Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Minggu, 09 Januari 2011

Gadamer’s Hermeneutics


Betti’s Teoria generale della interpretazione surveys the spectrum  of different types of interpretation with a view to formulating an inclusive and systematic general theory and to developing a set of canons basic to all forms of interpretation which can serve as the basis for more valid interpretation.

With the apperance of Truth and Method hermeneutical theory enters an important new phase. The older conception of hermeneutics as the methodological basis specifically for the Geisteswissenschaften is left behind, and the status of method itself is called into question, for the title of Gadamer’s book contains an irony: method is not the way to truth.
Understanding is not conceived as a subjective process of man over and against an object but the way of being of man himself; hermeneutics is not defined as a general help discipline for the humanities but as a philosophical effort to account for understanding as an ontological process in man.

Gadamer is not directly concerned with the practical problems of formulating right principles for interpretation, he wishes rather to bring the phenomenon of understanding itself to light. Gadamer is working on a preliminary and more fundamental question: How is understanding possible, not only in the humanities but in the whole of man’s experience of the world? (Palmer 164)

The experience of a work of art transcends every subjective horizon of interpretation, both that of the artist and that of the perceiver. For this reason, “the mens auctoris is no possible measure of the meaning [bedeutung] of a work. Indeed, to speak about a work-in-itself, cut off from its ever renewed reality as it comes to stand in experience, is to take a very abstract view.” The decisive thing is neither the author’s intention, nor the work as a thing in itself outside history, but the ‘what’ that comes repeatedly to stand in historical encounters. (Palmer 164)

Like Heidegger, Gadamer is a critic of the modern surrender to technological thinking, which is rooted in subjectism (Subjektitat) – that is in taking the human subjective consciousness, and the certainties of reason based on it, as the ultimate point of reference for human knowledge.
The pre-Cartesian philosophers did not take subjectivity as their starting point and then ground the objectivity of their knowledge on it. Their was a more dialectical approach that tried to allow itself to be guide by the nature of what was being understood. Knowledge is not something that they acquired as a possession but something in which they participated, allowing themselves to be directed and even possessed by their knowledge. (Palmer 165)

For Gadamer, truth is not reached methodically but dialectically.
Strictly speaking, method is incapable of revealing new truth; it only renders explicit the kind of truth already implicit in the method. The discovery of the method itself was not arrived at through method but dialectically, that is, through a questioning responsiveness to the matter being encountered.
In method the inquiring subject leads and controls and manipulates; in dialectic the matter encountered poses the question to which he responds. One can only respond on the basis of his belonging to and in the matter. (Palmer 165)

The interpretative situation is no longer that of a questioner and an object, the the questioner having to construct methods to bring the object within his grasp, on the contrary the questioner suddenly finds himself the being who is interrogated by the subject matter. In such a situation, the subject-object schema is only misleading, for the subject has now become the object.  (palmer 165)

The objective of the dialectic is eminently phenomenological: to have the being or thing encountered reveal itself. Method involves a specific kind of questioning which lays open one side of a thing; a dialectical hermeneutics opens itself to be questioned by the being of the thing, so that the thing encountered can disclose itself in its being.

Prejudgment:
The idea of freeing understanding and interpretation from the prejudices of the prevailing opinion of the time is common to us. It would be ridiculous, we commonly say, to judge the achievements of a past age by the standards of today. The objective of historical knowledge can only be fulfilled through freedom from personal ideas and values on a subjct and a perfectly “open mind” to the world of ideas and values of a past age.

Prejudgments are not something we must or can dispense with; they are the basis of our being able to understand history at all. “There can be no ‘presuppositionless’ interpretation.”
Understandng, since it is an historically accumulated and historically operative basic structure, underlies even scientific interpretation; the meaning of a described experience does not come from the interplay of the elements in the experiment but from the tradition of interpretation in which it stands and the future possibilities it opens up.

If there can be no presuppositionless understanding, then we must reexamine our relationship to our heritage. Traddition and authority need no longer be seen as the enemiues of reason and rational freedom. Tradition furnishes the stream of conceptions within which we stand, and we must be prepared to distinguish between fruitful presuppositions and those that imprison and prevent us from thinking and seeing.\There is no intrinsic opposition between the claims of reason and those of tradition; reason stands always within tradition. Tradition supplies reason with the aspect of reality and history with chich it will work.
If there can be no presuppositionless interpretation, then the notion of one “right interpretation” as right in itself is a thoughtless ideal and an impossibility.
There is no interpretation without relationship to the present, and this is never permanent and fixed. A transmitted tesxt has to be understood in the hermeneutical situation in which it finds itself in relation to the present.
Meaning is not like a changeless property of an object but is always “for us.”
It asserts that meaning is present related, arising in the hermeneutical situation.

