Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Kamis, 26 Juli 2012

The Qur’anic Exegesis in Bugis Language: Vernacularization in the Study of Tafsir al-Munir

By: Sulaiman Ibrahim

This study concludes that the Qur’anic interpretation by AG. H. Daud Ismail successfully conducted a vernacularization of terms and values related to the universality of Islam. This was applied by his presentation of exegesis in which its composition and language style adapt to local interpretation used by the Bugis society. This was due to the fact that many books of Qur’anic interpretation use Arabic and terms which are difficult to understand by local societies. Moreover, most of them include technical terms related to ‘ilm bala>ghah (stylistics), nah}wu (Arabic grammar), and s}arf (word derivations), which sometimes confuse the lay readers.         
This dissertation confirms the argument of Muh}ammad al-Fa>dil ibn A<shu>r in al-Tafsi>r wa Rijāluhu>, that an explanation or interpretation of the Qur’an should uses a language which is easily understood by the community. Indeed, this is in accord with the verse: وماأرسلناك من رسول إلا بلسان قومهم ليبين لهم.
This research is a qualitative one by using interpretive approach. The main source of this dissertation is based on Daud Ismail’s Tafsīr al-Munīr. In attempt to analyze the methodology aspect, it draws on several books of ‘Ulūm al-Qur'an and interpretation (tafsi>r), be it classic or modern one. The data is analyzed with standard interpretation science (‘ilm tafsir) that comprises interpretation method and content analysis. This study uses discourse analysis theory to understand the interpretation while employing interpretation approach to analyze the existing data.




Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Selasa, 17 Juli 2012

Memperlakukan Naskah Dengan Cinta

Oleh : Dr. Dick van der Meij
 
...Setiap kita membuka naskah sebetulnya kita sedang merusak naskah. Jadi kalau bisa membuka naskah itu kalau ada keperluan saja. Sebenarnya kita sadar kalau naskah itu suatu saat pasti akan rusak. Akan tetapi kita bisa memperlambat perusakannya itu dengan cara kita memperlakukan naskah sehari-hari dengan baik...
..Jadi sebetulnya usia naskah itu sama sekali tidak penting. Yang penting adalah naskah...
...Ada naskah yang tidak utuh dan rusak. Sering kali ada orang yang malu kalau menunjukkan naskahnya yang rusak. Tapi itu tidak berarti bahwa isinya tidak menarik. Kalaupun naskahnya rusak parah, tetap kita dapat mengambil pelajaran dari naskah itu; dari segi huruf, dari segi isi, dari segi penulisan, dan ada banyak sekali informasi dari naskah, walaupun naskahnya rusak...
...Meskipun naskah itu tidak kumplit, tetap naskah itu sangat penting. Justru karena tidak kumplit menjadi penting, karena kita bisa belajar apa yang dianggap penting menurut masyarakat untuk dilestarikan di dalam naskah. Kalau semuanya kumplit, fikihnya kumplit, haditsnya kumplit, dan kumplit kumplit semua, justru kita tidak mendapatkan pelajaran sama sekali. Justru karena tidak kumplit itu yang menarik...
...Kepribadian seorang ilmuan, dia akan mencari sesuatu yang menurut dia menarik. Jadi dia akan mencari teks yang menarik...
...Kalau di Eropa dan Amerika kalau membuka naskah yang sudah tua itu pake bantal, tidak boleh di atas meja, harus ada bantalnya, agar tidak merusak naskah dan harus hati-hati. Kalau saya sering lihat di sini (Indonesia) orang membalikkan kertasnya dengan kasar dan keras. Atau membalikkannya dengan memberi ludah di jari lalu jari itu untuk membalikkan kertas...

