Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Jumat, 10 Desember 2010

Hijrah Melepas Duka

Ketika Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah, masih ada sejumlah sahabat yang tetap bertahan di Makkah. Mereka tak mau meninggalkan Makkah dengan berbagai alasan. Namun, selama bertahan di Makkah, umumnya mereka merasa tertindas sehingga diliputi rasa duka.
Alquran melukiskan mereka sebagai orang-orang yang menganiaya diri sendiri. Ketika mereka wafat dalam kondisi luka karena teraniaya, Malaikat pun bertanya, “Bagaimana keadaan kalian menjadi seperti ini?''  “Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri Makkah,” jawab mereka. Alquran kemudian merekam peringatan Malaikat berikutnya, “Bukankah bumi Allah itu luas, maka berhijrahlah di bumi itu?” (QS Annisa [4]: 97).
Secara historis, ayat tersebut di atas termasuk kategori ayat Madaniyah. Pesan Alquran ini turun kira-kira setelah tatanan masyarakat Madinah tertata rapi, tumbuh penuh harmoni dalam nuansa multikultural sebagai wujud perpaduan kebudayaan antara Anshar dan Muhajirin.
Melalui firman-Nya ini, Allah seakan-akan tengah mengamini tindakan Rasulullah dalam berhijrah, meskipun sempat beberapa kali gagal. Hijrah memang tidak sederhana. Ia tidak hanya melibatkan tindakan fisik, tetapi juga menggambarkan kekuatan psikologis yang mendasari ketulusan berikhtiar untuk mewujudkan kehendak Allah.
Hijrah dilakukan bukan semata-mata untuk memperoleh kesenangan duniawi ataupun kesejahteraan material, melainkan juga kesempurnaan pengabdian untuk mewujudkan tatanan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang lebih mampu menjamin tegaknya hak-hak individu.
Oleh karena itu, hijrah menjadi solusi manusiawi sebagai wujud pengakuan atas segala keterbatasan manusia dalam memperoleh semua haknya sekaligus pernyataan sikap teologis untuk membuktikan segala Kemahamurahan Allah bagi manusia. Bahkan, Allah sendiri menegur dengan tegas orang-orang yang memaksakan kehendaknya untuk tetap bertahan dalam ketidakberdayaan, memaksakan bertahan dalam ketidaknyamanan ataupun ketidaksejahteraan.
Dalam situasi Indonesia yang tengah diliputi berbagai duka saat ini, kita tidak bisa tetap “menikmati” penderitaan hanya karena alasan sabar dan tawakal. Kita juga tidak bisa terus-menerus membiarkan ketidakadilan melilit kehidupan. Saatnya kita berhijrah untuk melakukan perubahan sekaligus mengingatkan siapa pun yang dipandang menjadi sumber kesemrawutan.
Berhijrahlah dengan meminta semua pihak tulus mengakui kekhilafan, mencairkan egoisme politik yang hanya akan menyengsarakan kehidupan, dan membangun komitmen kebangsaan yang lebih jujur serta demokratis dengan melepaskan kepentingan pribadi ataupun golongan.
Alquran mengingatkan, Allah membenci orang-orang yang membiarkan diri bertahan di tengah kesemrawutan sosial, politik, dan ekonomi. “Kecuali mereka, baik laki-laki, perempuan, maunpun anak-anak, yang tertindas karena tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan untuk berhijrah.” (QS Annisa [4]: 98).
(sumber Republika.co.id)

