahliannya dalam hukum, Umar pernah berkata, "Kalau tidaklah berkat Mu'adz bin Jabal, akan celakalah Umar!"

Ia seorang pendiam, tak hendak bicara kecuali atas permintaan hadirin. Dan jika mereka berbeda pendapat dalam suatu hal, mereka pulangkan kepada Mu'adz untuk memutuskannya. Maka jika ia telah buka suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan oleh salah seorang yang mengenalnya: "Seolah-olah dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara."

Dan kedudukan yang tinggi di bidang pengetahuan ini, serta penghormatan kaum Muslimin kepadanya, baik selagi Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, dicapai Mu'adz sewaktu ia masih muda. Ia meninggal dunia di masa pemerintahan Umar, sedang usianya belum 33 tahun!

Mu'adz adalah seorang yang murah tangan, lapang hati dan tinggi budi. Tidak sesuatu pun yang diminta kepadanya, kecuali akan diberinya secara berlimpah dan dengan hati yang ikhlas. Sungguh kemurahan Mu'adz telah menghabiskan semua hartanya.

Ketika Rasulullah SAW wafat, Mu'adz masih berada di Yaman, yakni semenjak ia dikirim Nabi ke sana untuk membimbing kaum Muslimin dan mengajari mereka tentang seluk-seluk Agama.

Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu'adz kembali ke Yaman. Umar tahu bahwa Mu'adz telah menjadi seorang yang kaya raya, maka ia mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar kekayaan Mu'adz itu dibagi dua. Tanpa menunggu jawaban Abu Bakar, Umar segera pergi ke rumah Mu'adz dan mengemukakan masalah tersebut.

Mu'adz adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati. Dan seandainya sekarang ia telah menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak pernah diperolehnya dengan berbuat dosa. Bahkan juga tak hendak menerima barang yang syubhat.

Oleh sebab itu, usul Umar ditolaknya dan alasan yang dikemukakannya dipatahkannya dengan alasan pula. Umar berpaling meninggalkannya. Pagi-pagi keesokan harinya Mu'adz pergi ke rumah Umar. Ketika sampai di sana, Mu'adz merangkul dan memeluk Umar, sementara air mata mengalir mendahului kata-katanya. "Malam tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang, hai Umar, dan menyelamatkan saya!"

Kemudian bersama-sama mereka datang kepada Abu Bakar, dan Mu'adz meminta kepada khalifah untuk mengambil seperdua hartanya. "Tidak satu pun yang akan kuambil darimu," ujar Abu Bakar.

"Sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang baik," kata Umar menghadapkan pembicaraannya kepada Mu'adz.

Andai diketahuinya bahwa Mu'adz memperoleh harta itu dari jalan yang tidak sah, maka tidak satu dirham pun Abu Bakar yang saleh itu akan menyisakan baginya. Namun Umar tidak pula berbuat salah dengan melemparkan tuduhan atau menaruh dugaan yang bukan-bukan terhadap Mu'adz.

Hanya saja masa itu adalah masa gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak ubah bagi burung yang terbang berputar-putar, ada yang berlari cepat, dan ada pula yang berlari lambat, namun semua berada dalam kafilah yang sama menuju kepada kebaikan.

Mu'adz pindah ke Syria (Suriah), di mana ia tinggal bersama penduduk dan orang yang berkunjung ke sana sebagi guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu Ubaidah bin Jarrah—amir atau gubernur militer di sana serta shahabat karib Mu'adz—meninggal dunia, ia diangkat oleh Amirul Mukminin Umar sebagai penggantinya di Syria.

Tetapi hanya beberapa bulan saja ia memegang jabatan itu, Mu'adz dipanggil Allah untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk dan menyerahkan diri.

Pada suatu hari Rasulullah SAW bersabda, "Hai Mu'adz! Demi Allah, aku sungguh sayang kepadamu. Maka jangan lupa setiap habis shalat mengucapkan: 'Ya Allah, bantulah aku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadat dengan ikhlas kepada-Mu."

Mu'adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya secara tepat.

Pada suatu pagi Rasulullah bertemu dengan Mu'adz, maka beliau bertanya, "Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu'adz?"

"Di pagi hari ini aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah," jawabnya.

"Setiap kebenaran ada hakikatnya," kata Nabi pula, "maka apakah hakikat keimananmu?"

"Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi. Dan tiada satu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi dengan langkah lainnya. Dan seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh berlutut, dipanggil melihat buku catatannya. Dan seolah-olah kusaksikan penduduk surga menikmati kesenangan surga. Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam neraka."

Maka sabda Rasulullah SAW, "Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang teguhlah jangan dilepaskan!"

Menjelang akhir hayatnya, Mu'adz berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan, tetapi hanyalah untuk menutup haus di kala panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan dan ketaatan."

Lalu diulurkanlah tangannya seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya ke alam gaib, ia masih sempat berujar, "Selamat datang wahai maut. Kekasih tiba di saat diperlukan..." Dan nyawa Mu'adz pun melayanglah menghadap Allah.
 
(Sumber republika.co.id)

Minggu, 06 November 2011

Hermeneutika Haji dan Kurban

Oleh: Sulaiman Ibrahim
Ibadah haji merupakan gladi resik atau latihan untuk kembali kepada Allah. Haji adalah latihan kematian karena meninggalkan tanah air, meninggalkan keluarga, meninggalkan tetangga, dengan niat yang satu, yaitu ingin memenuhi undangan Allah Swt. Simbolisme haji ditandai oleh kesediaan seseorang untuk berkurban. Bentuk simbolis itu diwujudkan dengan menyembelih seekor binatang kurban yang dagingnya dibagikan dan disedekahkan kepada orang-orang miskin. Penyembelihan binatang kurban secara simbolik melambangkan kesungguhan hati manusia untuk menyembelih nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri, karena kalau nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia tidak disembelih dan dikorbankan, maka akibatnya akan merusak, baik merusak dirinya sendiri maupun akan merusak orang lain yang ada disekitarnya.
Ibadah haji yang sedang dilaksanakan umat Islam saat ini juga suatu bimbingan moral dan etika Islam bagi orang-orang beriman. Ibadah haji suatu institusi keimanan, untuk kita memperbaiki keadaan diri kita, yang juga berarti demi kebaikan masyarakat Islam agar tidak terperangkap dalam budaya tanpa norma (anomik)
Pakaian ihram mengajarkan kepada kita bahwa nilai kehidupan ini hendaknya semata-mata diukur dan bertujuan kepada Allah, bukan untuk berbagai atribut jabatan, kepopuleran, kebanggaan dan perhiasan dunia. Wuquf di Padang Arafah melambangkan agar kita merenungi diri untuk apa kita hidup dan kemana kita akan pergi setelah kematian. Dengan demikian, kita tidak akan cinta terhadap dunia secara berlebihan karena telah menyadari bahwa kita diciptakan oleh Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Melempar jumrah akan mendidik kita bermental anti dosa, anti setan dan begundalnya, serta membuang segala prilaku buruk yang pernah kita lakukan, tidak mudah terpegaruh oleh tipu daya duniawi yang menyesatkan. Dari sini akan terbina sifat ikhlas, jujur, dan suka kepada kebaikan. Begitupun thawaf, akan membimbing kita agar segala usaha dan upaya kita, segala langkah dan perbuatan dalam hidup kita adalah dalam rangka mengabdi kepada Allah, sebagai jaminan harkat diri kita kelak di hadapan-Nya.
Ibadah haji adalah refleksi aqidah yang telah teruji kemampuannya atau suatu komitmen pengabdian diri kepada Allah, bukan rekreasi ritual atau sekedar mencari keamanan semu di hadapan Allah. Ibadah ini mengandung pengertian yang dalam dan suci. Karena itu, mabrur tidaknya seseorang dalam melaksanakan ibadah haji akan diuji prilakunya dalam usaha kemaslahatan umat.
Dalam hal ini, semangat berkurban dengan menyembelih nafsu kebinatangan, menjadi suatu yang amat penting untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara menuju masa depan yang lebih baik. Karena hanya dengan kesediaan mengorbankan egoisme kekuasaan, kepentingan kelompok, partai, dan fanatisme kesukuan dan keagamaan, maka pluralisme dalam berbagai aspeknya, baik dalam segi sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, maupun agama, akan dapat terjaga dan akan memperkaya kehidupan spritualitas bangsa. Semoga Idul Adha tahun ini memberikan kita pencerahan menuju masa depan yang lebih baik. Selamat Hari Raya Idul Adha 1432 H.[]