 
Sesungguhnya saya akan berbicara tentang naskah Jawa dan bagaimana teknik menjaga naskah secara umum. Karena eksistensi naskah tergantung cara kita menyikapinya. Jika kita menyikapinya dengan baik, maka naskah akan aman dan terjaga. Tapi jika kita menyikapinya buruk, maka naskah akan cepat rusak.
Dimulai dengan pembicaraan seputar naskah. Naskah Jawa bermacam-macam bahannya, ada yang menggunakan Deluang, ada yang menggunakan Kertas—macam-macam juga kertasnya—ada juga yang menggunakan Lontar, dan ada juga yang menggunakan bahan lain. Bahan-bahan tersebut sebetulnya cepet rusak, jika  terkena lembab, kotor seperti kemasukan debu-debu, dan cara menyikapi dengan tidak baik.
Ada banyak mis-konsepsi dan salah faham dalam memandang naskah harus tua dan lama baru berharga. Kalau kita tidak menganggap naskah berharga, wajar, menarik, dan lain sebagainya dengan memandang usianya. Ada bermacam-macam naskah, ada yang sama sekali tidak bagus, ada yang rusak, ada yang kotor, ada yang kumplit, dan ada yang tidak kumplit. Jadi ada naskah lama dan naskah baru. Selalu kalau orang bicara naskah sepertinya naskahnya harus lama, tua. Kalau bisa usianya ratusan tahun baru menarik. Tapi kalau kita lihat di wilayah Indonesia sampai sekarang ada beberapa orang tetap menulis naskah. Jadi sebetulnya usia naskah itu sama sekali tidak penting. Yang penting adalah naskah.
Ada naskah yang tidak utuh dan rusak. Sering kali ada orang yang malu kalau menunjukkan naskahnya yang rusak. Tapi itu tidak berarti bahwa isinya tidak menarik. Kalaupun naskahnya rusak parah, tetap kita dapat mengambil pelajaran dari naskah itu; dari segi khuruf, dari segi isi, dari segi penulisan, dan ada banyak sekali informasi dari naskah, walaupun naskahnya rusak.
Tentang naskah kumplit atau tidak kumplit, sering filolog hanya mencari naskah yang kumplit. Tapi kalau kita lihat di dunia ilmu pengetahuan naskah tetap berisikan pengetahuan dan memang jarang sekali ditemukan naskah yang teksnya kumplit. Apalagi dalam dunia Islam itu ada isinya mantra-mantra, jimat-jimat, doa-doa, hadits-hadits, what ever-what ever, yang jarang sekali yang kumplit. Jadi selalu menulis sesuatu sekehendaknya sendiri untuk keperluannya dia (sang penulis) sendiri. Jadi kalau ada sesuatu yang menurut dia tidak perlu untuk dilestarikannya maka tidak ditulisnya. Jadi itulah naskah. Meskipun naskah itu tidak kumplit, tetap naskah itu sangat penting. Justru karena tidak kumplit menjadi penting, karena kita bisa belajar apa yang dianggap penting menurut masyarakat untuk dilestarikan di dalam naskah. Kalau semuanya kumplit, fikihnya kumplit, haditsnya kumplit, dan kumplit kumplit semua, justru kita tidak mendapatkan pelajaran sama sekali. Justru karena tidak kumplit itu yang menarik.
Tentang naskah bagus dan naskah jelek. Tentu saja naskah yang bagus itu tulisannya rapi, tidak kotor, itu baru enak dibaca. Apalagi di Indonesia ada naskah-naskah yang perawatannya kurang, sering kita melihat naskah-naskahnya kotor dan lapuk. Tapi kalau naskahnya bagus-bagus juga belum tentu isinya bagus. Kalau isinya tidak bagus tentu tidak menarik. Meskipun naskahnya kotor dan lapuk tapi isinya bagus, maka naskah itu menarik.
Kepribadian seorang ilmuan, dia akan mencari sesuatu yang menurut dia menarik. Jadi dia akan mencari teks yang menarik. Dia akan mencari naskah yang berisikan teks yang menarik itu. Di Indonesia banyak naskah yang dibeli atau dibawa oleh orang luar negeri. Tetapi untuk mendapatkan suatu gambaran atau bayangan tentang bagaimana mengecek naskah benar-benar naskah Indonesia sebetulnya kita menginfentarisir teks sebetulnya apa yang sama sekali belum dicari dan naskah-naskah apa yang perlu kita lestarikan. Jadi walaupun kita melihat setumpuk naskah dari segi macam-macam kurang menarik, itu belum berarti isinya tidak menarik.
Banyak naskah itu ditulis dalam buku tulis, contohnya dari Jawa Tengah. Kita lihat kertanya itu memang untuk buku tulis anak-anak sekolah. Jadi kertanya itu tidak harus seratus persen bagus, disampul, untuk dilestarikan berabad-abad lamanya seperti Deluwang. Banyak naskah dari buku seperti ini tidak bagus dan cepat rusak, karena itu kita harus cepat-cepat dirawat dan diselamatkan. Tintanya dari Pulpen dan dari tinta-tinta yang lain. Semua naskah, penting atau tidak penting, perlu dilestarikan. Sedangkan di Jogja justru dibuang, ini apa tidak penting dibuang saja. Karena kendala bahasa. Banyak naskah yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Sangsakerta, karena tidak ada yang bisa membacanya akhirnya naskah itu dianggap tidak penting dan dibuang.
Kita harus memahami isi naskah untuk mendapatkan gambaran dunia yang sebenarnya. Karena itu naskah harus DIHORMATI. Walaupun naskah kotor, kita harus tetap menghormati naskah. Kalau kita tidak menghormati naskah, kita tidak bisa memahami dengan baik dan sia-sia semuanya. Naskah itu macam-macam, jadi ada yang huruf Arab, ada yang huruf Latin, ada yang huruf Jawa, ada yang huruf Pegon, dan macam-macam.
Sebetulnya naskah itu ada yang besar dan ada yang kecil sekali. Justru naskah yang kecil yang menarik. Karena yang kecil yang dibawa kemana-mana sebagai catatan pribadinya dia (sang penulis). Jadi kita bisa melihat apa yang penting dalam kebudayaannya dia, sang penulis naskah.
Kita harus hati-hati membuka dan menyentuh naskah. Kita harus sadar bahwa naskah ini cuma ada satu, seperti nafas kita itu cuman satu. Jadi harus hati-hati memperlakukan naskah. Ini pengalaman saya di perpustakaan. Memang sekarang sudah ada mesin cetak yang bisa memperbanyak naskah. Cuman di Indonesia sekarang ini sudah tidak ada lagi naskah yang betul-betul tua sekali. Kebanyakan naskah-naskah abad ke-19 dan abad ke-20. Jadi sebetulnya naskahnya masih berusia sekitar 2 abad-an yang lalu. Jadi karena naskahnya sudah tua, maka kita harus hati-hati. Bukan hanya kertasnya yang rusak, tapi juga punggung bukunya juga bisa rusak. Contoh kalau kita membuka buku atau naskah dengan menekan dengan kuat, maka punggungnya akan rusak. Itu harus hati-hati. Kalau di Eropa dan Amerika itu kalau membuka naskah yang sudah tua itu pake Bantal, tidak boleh di atas meja, harus ada Bantalnya, agar tidak merusak naskah dan harus hati-hati. Kalau saya sering lihat di sini (Indonesia) orang membalikkan kertasnya dengan kasar dan keras. Atau membalikkannya dengan memberi ludah di jari lalu jari itu untuk membalikkan kertas. Rusak kertasnya. Kalau kertasnya rusak bagaimana? Kita jangan memperlakukan kertasnya dengan ditekan, dibanting, dan lain sebagainya. Paling sering merusak naskahnya karena cara membacanya seperti itu. Kita jangan memperlakukan naskah seperti itu.
Mereka di Eropa pun kalau membuka naskah tangannya dengan dibungkus Sarung Tangan. Bukan karena mereka lagi sakit, tapi mereka takut lembaban-lembaban keringat tangannya menempel dan merusak naskah.
Jadi itu sangat penting sekali perlu diperhatikan, agar naskah dijaga dan dirawat. Di Amerika banyak sekali lembaga-lembaga yang menjaga dan merawat naskah. Tapi kalau kita ingin berbicara bagaimana mengidentifikasi naskah Jawa harus ada waktu sendiri, bukan sekarang.
Naskah jangan sampai terkena basah-basah. Kalau membuka naskah jangan sambil meminum Kopi dan merokok keretek yang akan menimpa naskah dan merusaknya. Di samping itu juga akan memecah konsentrasi, kadang melihat naskah, kadang minum Kopi, merokok, kadang ada nasi Padangnya..
Ini ada naskah Lontar dari Lombok. Isinya tentang Nabi Bercukur. Sebetulnya Lontar itu di Indonesia adalah bahan naskah yang paling bagus. Karena kalau selain Lontar itu cepat kemakan Rayap.
Di antaranya faktor yang bisa merusak naskah adalah mencoret-coret naskah, menekuk-nekuk kertas, dan lain sebagainya. Itu membahayakan. Potocopy pun akan merusak naskah. Coba bayangkan, kalau potocopy itu kan panasnya 100 derajat dan naskahnya dibolak-balik tunggu saja rusaknya.
Sebelum membuka naskah, terlebih dahulu kita pastikan tangan kita harus kering. Sering kali juga naskah bisa rusak ketika mau mencari keterangan yang penting, akhirnya dibuka-buka secara cepat agar sampai pada halaman yang dicari.
Cara meletakkan naskah juga kalau salah akan merusaknya. Seperti meletakkan naskah di lantai yang dingin atau di meja yang kotor. Atau naskah itu sering kesentuh oleh benda-benda lain, seperti kena kabel komputer atau benda yang lain, maka itu akan cepat rusak.
Yang paling gawat itu saya melihat di Keraton, di Perpusakaan, di Perpustakaan Nasional, itu buku atau naskah ditumpuk saja, jadi naskah yang ada di bawah kalau sudah lapuk terbebani oleh naskah yang ada di atasnya maka akan rusak. Di Perpustakaan Nasional ada naskah tebal abad ke-17 ada tulisan Belanda-nya tidak bisa dibuka, keras sekali seperti Batu. Bukunya ada 10 (sepuluh) yang mungkin harganya satunya sekitar 20.000$ (dua puluh ribu dollar) kalau bisa dibuka. Tapi karena naskahnya ditumpuk jadi tidak ada harganya sama sekali. Tidak ada suhu udara dan ada kelembaban akhirnya rusak. Di Perpustakaan Nasional banyak sekali naskah yang diperlakukan tidak baik. Akhirnya merusak naskahnya. Ini pengaturan yang bodoh. Naskah bisa rusak karena memperlakukan naskah sehari-harinya memang tidak bagus. Semestinya naskah dan buku itu tidak ditumpuk. 
Saya belum pernah ke pesantren. Jadi saya tidak tahu bagaimana cara orang-orang pesantren memperlakukan naskah.
Ada asumsi bahwa kalau kita mau menjaga naskah dengan baik harus berada di ruangan yang ber-AC. Itu sebetulnya omong kosong. Karena pada dasarnya di ruang yang ber-AC ataupun tidak yang penting naskahnya kering. Jadi kalau di ruangan yang ber-AC, ketika AC-nya dimatikan maka naskahnya lebih parah lagi lembabnya. Kalau mau ditaruh di ruang yang ber-AC maka AC-nya harus dinyalakan terus. Karena kalau kadang AC dihidupkan dan kadang dimatikan maka naskahnya lembab-kering, lembab-kering, dan rusak.
Di ruangan naskah pun kalau bisa jangan makan makanan di dalam ruangannya atau kalau makan maka sisa-sisa makannya harus dikeluarkan, karena bau dari sisa-sisa makanan itu juga akan merusak naskahnya.
Setiap kita membuka naskah sebetulnya kita sedang merusak naskah. Jadi kalau bisa membuka naskah itu kalau ada keperluan saja. Sebenarnya kita sadar kalau naskah itu kan suatu saat pasti akan rusak. Akan tetapi kita bisa memperlambat perusakannya itu kan dengan cara kita memperlakukan naskah sehari-hari dengan baik.
Mendigitalisasi naskah itu bagus sekali, supaya naskah tidak dibuka terus-terusan. Jadi kita bisa membaca dan memahami isi naskah melalui Komputer, tidak membuka naskahnya langsung. Memang naskah aslinya tetap penting karena kita bisa mendapatkan informasi tentang hal-hal tentang naskah itu. Naskah asli harus disimpan di rumah pemiliknya. Jadi sebelum kita ke perpustakaannya atau rumah pemilik naskahnya, kita sudah tahu naskah mana yang menarik melalu Komputer yag berisi digitalisasi naskah itu.
Membuat katalogisasi naskah pun cukup melalui Komputer, tidak melalui naskahnya langsung. Karena sering sekali perusakan naskah itu justru oleh orang yang membikin katalog buku buat perpustakaan. Jika naskah sudah rusak, maka jangan diapa-apain sebelum minta nasehat dari seorang pakar. Kalau ada naskah rusak jangan sekali-kali menempelkan lakban atau solasi, karena justru akan memperparah kerusakannya. Jadi sebaiknya harus ada satu buku yang menjelaskan bagaimana cara merawat naskah yang sudah rusak.
Ketika melihat watrmark (cap kertas) di naskah pun harus hati-hati. Karena kalau caranya dengan mengangkat kertas ke atas agar bisa kelihatan watrmark-nya, maka akan merusak naskah. Jadi kalau bisa lampunya saja didekatkan ke naskah agar watrmark-nya kelihatan.
Persoalan judul. Di Indonesia banyak sekali naskah yang tidak ada judulnya. Jarang sekali ada naskah yang memang ada judulnya. Kita harus mencari judul sendiri. Jadi kalau bisa difahami dulu isinya apa, maka baru bisa ketahuan apa judulnya. Jangan dulu diberikan ke orang lain, sebelum dicari judulnya. Memang sangat susah sekali mencari judul naskah kalau di depan dan di belakang naskah tidak ada judulnya. Kita harus mencari informasi dari naskah itu sendiri. Ada juga judulnya macam-macam dan sering kali ada beberapa teks dalam satu naskah. Ada teksnya kecil misalnya Suluk-Suluk atau kadang banyak sekali kumpulan-kumpulan teks dalam satu naskah.
Kolofon itu yang mengetahui dimana dia menulis, kapan dia menulis dan informasi-informasi yang lain. Sering kali kolofon itu ada di bagian depan atau bagian akhir teks, tidak pernah ada di tengah-tengah. Seringkali kolofon itu tidak memberikan informasi yang utuh, sering  kali ditulis cuman “ditulis oleh Si Anu”, atau “ditulis oleh Ale Capung”, atau “ditulis dalam tahun Dal”, atau “ditulis dalam Kliwon Legi” atau “ditulis dalam Jumat Keliwon”, dan informasi yang lain tidak ada. Ada juga kolofonnya menunjukkan informasi lengkap, ditulis oleh Si Anu, pada hari ini, pada tahun ini, dan lain sebagainya, ada juga. Tapi berbeda sekali kalau tidak ada kolofonnya. Kita tidak bisa menyalahkan naskah. Kita, para peneliti, harus membaca kolofonnya, agar kita tahu informasi tentang teksnya. Kita tidak untuk teks itu sendiri, tapi untuk kepentingan orang lain. Kalau naskah Keraton seringnya ada kolofonnya, ditulis oleh siapa, siapa, siapa, itu ada, dan kapan ditulis dan dimana. Kalau di lingkungan rakyat kadang naskahnya tidak ada kolofonnya.
Sering kita lihat kesalahan dalam naskah, dan ini hanya bisa diketahui oleh para filologi. Akan tetapi biasanya kesalahan itu dikasih tahu oleh penulis naskahnya itu sendiri, misalnya dikasih coretan ke arah pinggir dan ditulis teks yang benarnya apa.
******
Kita harus sadar dan harus hati-hati. Jadi semua jenis bahan, kita perlakukan secara halus, tidak kasar, supaya tidak rusak. Kalau naskahnya masih baru dan bagus, ya kita bisa santai. Tapi kalau naskahnya sudah tua dan sudah rusak, maka kita harus hati-hati memperlakukannya agar tidak memperparah lagi kerusakannya.
Sebetulnya kita membuka naskah itu tujuannya apa? Memang naskah harus dibuka, tapi dengan cara yang baik, supaya tidak memperpara kondisinya. Jadi jangan sampai membuka naskah secara percuma. Kita harus hati-hati sebelumnya dan apa tujuannya. Kalau tujuannya ingin mengetahui isinya, kita harus langsung membuka dan mencatat isinya apa saja, tidak dibolak-balik dari depan ke belakang dan seterusnya. Intinya memperlakukan naskah dengan baik. 