Keutamaan Bulan Muharram

Dalam kalender Hijriah terdapat empat bulan haram, yakni Dzulqaidah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab. Disebut haram karena keempat bulan itu sangat dihormati, dan umat Islam dilarang berperang di dalamnya. Muharam yang berarti diharamkan atau yang sangat dihormati, memang merupakan bulan gencatan senjata atau bulan perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di manapun harus selalu bersikap damai, tidak boleh mengobarkan api peperangan jika tidak diperangi terlebih dahulu. Seyogianya, umat Islam menghormati dan memaknai Muharam dengan spirit penuh perdamaian dan kerukunan. Sebab, Nabi Muhammad SAW pada khutbah haji wada-yang juga di bulan haram, mewanti-wanti umatnya agar tidak saling bermusuhan, bertindak kekerasan, atau berperang satu sama lain.
Esensi dari spirit Muharam adalah pengendalian diri demi terciptanya kedamaian dan ketenteraman hidup, baik secara fisik, sosial, maupun spiritual. Karena itu, di bulan Muharam Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk berpuasa sunah: Asyura (puasa pada hari kesepuluh di bulan ini).
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharam. Dan, shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim).
Ibnu Abbas berkata, “Aku tak melihat Rasulullah SAW mengintensifkan puasanya selain Ramadhan, kecuali puasa Asyura.” (HR Bukhari). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Abi Qatadah, Nabi SAW bersabda, “Puasa Asyura itu dapat menghapus dosa tahun sebelumnya.” (HR Muslim).
Melalui puasa sunah itulah, umat Islam dilatih dan dibiasakan untuk dapat menahan diri agar tidak mudah dijajah oleh hawa nafsu, termasuk nafsu dendam dan amarah, sehingga perdamaian dan ketenteraman hidup dapat diwujudkan dalam pluralitas berbangsa dan bernegara.
Puasa sunah di bulan Muharam agaknya juga harus menjadi momentum islah bagi semua pihak. Agar perdamaian dan ketentramaan terwujud, Muharam juga harus dimaknai sebagai bulan antimaksiat, yakni dengan menjauhi larangan-larangan Allah SWT, seperti fitnah, pornoaksi, pornografi, judi, korupsi, teror, dan narkoba.
Muharram juga penting dijadikan sebagai bulan keselamatan bersama dengan menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang dapat menyengsarakan manusia, baik di darat, laut, maupun di udara. (Sumber Republika)

Esensi Hijrah

Momentum pergantian tahun Hijriah selalu mengingatkan umat Islam pada peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Peristiwa maha penting dalam sirah Rasulullah itulah yang menjadi dasar pijakan di balik pemilihan nama kalender Islam tersebut.

Tentu bukan tanpa alasan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab menetapkan peristiwa hijrah sebagai dasar perhitungan tahun dalam kalender kaum Muslimin. Hijrah berarti berpindah dengan meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain, atau berubah dengan meninggalkan suatu kondisi untuk menuju kondisi yang lain. Dalam Islam, hijrah memang ada dua macam.

Pertama, hijrah hissiyyah (hijrah fisik dengan berpindah tempat), dari darul khauf (negeri yang tidak aman dan tidak kondusif) menuju darul amn (negeri yang relatif aman dan kondusif), seperti hijrah dari Kota Makkah ke Habasyah (Ethiopia) dan dari Makkah ke Madinah.

Kedua, hijrah ma'nawiyyah (hijrah nilai). Yakni, dengan meninggalkan nilai-nilai atau kondisi-kondisi jahiliah untuk berubah menuju nilai-nilai atau kondisi-kondisi Islami,  seperti dalam aspek akidah, ibadah, akhlak, pemikiran dan pola pikir, muamalah, pergaulan, cara hidup, kehidupan berkeluarga, etos kerja, manajemen diri, manajemen waktu, manajemen dakwah, perjuangan, pengorbanan, serta aspek-aspek diri dan kehidupan lainnya sesuai dengan tuntutan keimanan dan konsekuensi keislaman.

Jika hijrah hissiyyah bersifat kondisional dan situasional serta harus sesuai dengan syarat-syarat tertentu, hijrah ma'nawiyyah bersifat mutlak dan permanen, serta sekaligus merupakan syarat dan landasan bagi pelaksanaan hijrah hissiyyah.

Hijrah ma'nawiyyah inilah yang sebenarnya merupakan hakikat dan esensi dari perintah hijrah itu. Kuncinya ada pada kata perubahan! Ya, ketika seseorang telah berikrar syahadat dan menyatakan diri telah beriman dan berislam, ia harus langsung ber-hijrah ma'nawiyyah ke arah perubahan total--tentu tetap mengikuti prinsip tadarruj (pentahapan)--sesuai shibghah rabbaniyah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 138) dan memenuhi tuntutan berislam secara kaffah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 208).

