Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Kamis, 20 November 2014

Wanita dalam Konteks Sosial; Pra dan Pasca Turunnya Alquran

Informasi yang kita terima dari al-Qur’ân menyebutkan bahwa kondisi umum perempuan dalam masyarakat Arab sampai pada masa al-Qur’ân diturunkan adalah kondisi yang kurang menguntungkan bahkan sangat buruk. Perempuan bukan hanya dipandang sebagai makhluk Tuhan yang rendah, melainkan juga dihargai sebagai barang, bisa diwarisi, dan diperlakukan sebagai layaknya budak. (QS. Al-Nisa, 4:19). Mereka juga dianggap tidak memiliki hak apa-apa atas kehidupannya sendiri dan dalam relasi-relasi sosial. Peran-peran mereka dibatasi pada wilayah domestik dan dalam kerangkamelayani kebutuhan seksual laki-laki. Beberapa ayat al-Qur’ân bahkan menyebutkan adanya tradisi pembunuhan bayi-bayi perempuan hidup-hidup. (QS. 16: 58-59, QS. 81: 8-9). Alasannya adalah karena kelahiran anak perempuan akan menambah beban ekonomi dan bisa mencoreng muka atau memalukan keluarga. Keadaan ini biasanya berlaku pada keluarga miskin dan marginal. Realitas posisi subordinat perempuan juga diinformasikan oleh ayat 34 surah al-Nisa. Ayat ini menjelaskan bahwa kepemimpinan atau kekuasaan domestik, apalagi publik, berada di tangan laki-laki. Al-Qur’ân menyatakan bahwa hal itu karena laki-laki memiliki kelebihan setingkat lebih tinggi dibanding perempuan dan karena fungsi ekonomi ada di tangan laki-laki. Yang menarik adalah bahwa teks tersebut tidak menjelaskan secara eksplisit tentang kelebihan lakilaki atas perempuan.
Wanita sebelum datangnya Alquran yakni pada masa jahiliyah, mereka dipandang rendah, hina dan tidak mempunyai nilai di tengah-tengah keluarga dan masyarakat, ia tidak diberi hak, dan penghormatan, ia hanya menjadi pelampiasan hawa nafsu belaka dari pihak laki-laki.[1] Umar bin Khattab menuturkan kejelekan sifat- sifat Arab jahiliyah, sebagai berikut:
كـنـا  فى  الـجـاهـلـيــة  لا نـعـتـد  بـالـنـســاء  ولا  نــدخـلـهـن  فى شـيئ  من أمـورنـا بـل كـنـا  ونحن  بـمـكـة  لا يـكـلـم  أحـدنـا  امـرأتـه  إذا  كـانـت لـه  حـاجـة  سـفـع  بـرجـلـيـهـا ... فـقـضى مـنـهـا  حـاجـتـه.[2]
Karena pandangannya Arab jahiliyah begitu jelek, hina dan rendah sehingga ia sangat membencinya dan tidak segan-segan mengubur hidup-hidup. Alquran melukiskan perbuatan Arab jahiliyah itu dengan nada amat mencela:
-   وإذا  بـشـر احـدهـم  بـالأنـثى  ظـل  وجـهـه  مـسـودا  وهو كـظـم، يـتـوارى  من الـقـوم  مـاسـوء  مـا بـشـر بــه  ايـمـسـكـه  على هون ام يـدسـه  فى الـتراب  الاسـاء  مـا يـحـكـمـون.[3]
-   وإذا  الـمـودودة  سـئـلـت، بـإي  ذنب  قـتـلـت.[4]
Demikianlah ungkapan Alquran tentang kekejian, kedahsyatan dan kengerian kebiasaan mengubur hidup-hidup anak wanitanya. Kebiasaan ini dilakukan karena:
1-   خـشـيـة  الـوقـوع  فى الـعـار، إذا شـذت  اخـلاقـهـا  وارتـكـبـت  الـسـوء.
2-   إذا وقـعـت  فى الـسبي  واخـذهـا  الـحـدوعـهـوة  فـاصـبـحـت  فـريـبـسـة بـين يـديـه.
3-   خـسـيــة  الـفـقــر والامـلاق.[5]
