Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Senin, 02 April 2018

EFEKTIFITAS PENYULUH AGAMA TERHADAP PENINGKATAN KESADARAN HUKUM DI MASYARAKAT KOTA GORONTALO

Oleh: Sulaiman Ibrahim
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, merupakan negara hukum (Rechtsstaat) karena terbangun dari keinginan yang lewat dari para The Founding Fathers negara ini untuk melandaskan semua persoalan kebangsaan pada hukum yang berlaku. Perjalanan sejarah yang cukup panjang terutama mengenai sejarah diberlakukannya sistem politik hukum di Indonesia, telah membawa bangsa Indonesia pada sebuah pandangan bahwa hukum itu penting tapi hal tersebut dalam implementasinya masih menemui sejumlah kendala.
Terlepas dari persoalan tersebut di atas, dimensi hukum di Indonesia dalam perspektif  keindonesiaan berjalan bersamaan dengan proses pembangunan nasional yang bersifat kesinambungan dimana hal tersebut mencakupi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Itulah sebabnya, dalam GBHN 1999 tertuang bahwa semua warga negara diharapkan terbentuk dan berfungsi sesuai sistem hukum nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan UUD 1945 dengan memperhatikan kemajemukan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum, tatanan yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional yang didukung oleh aparatur hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum.
Dalam pembangunan nasional terdapat beberapa asas atau prinsip pokok yang harus ditaati, dimana mengandung pengertian bahwa penyelenggara pembangunan negara harusnya senantiasa memberikan penyuluhan hukum terhadap masyarakat agar mereka sadar, tunduk dan patuh terhadap dimensi hukum yang berintikan di atas nilai-nilai hukum keadilan dan kebenaran, terutama alat penyelenggara negara kekuasaan hakim wajib dan menjamin kepastian hukum (Soesito: 17).
Pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia terkadang memunculkan ketidak pastian hukum di antara masyarakat. Ketidak pastian hukum yang dimaksud muncul diakibatkan tidak efektifnya penyuluhan hukum itu sendiri. Karena demikian halnya, maka kesadaran masyarakat terhadap pelaksanaan hukum masih rendah.
introduction


Adapun gejala yang timbul dalam masyarakat sehingga dikatakan peyuluhan hukum tidak efektif adalah wibawa hukum menurun, artinya produk-produk hukum itu tidak direalisasikan dalam kehidupan masyarakat. karena demikian halnya, maka wibaya hukum melamah.
Menurut Taneko Soleman B (1993: 23); Wibawa hukum melemah dapat disebabkan oleh berbagai faktor sebagai berikut; karena hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma-norma sosial bukan hukum, misalkan sebab melemahnya sistem nilai dalam masyarakat sebagai akibat modernisasi. Dalam hal ini, tentu saja akan menimbulkan kesenjangan antara hukum yang berlaku dengan sistem nilai yang ada di masyarakat.
Salah satu contoh pelanggaran hukum yang diperbuat akibat melemahnya wibawa hukum adalah terjadinya KKN, karena aparat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk memelihara hukum di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, fakta yang sering ditemukan adalah terjadinya main hakim sendiri di kalangan masyarakat karena penegak hukum lamban dalam mengambil kebijakan hukum.
Kasus seperti di atas sering ditemukan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak efektifnya penyuluhan hukum di tengah-tengah masyarakat yang menyebabkan tatanan kemasyarakatan menjadi rapuh. Dalam prakteknya, efektivitas penyuluhan hukum yang dimaksud dapat dilihat pada kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya masyarakat di kota Gorontalo.
Urgensi akan pemahaman holistik terhadap hukum adalah sebuah hal yang tak bisa ditawar-tawar dalam sebuah masyarakat yang menganut prinsip supremasi hukum (the rule of law). Persoalannya adalah sebuah hal yang sangat sukar untuk memahami hukum Indonesia mengingat berbagai kendala, utamanya diakibatkan oleh masih lemahnya tradisi akademis. Terlepas dari berbagai ambiguitas sekaligus anomali yang menghadangnya, Masyarakat secara umum mengenal adanya hukum dan sadar akan negara hukum, tetapi masyarakat tidak mengetahui dan mengerti hukum sebenarnya, Kota Gorontalo, lebih parah lagi masyarakat setempat menganggap sepeleh hukum yang ada, karena hukum bisa terkalahkan oleh money power dan banyaknya penegak hukum melanggar aturan itu sendiri.
Kondisi reformasi merombak tatanan perpolitikan dan kenegaraan, tuntutan perbaikan di segala bidang sebagai ungkapan hati nurani masyarakat, sehingga hukum-hukum yang selama ini tidak merupakan akumulasi dari segala lapisan. Masyarakat meneriakkan hukum transisi yang harus dibangun dari konsensus budaya dan suara masyarakat, sehingga terkadang jemu dengan apa yang terjadi, penegak hukum tidak dapat menjanjikan kedamaian dan keadilan, sehingga masyarakat lebih cenderung untuk mengambil tindakan hukum sendiri.

Hal di atas juga terjadi di tengah masyarakat di Kota Gorontalo, konflik sering terjadi, baik di kalangan antara pemuda, orang tua, keluarga atau perang kelompok terjadi di sana sini, tetapi tindakan preventif oleh penegak hukum seakan-akan bersifat apatis. Anggapan ini didasarkan pada beberapa penelitian yang mengungkapkan bahwa para penegak hukum tidak aktif dalam memberikan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.






Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya