Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Sabtu, 07 Agustus 2010

Muslim dan Masyarakat Multikultural

Oleh Azyumardi Azra
Di tengah terus meningkatnya globalisasi dalam beberapa dasawarsa terakhir, kaum Muslim kian terbuka pada kehidupan multikultural. Pada satu pihak, di negara-negara berpenduduk mayoritas kaum Muslim, realitas multikultural itu meningkat dengan kian banyaknya para pendatang, baik imigran maupun ekspatriat multikultural. Gejala ini juga terlihat jelas di negara-negara di mana kaum Muslim merupakan penduduk minoritas meski mereka termasuk pribumi atau pendatang seperti terjadi di Eropa dan Amerika.
Secara historis, kehidupan multikultural bukanlah sesuatu yang baru bagi kaum Muslim. Sejak masa awal Islam dan lebih khusus lagi pada masa pasca al-Khulafa al-Rasyidun, pertumbuhan kaum Muslim yang begitu cepat di berbagai wilayah dunia sekaligus merupakan pertemuan yang melibatkan akomodasi dan konflik dengan realitas lokal yang berkat kehadiran Islam dan kaum Muslim juga kian multikultural. Realitas ini terlihat kian jelas ketika kekuasaan politik yang melintasi berbagai wilayah budaya berada di tangan kaum Muslimin sejak Dinasti Umaiyah, Abbasiyah di Baghdad dan Andalusia, Usmani, Moghul, dan seterusnya sampai ke Asia Tenggara.
Tetapi kaum Muslim sebagai minoritas di berbagai wilayah mancanegara tidak selalu mendapatkan perlakuan atas dasar-dasar multikultural seperti pengakuan untuk menjalankan Islam atas dasar respek dan toleransi. Dan, gejala yang tidak kondusif ini kian meningkat di berbagai negara Eropa, misalnya, ketika kaum Muslim menghadapi stigmatisasi dan diskriminasi. Bahkan, lebih dari itu, terjadi peningkatan sikap anti-Islam dan anti-Muslim dari masyarakat mayoritas, yang memiliki privelege sebagai 'pribumi'.
Pengalaman kaum Muslim, baik sebagai mayoritas maupun minoritas hidup dalam lingkungan multikultural menjadi tema konferensi 'Muslims in Multicultural Societies' yang diselenggarakan Majelis Ugama Islam Singapore (MUIS) bekerja sama dengan Faculty of Oriental Studies, University of Oxford; National Centre for Excellence in Islamic Studies, University of Melbourne; dan Department of Malay Studies, National University of Singapore pada 14-15 Juli 2010 lalu. Konferensi yang dibuka Senior Minister (SM) Singapura Goh Chok Tong ini sepanjang pengetahuan saya merupakan forum cukup besar membahas kehidupan kaum Muslim dalam masyarakat multikultural secara relatif komprehensif.

