Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Bahasa Lokal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bahasa Lokal. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 Agustus 2017

TAFSIR DAN LOKAL WISDOM: Perilaku Keagamaan Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dalam Memahami Tafsir al-Qur’an

Oleh: 
Sulaiman Ibrahim

Dalam penyebaran agama Islam,para ulama di Sulawesi Selatan telah menempuh berbagai cara, di antaranya ada yang giat melakukan dakwah Islamiyah secara langsung di tengah-tengah masyarakat, ada pula selain melakukan dakwah mereka juga membuat karya tulis untuk dijadikan bahan bacaan di kalangan santri-santri dan masyarakat sekitarnya. Berbagai upaya dan cara itulah telah ditempuh oleh ulama pendahulu dalam rangka mengkaji agama Islam dan menggali kandungan ayat-ayat Alquran.
Literatur-literatur tafsir Alquran yang muncul dari tangan para muslim Nusantara, dengan keragaman bahasa dan aksara yang digunakan mencerminkan adanya “hirarki”, baik “hirarki tafsir” itu sendiri di tengah karya-karya tafsir lain, maupun “hirarki pembaca” yang menjadi sasarannya. 
Misalnya penggunaan bahasa Arab, seperti yang ditempuh oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam tafsīr Marah{ Labīb, dari segi sasaran –dengan mempertimbangkan bahasa Arab- tafsir ini lebih mudah diakses oleh para peminat kajian Alquran secara Internasional, namun pada sisi yang lain, yakni dalam konteks Indonesia sendiri, karya tafsir itu tentu lebih bersifat elitis. Sebab, seperti yang kita ketahui bahwa tidak semua muslim Indonesia mahir berbahasa Arab. Demikian juga, literatur tafsir yang ditulis dengan bahasa daerah –Jawa atau Bugis misalnya- dan menggunakan huruf Arab pegon, pada satu sisi akan mempermudah bagi komunitas muslim yang kebetulan satu daerah dan menguasai bahasa lokal tersebut. Namun, pada tingkat cakupan keindonesiaan, model inipun juga pada akhirnya tidak bisa menghindardari sifat elitisnya, sebab seakan-akan karya ini hanya ditulis khusus untuk daerah pemakai bahasa tersebut.
Satu hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa sentimen orang-orang Bugis di Sulawesi Selatan untuk memelihara bahasa daerahnya berbeda jauh di bawah level sentimen suku lain untuk melestarikan bahasa daerahnya. Tidak diketahui secara pasti apa yang menyebabkan hal tersebut, namun dugaan sementara adalah karena kurangnya literatur berbahasa Bugis yang beredar dalam masyarakat. Dapat dikatakan, tidak banyak bahkan sangat jarang orang yang membuat karya tulis dalam bahasa Bugis dewasa ini.






Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Kamis, 10 Agustus 2017

REFORMASI PENDIDIKAN VS BUDAYA MASYARAKAT LOKAL: Upaya Revitalisasi Pendidikan Agama Islam di Gorontalo

Latar Belakang
Sejak kekuasaan Orde Baru tumbang pada Mei 1998 hingga saat ini kondisi Indonesia masih dalam keadaan belum menentu meskipun upaya pembaharuan sudah sering kali dilakukan oleh berbagai pihak.[1] Sistem pendidikan yang ada dirasakan masih sentralistik, dengan strategi makro yang sulit menyentuh kebutuhan riil masyarakat karena memang mereka tidak dilibatkan.[2] Sistem pendidikan yang sentralistik hanya akan menghasilkan otoriterisme, menjadikan lembaga-lembaga sekolah sebagai pencetak robot-robot tanpa mampu mengembangkan kreativitas. Selanjutnya yang ada hanyalah kepatuhan dan keseragaman yang sangat jauh dari bobot profesional.

Berangkat dari beberapa hal di atas maka reformasi sangat diperlukan. Reformasi merupakan istilah yang populer dan menjadi kata kunci dalam membenahi seluruh tatanan hidup bangsa dan negara di tanah air tercinta ini, termasuk reformasi di bidang pendidikan. Dalam pendidikan, reformasi bukanlah langkah akhir namun reformasi harus segera diimplementasikan dan diiringi dengan upaya revitalisasi pendidikan Islam yang sekian lama telah dinanti oleh segenap umat. Istilah itu menunjukkan bahwa pendidikan Islam yang dulu pernah jaya kini mengalami  kemandulan harus kembali dipertajam pelaksanaannya seimbang dengan sistem pendidikan nasional. Seiring dengan reformasi pembaharuan pendidikan harus menggambarkan satu sistem pendidikan yang demokratis, konsisten, dan kontinyu serta komprehensif. Pendidikan yang ada harus menggiring ke arah terbentuknya manusia yang berkualitas yang mampu membangun negara dan diri dengan penuh tanggung jawab.
Pada era reformasi ini masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam segala aspek kehidupan. Masyarakat sangat membutuhkan satu pola pendidikan yang mampu memberi jawaban atas segala kemelut yang tengah dihadapi, tentu saja keinginan ini tidak mudah untuk di wujudkan, mengingat kondisi geografis Indonesia dan kultur yang sangat beragam apalagi hal itu disertai dengan masa transisi yang sedang dihadapi, bangsa Indonesia masih dalam pencarian jati diri serta berupaya membenahi tatanan program yang ada, dan menggantinya dengan kebijakan baru yang mengarah kepada terwujudnya pendidikan  yang lebih merakyat dan mampu memberdayakan individu.
Selanjutnya Pendidikan yang dikembangkan hendaknya yang berbasis pada masyarakat, yang lebih mengarah kepada pemberdayaaan perekonomian daerah dan disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Dalam hal pengaturan pendidikan hendaknya dikembalikan kepada sekolah yang mengelola pendidikan tersebut, pola pendidikan seperti inilah yang disebut sebagai pendidikan yang berbasis sekolah.[3] Dilihat dari pungsinya jelas sekali pendidikan sangat penting dalam peningkatan mutu dan kualitas sumber daya manusia baik dalam penguasaan ilmu agama maupun teknologi serta tetap menjaga sikap moral dengan tetap menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama. Secara singkat dapat dikatakan pendidikan berfungsi membina dan mempersiapkan anak didik yang berilmu, beriman serta tetap menjaga sikap moral. Dalam rangka mewujudkan fungsi idealnya, pendidikan harus selalu mengorientasikan diri dengan kebutuhan masyarakat dan mampu mengimbangi zaman yang senantiasa maju berkembang. Perkembangan pembangunan akan menimbulkan berbagai dampak bagi kehidupan oleh karena itu pendidikan harus dapat menjadi jembatan dalam mengatasi dampak kemajuan tersebut.
Reformasi masih belum menunjukkan hasil meskipun Indonesia telah lama memulai pembangunan dan dapat mencapai kemajuan dalam beberapa segi, namun secara kualitas pendidikan Indonesia masih perlu diperbaiki. Untuk itulah tiada alternatif lain kecuali harus senantiasa lahir keinginan dan niat baik dari berbagai kalangan untuk membaharui keadaan dan kualitas pendidikan, agar Indonesia  tetap survive  di tengah pertarungan ekonomi, sosial, budaya dan teknologi internasional yang makin kompetitif.
Kondisi Indonesia yang hingga sekarang masih belum stabil, diiringi dengan isu upaya reformasi seakan sudah mati,[4] jelas menunjukkan  masih ada beberapa pola pendidikan kita yang mengadopsi sistem pendidikan warisan kolonial atau masa orde baru.[5] Untuk itulah reformasi pendidikan  penting diimplementasikan, sebab pendidikan sangat erat kaitannya dengan aspek-aspek lain seperti sistem politik pemerintahan dan penyelenggaraan negara begitu pula para penyelenggara negara dan politik sangat menentukan dan berpengaruh pada dunia dan keberadaan pendidikan, what you want  in the state, you must put into the school.[6] Untuk mewujudkan reformasi dalam pendidikan mungkin ada beberapa paradigma yang perlu dirubah, diganti atau tetap dipertahankan dalam prakteknya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat Indonesia.



Silahkan kutip tapi tolong cantumkan alamat blognya... ok.  thanks


[1]Sebelumnya telah dicapai beberapa kemajuan seperti lahirnya ICMI, Bank Mu’amalat dan sebagainya, Lihat Azyumardi Azra, Islam Reformis dinamika intelektual dan gerakan, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999).
[2]H. Syaukani, Pendidikan Paspor Masa Depan, (Jakarta: Nuansa Madani, 2001), h. 3.