Rabu, 05 Januari 2011

Kajian Naskah Islam Nusantara Minim


Kajian Naskah Islam Nusantara Minim
Azyumardi Azra
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kajian terhadap naskah-naskah Islam Nusantara masih minim. Padahal keberadaan naskah Islam nusantara sangat penting. Menurut Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ((UIIN SYAHID) Jakarta, Azyumardi Azra, naskah tersebut akan mengungkapkan berbagai aspek Islam di Indonesia mulai dari sejarah sosial hingga pemikiran dan intelektualisme Islam.

”Tanpa penelitian dan pengkajian naskah, sulit mengenali dinamika Islam di Indonesia,”ujarnya dalam seminar yang bertajuk Filologi dan Penguatan Kajian Islam Indonesia di Jakarta, Senin (19/7).

Dalam acara yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascarsarjana (SPs) UIN SYAHID bekerjasama dengan Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag itu Azyumardi mengemukakan kajian filologi atas naskah-naskah Islam nusantara membantu menjelaskan Islam dengan kacamata lokal (from within) dan bukan paradigma luar (from without).

Sebab menurut dia, kajian naskah Islam nusantara yang dilakukan oleh pihak luar banyak penyimpangan. Sebagai contoh, Snouck Hurgronje menuding kitab //Turjuman Al-Mustafid// bukan karya orisinil Abdurrauf Singkel akan tetapi disadur dari kitab tafsir karangan Al-Baidlawi. “Padahal pendapat itu salah dan bertentangan dengan fakta sejarah,”ungkapnya

Lebih lanjut, Azyumardi mengungkapkan, kajian naskah Islam nusantara masih tergolong kurang populer. Hal ini disebabkan oleh minimnya sumber daya manusia yang menguasai dan terjun di bidang filologi. Oleh karena itu, kajian filologi atas naskah Islam Nusantara perlu ditingkatkan lagi.

Pemerintah juga diharapkan memperhatikan nasib naskah nusantara agar tidak diklaim oleh negara lain. “Naskah nusantara mutlak diperlukan dan diperhatikan serta tidak bisa diabaikan,”katanya

Hal senada diungkapkan oleh Oman Fathurraman, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), mengatakan kajian filologi terhadap naskah Islam nusantara belum memikat bagi civitas akademis di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Tercatat di Indonesia baru SPs UIN SYAHID yang memiliki program studi filologi. Oleh karena itu, PTAI dihimbau agar memasukkan filologi kajian naskah Islam nusatara ke dalam kurikulum pendidikan.

Namun demikian, Oman mengakui kajian atas naskah Islam Nusantara mulai meningkat terutama sejak tahun 2000. Akan tetapi, peningkatan tersebut masih mendapat kendala dan hambatan. Di antaranya, meningkatnya animo peneliti atas kajian filologi teks naskah Islam nusantara tidak diimbangi dengan sarana dan prasana yang mendukung terutama dana dan finansial.

Di samping itu, belum terdapat lembaga penelitian khusus guna mengkaji naskah Islam nusantara.”Keberadaan lembaga penting agar lebih fokus dan tidak saling tumpang tindih,”himbaunya

Sementara itu, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag, Atho Mudzhar mengutarakan kajian dan penelitian naskah keagamaan nusantara mutlak diperlukan. Mengingat naskah tersebut adalah salah satu warisan berharga bangsa. Apalagi, akhir-akhir ini jual beli naskah klasik di Indonesia marak dan kondisinya memprihatinkan.

Atho mengatakan, penelitian terhadap naskah-naskah keagamaan nusantara masih sangat terbatas tak sebanding dengan jumlah naskah yang ada. Oleh karena itu, sejak tahun 1994 Balitbang dan Diklat Kemenag RI melalui Puslitbang Lektur Keagamaan melakukan identifikasi naskah klasik keagamaan mulai dari wilayah Jawa.

Di samping itu, harapan paling besar terletak di PTAI karena PTAI memiliki peran strategis melestarikan naskah Islam nusantara. Langkah yang bisa ditempuh PTAI antara lain membuka progam studi filologi, melakukan penelitian tentang pernaskahan, memperbanyak seminar, menerbitkan hasil penelitian naskah, dan mengadakan penyuluhan ke masyarakat akan pentingnya menjaga naskah klasik keagamaan. “Jika PTAI di Indonesia perduli masalah ini maka pekerjaan terkait naskah bukanlah masalah yang sulit,” tegasnya.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/07/19/125424-kajian-naskah-islam-nusantara-minim

Naskah Kuno Islam Nusantara, Ternyata Begitu Berserakan


Naskah Kuno Islam Nusantara, Ternyata Begitu Berserakan
Naskah kuno
Hingga saat ini, Indonesia dikenal sebagai suatu negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Jumlahnya sekitar 90 persen dari total populasi yang berjumlah 230 juta jiwa. Agama Islam dianut oleh masyarakat Indonesia, mulai dari barat sampai timur dan dari utara sampai selatan. Dari wilayah Sabang di Aceh sampai Merauke di Papua, dari Pulau Miangas sampai Rote.