******
Persoalan harga naskah sebuah manuscrip ada perbedaan antara dunia ilmu ilmu pengetahuan dan dunia bisnis komersial. Kalau naskahnya masih bagus dan isinya jarang atau tidak ditemukan di naskah lain, maka mahal. Tapi kalau naskahnya sudah rusak-rusak dan isinya biasa ada juga di teks yang lain, maka harganya tidak mahal. Ada perbedaan antara harga pasaran dan pengetahuan. Karena kalau menurut ilmu pengetahuan semua naskah itu sama-sama pentingnya.
Saya rasa Indonesia belum mengerti harga dari benda-benda yang ada di Indonesia. Sering kali naksah-naskah Keraton dijual, padahal penting. Tapi karena dia butuh duit. Mungkin karena dia habis kalah judi. Atau mungkin anaknya perlu biaya sekolah. Dijual paling 1000$ (Seribu dollar). Alasan kedua lebih bagus (baca; untuk anak sekolah). Tapi seringnya alasan yang pertama (kalah judi). Kita harus mengerti juga bahwa naskah itu milik pribadi orang. Jadi kalau ada orang Keraton Solo itu jual ya jual. Ini kan terserah dia. Tetapi gobloknya di Indonesia, orang Indonesia banyak yang membeli mobil Mercy-Mercy dan lain sebagainya atau membeli Parfum-Parfum yang mahal-mahal, sementara kalau ada orang yang mau jual naskahnya dengan harga 1000$ saja lari dia, tidak mau beli. Karena orang-orang di sini (Indonesia) tidak mau memakai uangnya untuk melestarikan kebudayaannya sendiri. Dan kalau memang ada orang yang mau beli, ya jual. Jual sudah selesai. Bagaimana bisa mempertahankan kebudayaannya sendiri, kalau ada orang di Indonesia mau menjual naskahnya tidak mau dibeli. Jangan teriak kalau ternyata naskah itu lari keluar dari Indonesia karena dibeli oleh orang luar negeri. Kenapa tidak bisa langsung dijual saja ke Perpustakaan Nasional saja dengan diberi harga yang bagus? Karena Perpustakaan Nasional tidak punya duit, karena duitnya dipake buat jalan-jalan ke luar negeri. Itukan kenyataan.
Jadi kalau ada orang yang punya naskah mau dijual dan ada orang yang tertarik dan membelinya maka oke lah, naskah itu akan bisa lestari. Saya pernah diwawancarai, saya bilang “jangan dijual ke touris. Karena touris kan sama sekali tidak mengerti. Awal-awalnya tertarik, tapi 10 tahun atau 20 tahun kemudian dia buang juga karena bosan. Nah ini kan sayang.”
Kalau bagi saya, naskah dijual pada orang yang mempunyai besar perhatiannya terhadap naskah, ya tidak masalah. Toh naskahnya pasti akan dijaga dan dirawat. Daripada dibuang. Tapi lebih baik naskah itu jangan keluar dari Indonesia. Karena itu Perpustakaan Nasional harus mengatur sistem jual-beli naskah yang ada di Indonesia, sehingga kalau ada orang yang butuh duit dan akan membeli naskah lewat Perpustakan Nasional, tidak dijual orang asing.
Disini ada juga orang Indonesianya tidak mengerti, bahwa kalau ada barang yang dikeluarkan sesudah tahun 79, itu barang sudah tidak bisa diterima oleh perpustakaan di Eropa misalnya, itu terjadi. Ada orang touris yang tidak tahu, itu dia membeli naskah yang jarang sekali tapi dia membelinya tahun 90. Itu semua perpustakaan di Eropa dan Amerika tidak mau menerimanya, karena semua perpustakaan tidak boleh menerima atau membeli barang-barang yang keluar dari Indonesia. Lalu mau dikemanakan? Orangnya sudah tidak mau lagi punya dan perpustakaan tidak boleh beli. Akhirnya naskah dibuang. Itu program UNESCO. Orang itu tidak mau lagi mengirim ke penjualnya. Mau dikirim ke siapa? Ada Undang-Undang di Eropa pelarangan mengoleksi naskah dari Indonesia. Setelah itu bingung, barang-barang atau naskah-naskah itu mau dikemanakan? Kalau dikembalikan juga ongkosnya mahal. Dan pemiliknya pun setelah menerimanya kembali dibuang. Sayang sekali. Naskah tidak boleh keluar dari Indonesia setelah ada Undang-Undang UNESCO. Lalu naskah itu mau dikemanakan, sementara orang-orang Eropa tidak mau lagi membelinya? Ya akhirnya naskah dibuang. Jadi jangan sampai menuduh siapa saja yah dengan macam-macam.
Nah itu rasa cinta dan rasa sayang terhadap benda-benda purbakala atau naskah-naskah kuno bagi Indonesia sangat lemah. Orang-orang Indonesia sangat jarang sekali yang bisa menghargai benda-benda kuno, barang purbakala miliknya sendiri. Atau ada penghargaan tapi sangat kecil sekali, sangat lemah. Itu masalahnya. Orang-orang Keraton Jogja sendiri tidak tahu bahasa Jawa dan huruf Jawanya. Daripada tidak ngerti bagi dia ah dijual aja dapat duit..
Jadi masalah harga naskah itu ada perbedaan antara pengetahuan dan harga pasar. Orang-orang sudah pada tahu jalur-jalur pembelian itu seperti di Keraton Solo dan Jogja. Di Singaraja-Bali itu banyak sekali Lontar-Lontar yang bagus-bagus, kemudian hilang. Mungkin dijual. Kenapa demikian? Karena Bupati tidak mau memberikan dana. Karena Bupati tidak tertarik kepada naskah. Katanya undang-undang dan peraturan Otonomi Daerah, di dalam peraturan itu mereka lupa tentang perpustakaan. Jadi sekarang perpustakaan-perpustakaan sudah tidak ditangani lagi oleh pusat, pusat bilang eeee..Otonomi Daerah, sedangkan Daerah tidak mau membiayai karena tidak ada di dalam peraturan. Rusak semua!
******
Tentang faktor yang dapat merusak naskah. Saya rasa bukan hanya faktor suhu yang bisa merusak, akan tetapi juga polusi dan sikap kita terhadap naskah, seperti coretan-coretan, udara juga berakibat jelek bagi kita sendiri apalagi naskahnya. Kalau naskah itu dibawa ke Britis Library dengan biaya 100.000$ itu bisa dilestarikan, tapi itu jarang terjadi. Jadi naskah itu jangan ditumpuk terus dan lemarinya jangan ditutup terus. Apalagi ada serangga yang akan memakannya. Karena itu digitalisasi ini akan membantu melestarikan naskah, walaupun naskah aslinya pasti akan rusak. Tapi hati-hati, karena contoh ada program dari Ford Foundatioun sekitar tahun 90-an, naskah-naskah banyak sekali di-micro film. Kalau sekarang kita suruh baca micro film, kita akan kesusahan, karena micro film itu semenjak zaman Dinosaurus, dan sekarang Digital. Dan digital pun harus ada software yang memungkinkan kita untuk membacanya. Nah masalahnya kalau software-nya tidak disesuaikan dengan bahannya, 20 tahun atau 30 tahun lagi software-nya sudah tidak cocok lagi dengan generasi digitalnya. Ini sudah terjadi, misalnya kita beli DVD 20 tahun yang lalu, kemudian kita sekarang tidak bisa membacanya karena sudah tidak ada lagi programnya. Jadi tetap kita harus memiliki naskah aslinya. Karena kalau software-nya sudah tidak bisa dibaca lagi karena sudah tidak ada programnya, naskah aslinya masih bisa dirujuk. Maka kita harus menjaga naskah aslinya sebaik-baiknya, meski pun toh lama kelamaan pasti akan rusak. Jadi harus ditaruh di ruangan yang luas, tidak kecil, ditutup jendela-jendela dan pintunya agar debu-debu tidak masuk; dikasih AC, tapi jangan terlalu besar cukup 28 derajat, jangan terlalu dingin, yang penting naskahnya tetap kering; dan hati-hati kalau ada orang yang masuk, dikasih daftar kunjungan, dan perhatikan juga Boss-nya, karena di sini kan terkadang Boss-nya semaunya sendiri. Dan harus ada catatan yang menjelaskan bagaimana cara menangani naskah supaya tidak rusak. Terkadang juga atapnya bocor, nah ini kebocoran harus cepat ditangani. Jadi kalau bisa membikin sap-sap Papan, jarak antara Papan agak longgar, dan satu persatu naskah diletakkan di atas papan, jangan ditumpuk. Kalau bisa jangan pakai Kaca, karena lembab, lebih baik pake lemari kayu. Hati-hati rayap masuk, karena rayap itu muncul dari Lantai.    

Dr. Dic van der Meij, pakar fillologi Jawa kebangsaan Belanda saat mempresentasikan bagaimana cara menyikapi naskah atau manuscrip dengan baik dan penuh kelembutan di Pelatihan yang diselenggarakan oleh Rumah Kitab dan ILMU-PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Kemenag RI. Tgl. 21-22 Februari 2012.
 
Ditranskip oleh Mukti Ali

Sumber:  http://www.rumahkitab.com/artikel/2/opini/184/memperlakukan_naskah_dengan_cinta.html


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Senin, 16 Juli 2012

TEORI NASKH MAHMÛD MUHAMMAD TÂHÂ DAN NAZARIYYAT AL-HUDÛD MUHAMMAD SYAHRÛR



Jika dikaji secara mendalam, teori Tâhâ maupun Syahrûr tersebut, jika dikaji secara mendalam, menurut penulis, tampak relevansinya dengan al-maslahah (kemaslahatan), Maqâsid al-Syarî`ah, yakni tujuan-tujuan syariat dalam perumusan dan penetapan hukum Islam.