Di zaman jahiliah, wanita bagaikan barang warisan bagi seorang laki-laki pemiliknya. Ia dapat diwariskan begitu saja kepada saudara sang pemilik yang meninggal dunia. Keluarga almarhum suami dari pihak ayah bisa saja mengawinkan si wanita dengan salah seorang di antara mereka atau dengan siapa saja yang mereka suka, mereka bisa juga mencegahnya kawin lagi, agar ia tidak membawa pergi harta suaminya, dan dengan demikian harta warisan tetap menjadi milik keluarga mereka. Dan anak yang menjadi pewaris rumah ayah adalah anak-anaknya yang laki-laki. Sedangkan anak wanita tidak mendapat apa-apa, kecuali bila ada belas kasihan saudara-saudaranya, ia dapat hidup di bawah perlindungan mereka.[6] Dari kenyataan ini menunjukkan bahwa wanita pada masa itu tidak mempunyai hak sama sekali, wanita diperlakukan sewenang-wenang oleh kaum laki-laki, mereka dikuasai dan tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat.
Pada masa jahiliyah di negara Arab terdapat bermacam-   macam kultur perkawinan yang merusak sendi-sendi moral yaitu:
1.     Poliandry; Seorang wanita dipersembahkan kepada banyak laki-laki, baik secara resmi maupun dengan cara lain, Anak yang dilahirkan diserahkan kepada salah satu mereka yang mau.
2.     Istibda; Seorang suami mengizinkan isterinya digauli oleh laki-laki tertentu seperti para penguasa dan pejabat tinggi yang pemberani dan terhormat, agar para isteri mendapat keturunan seperti dia.
3.     Ittikhaf al-Akhdam wa al-Saffah; Sistem perkawinan tidak legal dengan wanita-wanita lain selain isteri seperti mengambil wanita lacur secara terang-terangan (al-Saffah), gundik-gundik atau pacar (al-Akhdam) sebagai teman berkencan dan lain-lain.
4.     Mut’ah; Sistem pernikahan mut’ah disebut pernikahan sementara, Syi'ah sekte Imamiyah memperbolehkan hal yang sama bagi orang-orang Islam.
5.     Mubadalah; Dua orang suami sepakat menukar masing-masing isteri untuk yang lain di antara keduanya.[7]
Dari sistem-sistem perkawinan di atas menunjukkan berlakunya budaya pemilikan atau penguasaan wanita oleh pihak laki-laki, dia diberlakukan sebagaimana hewan dan binatang serta barang.
Dan apakah kelebihan yang diberikan Tuhan kepada laki-laki tersebut bersifat tetap, tidak berubah-ubah atau sebaliknya. Para ahli tafsirlah yang kemudian mengelaborasi lebih lanjut ayat ini dengan menyatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena kwalitas intelektualnya yang lebih tinggi, di samping karena fungsi penanggungjawab nafkah. Akibat dari ketimpangan relasi kuasa dalam dua hal ini; intelektual dan ekonomi, kaum perempuan tidak memiliki hak untuk dilibatkan sebagai penentu dalam segala urusan penting baik dalam ruang domestik maupun publik. Umar bin Khattab, seorang tokoh terkemuka dan teman sebaya Nabi Muhammad Saw juga pernah memberikan kesaksian atas kondisi umum kaum perempuan Arab pra Islam tersebut. Ia mengatakan: “Kami bangsa Arab sebelum Islam, tidak menganggap apa-apa terhadap perempuan. Tetapi begitu nama mereka disebut-sebut Tuhan (dalam al-Qur’ân), kami baru mengetahui bahwa ternyata mereka mempunyai hak-hak atas kami... (bersambung)


[1]Lihat, Muhammad Ali Qutub, Fa«lu Tarbiyat Al-Banati Fi Al-Islam, (Qairo: Maktabah Al-Qur’an, t.th.), h. 21.
[2]Ibid.
[3]Surah Al-Nahl ayat 58-59.
[4]Surah Al-Takwir ayat 8-9.
[5]Lihat, Muhammad Ali Qutub, Op. cit., h. 23.
[6]Lihat, Al-Tahir Al-Hadad, Imratuna fi Al-Syafiati wa Al-Mujtama’, (Cet. II; t.t.: Al-D±r Al-Tunisiah l³ Al-Nasyan, 1972), h. 30.
[7]Lihat, Muhammad Rasyid Ridha, Huquq Al-Mar’at Al-Muslimat, (Qairo: Ma¯ba’ah Al-Manar, 1931), h. 19.