[3]Pendidikan seperti ini sangat dikenal dengan manajemen berbasis sekolah, Adapun masalah ini dapat dibaca dalam: E. Mulyasa, M.Pd, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), h. 19.
[4]Anggapan ini muncul tatkala terjadi bentrok fisik antara elemen Mahasiswa dan Petugas, dalam rangka memperingati peristiwa Semanggi dan Trisakti.
[5]Suyanto dan Jihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi  Pendidikan di Indonesia Memasuki Millineum III, (Yogyakarta: Adicita Karyanusa, 2000), h. 8.

[6]Azyumardi Azra, Sosialisasi politik dalam Pendidikan Islam, Pendidikan Islam dan Demokratisasi Masyarakat Madani, Ismail SM dkk, (Ed ), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000), h. 11.



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Senin, 02 Maret 2015

Wahdat al-Wujud In the View of Syekh Yusuf al-Makassari

A. Introduction
Since the early 17th century, Islam has spread completely in almost all regions of South Sulawesi where were still fragmented in several kingdoms such as Gowa-Tallo, Bone, Luwu, Soppeng, Wajo, Mandar, Sidendreng Rappang, and some small kingdoms.
Islam that was the first time introduced and spread in those regions by three Ulama from Minangkabau was mystical oriented (tasawwuf), besides Fiqh with mazhab oriented. It might be understandable since the general inclination of Islam disseminated in East at that time was colored with tasawwuf teaching after the fall of Bagdad in Mongol’s hand in 1258. Therefore, muslims who studied Islam at that time tended to pay their attentions to tarekat, tasawwuf teaching, and fiqh especially syafi’i school.
Syekh Yusuf (1626-1699) who will be major concern of this paper is one of ulama of Gowa kingdom who was born and grew up in such condition. As the product of his era, it is no surprising if he became expert in fiqh of Syafi’I school, tasawwuf and tarekat. However, his name became more famous as a great sufi and he is highly venerated in South-Sulawesi as the father of Khalwatiah order. Almost all of his adventures in seeking knowledge were spent to learn and deepen mystical order of various schools such as: Qadiriyyah, Ba’lawiyyah, Naksyabandiyah, Syattariyyah, Ahmadiyyah, Suhrawardiyyah, Kabrutiyyah, Maduriyyah, Muhammadiyyah, Madyaniyyah, Kawabiyyah, and Khalwatiyyah. For the last order, his teacher gave him honorific title “Taj al-Khalwati Hidayat Allah.”
In this paper, the writer only attempts to focus on Syekh yusuf’s view of Wahdat al-Wujud which is by no means associated with Ibn ‘Arabi, the father of such concept. It is interesting to study his view on this controversial concept since he was generally assumed by his followers as Sunni Sufi. However, in fact, in some of his works, he seems to partly accept Wahdat al-Wujud for certain extent.
B. Short Biography of Syekh Yusuf al-Makassari
The first written source which reveals the life of Syekh Yusuf Makassar is the traditional book of history belongs to Makassarese-buginese, that is the so-called “Lontara”. There are three Lontara which inform much of his life, namely lontara Tallo, lontara Gowa and lontara Bilangngang. It was the three lontara considered to very reliable in tracing Riwawayana Tuanta Salamaka ri Gowa (the history of our safe master in Gowa, i.e. Syekh Yusuf al-Makassar). Besides, oral tradition which is famous among Buginese-Makassarese people in South Sulawesi could also tell us such history.
According to “Lontara Bilangngang”, the heritage of the twin kingdoms, Gowa-Tallo, Syekh Yusuf was born on 3 July 1626 M coinciding with 8 Syawal 1036 H. The story of his birth was told in oral tradition in Buginese-Makassarese society and it become agreement among them. This fact indicates that his birth was 20 years after Gowa and Tallo kingdoms being Islamized by an Ulama from Minangkabau, namely Abdul Kadir Khatib Tunggal or popularly called Dato’ri Bandang.
As an ordinary human, he was born on the earth through his father and mother. As stated in Lontara Riwaya’na Tuanta Salama ri Gowa, his father is Galarrang Moncongloe, a brother in one mother line of the king of Gowa Imanga’rangi Daeng Manrabia or Popularly known as Sultan Alauddin, the first king who converted to Islam and declared Islam as the formal religion of his kingdom in 1603. His Mother is Aminah binti Damapang Ko’mara, who is descendant of noble family from the Tallo kingdom, the twin kingdom of Gowa.
However, according to hasyiyat fi al-Kitab al-Anba’ fi I’rab la Ilaha illa Allah, one of syekh yusuf’s works stated that his father is Abdullah, so Prof. Hamka decides that his father’s name is Abdullah. Besides, oral tradition inherited by his descendants informs that His father is Abdullah Khaidir. Yet, the latter name still becomes controversy in common people since some regard that he is the prophet Khaidir. Nonetheless, the geneology of his descendants which is inherited by generations can convince us that his father is Gallarang Moncongloe, then Islamized as Abdullah Khaidir.
The life of Syekh Yusuf was popular up to now in four places or countries; they are Makassar (South Sulwesi), Banten (West Java), Ceylon (Sri Langka), and Cape Town (South Africa) since he spent much of his life at those places. In Ceylon and South Africa, he was even regarded as the first who put foundations of the existing Moslem community and as the father of several Moslem communities in south Africa who struggled to realize unity against oppression and ethnical differences.
During his childhood, he spent with learning to read al-Qur’an and was taught how to practice Islam in daily life. After being able to read al-Qur’an and ready to study further, his father sent him to pondok pesantren Bontoala to study Islamic knowledge and linguistic means such as: Nahw, Sharf, Balaghah, Ma’ani and ‘Ilm al-Mantiq. Afterwards, Syekh Yusuf pursued his study in pondok Cikoang under the teaching of Syekh Jalaluddin al-Aidid. Because of his intelligence in following Majlis, he was then suggested by his teachers to continue his study in Jazirah Arabia.
Having adventured in Middle-East for around twenty years to study Islam, he returned to his hometown. Although there is oral story stated that he never go home, this story can not be accepted because we do not get any strong reasons and historical fact for evidence. Yet, it should be noted that after returning to Nusantara, Syekh Yusuf became the great warrior who always precipitated rebellions against the Dutch either when he was in Makassar, Banten, Ceylon, and South Africa. Wherever he was, he often dessiminated Da’wah Islamiyyah and called upon Jihad fi Sabilillah.
Syekh Yusuf was also popular as the prolific writer of tasawwuf works either in Makkassarese, Bugis, Arabic, Javanese, and Arabic. His works written in Arabic to mention some as follow:
1. al-Barakat al-Sailaniyyah
2. Bidayat al-Mubtadi’
3. al-Fawaih al-Yusufiyyah
4. Hashiyah in Kitab al-Anba’
5. Kaifiyyat al-Munghi
6. Matalib al-Salikin
7. al-Nafhat al-sailaniyyah
8. Qurrat al-‘Ain
9. Sirr al-Asrar
10. Sura
11. Taj al-Asrar
12. Zubdat al-Asrar
13. Fath Kaifiyyat al-Dzikr
14. Dafal-Bala’
15. Hazhihi Fawaid ‘Azima Dzikr La Ilaha illa Allah
16. Muqaddimat al-Fawaid allati ma la budda min al-‘Aqaid
17. Tahsil al-Inayah wa al-Hidayah
18. Risalah Ghayat al-Ikhtishar wa Nihayat al-Intizar
19. Tuhfat al-Amr fi Fadilat adz-Dzikr
20. Tuhfat al-Abrar li Ahl al-Asrar
21. al-Munjiyya ‘an Madarrat al-Hijaiba