Rekonstruksi Penafsiran
Kajian terhadap hukum Islam terus berkembang --meski pernah mengalami masa kemandekan (kejumudan), ketika taqlîd berkembang-- baik berkaitan dengan aspek normatifnya maupun aspek implementatifnya (tatbîq), dan dalam rupa apresiasi maupun kritik terhadapnya, dilakukan oleh kalangan Muslim maupun kalangan non-Muslim/orientalis. Hal itu, karena hukum Islam merupakan salah satu pilar di antara tiga pilar yang fundamental (penting) dalam Islam.  Pentingnya hukum Islam ini sendiri juga diakui oleh salah seorang orientalis terkemuka, Joseph Schacht, yang menyatakan, “Islamic law is the epitome of Islamic thought, the most typical manifestation of the Islamic way of life, the core and kernel of Islam itself” ,  bahwa hukum Islam  merupakan lambang pemikiran Islam, manifestasi paling tipikal dari pandangan hidup Islam serta merupakan inti dan titik sentral Islam itu sendiri. Kajian terhadap hukum Islam agar dapat responsif dan aplikatif untuk memenuhi kebutuhan bagi masyarakat menjadi semakin intensif di zaman modern ini, di mana terjadi perubahan-perubahan sosial yang dihadapi kaum muslimin yang berkaitan dengan berbagai masalah hukum Islam.

Permasalahan-permasalahan yang terkait dengan perubahan sosial tersebut misalnya, tentang murtad dan hukumannya dalam konteks kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia (HAM); kebebasan menjalankan ajaran keagamaan/ajaran Islam menurut sekte/mazhab yang diyakini oleh pengikutnya, misalnya bagaimana hukumnya orang yang berpegang pada keyakinan dan amalan yang dijalankan oleh kelompok Ahmadiyah, mengenai adanya kenabian paska Nabi Muhammad wafat, khususnya meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad merupakan nabi. Masalah peran gender/kedudukan wanita dalam Islam (hukum Islam), di mana terdapat dominasi atau diskriminasi gender oleh laki-laki terhadap perempuan: perempuan tidak punya peran yang signifikan dalan ruang publik, misalnya menjadi imam shalat Jum’at. Masalah jihâd/perang, bom bunuh diri, otopsi, euthanasia, dan sebagainya. Pada pokoknya permasalahan tersebut berkaitan erat dengan term yang populer dengan HAM.

Dalam konteks inilah, hukum Islam klasik (fiqh tradisional) dipandang kurang sesuai lagi diterapkan dalam menjawab permasalahan kontemporer di atas. Persoalannya karena hukum Islam klasik tersebut memang diproduk (dirancang) untuk menjadi jawaban problem yang muncul pada masanya, kala itu, yang sangat terbatas dan bersifat lokal. Meskipun demikian, menjadi masalah krusial dan amat disayangkan, terdapat kenyataan bahwa hukum fiqh klasik di atas masih dijadikan rujukan bahkan pedoman terutama oleh kalangan yang berhaluan radikal dan konservatif. Penekanan haluan ini didasarkan pada pendekatan/paradigma formalistik daripada pendekatan/paradigma substantif. Padahal ketika orientasi atau concern hukum Islam diarahkan pada bentuk-bentuk formalnya yang disebut sebagai formalisme (formalism), maka akan mengakibatkan permasalahan serius, membahayakan bagi kehidupan yang tenteram, terutama dalam kehidupan masyarakat yang plural, karena Islam bukanlah sekadar bentuk-bentuk formal hukuman namun utamanya yang menjadi titik tekannya adalah substansi atau tujuan hukum itu sendiri, yang intinya adalah untuk kemaslahatan manusia. Berkaitan dengan itulah, Fazlur Rahman menegaskan “What is injurious to a living faith and a living society is not forms but formalism”,  bahwa yang membahayakan terhadap keimanan yang hidup (dinamis) dan masyarakat yang hidup (dinamis) bukanlah bentuk-bentuk formal, namun formalisme (aliran/orientasi bentuk-bentuk formal simbolik). Akibatnya yang muncul adalah penafsiran hukum Islam tampak tidak humanis (manusiawi), karena kaku dan tidak fleksibel. Padahal Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmah li al-`âlamîn).

Untuk itulah, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dalam menghadapi masalah di atas. Salah satu bentuk upaya dan jawaban terhadap kompleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini adalah dengan melakukan reaktualisasi, revitalisasi ajaran Islam atau rekonstruksi penafsiran doktrin Islam. Reaktualisasi ajaran Islam dalam suatu arti, dapat dinyatakan sebagai upaya yang didorong oleh penilaian terhadap keadaan doktrin agama yang ada dan kaum muslimin sebagai belum memuaskan untuk menggali apa yang diyakini sebagai standar-standar Islam yang benar agar dapat dipedomani kaum muslimin dalam beradaptasi dengan konteks masa kini yang terus berubah.

Konsepsi tentang reaktualisasi/revitalisasi maupun rekonstruksi penafsiran ajaran Islam tersebut mengimplikasikan bahwa penafsiran-penafsiran ajaran Islam yang masih dominan yang ada sekarang berasal dari upaya mengadaptasikan ajaran tersebut ke dalam situasi masa lampau. Karena itu, penafsiran tersebut telah terlalu dipengaruhi oleh proses perkembangan historis dan kultural. Jadi, reaktualisasi/revitalisasi maupun rekonstruksi penafsiran berarti melepas beban-beban sejarah dan budaya itu guna diberi alternatif-alternatif baru yang diharapkan lebih responsif, kontekstual, dan selaras dengan kebutuhan manusia. Dengan kata lain, warisan keagamaan Islam tradisional banyak yang dipandang tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan zaman.

    Reaktualisasi maupun rekonstruksi penafsiran ajaran Islam ini bisa dilakukan dengan cara merumuskan teori yang relevan dengan tujuan-tujuan Islam (Maqâsid al-Syarî`ah). Oleh karena itu, berbagai teori untuk ijtihâd alternatif, yang diusulkan para pemikir kontemporer dari berbagai disiplin ilmu, perlu diapresiasi secara baik, dan dikembangkan lebih lanjut.

Paradigma Maqâsid al-Syarî`ah
Kata Maqâsid al-Syarî`ah merupakan gabungan dari dua kata maqâsid (bentuk jamak dari maqsûd), yang berarti tujuan-tujuan, dan syarî`ah,  yang berarti jalan, --dalam arti luas ajaran Islam. Secara bahasa maqâsid al-Syarî`ah berarti tujuan-tujuan Syarî`ah.  Tujuan Syarî`ah pada intinya adalah kemaslahatan (al-masâlih) yang bersifat langgeng, universal, dan umum (abadiyyan wa kulliyyan wa `âmman).  Secara lebih luas kemaslahatan itu berupa keadilan, rahmat, kebijaksanaan, dan kemaslahatan itu sendiri, yang merupakan tujuan utama Syarî`ah.  Prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar Islam mengenai kemaslahatan ini secara garis besarnya telah tercantum dalam al-Qur’ân. Al-Qur’ân adalah totalitas syarî`ah, mata air kebijaksanaan, dan sumber Syarî`ah. Sebuah kitab yang menjadi way of life umat Islam sepanjang masa untuk kemaslahatan mereka baik di dunia dan akhirat.

Berdasarkan kerangka inilah, Syarî`ah menjadi integral dengan tujuan Syarî`ah itu sendiri, yang intinya berupa keadilan, rahmat, kebijaksanaan, dan kemaslahatan. Dalam pengertian ini, segala bentuk penyimpangan dari prinsip-prinsip atau maqâsid al-Syarî`ah ini bukanlah Syarî`ah.  Dengan demikian, Syarî`ah itu tidak dapat dipisahkan dari tujuannya (maqâsid al-Syarî`ah).

Paradigma Maqâsid al-Syarî`ah perlu mendapat penekanan dalam setiap teori ijtihâd alternatif, sebab kajian terhadap maqâsid al-Syarî`ah itu sendiri dapat memperkaya dan memperkuat pemikiran Islam kontemporer, serta mengarahkan kepada sasaran yang tepat.   Intinya, signifikansi paradigma Maqâsid al-Syarî`ah adalah untuk mengarahkan suatu kesimpulan hukum yang tepat sasaran, yakni memberikan kemaslahatan bagi manusia. Dalam konteks inilah, al-Syâtibî (w. 790/1388), seorang ulama progresif mazhab Mâlikî, menyatakan, bahwa “Siapa saja yang tidak mendalam pengetahuan atau wawasannya tentang maqâsid al-Syarî`ah, justeru ia memahami Syarî`ah tidak sesuai dengan tujuan yang dikehendaki Syarî`ah itu sendiri.  
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep maqâsid al-Syarî`ah itu sendiri ternyata terus mengalami pengembangan. Maqâsid al-Syarî`ah semakin dikembangkan lagi muatannya, bukan hanya memuat al-kulliyyah al-khamsah (lima prinsip Syariat universal): hifz al-dîn (memelihara agama), hifz al-nafs (memelihara jiwa/kehidupan), hifz al-nasl (memelihara keturunan), hifz al-`aql (memelihara akal), dan hifz al-mâl (memelihara harta), tetapi juga memuat al-`adâlah (keadilan), al-musâwah (egalitarian), al-hurriyyah (kebebasan), al-huqûq al-ijtimâ`iyyah wa al-iqtisâdiyyah (hak-hak sosial dan perekonomian).
 
Pada masa sekarang,  al-kulliyyah al-khamsah, menurut Jamâl `Atiyyah, dapat dikembangkan menjadi empat segmen: segmen individu (majâl al-fard), keluarga (majâl al-usrah), umat (majâl al-ummah), dan kemanusiaan (majâl al-insân).

Penekanan pada Maqâsid al-Syarî`ah dewasa ini menjadi semakin signifikan untuk kebutuhan proyek Islam. Dalam konteks inilah, Walid Saif menegaskan bahwa proyek Islam harus ditekankan pada prinsip-prinsip Islam dan tujuan Syarî`ah (Maqâsid al-Syarî`ah) untuk memproduk sebuah model modern bagi kemajuan dan peradaban yang merefleksikan nilai-nilai universalnya. Hal ini pada esensinya merupakan proses kesejarahan yang dapat dicapai dengan pencerahan (enlightenment), partisipasi aktif dalam urusan-urusan dunia, produksi pengetahuan dan akumulasi kemajuan-kemajuan dalam seluruh level kehidupan sosial (masyarakat).
Penekanan pada Maqâsid al-Syarî`ah tersebut sebenarnya telah menjadi trend pemikiran yang telah berlangsung mulai abad ke-20 Masehi.  Dalam penelitian David Johnston dan Wael B. Hallaq, pendekatan yang menekankan pada Maqâsid al-Syarî`ah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua alur, kecenderungan atau model, yaitu model ”religius utilitarianism” (utilitarianisme religius)/pendekatan maqâsidî (“purposeful”/“purposive”) dan model ”religious liberalism” (liberalisme religius). 