Guna menyambut--dan bukan memperingati--tahun baru 1432 Hijriah, kita harus melakukan muhasabah dan introspeksi diri dengan bertanya, sejauh mana perubahan, peningkatan dan perbaikan Islami telah terjadi dalam diri dan kehidupan kita, baik dalam skala individu, kelompok, jamaah, masyarakat, bangsa, maupun dalam skala umat Islam secara keseluruhan?

Marilah kita jadikan momentum pergantian tahun Hijriah ini sebagai faktor pemotivasi semangat dan pembaru tekad untuk senantiasa menghijrahkan diri dan kehidupan menuju totalitas Islam sebagai syarat dan dasar dalam mengemban amanah dakwah dan menegakkan kewajiban jihad fi sabilillah untuk memenangkan dinullah dan menggapai surga serta ridha Allah.
(Sumber Republika)

Selasa, 07 Desember 2010

Festival Agama, Agama Festival

Senin, 6 Desember 2010 | 04:07 WIB
Komaruddin Hidayat

Selain predikat sebagai homo religiousus, manusia juga dijuluki sebagai homo viator atau peziarah hidup.
Tulisan ini akan membincangkan manusia sebagai homo festivus, karena kita semua senang mengadakan festival yang terkait erat dengan aktivitas keberagamaan dan memaknai hidup sebagai sebuah ziarah.
Dalam sejarah, festival selalu mengacu pada pesta perayaan keagamaan, meskipun kemudian cenderung bersifat profan, tidak lagi berhubungan dengan agama. Semua agama punya tradisi festival, sebuah seremoni bersifat publik untuk memuja Tuhan yang dipelihara umatnya.
Dalam festival keagamaan terdapat enam elemen pokok. Pertama, untuk mengenang dan mengenalkan tradisi keagamaan agar generasi berikut dapat memahami dan ikut merawatnya. Kedua, membangkitkan kembali nilai-nilai dan semangat perjuangan hidup. Ketiga, membangun kohesi dan solidaritas sesama umat agar lebih solid. Keempat, sebagai hiburan agar kehidupan beragama juga bernuansa kebudayaan yang menggembirakan. Kelima, ada ritual-ritual pokok yang sudah baku dengan kostum unik dan khas. Keenam, merayakan kehidupan sebagai ekspresi rasa syukur kepada Tuhan.
Agama-agama besar dunia, seperti Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, Islam, dan paham kepercayaan lain seperti Konfusianisme, Taoisme, Shintoisme, dan Baha’i masing-masing memiliki tradisi perayaan hari besar keagamaan. Agama Hindu sangat kaya dengan perayaan keagamaan meskipun sebagian besar berlangsung lokal, terutama upacara doa dan syukur berkaitan dengan hari panen. Di Bali, tiada hari tanpa membuat sesaji.
Perayaan umat Buddha yang paling meriah adalah hari Waisak untuk memperingati hari kelahiran, pencerahan, dan kematian Buddha yang terjadi dalam hari dan bulan yang sama antara Mei dan Juni. Mereka menghias kuil dan rumah dengan lilin dan lampu sebagai lambang pencerahan Buddha.
Hari raya umat Kristen yang paling menonjol adalah Natal, Paskah, dan Pantekosta. Hari Natal diyakini sebagai kelahiran Yesus Sang Penebus yang disambut dengan sukacita: menghias rumah dan saling bertukar hadiah. Perayaan Paskah menyambut kebangkitan Yesus memasuki kehidupan baru. Empat puluh hari setelah Paskah, umat Kristen merayakan Pantekosta, memperingati kehadiran Roh Kudus pada umat Kristen perdana di Jerusalem. Kehadiran Roh Kudus diyakini sebagai pengganti Yesus Sang Penolong bagi umat Kristen hingga hari ini.
Mengingat penduduk Indonesia mayoritas memeluk Islam, maka perayaan hari besar agamanya paling meriah, misalnya hari raya Idul Fitri dan hari raya haji. Belum lagi hari-hari lain yang juga setiap tahun dirayakan, seperti kelahiran Nabi Muhammad dan turunnya Al Quran. Festival keagamaan sekarang tambah meriah dengan hari raya Imlek oleh pengikut Konfusianisme.
Demikianlah, Indonesia mungkin sekali merupakan bangsa yang paling senang menyelenggarakan upacara dan festival keagamaan serta memiliki hari libur keagamaan paling tinggi di dunia. Dengan festival itu, emosi dan tradisi keagamaan dilestarikan serta diwariskan dari generasi ke generasi. Baik pemerintah maupun sekian banyak lembaga keagamaan turut meramaikan dengan biaya fantastis.