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Sabtu, 05 November 2011

PLURALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Oleh: Sulaiman Ibrahim
Salah satu fakta yang tidak dapat kita pungkiri dalam kehidupan sosial adalah adanya keragaman agama yang dipeluk oleh masyarakat. Keragaman itu disatu sisi memang memperkaya dan menjadikan kehidupan sosial masyarakat penuh dinamika, namun disii lain ternyata keragaman ini membawa potensi konflik yang cukup serius, yakni konflik antar umat beragama. Orang mejadi tega membunuh, menyakiti bahkan memperkosa hanya karena alasan beda agama. Kasus di Ambon menjadi contoh yang baik bagi kita bagimana agama ternyata tidak hanya menjadi pengkontrol moral dan mengarahkan manusia menjadi lebih beradab, tetapi agama dapat dengan mudah dimanipulasi sedemikian rupa untuk menjustifikasi kekerasan atas nama klaim kebenaran agama. Suatu kelompok merasa bahwa hanya dirinyalah yang paling benar sedangkan yang lain salah, tersesat ahli bid’ah dan seterusnya yang membuat mereka mengahalalkan perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi terhadap kelompok lain. Hal ini memang nampaknya menjadi sebuah paradoks dari kehadiran agama didunia ini, tidak ada satu agama pun yang mengajarkan dan menganjurkan dehumanisasi tetapi mengapa banyak kekerasan justru disebabkan karena agama atau lebih tepatnya agama ketika berhadapan dengan pruralitas keberagamaan masyarakat.
Bagaiman pruralitas ini dalam pandangan Islam ?. Dalam Al qur’an disebutkan bahwa Allah telah menciptaan manusia dengan beragam suku dan bangsa supaya dapat saling mengenal (wahai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal QS. Al Hujurat ayat 12), dan salah satu keragaman tersebut adalah keragaman umat beragama ( bagi tiap umat di antara kai, Kami (Allah) telah buatkan peraturan dan jalan, kalau sekiranya tuhan menghendaki maka tentu kami menjadikannya umat yang tunggalm tetapi Dia hendak menguji kamu berkenaan dengan hal-hal yang diberikan kepadamu QS. Al maidah ayat 48) jadi dapat dikatan bahwa walaupun asalnya manusia itu dulunya bersatu ( manusia dahulu adalah umat yang satu kemudian mereka saling berselisih pendapat QS. Yunus ayat 19) tetapi tuhan dengan kebijaksanannya sengaja membuatnya beraga dengan hikmah-hikmah terterntu. . Maka dapat dikatakan bahwa keragaman ini merupakan merupakan salah satu dari sunnatullah yang tetap dan tidak berubah-ubah (Tidakkah mereka memperhatikan sunnah pada orang-orang terdahulu ? maka engkau tidak akan menemukan dalam sunnatullah suatu perubahan, dan engkau tidak kan menemkan dalam sunnatullah suatu peralihan QS. Ayat fathir 43). Karena sifatnya yang prinsipil ini maka tugas kita bukanlah untuk menyatukan keragaman tersebut, tetapi bagaimana menyikapinya dengan tindakan-tindakan positif.
Masalahnya adalah manusia cenderung membanggakan apa yang ia yakini dan percayai sebagai yang paling baik. Hal ini disinggung oleh Allah dalam surat ayat (dan tiap-tiap mereka merasa bangga terhadap apa yang mereka yakini). Diayat lain Allah mencontohan sikap bangga dan saling menafikan tersebut dalam klaim agama Yahudi atas orang Nasrani dan sebaliknya, klaim yang sebenarnya sangat potensial sekali dimiliki oleh setiap kaum beragama apapun (Dan orang-orang yahudi berkata orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai pegangan dan orang-orang Nasrani mengatakan bahwa orang-orang Yahudi tidak mempunyai pegangan , padahal mereka sama-sama memilki pegangan (kitab) demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui mengatakan seperti ucapan mereka (kaum yahudi dan nasrani) itu QS. Al Baqoroh ayat 113).