Syekh Yusuf passed away in 22 Zulqaidah 1109 H coinciding with 23 May 1699 M. in his seclusion, Zandvliet at the age of 73 years old. He was buried in sandy hill of Fasle Bay, not far from his residence. His tomb now was seen as ‘sacred’ and believed as the holy place. His tomb was completed with other buildings, including the tombs of his four students who also struggled for Islam in South Africa.
C. Wahdatul Wujud in the View of Syekh Yusuf al-Makassary
It is widely acknowledged that the founder of wahdat al-wujud is the outstanding sufi, Ibn Arabi, who was born in Murcia, Andalusia in 560 H/1165 M and passed away in Damascus in 683 H/1240 M. Albeit the term “Wahdat al-Wujud” can not be found in his works, he always made statements that lead to such idea.
One of his works, Futuhat al-Makkiyyah, in which he wrote much about his amazing spiritual experiences that marked with many signs indicate that he has reached the level of kasyf when he was still young. Despite his works he wrote are more symbolic, he acquired his knowledge through the process of ‘opening’ (Kasyf).
It is hard to precisely understand Ibnu ‘Arabi’s concept of Wahdatul Wujud, but the main point is that there is no being/existence (wujud) except God; only one wujud, namely God. Anything except God is nothing in itself; it is merely the manifestation of God. Universe has no wujud itself except borrowing wujud comes from God. God (al-Haqq) and alkhalq (universe) are one but different.
In terms of the concept of Wahdat al-Wujud, Syekh Yusuf elaborated it in his message (risalah) Matalib al-Salikin. In introduction, he explains actually that risalah were the notes he wrote during his participation in majlis under his teacher Syekh Abdul Karim Al-Lahure, one of the leaders of Naqsabandiyah order and the famous Ulama in that era. Syekh yusuf notes that one should necessarily learn three things in order to complete his knowledge, namely ma’rifah, tauhid, and ibadah. The aforementioned kinds of knowledge cannot be separated with one another since they are illustrated as a tree, tauhid as the root, ma’rifah as the branch and the leaf, and lastly ibadah as the fruit.
In explaining the meaning of tauhid, he devides it into two parts, tauhid Wahdat al-Wujud and tauhid that can be understood by common Moslems. Syekh Yusuf did not strictly put one or both tauhid under priority, because according to him, the ability of human to understand tauhid is different with one another. Therefore, everyone is able to understand the concept of tauhid in accordance with his ability.
Commenting the concept of Wahdat al-Wujud, he argues that this kind of tauhid is only believed by some sufi. In his view, basically there is no ‘being’ (maujud) in ghaib and syahadah, in form (surah) and meaning (ma’na), in exoteric and esoteric, except in one existence (wujud), one essence and one substance. Syekh Yusuf illustrated this explanation like different parts of human body with its spirit itself. Similarly, as he said, the relation between God and creatures like the relation between human body and its spirit. It means that human spirit does not only exist (istiqrar) in one part of his body, but it covers all parts of his body. Likewise, God does not only exist (istiqrar) in one creature, but He covers all creatures.
In the context of essence unity and the characteristic (sifat) of God, Syekh Yusuf explains that both are one unity that is impossible to be separated. It is more likely the same with the nature of human who has body and spirit, as long as he or she is still alive, there is no separation at all. It seems from the explanation above that the concept of Wahdat al-Wujud according to Syekh Yusuf is not exactly the same with that addressed to Ibnu ‘Arabi since the latter stated: “know that Allah is one in unity, it is impossible if the one hulul to thing, or the thing hulul to Him, or He unites with a thing”.
Ibnu ‘Arabi asserted that it is impossible if the qadim One can become a place for the jadid (new) or take place in jadid. The new existence and qadim existence are interlinked with one another on the bounding of idhafah and law, not the bounding between one existence with the other one, since it is impossible if God can unite with His creature in the one level (martabat).
If one compares between Ibnu ‘Arabi’s statements and Syekh Yusuf’s interpretation on Wahdat al-Wujud, it will be apparent that Ibn ‘Arabi’s concept is more complicated and vulnerable to be misleading. It was Ibnu Arabi entitled as the father of Wahdat al-Wujud in tasawwuf world because he the first composed such concept more completely and this influenced much the latter sufi and scholars. That is why his thought up to now still becomes controversial among Moslem thinkers.