Agama festival
Tiada agama tanpa upacara dan festival. Dalam festival keagamaan sakralitas dan profanitas menyatu. Antara nilai-nilai agama dan budaya saling mengisi. Melalui wadah budaya, nilai-nilai agama diekspresikan dan dilembagakan sehingga masyarakat mudah memahami dan menerimanya. Budaya masyarakat yang beragam membuat ekspresi dan festival keagamaan juga beraneka. Agama yang diyakini datang dari sumber Yang Satu menjadi semarak dan beragam, ibarat pantulan cahaya lampu kristal atau warna-warni pelangi. Esensi cahaya dan air adalah sama, tetapi ekspresi warna bisa beda karena dilihat dari perspektif berbeda.
Dalam festival agama selalu didapati aneka macam simbol dan aksesori budaya. Misalnya, para imam mengenakan kostum yang khas dalam upacara keagamaan, beragamnya adegan, doa, dan aturan dalam upacara haji. Haji merupakan festival keagamaan paling akbar dan berulang tiap tahun. Di situ nilai dan keyakinan agama berbaur dengan dimensi-dimensi kultural. Orang berhaji tidak hanya beribadah, tetapi ada unsur rekreasinya. Fenomena ini pasti juga terjadi pada agama lain.
Disadari atau tidak, sering kali acara festival yang berdimensi budaya malah lebih diperhatikan ketimbang esensi pesan agamanya. Maka yang lebih fenomenal adalah agama festival, bukannya festival keagamaan. Ini juga terjadi pada komunitas agama di mana saja. Festival tahun baru di Barat semakin hilang dari penghayatan agama. Di Bali beberapa adegan tari yang semula dianggap sakral sekarang untuk konsumsi turis. Di beberapa daerah pesta Lebaran telah berubah jadi ajang budaya yang jauh dari pesan agama.
Acara halal bihalal oleh sebagian komunitas benar-benar telah jadi ritual budaya. Semua ini tentu saja memperkaya tradisi lokal dan nasional. Agama melahirkan festival budaya, tetapi pada urutannya festival yang semula religius cenderung menjadi profan.

Jangan pentingkan festival
Mengingat masyarakat Indonesia sangat majemuk dan kaya tradisi keagamaan, lama-lama akan terlembaga ”agama festival”. Yang penting festivalnya. Bukankah masyarakat kita memang dikenal santai, senang kumpul-kumpul, dan akomodatif terhadap berbagai unsur agama dan budaya sehingga melahirkan budaya eklektik, sinkretik, dan entah apa lagi?
Acara festival semakin beragam dan mapan ketika negara campur tangan dan menyediakan anggaran. Dari pemerintah pusat sampai daerah, berapa miliar rupiah dana dikeluarkan untuk upacara? Agar ada nuansa keagamaan, setiap upacara dibuka atau ditutup dengan doa, terlepas khidmat atau tidak. Di sisi lain, ketika menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, sekarang sering tidak semangat dan tidak kompak. Artinya, ruh kebangsaan dan keagamaan semakin hilang dari serangkaian upacara kenegaraan dan festival kebudayaan.
Ketika nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, dan ketuhanan telah hilang dari sebuah festival, maka yang terjadi adalah sebuah pameran hedonisme yang dikemas oleh logika industri dan disponsori penguasa demi pencitraan belaka. Simbol dan retorika agama terkesan meriah dalam setiap festival keagamaan, tetapi nilai-nilai dan pesan agama serta kemanusiaan sebagai kekuatan yang membebaskan dan memperkuat kohesi sosial tidak tercapai. Maka festival sebagai sarana revitalisasi perjuangan hidup agar lebih produktif dan bermakna pun menguap, padahal biayanya sangat mahal.

Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah (sumber kompas.com)