Dalam sambutannya, mantan PM Goh Chok Tong mengungkapkan, banyak hal tentang kehidupan kaum Muslim Singapura di tengah masyarakat multikultural; negara kota ini berpenduduk mayoritas keturunan Cina (75 persen), Melayu Muslim (14 persen), India dan lain-lain (11 persen). Dengan komposisi seperti itu, kehidupan multikultural Singapura membuat terjadinya berbagai macam 'penyesuaian', khususnya dalam kehidupan keagamaan. Misalnya, suara azan tidak lagi dipancarkan keluar masjid, karena dapat menimbulkan kebisingan ke dalam apartemen yang kian banyak. Penyesuaian juga berlaku bagi para penganut agama lain dalam penyelenggaraan ritual yang menyentuh ranah publik dan karena itu dapat menimbulkan gangguan tertentu.
Kehidupan multikultural memang mengharuskan adanya tolak angsur-toleransi tanpa mengurangi makna agama dan tradisi masyarakat tertentu. Sikap seperti inilah yang dapat menciptakan harmoni dan kedamaian. Seperti diungkapkan Goh Chok Tong dalam kasus Singapura, kekacauan terjadi jika kelompok tertentu dengan melecehkan masyarakat atau pemeluk agama lain. Ia mengungkapkan kasus misionaris yang berusaha melakukan evangelisasi kepada anak-anak yang sedang bermain di lapangan terbuka; dan misionaris yang mengecilkan kepercayaan Budha dan Tao. Dan bagi Singapura, kasus-kasus semacam ini 'dengan mudah' dapat diselesaikan dengan adanya Akta Keamanan Dalam Negeri (ISA) yang bisa digunakan untuk menahan siapa saja yang dianggap menimbulkan kegaduhan.
Tetapi, banyak negara lain tidak punya ketentuan semacam itu. Dalam diskusi pleno dalam konferensi itu bersama Tariq Ramadhan, saya mengungkapkan pengalaman Indonesia yang telah mencabut UU Anti-Subversi pada zaman Presiden BJ Habibie. Jika UU ini masih ada, boleh jadi juga ia dapat digunakan menghadapi kasus konflik dan pelecehan agama. Dengan tidak adanya lagi UU tersebut-walaupun masih ada UU lain dan ketentuan yang pada dasarnya mengatur hal-hal semacam ini-kedamaian dan harmoni dalam masyarakat multikultural Indonesia tetap sangat bergantung pada kesiapan dan kesediaan masing-masing dan setiap kelompok agama untuk tidak melakukan usaha dan tindakan agresif dalam menyebarkan agama. Penggunaan cara-cara tidak fair-yang terjadi bukan hanya di Singapura tadi, tapi juga sering berlaku di Indonesia-hanya berujung pada disharmoni, ketegangan, dan konflik, yang jika tidak ditangani baik dapat menghancurkan kehidupan multikultural yang harmonis dan damai. (Sumber http://www.uinjkt.ac.id/)
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 22 Juli 2010
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta





Tidak Sah Pernikahan Gunakan Media Teleconference [Agama dan Pendidikan] Studi Banding Tentang Penerapan Hukum Syariah ke Mesir

MASALAH sah dan tidaknya nikah jarak jauh atau melalui media teleconference sebenarnya sudah lama menjadi pembicaraan serius. Ada yang menyatakan boleh dan ada pula yang menyatakan tidak sah. Dalam studi banding tentang penerapan hukum syariah ke Mesir yang dipimpin oleh Direktur Penerangan Agama Islam Drs H Ahmad Jauhari, bahwa lembaga Fatwa Mesir (Daar Al Ifta) telah memfatwakan masalah ternikahan menggunakan jarak jauh tersebut. Menurut Lembaga Fatwa Mesir, pernikahan melalui media teleconference atau nikah jarak jauh menggunakan teknologi informasi itu tidak sah. Karena tidak memenuhi persyaratan majelis akad nikah yaitu satu majelis.
Sementara dalam kaitan otoritas penetapan produk halal menjadi perhatian utama Pemerintah Mesir. Hal itu menjadi domainnya menteri perindustrian. Suatu produk dapat dinyatakan halal setelah mendapat lisensi dan bersertifikat halal dari Pemerintah. Mufti Mesir bekerja ekstra keras untuk menjawab persoalan-persoalan mutakhir yang muncul dan berkembang. Seperti halnya apakah bunga bank itu halal? Lembaga fatwa memberikan argumen bahwa penggunaan bank dalam berbagai aktifitas kemasyarakatan tidak dapat dihindari. Sehingga penggunaan bank menjadi sangat penting. Sehingga lembaga fatwa Mesir berpendapat penggunaan bank dengan segala fariannya adalah halal.
Suatu produk yang telah disertifikasi halal oleh pemerintah diadakan pemeriksaan dan pengawasan oleh pemerintah bersama mufti sebanyak tiga kali dalam setahun. Hal ini untuk menghindari kemungkinan adanya perubahan dalam proses produksi sehingga status halal yang sudah ditetapkan tetap terjaga.