It is more probably that Syekh Yusuf did not directly refer this matter to Ibnu ‘Arabi’s writings especially Futuhat al-Makkiyyah and fushus al-Hikam. He might merely rest on the interpretations of Wahdat al-Wujud which were developed in his era through his teachers. Nevertheless, we can find in his writings focusing on the essence of universe existence that have slight similarities with Ibnu ‘Arabi’s statements in his book Fusus al-Hikam such as: “actually the existence of universe is equal to non-existence, likes the existence of shadow. The existence of shadow is not the reality; in fact it is non-physic in the form (surah) of existence.”
This statement is almost the same with that of Ibn ‘Arabi in Fushus al-Hikam: “know that anything that is called as “except al-Haqq” or the so-called as universe, if it is addressed to al-Haqq (Allah), it might be like the human’s shadow. Universe is the shadow of God, and He is the essence of addressing existence to universe since that shadow exists in reality without any doubt in belief.
It seems to me, from the explanation above, that the influence of Ibnu ‘Arabi on essence of al-wujud is quite dominant in Syekh Yusuf’s philosophy of tasawwuf. While the interpretation of Wahdat al-Wujud referred to Syekh Yusuf was obviously influenced by the thought trend expanded in his era. His interpretation in this case is much closer to idea of negating the existence at all except the existence of God.
Furthermore, in his works, we also can find the influence of Syekh Nuruddin ar-Raniri’s thought concerning the interpretation of Wahdat al-Wujud. It might be due to his acquaintance with him in Aceh before travel to Middle-East for seeking knowledge. The works of ar-Raniri he read improved hid horizon especially his criticism toward those misunderstood the concept of Wahdat al-Wujud.
There are some terms of ar-Raniri which is also used by Syekh Yusuf in explaining the meaning of wujud and Wahdat al-Wujud in his works such as: hakiki, majazy, muqayyad. Mazha, zill and so on. This may indicate that he was impressed by Wahdat al-Wujud delivered by ar-Raniry.
Wahdat al-Wujud expressed by Syekh Yusuf only mentioned once in his risalah Mathalib a-Salikin. Even he makes a new term, namely Wahdah Samadiyyah which means one meaning to express the sense of creature’s togetherness with God in that can not be reached by human understanding except God himself, who knows the essence of such togetherness . However, it may be felt by those who perform ibadah sincerely and continually.
Based on the explanations above, the writer can formulate that Syekh Yusuf in elaborating Wahdat al-Wujud still holds firmly manhaj ahl Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. He treats Muhkamat verses on Tauhid as the foundation of aqidah, while Mutasyabihat verses, he understood them without ta’wil and render the essence and the meaning to God. He is very careful in interpreting sufi’s views relating to Wahdat al-Wujud. Therefore, he did not label his tasawwuf teaching as Wahdat al-Wujud even more hulul and ittihad.
Nevertheless, in the context of relation between creature and his God through ibadah, he used the terms ihatah and ma’iyyah derived from al-Qur’an. He formulated both terms in one concept which he called Wahdah Samadiyyah. This concept, as I mentioned before, is the sense of togetherness of God with his creatures, and this can be felt by anyone who devotes himself to God.
D. Conclusion
It is undeniable that Syekh yusuf al-Makassari is the great ulama in 17th century who got involved in coloring the Islamic thoughts in Indonesia, notably tasawwuf and lots of his works he produced during his life. On the basis of the elucidations above, we can draw a conclusion that he is typical ulama that is very careful in interpreting sufi’s view in relation to Wahdat al-Wujud. Although he was influenced by Ibnu ‘Araby’s concept, he did not become the extreme follower of Ibnu ‘Arabi since he did not label it as Wahdat al-Wujud. Instead, he uses his own terms ihatah and ma’iyyah for the context of relation between God and Human. Both terms were formulated into one concept, namely Wahdat as-Samadiyyah. This concept does not concern on unity between God and Human in essence and substance (zat), but the sense of togetherness with God.