Sebagai agama yang secara prinsipil menyatakan diri sebagai bagian integral dari agama-agama sebelumnya (Sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya dan (sebagaimana) telah kami wahyukan keada Ibrahim, ismail, ishaq, ya’qub dan anak cucunya, serta kepada isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman, QS. Al Baqoroh ayat 163). Islam memberikan beberapa prinsip dasar dalam menyikapi dan memahami pruralisme ini. Pertama prinsip keberagamaan yang lapang (Al Hanifiyah Al Samhah /inklusfisme relatif). Salah satu masaah yang serius dalam menyikapi keberagamaan adalah masalah klaim kebenaran. Islam sangat tidak membenarkan adanya kefantikan buta yang membelenggu umat islam dalam mencari kebenaran dan terlepas dari ikatan ketuhanan ( Dan janganah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pandangan, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya QS. Al Isra’ ayat 17). Padahal untuk mencapai kepasrahan yang tulus kepada tuhan (makna generik dari kata islam) diperlukan suatu pemahaman yang sadar dan bukan hanya ikut-ikutan. Oleh sebab itu sikap kelapangan dalam mencapai kebenaran ini bisa dikatakan sebagai makna terdalam keislaman itu sendiri. Diceritakan dalam hadist nabi bersabda kepada sahabat Utsman bin Mazhun “ Dan sesungguhnya sebaik-baik agama disisi Allah adalah semangat pencarian kebenaran yang lapang (Al Hanifiyah Al Samhah) “. Dengan memiliki sikap inklusif ini kita juga akan dapat menghargai pruralitas keberagaman dengan elegan, kita tidak jatuh pada kalim-klaim kebenaran yang sebenanya merupakan kesombongan intelektual kita dihadapan manusia yang kita anggap tidak mampu mencapai kebenaran dari tuhan.
Prinsip kedua adalah keadilan yang obyektif. Kata keadilan banyak sekali disebutan oleh Allah dalam Al Qur’an sebagai sikap yang harus dimiliki oleh umat islam. Dalam konteks pruralisme, Keadilan mencakup pandangan maupun tindakan kita terhadap pemeluk agama lain. Seringkali kita membuat generalisasi terhadap suatu pemeluk agama, hanya karena kita melihat dan menyaksikan bebrapa orang melukaksn hal-hal yang tidak pantas kemudian kita menggeneralisasikan dan menyimpulkan bahwa semua pemeluk agama tersebut berbuat demikian. Padahal Allah sendiri menyaakan bahwa mereka (pemeluk agama lain) sama seperti kita ada yang shaleh ada juga tidak, ada yang ahli ibadah ada juga yang ahli bid’ah (Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harta yang sedikit mereka memperoleh pahala disisi tuhannya QS. Ali imran ayat 199).
Kedangkalan dalam tindakan seringkali kita karena tidak suka dan mengangap orang lain sebagai bukan bagian dari kelompok kita (outsider) maka kita bisa berbuat tidak adil terhadap mereka dalam memutuskan hukum, interkasi sosial maupun hal-hal lain. Seperti meniadakan kesempatan bagi mereka untuk duduk pemerintahan di negara Indonesia yang jelas-jelas dibangun secara bersama-sama. Islam mengajarkan bahwa kita harus menegakkan keadilan dalam sikap dan pandangan ini dengan obyektif terlepas dari rasa suka atau tidak suka (like and dislike) dan tentunya terbebas dari kepentingan untuk membela kelompok kita sendiri (hai rag-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kbencianmu pada suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena adil itu lebih dekat kepada taqwa QS. Al Maidah ayat 8 )