Pendekatan utilitarian/pendekatan maqâsidî dalam teori hukum Islam adalah teori yang berangkat dari tujuan-tujuan hukum wahyu (Maqâsid al-Syarî`ah) dan bergerak dari yang general kepada yang spesifik, bukan hanya menggunakan pertimbangan kepentingan publik (maslahah) dan kemestian/ eniscayaan (darûrah) sebagai perangkat-perangkat pembimbing ke arah perumusan hukum, tetapi juga mendasarkan pada perintah-perintah etis (imperatives ethical) seperti keadilan (justice), dan terlebih lagi, perdamaian dan rekonsiliasi. Sedangkan pendekatan kelompok kedua (religious liberalisme)  berpijak pada pengungkapan pemahaman wahyu baik teks dan konteksnya. “Ini berarti bahwa hubungan antara teks wahyu dan masyarakat modern tidak didasarkan pada penekanaan hermeneutika literalist, namun lebih pada interpretasi spirit dan (penekanan) atau tujuan utama yang terdapat di balik bahasa spesifik teks.” 

Menurut Hallaq, secara teologis kedua kecenderungan (model) penafsiran hukum di atas mengambil kerangka yang luas dari doktrin keagamaan yang diajukan oleh Muhammad `Abduh.  Keduanya juga mencanangkan tujuan yang sama, yakni perumusan kembali teori hukum dalam suatu cara yang membawa pada sintesa nilai-nilai keagamaan dasar Islam yang berhasil, pada satu sisi, dan suatu hukum substantif yang cocok untuk kebutuhan masyarakat modern yang sedang berubah, pada sisi lain. Metode-metode yang mereka gunakan untuk sampai pada tujuan ini berbeda secara signifikan. Para utilitarianis keagamaan menusliskan teori mereka terutama dalam hubungannya dengan kepentingan umum (maslahah al-`âmmâh), yang secara tradisional merupakan suatu prinsip penerapan yang agak terbatas yang meskipun demikian telah mereka perluas untuk menjadikannya sebagai komponen terdepan dari teori dan metodologi hukum. Para utilitarianis ini memberi kontribusi terhadap serangkaian prinsip-prinsip partikular yang diletakkan oleh para fuqahâ’ awal dan Abad Pertengahan (sekitar 750-1350 M.). Akan tetapi, menurut Hallaq, mereka menanamkan prinsip ini secara agak nominal (dangkal) yang dengannya mereka telah memanipulasi dan malah menyusun kembali prinsip-prinsip itu ke arah yang lebih maju.
 
Para liberalis religius pada satu sisi membuang seluruh prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh para fuqahâ’ tradisional dan pemaknaan mereka, meskipun jauh dari perkembangan yang baik, merupakan fenomena baru dalam Islam. Akan tetapi bukanlah asumsi-asumsi substantif mereka. Tampaknya mereka telah mengambil aspek rasional dari tesis `Abduh bersama-sama dengan warisan yang ada di belakangnya dan dalam hal ini Abduh mungkin diklaim, secara paradoks, sebagai bapak ideasional kaum utilitarianis, dan sekaligus moderat intelektual yang jauh dari kaum liberalis.
Sejumlah pemikir yang termasuk dalam model pertama adalah Muhammad `Abduh (w. 1905), Rasyîd Ridâ (w. 1935), `Abd al-Wahhâb Khallâf, (w. 1956), Muhammad Abû Zahrah, semuanya asal Mesir, `Allâl al-Fâsî (w. 1963), pemikir asal Maroko, Muhammad Sa`îd Ramadân al-Bûtî (l. 1929), asal Syiria, dan Hassan Turabî, Mahmûd Muhammad Tâhâ (w. 1985), keduanya asal Sudan. Sedangkan yang termasuk dalam model kedua adalah Muhammad Sa`îd `Asymâwî, ahli hukum Mesir, Fazlur Rahman (w. 1988), sarjana dan pembaru Pakistan, dan Muhammad Syahrûr, pemikir liberal asal Syiria.  Pada bagian berikut hanya akan dibahas pemikiran hukum Tâhâ dan Syahrûr.

Teori Naskh Tâhâ dan Nazariyyat al-Hudûd Syahrûr
Teori Naskh Mahmûd Muhammad Tâhâ,  reformis asal Sudan, termasuk dalam model religious utilitarianism,  sedangkan Nazariyyat al-Hudûd (Teori Batas) Muhammad Syahrûr,  masuk dalam kategori model religious liberalism.. Teori naskh Tâhâ,  dipandang `Abd Allâh Ahmad al-Na`îm --seorang muridnya yang gencar mempromosikan dan mengembangkan pemikiran gurunya ini--, sebagai suatu model yang relevan bagi pembaruan metodologi pemahaman Islam, dan Nazariyyah al-Hudûd Syahrûr, dianggap Hallaq sebagai upaya reformulasi teori hukum yang paling menyakinkan. Kedua teori atau pendekatan alternatif ini dapat dipandang sebagai upaya reformulasi teori atau pendekatan penafsiran hukum Islam agar dapat memadai –dalam menghadapi tantangan zaman.

Pemikiran Tâhâ mengenai naskh di atas ini menekankan pada prinsip-prinsip universal seperti kebebasan (al-hurriyyah, freedom)), kesetaraan (al-musâwah, equality), dan keadilan (al-`adâlah, justice). Berdasarkan prinsip kebebasan, dia menegaskan bahwa perbudakan yang masih terdapat dalam pesan pertama Islam, bukanlah ajaran murni Islam; al-hijâb bukanlah ajaran murni Islam, yang merupakan ajaran murni Islam adalah al-sufur,  karena sesuai dengan prinsip kebebasan. Sebab tujuan Islam adalah `iffah (kesucian) yang terletak dalam hati. Menurut Tâhâ, prinsip kebebasan dalam Islam ini adalah mutlak. Kebebasan mutlak ini merupakan hak setiap individu sebagai manusia (HAM), tanpa memandang agama ataupun etinisnya. Namun, perlu digaribawahi, bahwa kebebasan mutlak ini merupakan hak yang harus diimbangi dengan kewajiban. Hak tersebut harus diimbangi dengan kewajiban, dan kewajiban tersebut adalah menggunakan kebebasan secara baik. Kebebasan menjadi terbatas hanya ketika kebebasan tidak diimbangi dengan sikap konsisten dengan kewajibannya. Dalam kondisi seperti ini, kebebasan dicabut untuk kemudian dibatasi dengan batas-batas di mana ia tidak sanggup (untuk menjalankannya), dan dicabut dengan undang-undang (UU). UU dalam Islam adalah suatu peraturan yang memiliki kemampuan untuk memadukan antara kebutuhan individu terhadap kebebasan mutlak individual dengan kebutuhan kelompok terhadap keadilan sosial yang menyeluruh. UU ini tidak mengorbankan individu untuk kepentingan kelompok, dan tidak pula mengorbankan kelompok untuk kepentingan individu, tetapi merupakan undang-undang yang seimbang antara keduanya. Jadi, kebebasan akan terwujud ketika UU tersebut diaplikasikan, dengan segala bagian-bagiannya, kepentingan individu dan kepentingan kelompok secara bersama-sama, dalam satu sistem yang sama.

Prinsip kesetaraan yang berwujud kesetaraan ekonomi (economic equality), kesetaraan politik (political equality) dan kesetaraan sosial (social equality), menjadi landasan untuk membentuk masyarakat yang baik (the good society).  Berdasarkan prinsip keadilan, misalnya, poligami yang masih ada dalam pesan atau misi pertama Islam, bukanlah ajaran murni Islam. Prinsip-prinsip tersebut dijadikan bingkai/kerangka yang disebutnya dengan istilah pesan kedua Islam (al-risâlah al-tsâniyyah min al-Islâm, the second message of Islam),  yang bersifat permanen, terkandung dalam ayat-ayat Makkiyah, yang tepat diterapkan pada abad XX-an ini, menggantikan pesan pertama Islam yang lebih bersifat temporer, seperti ketentuan-ketentuan hukum Islam abad VII hijrah.