Perkembangan mazhab fiqh
Mazhab fiqh di Mesir dapat berkembang dengan baik, meskipun dalam praktik sehari-hari sebagian besar warga Mesir mengikuti mazhab Syafiiyah. Dalam memutuskan persoalan-persoalan umat, terkadang Daar al-Ifta juga memakai pendapat-pendapat mazhab selain Syafiiyah. Hal ini menunjukkan fleksibilitas mufti dalam melihat pendapat imam mazhab, sehingga di dalam pengambilan pendapat hukum dapat menggunakan salah satu pendapat imam mazhab yang relatif dapat diterima masyarakat Mesir.
Dalam kunjungan tersebut, banyak informasi yang didapatkan dari hasil audiensi dengan Dubes Indonesia di Mesir, Abdurahman Fakhir, diantaranya tentang keberadaan warganegara Indonesia di Mesir. Mahasiswa Indonnesia yang belajar di Universitas Al-Azhar dan Universitas-universitas lainnya di Mesir kurang lebih berjumlah 5.000 orang.
Dubes menginformasikan bahwa Syekh Al-Azhar telah menghibahkan tanah di dalam lingkungan kampus Al-Azhar untuk dibangun asrama bagi mahasiswa asal Indonesia. Menurut Dubes, suasana di Mesir sangat kondusif bagi mahasiswa Indonesia yang belajar di sana, meskipun masih ditemui banyak mahasiswa kita yang lambat menyelesaikan masa perkuliahan di sana.
Tentang pembinaan dan pencatatan perkawinan di KBRI Mesir telah berjalan dengan baik. Tercatat kurang lebih 40 pasangan nikah di KBRI setiap tahun. Akad nikah Warganegara Indonesia di Mesir dipandu oleh konsuler mereka langsung mendapatkan buku nikah atau kutipan akta nikah sebagaimana layaknya pernikahan di Indonesia.
Sementara ketika berkunjung ke perpustakaan Alexandria atau perpustakaan Iskandariyah, delegasi Indonesia menyatakantakjub. Perpustakaan terbesar di Mesir itu sungguh indah, berada di tepi pandai dengan struktur bangunan menjorok ke permukaan laut. Sehingga perpustakaan yang didirikan pada awal abad ke-3 SM pada masa Pemerintahan Ptolemeus II dari Mesir (setelah Bapaknya mendirikan kuil Muses, Musaeum yang merupakan asal kata Museum) ini menjadi daya tarik tersendiri baik bagi para wisatawan maupun peneliti serta mahasiswa yang ingin mencari referensi di dalamnya. Perpustakaan ini diperkirakan menyimpan sekitar 400.000 sampai 700.000 naskah pada masa puncaknya.
Pada zaman dahulu, kota Alexandria (Iskandariyah) terkenal dengan bangunannya yang termasyhur namun sekarang sudah lenyap seperti Faros, mercusuar kuno yang konon tingginya mencapai 110 meter dan diangap sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia, dan makam Alexander yang Agung.
Dinasti Yunani, Ptolemeus mewarisi Mesir dari Alexander dan menguasai negeri itu sampai Caesar Octavianus Augustus mengalahkan Antonius dan Cleopatra pada tahun 30 SM. Dibawah Ptolemeus, Alexandria berubah secara drastis. Sesungguhnya, kota itu suatu masa menjadi pusat perdagangan dan budaya dunia, menurut Atlas of the Greek World. Pada puncak kejayaannya. Alexandria berpenduduk sekitar 600.000 jiwa. (sidik m nasir) Sumber http://www.hupelita.com/

Bulan Pernikahan




Oleh: Komaruddin Hidayat
Bulan Sya’ban, bulan menjelang Ramadan, merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Bulan yang diyakini sebagai bulan tutup buku perhitungan amal selama setahun.
Maka pada bulan itu dianjurkan untuk memperbanyak zikir, beramal saleh, dan melaksanakan salat taubat sebelum buku catatan amalnya diangkat ke langit oleh malaikat pada akhir pertengahan bulan Sya’ban (nisfu sya’ban). Yang menarik perhatian saya, entah dari mana asal-usulnya, pada bulan itu juga banyak acara pernikahan. Ada yang beralasan, memasuki bulan Ramadan, agar seseorang merasa enak hidupnya, ia mesti ada pendampingnya. Dengan pendamping di sisinya, semoga ibadah Ramadan lebih khidmat dilakukan. Baik ketika merasa lapar, berbuka puasa, salat tarawih maupun bangun malam untuk makan sahur, ada teman setianya.