Prinsip ketiga adalah menjauhi kekerasan dalam berinteraksi dengan pemeluk agama lain termasuk ketika melakukan dakwah. Dalam islam kekerasan hanya ditolerir ketika kita harus mengahadapi kemungkaran atau didlolimi terlebih dahulu ituun harus dengan pertimbangan bahwa hanya jalan inilah yang dapt kita lakukan untuk menghilangkan kemungkaran dan kedloliman tersebut, tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin menggunakan (kekerasan baik fisik maupun psikologis) untuk berdakwah dan memaksa pemeluk agama lain untuk masuk agama islam. Hal ini sebagaimana firman Allah ( Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat QS. Al Baqoroh ayat 256). Oleh sebab itu dalam berdawah kita harus mengutamakan dialog, kebijaksanaan dan cara — cara argumentatif lainnya (interfaith dialogue). Firman Allah ( Serah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan jalan bijaksana dan pelajaran yang baik dan bantahlahlah mereka dengan lebih baik QS. An Nahl ayat 125). Ada beberapa point penting yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin dalam dialog ini pertama bahwa tiap agama mempunyai logikanya sendiri dalm memahami tuhan dan firmannya, kedua bahwa dialog bukanlah dimaksudkan untuk saling menyerang tetapi adalah upaya untuk mencapai kesepahaman, dan mempertahankan keyakinan kita (tentunya dalam kerangka al hanifiyah al samhah sebagimana diatas) ( Katakanlah olehmu (wahai Muhammad) ‘ wahai Ahli kitab marilah menuju ketitik pertemuan antara kami dan kamu QS. Ali Imran ayat 64).
Prinsip keempat adalah menjadikan keragaman agama (religious pruralism) tersebut sebagai kompetisi positif dalam kebaikan ( fastabiqul khairat). Salah satu hikmah diciptakannya manusia berbeda-beda disamping supaya bisa saling mengenal adalah agar keragaman tersebut memacu manusia untuk saling bersaing, memacu diri menjadi yang terbaik diantara umat-umat agama lain dalam hal berbuat kebajikan. ( Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya yang mereka menghadap kepadanya, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan QS. Al Baqarah ayat 148). Dalam kerangka inilah seharusnya hubungan antar agama diletakkan , konsekwensinya ketika ada pemeluk agama lain berbuat amal sosial dengan semisal melakukan advokasi terhadap masyrakat tertindas seperti kaum buruh, pelecehan seksual dan sebagainya maka kita tidak boleh begitu mencurigainya sebagai gerakan pemurtadan atau bahkan berusaha menggagalkannya tetapi hal tersebut haruslah menjadi pemacu bagi kita kaum muslimin untuk berusaha menjadi lebih baik dari mereka dalam hal amal sosial.
Kalau keempat prinsip ini bisa kita pegang Insya Allah akan tercipta hubungan yang lebih harrmonis antar umat beragama, hubungan yang dilandasi oleh sikap saling menghargai, menghormati dan saling membantu dalam kehidupan sosial. Sehingga kehadiran agama (khususnya islam) tidak lagi menjadi momok bagi kemanusiaan tetapi malah menjadi rahmat bagi keberadaan tidak hanya manusia tetapi sekaligus alam semsta ini. ( Wallahu A’lam Bishawab).