Pemikiran Tâhâ di atas banyak dipengaruhi oleh teori Maslahah al-Syâtibî.  Maslahah dalam pemikiran Tâhâ diletakkan dalam teori naskh-nya tentang hukum-hukum yang prinsipil (usûl) dan hukum-hukum yang cabang (furû`). Tâhâ menekankan bahwa wahyu Makkah yang pertama adalah berwujud prinsip-prinsip (usûl al-Qur’ân) yang tetap (tidak berubah, qat`î), sedangkan wahyu hukum yang termasuk dalam surat-surat Madaniyyah adalah cabang-cabang turunannya (furû` al-Qur’ân),  yang sifatnya tidak tetap (ghair qat`î). Tâhâ berpendapat bahwa wahyu Madaniyyah yang berasal dari hukum-hukum yang prinsipil itu mewakili aturan-aturan yang sesuai bagi masyarakat di mana wahyu al-Qur’ân itu diturunkan.  Sebagaimana al-Syâtibî, pemahamannya pada hukum-hukum Islam yang prinsipil di atas bersandar pada penafsiran kembali (reinterpretasi) terhadap konsep naskh.  Menurut Tâhâ, pembatalan ayat-ayat al-Qur’ân tidaklah dimaksudkan permanen, namun lebih karena penerapannya itu dimaksudkan untuk ditunda sampai masyarakat siap memahami dan menerima pesan Islam yang benar.  Hukum-hukum yang bersifat historis dari wahyu Madaniyyah, menurutnya, tidak hanya menghilangkan keaslian pengikatannya di bawah situasi yang mengalami perubahan, bahkan harus dirubah ketika penerapan hukum-hukum yang prinsipil itu dapat dicapai.  
Menurut Tâhâ, masyarakat kontemporer telah meningkatkan perluasan agar ketentuan-ketentuan hukum dalam ayat-ayat Madaniyyah di atas bisa terjadi.  Namun, dalam hal ini, sebagaimana kebanyakan juris Islam, Tâhâ mengecualikan ketentuan-ketentuan seputar `ibâdât dari adanya perubahan, namun ia berpendapat bahwa hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan ibadat mungkin mengalami perubahan. Misalnya, zakât adalah sebuah kewajiban yang tetap (tidak berubah), namun ukuran-ukuran zakat harus ditafsirkan dalam kerangka aturan-aturan prinsipil atas pemerataan kesejahteraan.
Menurut al-Na`îm, implikasi utama dari argumen Tâhâ di atas terkait dengan maksud studi pembaruan metodologi pemahaman Islam, di mana hukum publik Syarî`ah selama ini lebih didasarkan pada al-Qur’ân dan Sunnah periode Madinah daripada masa Makkah. Hal ini dilakukan oleh para ahli hukum perintis melalui proses naskh, dengan berpegang pada teks-teks al-Qur’ân dan Sunnah periode Madinah untuk mengganti dan menghapus --demi tujuan hukum positif Syarî`ah-- semua teks periode Makkah yang tidak sesuai dengan diturunkan sebelumnya.  Masalahnya apakah naskh itu permanen, yang dengan demikian teks-teks Makkah yang lebih awal tidak dapat dipraktekkan di masa depan. Menurut Tâhâ, ini tidaklah mungkin! Sebab jika demikian halnya, maka tidak ada gunanya pewahyuan teks-teks tersebut (mubadzir, sia-sia belaka). Ia juga berpendapat bahwa membiarkan naskh (dalam arti menghapuskan pesan-pesan teks-teks Makkah) menjadi permanen berarti membiarkan umat Islam menolak bagian dari agama mereka yang terbaik. Ia menjelaskan bahwa naskh secara esensial merupakan proses logis dan dibutuhkan dalam penerapan teks-teks yang tepat dan menunda penerapan teks yang lain sampai saat memungkinkan penerapan teks itu tiba.
Dalam konteks itulah, maslahah dipahami sebagai aturan-aturan prinsipil yang tidak mengalami perubahan. Menerapkan hukum dari pesan-pesan Islam yang prinsipil itulah, menurut Tâhâ, harus menerima maslahah individual dan maslahah publik.  Dia memimpikan agar penggunaan penafsiran hukum Islamnya itu mengantarkan sebuah masyarakat pada kesetaraan, sosialisme, dan demokrasi, nilai-nilai yang dia terima sebagai pesan Islam yang prinsipil sebagaimana yang diwahyukan dalam surat-surat Makkiyah.
Teori naskh Tâhâ di atas relevan dijadikan sebagai salah satu metode ijtihâd alternatif. Argumentasinya adalah karena teori naskh ini berpijak kuat pada prinsip-prinsip ajaran Islam yang merupakan maqâsid al-Syarî`ah, yang sifatnya qat`î, dalam pengertian tepat diterapkan untuk segala ruang dan waktu. Selain itu, karena teori naskh tersebut berasal dan berakar kuat dari tradisi Islam, meskipun penggunaan term naskh itu berbeda. Dengan berakar pada tradisi Islam, teori naskh tersebut diasumsikan (diharapkan) mempunyai signifikansi yang lebih dapat diterima oleh kalangan Muslim sendiri.  Dalam faktanya, teori naskh Tâhâ sangat relevan dengan HAM yang menjadi tuntutan dewasa ini. HAM itu sendiri, jika ditelusuri secara teliti, dalam kajian keislaman, inspirasinya berasal dari konsep maslahah/maqâsid al-Syarî`ah.

Adapun Teori Batas Syahrûr dapat dijelaskan bahwa perintah Tuhan yang diekspresikan dalam al-Kitâb  dan al-Sunnah mengatur/memberikan batas yang lebih rendah (al-Hadd al-Adnâ, a Lower Limit) dan batas yang lebih tinggi (al-Hadd al-A`lâ, a Upper Limit) kepada seluruh perbuatan-perbuatan manusia, Batas Bawah mewakili ketentuan hukum minimum dalam sebuah kasus tertentu (partikular), dan Batas Atas yang merupakan batasan maksimumnya. Batasan minimum tersebut adalah ketentuan yang diperkenankan secara hukum, dan tak ada sesuatu yang melebihi batasan maksimum yang mungkin diterima menurut hukum. Ketika batasan-batasan ini dipentingkan, hukuman-hukuman menjadi dapat dijamanin, sesuai dengan ukuran pelanggaran (kesalahan) yang dilakukan.

Syahrûr membagi 6 (enam) tipe Batas berikut. 
Pertama, yang merupakan batasan yang lebih rendah (Batas Bawah) ketika ia berdiri sendiri (hâlat al-hadd al-adnâ), seperti larangan al-Qur’ân (al-Nisâ’/4: 22-23) menikahi ibu, saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, dan dari pihak ibu, dll.,  Yang disebutkan ini sebagai batas minimal yang dilarang dinikahi, di mana perempuan kerabat yang selain disebut dalam ayat itu, atau tidak ada hubungan keluarga boleh dinikahi.

Kedua, batasan yang lebih tinggi (Batas Atas) ketika ia berdiri sendiri (hâlat al-hadd al-a`lâ), seperti dalam ayat (al-Mâ’idah/5: 38) tentang hukuman potong tangan, yang merupakan batas atas maksimal. Hukuman di atas ini tidak diperkenankan.

Ketiga, tipe hukum yang mempunyai Batas Bawah dan Batas Atas yang saling berhubungan (hâlat al-hadd al-adnâ wa al-hadd al-a`lâ ma`ân), seperti dalam ayat (al-Nisâ’/4: 11) tentang warisan, di mana anak laki-laki batas maksimal atas 66,6 % dan perempuan minimal mendapat 33,3 %, tetapi bisa mendapatkan bagian lebih bahkan bisa sama dalam kondisi tertentu.

Keempat,  hukum yang sekaligus mempunyai Batas Atas dan Batas Bawah dalam satu titik secara bersamaan (hâlat al-hadd al-adnâ wa al-hadd al-a`lâ ma`ân `lâ nuqtah wâhidah ay hâlat al-mustaqîm aw hâlat al-tasyrî` al-`ainî), seperti hukuman (QS. al-Nûr/24: 2) terhadap perempuan dan laki-laki yang berzina, dengan seratus kali cambukan (yang merupakan batas minimal sekaligus juga batas maksimal).

Kelima, tipe hukum yang mempunyai curva yang bergerak antara Batas Bawah dan Batas Atas saling mendekati namun tidak saling bersinggungan/bersentuhan (hâlat al-hadd al-a`lâ bi khatt muqârib li mustaqîm, ay yaqtarib wa lâ yamuss), seperti larangan (QS. al-Isrâ’/17: 32) “mendekati” zina merupakan batasan maksimal yang tak boleh dilampaui.

Keenam, hukum yang mempunyai curva yang bergerak antara Batas Atas yang positif dan Batas Bawah negatif (hâlat al-hadd al-a`lâ mûjîb mughliq lâ yajûzu jawâzuhu, wa al-hadd al-adnâ sâlib yajûzu tajâwazuhu), seperti dalam hal-hal yang berkaitan dengan keuangan/moneter: pembayaran pajak, memberikan pinjaman yang bebas (tanpa) keuntungan/tambahan (giving an interest-free loan), dan pinjaman (utang) dengan mendapatkan keuntungan/tambahan (giving a loan with interest). Dua batas itu menggambarkan ribâ sebagai batas atas yang tetap, dan zakat sebagai batas bawah yang meniadakan, batas ini dapat dilampaui dengan cara shadakah dan dengan sesuatu yang ada mûjib dan sâlib-nya di mana ada tipe nol di antara keduanya, yakni tipe yang memuat riba “al-mûjib” dan qard hasan “al-sifr” (nol), zakat dan sedekah ‘sâlib”. Ada tiga keadaan untuk memberikan harta yang dapat dilakukan sesuai kecenderungan tempat berada dan kondisi orang yang mengambil harta itu. Keadaan inilah yang merupakan riba dan sedekah (sadaqât).

Dalam Teori Batas Syahrûr, kemaslahatan dibingkai dengan batasan yang terdapat dalam ketentuan yang tersebut dalam suatu nass. Kemaslahatan yang diambil tetap harus berada dalam lingkaran kemaslahatan yang ditunjuk oleh nass, -- dalam konsep usûl al-fiqh  konvensional disebut maslahah mu`tabarah, mekipun tidak harus persis sama dengan ketentuan eksplisit nass. Adapun kasus hukum yang tidak ada ketentuan eksplisitnya dalam nass, dalam hal ini kemaslahatan yang ada di dalamnya masuk dalam kategori masâlih mursalah. Konsep masâlih mursalah ini juga digunakan Syahrûr dalam kasus demikian.

Teori Batasnya Syahrûr di atas menggunakan Sunnah sepadan dengan al-Kitâb. Sunnah, dalam pandangannya, merefresentasikan sebuah model metodologi hukum. Sunnah --dinyatakannya secara jelas, sebagaimana al-Kitâb, tidak memberikan ketentuan secara niscaya terhadap kasus-kasus hukum spesifik dan kongkret, tetapi lebih menyediakan jalan metodologi (minhâj) untuk konstruksi sebuah sistem hukum. Bagian-bagian dalam Sunnah yang demikian adalah kondusif untuk membuat metodologi, dan Teori Batas yang akan diambil sebagai sesuatu yang sangat relevan. Hal itu, tidak akan diambil sebagai sesuatu yang ekslusif begitu dari kehidupan pribadi Nabi dan sebagai yang tidak mengikat seorang pun, tapi mengikat mereka yang hidup pada masa beliau.
Terlepas dari al-Kitâb dan ketetapan-ketetapannya dari Sunnah yang relevan dengan Teori Batas, Syahrûr menolak seluruh “sumber-sumber” hukum tradisional yang dianggap usang dan menindas, selain al-Qur’ân/al-Kitâb dan al-Sunnah). Syahrûr menolak Qiyâs  dan Ijmâ’ (konsensus). Di sini kita perlu memberikan penghargaan kepada Syahrûr karena dia dapat melepas qiyâs dengan menetapkan pengganti dalam Teori Batas. Konsep konsensus yang ia akui hanyalah satu, yaitu, ketika mayoritas penduduk memilih suatu hukum yang disepakati dan ketika usul itu dipandang sebagai hukum, maka mayoritas penduduk yang telah memilih tersebut harus bertanggung jawab terhadap implikasinya. Hukum itu meskipun berubah, sepanjang bergerak di antara batas-batas dan tidak keluar darinya, tetap dapat diikuti. Atas dasar ini, bagi Syahrûr ide konsensus tradisional dianggap bersifat dugaan (wahmî) dan tidak mengikat kaum Muslim zaman modern.  Yang bersifat mengikat pada zaman modern ini adalah konsensus mayoritas penduduk pada masa ini pula.