Untuk itu, banyak orang melaksanakan pernikahan menjelang Ramadan. Tentang pernikahan ini, banyak aspek human interest yang menarik diobrolkan. Kelihatannya sepele, tapi bisa saja berakibat serius. Misalnya saja, rupanya di kota besar semacam Jakarta, untuk menyewa tempat atau gedung resepsi pernikahan yang bagus harus antre panjang. Kriteria bagus antara lain tempat parkir luas, daya tampung gedung di atas seribu orang, desain ruang bagus dan nyaman untuk dihias.Paling cepat setengah tahun sebelumnya kalau mau menyewa untuk resepsi di akhir pekan.

Bahkan ada yang setahun sebelumnya. Bagi sebagian masyarakat kelas menengah Indonesia, pesta pernikahan lebih dari sekadar acara keagamaan dan adat, melainkan juga menyangkut gengsi sosial. Ada orang bilang, kalau ingin tahu status dan relasi sosial seseorang, lihat saja sewaktu mengadakan pesta pernikahan anaknya. Siapakah tamu-tamu yang datang, hal itu akan menunjukkan status sosial yang memiliki hajat. Kalau kebetulan seorang pejabat tinggi negara, maka tamu yang datang adalah relasi sesama pejabat serta anak buahnya. Termasuk juga mitra bisnis atau rekanan.

Jika yang punya hajat adalah aktivis partai politik (parpol), yang berdatangan juga kalangan aktivis. Demikianlah seterusnya. Ada lagi orang berkomentar, jika ingin tahu koleksi mobil-mobil mewah di Jakarta, perhatikan saja sewaktu ada acara resepsi pernikahan. Mobil simpanannya pada keluar. Adakah untuk menghargai undangan ataukah untuk kenyamanan ataukah pamer, terserah niat seseorang. Memang kadang kala mengesankan ironi dan paradoksal ketika orang kaya Indonesia mengadakan pernikahan. Ongkosnya bisa mencapai miliaran rupiah di tengah suasana rakyat yang menganggur tak ada pekerjaan tetap.

Televisi tidak mau ketinggalan untuk meramaikan dan membuat heboh jika yang menjadi pengantin itu kalangan selebritas. Pemberitaan semacam itu pasti akan membuat selebritas yang lain terpengaruh, mungkin malu kalau pestanya sederhana. Padahal, bukankah di balik kesederhanaan itu justru tersimpan sikap mulia? Yang juga pantas direnungkan adalah berapa sumbangan uang dalam amplop yang pantas diberikan? Katanya, jumlah besar-kecilnya sumbangan tergantung siapa yang punya hajat. Semakin kaya seseorang, semakin besar tamu menyumbang.

Semakin sederhana pesta pernikahan, semakin sederhana atau sedikit sumbangan yang diberikan oleh para tamunya. Nah, apakah ini bukan logika terbalik? Mestinya para tamu tidak usah merasa malu kalau tidak menyumbang jika yang punya hajat itu dikenal sebagai konglomerat. Dia mungkin saja sengaja mensyukuri nikmat dengan mengadakan pesta mewah, sama sekali tidak mengharapkan sumbangan dari para tamu. Sebaliknya, mereka yang bukan konglomerat tentu akan sangat bermakna kalau tamu-tamu menyumbang agar modalnya kembali atau untuk bekal pengantinnya.

Yang disesalkan adalah jika faktor tradisi atau gengsi sosial lalu memberatkan keluarga yang melangsungkan acara pernikahan menjadi berat dan mesti berutang ke kanan-kiri dan itu biasa terjadi dalam masyarakat. Padahal, Rasulullah mengajarkan, janganlah pernikahan itu diperberat. Yang paling pokok adalah dipenuhi syarat-rukunnya menurut ajaran agama. Umumkan kepada tetangga dan saudara jauh serta masyarakat tentang acara pernikahan itu agar pasangan suami-istri tidak menjadi fitnah kalau berjalan bareng. Juga kalau ada yang naksir agar membuang niatnya. Di Indonesia lebih bagus lagi, yaitu dicatatkan ke kantor resmi pemerintah sehingga ikatan keluarga itu semakin kokoh secara hukum.