Menurut sejumlah data, agama Islam masuk ke wilayah nusantara ini sejak abad ke-13 dan ke-14 Masehi. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan berupa kuburan Fatimah Maimun di Gresik. Sumber lain menyebutkan, agama Islam telah masuk ke bumi nusantara ini sejak abad ke-7 Masehi. Hal ini diungkapkan oleh seorang peneliti Muslim asal Cina, Ibrahim Tien Ying Ma, dalam bukunya Muslim in Cina.

Penyebar agama Islam di Indonesia, jelas Ibrahim, dibawa oleh utusan dari sahabat Saad bin Abi Waqqash RA. Ditambahkan oleh Sumanto Al-Qurtuby, dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI, agama Islam masuk ke Indonesia tak hanya dibawa oleh pedagang Gujarat dan Arab, tapi juga oleh pedagang Cina. Oleh karena itu, ia menyebutkan, Islam masuk ke Indonesia ini melalui tiga jalur, yakni Arab, Gujarat, dan Cina.

Dengan penyebaran Islam yang gencar itu, tak heran bila Islam berkembang pesat di nusantara. Penyebaran berikutnya dilanjutkan oleh tokoh masyarakat, ulama, dan para mubaligh. Mereka inilah yang memiliki peran besar dalam menyebarkan dan mengembangkan Islam di Indonesia. Sebagian besar, nama-nama mereka telah melegenda.

Sebut saja nama Walisongo atau Sembilan Wali yang menyebarkan Islam di wilayah Jawa. Sedangkan di daerah lain, juga dikembangkan oleh tokoh ulama setempat. Para ulama yang ada di daerah, seperti Lombok, Mataram (NTB), Makasar (Sulawesi Selatan), Ternate (Maluku), Padang (Sumatra), Banjar (Kalimantan Selatan), menyebarkan Islam di wilayah setempat. Mereka mengajarkan agama Islam menurut bahasa dan adat istiadat setempat.

Pendekatan yang baik, membuat Islam begitu mudah diterima masyarakat. Tak hanya melalui ceramah dan pidato, para ulama daerah ini juga menyampaikan pesan-pesan Islam melalui karya-karyanya. Buku-buku itu ditulis dengan tangan di atas lembaran kertas yang ada saat itu. Misalnya, ada karya berjudul Hikayat Banjar, Sirah Nabawiyah, Fiqh al-Islam, dan lain sebagainya. Walaupun tak dikenal luas, peranan ulama daerah tersebut sangat penting bagi masyarakat.

"Ada ribuan karya ulama nusantara," kata Dasrizal MA, kepala Bidang Bina Program Penelitian, Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, kepada Republika. Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, karya-karya ulama daerah itu banyak terlupakan. Naskah-naskah yang mereka tulis hanya sebagian yang berhasil dibukukan. Sisanya, tak sempat disusun menjadi sebuah buku.

Karena minimnya perhatian terhadap karya-karya klasik ulama tersebut, sebagian besar hilang dan tak jelas rimbanya. Sebagian lagi, naskah mereka ada yang berada di luar negeri, seperti Belanda, Prancis, Inggris, Jerman, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Beberapa yang tersisa di Indonesia, tercecer ke mana-mana. Ada yang masih dimiliki ahli waris, ada yang terpendam, dan ada pula yang diperjualbelikan. "Yang baru berhasil diselamatkan hanya sekitar 600 naskah Islam klasik karya ulama nusantara," lanjut Dasrizal.

Karya-karya itu berisi tentang ilmu pengetahuan, ajaran, dan syair. Di antaranya berisi tentang ketuhanan, ajaran budi pekerti, sejarah, cerita rakyat (dongeng, legenda), teknologi tradisional, mantra, silsilah, jimat, syair, politik, pemerintahan, undang-undang, hukum adat, pengobatan tradisional, dan hikayat. Kini, naskah-naskah itu telah dijilid dengan baik dan didigitalisasi oleh Puslitbang Lektur Keagamaan, Balitbang Depag. Sebagian tersimpan di perpustakaan nasional dan beberapa ahli waris.
(Sumber Republika.com)