Terdapat pertanyaan esensial yang mengemuka dengan sendirinya adalah: bagaimana Syahrûr menghubungkan kasus-kasus hukum yang terjadi dan tidak terdapat (ketentuannya) di dalam teks-teks wahyu? Syahrûr menjawabnya secara simpel: jika Tuhan menginginkan membuat ketentuan terhadap masalah-masalah ini, Dia (tentu) melakukannya. Tetapi, bahwa Dia tidak melakukannya, berarti bahwa Dia bermaksud membiarkannya kepada kita agar kita menentukan hukum-hukumnya bagi kita sendiri. Seluruh masalah-masalah itu ditempatkan oleh para juris tradisional di bawah lingkup masâlih mursalah, seperti masalah pajak pendapatan, bea cukai, dan lainnya, yang semuanya harus ditentukan aturannya sendiri oleh sebuah otoritas pemerintahan atau lainnya. Negara dan masyarakatlah yang menetapkan ketentuannya terhadap persoalan-persoalan yang tidak diatur ketentuannya oleh nass. Dalam masalah pajak, misalnya, Batas Bawah adalah nol (zero), sedangkan Batas Atasnya (harus) ditentukan sesuai dengan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang cocok dengan suatu tempat dan waktu tertentu.  

Teori Batas Syahrûr tersebut dihasilkan melalui pembacaan kontemporer (qirâ’ah mu`âsirah) terhadap konsep al-Qur’ân dan Sunnah (tepatnya pembacaan hermeneutika hukum al-Qur’ân kontemporer). Melalui pembacaannya terhadap ayat-ayat al-Qur’ân ia menemukan kandungan dua istilah yaitu hanîfiyyah dan istiqâmah. Hanîfiyyah diartikan oleh Syahrûr sebagai penyimpangan dari jalan yang lurus. Istiqâmah, sebagai lawan hanîfiyyah, berarti mengikuti jalan yang lurus.

Dua istilah itu integral dalam pesan Islam, menjadi hubungan dialektik dan saling berdampingan. Kelengkungan merupakan kualitas alamiah dalam arti ia merupakan hakikat alam manusia dalam eksistensinya berupa materi atau dunia obyektif. Hukum fisika mengatakan bahwa sesuatu tidak bisa terjadi secara lurus. Dalam kerangka persepsi hukum alam ini kelengkungan (curvature) terlihat sebagai sifat gerak tidak lurus. Begitu pula kebiasaan, adat, dan tradisi sosial bisa eksis secara harmonis dalam suatu masyarakat tertentu dan bisa berubah dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Istiqâmah, sesuai dengan kondisinya untuk mengontrol perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat, menjadi sangat penting. Dengan istiqâmah, pesan hukum akan bisa dipertahankan. Menurut Syahrûr, istiqâmah bukanlah merupakan sifat alam (hanîfiyyah), tetapi lebih sebagai ketentuan Tuhan untuk bersama-sama (dengan hanîfiyyah) mengatur masyarakat.  
Hubungan antara hanîfiyyah dan istiqâmah sepenuhnya dialektis, kesatuan dan perubahan, yang saling mengikat. Dialektika ini diperlukan karena hal itu menunjukkan bahwa hukum itu bisa atau dapat beradaptasi di setiap waktu dan tempat (sâlih likulli zamân wa makân).
Untuk menjustivikasi proyek hermeneutiknya tersebut, Syahrûr memaparkan sebuah diskursus filsafat tentang hubungan antara “al-kainûnah” (kondisi berada; das Sein; Being), “al-sairûrah” (kondisi berproses; der Prozess; the process), dan al-sairûrah (kondisi menjadi; das Werden; Becoming). Dari relasi ketiga kondisi ini, menurutnya, muncul secara terus-menerus suatu hukum yang disebutnya dengan istilah ‘hukum dialektika negatif’ (qanûn al-nafy wa nafy al-nafy; ‘hukum negasi dan penegasian negasi’). Hukum negasi ini berarti bahwa A adalah A, tetapi juga bukan A, atau dengan kata lain: dialektika internal. Teori dialektika tersebut dikaitkan Syahrûr dengan pemahaman terhadap al-Tanzîl al-Hakîm. Dari sinilah kemudian Syahrûr memandang pemahaman dan aplikasi Nabi Muhammad terhadap hukum al-Tanzîl al-Hakîm, yang biasa dikenal dengan al-sunnah al-nabawiyyah (Sunnah Nabi), bukan sebagai “wahyu kedua,” melainkan hanya sebagai “pemahaman awal” terhadap al-Tanzîl al-Hakîm, dalam arti bahwa ia bersifat terbatas dan relatif. Berdasarkan pemaparan Syahrûr dalam bukunya, sebagaimana disimpulkan oleh Sahiron Syamsuddin, penerjemah bukunya tersebut, ia menggunakan paling tidak dua macam metode  inti dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ân. Metode-metode yang dimaksud ialah (1) analisis linguistik semantik,  dan (2) penerapan ilmu-ilmu eksakta modern, seperti matematika analitik, teknik analitik dan teori himpunan. Aplikasi metode yang kedua ini misalnya dia terapkan dalam menafsirkan ayat-ayat waris.  Singkat kata dua metode Syahrûr mempengaruhi pengambilan hukum dalam hal masalah yang terkait.

Menurut Hallaq, dari seluruh usaha untuk mereformulasi teori hukum, baik dari aliran utilitarisnisme religius maupun liberalisme religius, pandangan-padangan Syahrûr, hingga kini paling meyakinkan, walaupun pandangan Rahman tidak tertinggal jauh. Menurut Hallaq,  ”puncak keberhasilan dari suatu metodologi hukum bergantung tidak hanya integritas intelektual dan tingkat kepintaran dalam berteori akan tetapi bergantung juga pada kemungkinan dibuatnya metodologi hukum itu dalam konteks sosial”. Inilah letak perbedaan lain yang mungkin dapat dibuat antara apa yang disebut Hallaq dengan kaum utilitarianis (dan sebaiknya tidak menyebut ide-ide itu dengan teori-teori atau metodologi-metodologi) sedikit banyak telah terimplementasikan dalam sistem-sistem hukum di banyak negara-negara Islam. Pada kenyataannya, mazhab `Abduhlah yang telah memainkan peranan utama dalam membawa bentuk perubahan-perubahan. Kaum utilitarianis belakangan, seperti al-Fâsî  dan Khallâf, telah merasionalisasikan kemapanan, daripada menelorkan suatu teori hukum baru atau merumuskan sebuah metodologi. Di lain pihak, pemikir aliran keagamaan liberalis seperti Syahrûr ternyata telah menemui tantangan keras dari sebuah kelompok pergerakan Islamis asli yang kuat dan besar. Syahrûr merupakan salah satu dari pemikir liberalis religius yang secara khusus menawarkan konsepsi hukum dan metodologi hukum baru yang telah dibuktikan, namun hingga kini masih asing bagi mayoritas umat Islam.  

Perbandingan
Baik teori Tâhâ maupun Syahrûr, jika dikaji secara mendalam, menurut penulis, tampak relevansinya dengan al-maslahah (kemaslahatan), Maqâsid al-Syarî`ah) atau tujuan-tujuan syariat dalam perumusan dan penetapan hukum Islam. Dalam kedua teori tersebut, tampaknya kemaslahatan menjadi standar bagi penafsiran hukum. Meskipun demikian, terdapat perbedaan di antara kedua teori tersebut. Pada teori naskh Tâhâ metode penafsiran hukumnya jelas-jelas didasarkan pada prinsip-prinsip Islam atau Maqâsid al-Syarî`ah yang ditarik dari ayat-ayat Makkiyah yang bersifat qat`î (tidak mengalami perubahan) melalui penerapan naskh terhadap ayat-ayat Madaniyyah yang sifatnya zannî (tidak tetap). Sedangkan pendekatan penafsiran hukum yang digunakan Syahrûr adalah hermeneutika, di samping juga pendekatan/metode “metaforik saintifik” yang diadopsi dari ilmu-ilmu eksakta metaforik, ilmu eksakta/matematika modern, yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Rene Descartes, yang memadukan antara hiperbola (al-kamm al-muttasil) dan parabola (al-kamm al-munfasil), dalam soal penafsiran ayat-ayat waris. Selain itu, ia juga menggunakan matematika analitik terhadap konsep keturunan (diferensial/al-musytaq) dan integral (al-takâmul) yang digagas oleh Newton, teknik analitik dan teori himpunan (nazariyyat al-majmû`ât), di samping juga matematika klasik masih digunakan.
Jika dilihat dari paradigma Maqâsid al-Syarî`ah, maka dalam beberapa hal Teori Batas Syahrûr masih terkekang dengan teks-teks qat`î dalam pengertian konvensional, yang implikasi hukumnya, tidak bisa lepas dari wilayah teks. Meskipun demikian, kesimpulan hukum yang ditarik melalui Teori Batas ini relatif fleksibel, sebab hukum dapat bergerak antara Batas Bawah dan Batas Atas, namun tidak dapat keluar dari batasan ini. Misalnya, tentang poligami, Syahrûr membolehkan, dengan syarat-syarat yang ketat: perempuan yang dipoligami harus janda dan memiliki anak yatim, serta berlaku adil, di mana persyaratan ini didasarkan pada penafsiran terhadap ayat terkait. Tujuan dari persyaratan ini adalah untuk tercapainya kemaslahatan khususnya bagi anak yatim tersebut.  Kemaslahatan itu sendiri merupakan Maqâsid al-Syarî`ah.
Sedangkan teori Naskh Tâhâ tampak jelas dan konsisten berpegang pada prinsip keadilan, maka poligami ini, menjadi diharamkan, karena dianggap tidak mencerminkan ajaran dasar Islam, berupa keadilan. Tujuannya agar tercapai kemaslahatan bagi si perempuan, sehingga dapat membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.