Kalau sekarang ada orang yang melakukan nikah diam-diam dan cukup dengan ustaz serta dua saksi, dengan alasan semasa Rasulullah tak ada catatan sipil atau kantor KUA seperti sekarang ini, mereka lupa satu aspek pernikahan yang amat fundamental. Di masa Rasulullah pernikahan itu diketahui warga masyarakat dari ujung ke ujung sehingga ada sanksi sosial siapa yang mengkhianati atau yang merusak lembaga rumah tangga. Artinya, pernikahan itu merupakan peristiwa dan ada dimensi sosialnya. Inilah yang kemudian diperkokoh oleh pemerintah melalui petugas KUA.

Demikianlah, sesungguhnya masih banyak aspek pernikahan yang bisa kita bahas pada lain kesempatan. Saya sendiri, mungkin juga saudara, kadang dibuat problematis ketika memperoleh undangan resepsi pernikahan lebih dari dua pada waktu yang sama, sementara lalu lintas Jakarta semakin macet saja.(*)

Senin, 02 Agustus 2010

Pendidikan Anak

Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 Mengamanatkan bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan didalam rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah.
Pendidikan dalam lingkungan rumah tangga yang merupakan tanggung jawab orang tua, berlangsung melalui proses pembiasaan dan contoh teladan terutama dalam menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya. Dalam hal ini, orang tua harus memperhatikan bagaimana timbulnya kepercayaan Agama dan faktor mempengaruhi perkembangan agama pada anak-anaknya, karena jika anak-anak itu dibiarkan saja tanpa pendidikan Agama dan hidup dalam lingkungan tidak beragam, ia akan menjadi dewasa tanpa agama. Setiap kepala keluarga mempunyai tugas dan tanggung jawab yang cukup berat dalam membina anak-anak dan rumah tangganya.
Anak adalah titipan tuhan yang wajib dibina dan dipelihara. Dalam hal ini, orang tua sebagai pemegang tanggung jawab haruslah betul-betul melaksankan kewajiban tersebut. Apabila kewajiban tersebut dilalaikan, maka dosa yang akan menjadi balasannya. Untuk itulah, orang tua memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting dalam perkembangan kepribadian anak, sangat ditentukan oleh pendidikan yang diberikan oleh orang tua di rumah.
Lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh anak. Awalnya anak melakukan interaksi dengan orang tua. Jadi hendaknyalah orang tua mewarnai anak dengan nilai-nilai agama sejak usia dini, sebab jika kita sebagai orang tua membiarkan anak hidup dalam lingkungan pergaulan tanpa kontrol dan perhatian, maka anak tersebut akan tumbuh menjadi anak tanpa nilai-nilai relegi, sedangkan nilai-nilai relegi adalah suatu potensi yang dibawah oleh setiap manusia yang harus dikembangkan demi terpeliharanya diri dan jiwa dari perbuatan-perbuatan yang melanggar agama, sebab nilai-nilai agama yang baik membawa ketentraman jiwa.
Pada umumnya, agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan yang dilalauinya pada masa kecilnya dulu. Jika seseorang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapat didikan agama, maka pada masa dewasanya nanti ia akan merasakan pentingnya agama dalam hidupnya, lain halnya dengan orang yang diwaktu kecilnya mempunyai pengalamn-pengalaman ibadah, agama, misalnya ibu bapaknya orang yang tahu beragama, ditambah pula dengan pendidikan agama secara sengaja dirumah, sekolah dan masyarakat. Maka orang itu dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, takut melangkahi larangan-larangan agama dan dapat merasakan nikmatnya hidup beragama.
Mendidik anak adalah kewajiban orang tua, terutam tentang pendidikan agama dengan nilai-nilai ajaran islam, sebagai Firman Allah dalam surat Luqman ayat 13 yang berbunyi :
“Dan (ingatlah) ketika luqman berkata kepada anaknya, diwaktu dia memberi pelajaran kepada anaknya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan Allah dalah benar-benar kezaliman yang besar”.

Disamping itu, orang tua harus menjelaskan kepada anaknya bahwa Allah SWT, memberikan kepada manusia untuk mengetahui segala sesuatu dialam ini. Dalam kaitan inilah orang tua sangat berperan dalam pendidikan anak-anaknya, karena dengan pendidikan manisia bisa mencapai kehidupan yang lebih baik dan merupakan modal keselamatan di dunia dan akhirat kelak.