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Kamis, 27 Oktober 2011

STRUKTURALISME KONFLIK: Upaya Penyelesaian Konflik Agama di Masyarakat Pluralis


Oleh: Sulaiman Ibrahim

I. Pendahuluan

Kehidupan sosial-keagamaan era modern ini ditandai oleh semakin seringnya terjadi tantangan dan benturan kultural, sosial, etnis dan agama yang melibatkan masyarakat sipil. Hal ini memperkuat alasan betapa pentingnya upaya menambah, mengembangkan, dan memperkaya intensitas saling tukar-menukar pengetahuan yang dapat dipercaya sebagai penghubung tentang berbagai agama (aspek doktrin) dan kehidupan sosial-keagamaan (aspek empiris-historis).[1]
Dilihat dari jumlah penganutnya, keberadaan agama yang ada di suatu negara, terdapat agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya, dan ada pula agama lainnya yang dianut oleh minoritas penduduknya. Di Indonesia misalnya terdapat agama Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Agama Islam dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, diikuti oleh Kristen dan seterusnya. Memang, keberadaan agama yang berbeda-beda itu pada suatu negara terkadang ditandai oleh adanya hubungan yang mesra dan harmonis, dan kadang pula ditandai adanya hubungan yang penuh ketegangan, konflik dan permusuhan yang membawa pertumpahan darah. Agama Kristen misalnya telah berhubungan dengan agama Islam selama lebih dari empat belas abad lamanya. Rentang waktu begitu panjang dan terus menerus dalam hubungan itu telah menjadi saksi dari berbagai perubahan dan naik turunnya batas-batas kebudayaan dan toritorial antara keduanya.[2]
Kecendrungan kekerasan bernuansa agama juga konflik etnik yang semakin kental dibeberapa bagian wilayah Indonesia makin mengancam keberadaan masa depan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Kekerasan tersebut tentu saja tidak boleh berkembang dan dibiarkan. Ini tidak dapat dilepaskan dari upaya setiap elemen bangsa untuk mencari jalan keluar dari ancaman konflik agama dan etnik.
Kritik bahwa kekerasan berwajah agama itu tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan agama yang cenderung memperkeras identitas keagamaan secara eksklusif dan secara bersamaan menumpulkan kepekaan sesama umat yang berbeda keyakinan. Klaim kebenaran (truth claims)  suatu agama oleh pemeluknya acapkali dijadikan dasar untuk menegasikan keberadaan pemeluk agama lainnya. Dalam kehidupan masyarakat yang sangat majemuk baik dari aspek agama maupun etnik, tentu saja hal ini tidak menguntungkan bagi harapan terciptanya sebuah kehidupan umat beragama yang harmonis, toleran dan dialogis.[3]
Masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang majemuk, terlingkup di dalamnya berbagai komposisi sosial dan aliran. Heteregonitas masyarakat tersebut membuat sistem sosial selalu terus progresif dan berjalan dinamis. Akan tetapi, heterogenitas dalam masyarakat di sisi lain akan mengakibatkan rawannya terjadi konflik di antara sesama masyarakat. Terjadinya konflik lebih disebabkan oleh pengelolaan stratifikasi sosial dalam masyarakat tidak berfungsi. Berbagai pendekatan teori telah diupayakan oleh beberapa sosiolog untuk meneliti kestabilan terhadap tingkat kerawanan sosial tersebut, tetapi kebanyakan sosiolog tersebut mengacuhkan analisa konflik sosial. Kaum fungsional struktural misalnya, melihat bahwa konflik hanyalah manifes dari disfungsinya sebuah struktur dalam masyarakat dan melihat masyarakat hanya sebagai sebuah struktur yang paten.
Sebagai antitesa dari teori tersebut, dalam melihat struktur masyarakat maka muncullah teori baru, yakni strukturalisme konflik. Teori ini mengemukakan kondisi-kondisi di mana secara positif, konflik membantu mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya terbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan para anggota kelompok lewat pengukuhan kembali identitas kelompok.
Di dalam teori konflik dikenal adanya ukuran kepentingan sebagai unsur dasar dari kehidupan sosial, bukan berdasarkan nilai. Dengan demikian, kehidupan sosial melibatkan dorongan atau terjadinya dinamisasi bahkan dengan berbagai gesekan-gesekan sosial bila diperlukan. Dari gesekan tersebut sebagian yang bertentangan dengan sebuah gesekan atau yang pro pada reaksi aksi mengambil jalur oposisi. Dari gerakan ini dapat melahirkan konflik struktural. Dari konflik ini memicu lahirnya kecenderungan kehidupan sosial yang selalu mementingkan kelompok. Akhirnya, terjadi perbedaan yang menonjol yang melibatkan kekuasaan, menyebabkan sistem sosial terintegrasi dan ditimpa oleh berbagai bentuk kontradiksi. Kemudian sistem sosial cenderung selalu berubah. Dengan argumen seperti ini, maka strukturalisme konflik dapat dipahami sebagai ilmu yang berusaha memberikan pengertian, gambaran tentang aktivitas sosial, bahkan aksi-aksinya menurut lapisan atau susunan masyarakatnya yang berkaitan dengan konflik sosial di dalam suatu kelompok masyarakat, baik secara vertikal maupun horisontal.


[1]Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), h. 145.
[2]Hal ini juga ditandai dengan periode panjang konfrontasi sekaligus juga kerja sama yang produktif. Tetapi bagaimanapun juga, pola hubungan yang paling dominan antara kedua tradisi keimanan ini yaitu permusuhan, kebencian, dan kecurigaan, ketimbang persahabatan dan saling memahami. Lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), cet. III, h.  95.
[3]Lihat Samsuri, "Paradigma Pendidikan Islam dalam Masyarakat Majemuk" dalam Lektur, Vol. X, No. 2, 2004, h. 225.