Penutup
Teori Naskh Tâhâ dan Teori Batas Syahrûr, sebagai model pembaruan pemikiran hukum Islam perlu dikembangkan lebih lanjut. Salah satu bentuk yang dapat diusulkan adalah reformulasi al-maslahah. Bahwa  dalam konsep al-maslahah konvensional, apa yang dikategorikan sebagai maslahah mulghah, padahal banyak yang sesuai dengan maqâsid al-Syarî`ah, seperti keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan, menjadi diabaikan, yang implikasi hukumnya adalah hukum itu tidak sejalan dengan tujuan hukumnya itu sendiri, yang berintikan keadilan, rahmat, kebijaksanaan, dan kemaslahatan. Padahal inilah yang menjadi tuntutan manusia di zaman modern dewasa ini.

 
Sumber: http://graduate.uinjkt.ac.id/index.php/en/publikasi/artikel-sps/4-teori-naskh-mahmud-muhammad-taha-dan-nazariyyat-al-hudud-muhammad-syahrur



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Selasa, 10 Juli 2012

Memahami Islam Nusantara melalui Manuskrip dan Kitab

Oleh. Dr. Oman Fathurahman[*]
“…It is works such as these that the Muslim elite wrote for themselves and each other. It is from a study of such works in their regional settings that a clearer and perhaps more worthy understanding of Islam in Southeast Asia may be won…” (Johns 1976: 55).
Mempertimbangkan perkembangan kajian-kajian Islam Nusantara, hingga kini ada bidang kajian yang sesungguhnya potensial dan menarik tetapi belum mendapat perhatian serius dari kalangan akademisi kajian Islam (Islamic studies). Bidang tersebut adalah kajian Islam yang berbasiskan pada manuskrip-manuskrip Islam Nusantara.
Yang dimaksud dengan manuskrip di sini adalah semua rekaman informasi yang ditulis tangan oleh seseorang tiga sampai empat ratus tahun yang lalu. Pengertian ‘manuskrip’ dalam konteks ini merupakan lawan kata dokumen yang diproduksi melalui mesin cetak atau alat sejenis.
Berdasarkan penelitian awal atas sejumlah koleksi, manuskrip Islam Nusantara memang dijumpai dalam jumlah besar, dan ditulis dalam berbagai bahasa lokal seperti Melayu, Jawa, Sunda, Wolio, dan lainnya, selain tentu saja manuskrip berbahasa Arab.
Umumnya, secara fisik manuskrip-manuskrip tersebut kini dalam kondisi memprihatinkan dan sangat rentan mengalami kemusnahan, baik karena faktor alam maupun akibat kecerobohan manusia.
Kajian terhadap manuskrip-manuskrip Islam Nusantara mempunyai beberapa keuntungan strategis sekaligus:
Pertama, dapat menggali kekhasan serta dinamika Islam dan masyarakat Muslim lokal, karena manuskrip Islam Nusantara, selain menggunakan bahasa Arab, ditulis dalam berbagai bahasa lokal seperti Aceh, Bali, Batak, Belanda, Bugis-Makasar-Mandar, Jawa & Jawa Kuna, Madura, Melayu, Minangkabau, Sanskerta, Sasak, Sunda dan Sunda Kuna, Ternate, Wolio, Bahasa-bahasa Indonesia Timur, Bahasa-bahasa Kalimantan, dan Bahasa-bahasa Sumatra Selatan, sehingga mengkajinya berarti akan menjadi semacam ‘jalan pintas’ untuk mengetahui pola-pola hasil interaksi dan pertemuan Islam dengan budaya-budaya lokal di Nusantara, yang tentunya menjadi kekayaan intelektual tersendiri.
Kedua, kajian atas manuskrip-manuskrip Islam Nusantara dengan sendirinya akan menjadi bagian dari upaya pelestarian (preservation) benda cagar budaya Indonesia demi menjaga identitas kemajemukan, kebangsaan, dan menjamin keberlangsungan transmisi pengetahuan yang telah diwariskan sejak ratusan tahun lalu.
Ketiga, keberhasilan memetakan kejayaan tradisi intelektual Islam Nusantara pada gilirannya dapat menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Nusantara bukanlah wilayah pinggiran (peripheral part), melainkan bagian tak terpisahkan (integral part), dari dunia Islam secara keseluruhan.
Sejarah Kebudayaan Indonesia selama berabad-abad telah mewariskan khazanah tertulis berupa manuskrip-manuskrip Nusantara yang jumlahnya sangat berlimpah. Merujuk pada Undang-undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010, sebuah manuskrip tulisan tangan dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya bila telah berusia minimal 50 (lima puluh) tahun, serta memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.
Kandungan isi manuskrip Nusantara sendiri memang sangat luas dan tidak terbatas pada kesusastraan saja, tetapi mencakup berbagai bidang lain seperti agama, sejarah, hukum, politik kesultanan, resolusi konflik, adat istiadat, obat-obatan, teknik, dan lain-lain, sehingga akan sangat relevan sebagai bahan pengetahuan umum dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Sejumlah upaya inventarisasi dan katalogisasi berkaitan dengan dunia pernaskahan Nusantara yang dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa kategori manuskrip keagamaan Islam (Islamic manusripts) terdapat dalam jumlah besar, dan dijumpai dalam berbagai bidang keilmuan Islam, seperti tafsir, hadis, tauhid, fikih, tasawuf, kalam, dan lain-lain.
Terbukti pula bahwa jaringan lembaga pendidikan Islam tradisional, seperti surau di Minangkabau, dayah di Aceh, dan pesantren di Jawa, ternyata juga menyimpan khasanah manuskrip keagamaan Islam tersebut dalam berbagai bahasa, seperti Arab, Melayu, Jawa, Sunda, dan bahasa-bahasa lokal Indonesia lainnya.
Dalam konteks masyarakat akademik internasional, manuskrip Islam telah mendapatkan perhatian besar, baik untuk bidang pelestariannya sebagai benda cagar budaya, maupun sebagai sumber primer penelitian dan kajian. The Islamic Manuscript Association (TIMA) yang bermarkas di Cambridge University, UK, misalnya, merupakan salah satu asosiasi akademik terkemuka yang mendapatkan dukungan finansial penuh dari the Prince Alwaleed Bin Talal Centre of Islamic Studies untuk menyelenggarakan berbagai aktifitas akademik, seperti konferensi internasional, scholarship, grant, penelitian, penerbitan, dan berbagai aktifitas lainnya.
Sayangnya, cakupan aktifitas TIMA tampaknya belum menjangkau khazanah manuskrip Islam Nusantara, yang sesungguhnya diakibatkan oleh kurangnya informasi dan publikasi internasional berkaitan dengan kekayaan warisan peradaban Islam Nusantara tersebut. Ada beberapa kemungkinan mengapa informasi tentang kekayaan khasanah manuskrip Islam Nusantara ini belum banyak diketahui:
Pertama, kurangnya penelitian-penelitian yang mendalam tentang kekayaan khazanah manuskrip Islam Nusantara oleh sarjana-sarjana Indonesia sendiri yang sesungguhnya memiliki pengetahuan memadai, baik berkaitan dengan bahasa lokal yang digunakan maupun substansi keilmuan di dalamnya;
Kedua, mungkin saja sudah ada sejumlah kajian yang telah dilakukan, namun hasil kajian tersebut tidak dipublikasikan dan kemudian dikomunikasikan menggunakan bahasa dunia akademik internasional;
Ketiga, belum adanya sebuah pusat kajian Islam yang memberikan perhatian pada kajian manuskrip Islam Nusantara secara komprehensif, dikelola secara profesional, serta melakukan kajian terus menerus, dan akhirnya dapat dijadikan sebagai rujukan para sarjana dalam mengkaji manuskrip Islam Nusantara;
Keempat, masih minimnya dukungan finansial untuk upaya-upaya pelestarian khasanah manuskrip Islam Nusantara semacam ini, sehingga minat masyarakat akademik untuk menekuninya pun sangat rendah dan mengalami kendala.
Dalam hal ini, banyak sarjana Muslim Nusantara yang sesungguhnya memiliki potensi untuk masuk dalam kajian Islam Nusantara yang berbasiskan pada manuskrip tersebut, setidaknya karena dua alasan:
Pertama, para sarjana Muslim Nusantara merupakan sumber daya manusia (human resources) yang memiliki potensi besar dalam memadukan kajian bidang-bidang keislaman dengan bidang umum termasuk Budaya dan Humaniora. Potensi tersebut ditunjang oleh kenyataan bahwa sebagian mereka berasal dari sebuah komunitas yang memiliki akar keilmuan Islam di pesantren-pesantren dan madrasah, sehingga sangat menguasai topik-topik yang dibahas dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam manuskrip-manuskrip Islam Nusantara.
Kedua, banyak sarjana Muslim Nusantara memiliki kemampuan bahasa yang banyak digunakan dalam manuskrip, yakni bahasa Arab. Apalagi berbagai manuskrip dalam bahasa daerah pun umumnya ditulis dengan aksara Arab (Jawi dan Pegon), sehingga penguasaan atas aksara dan bahasa tersebut menjadi sangat penting. Sejauh ini, minimnya penguasaan para filolog —yang umumnya berlatar belakang pendidikan umum— terhadap bahasa Arab seringkali menjadi faktor penghambat dilakukannya penelitian atas manuskrip-manuskrip Islam tersebut, sehingga tidak mengherankan jika puluhan ribu manuskrip Nusantara berbahasa Arab lebih banyak “ditelantarkan”.
Karenanya, melalui refleksi ini, sangat besar harapan bahwa di masa mendatang, berbagai hasil inventarisasi yang terbukti berhasil menunjukkan peradaban tinggi Islam Nusantara, dapat memicu dilakukannya berbagai kajian Islam Nusantara melalui manuskrip dan kitab yang pernah ditulis oleh para pengarang masa lalu, sehingga para sarjana pribumi dapat mengembangkan sendiri kesarjanaan berstandar internasional di bidang kajian manuskrip Islam Nusantara tersebut. Semoga!

[*] Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dan Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa). Tulisan ini disampaikan dalam saresehan “Penguatan Kajian Islam Nusantara” di Lakpesdam PCINU, Kairo, Mesir, Kamis 21 Juli 2011