Bibliography

Abu Hamid, Syekh Yusuf Tajul Khalwati:Satu Kajian Antropologi, Tesis Doktor Falsafah, Universitas Hasanuddin Makassar, 1990
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah an Kepulauan Nusantara Abad 17 dan 18: Melacak akar-Akar Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung ; Mizan, 1994
Chittick, William C., Imajinal World, Ibn.al-Arabi and The Problem of Religious Diversity. Indonesian translation. Surabaya; Risalah Gusti, 2001
Galigo, Syamsul Bahri Andi, Syekh Yusuf Makassar dan Pemikiran Tasawufnya, Tesis Doktor Falsafah, Universitas Kebangsaan, 1998
Hamka, Sejarah Umat Islam, Cet. II, Jakarta : Bulan Bintang,1976
Ibnu Arabi, Muhyiddin, al-Futuhat al-Makkiyah, Tahqiq Ibarahim Madkur, Vol. III, Al Qahirah; Dar al-Ma’rifah, 1987
---------------, Fusus al-Hikam, Beirut; Dar al-Kitab al-Arabi, 1946
Ismail, Taufik, Syekh Yusuf: seorang Ulama Sufi dan Pejuang, Jakarta ; Percetakan Obor, 1994
Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995.
Mattulada, Islam in Sulawesi Selatan in Agama dan perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 1996,
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan sejarah Indonesia, Jakarta; LP3ES, 1987.
Tudjimah, Syekh Yusuf Makassar; Riwayat dan Ajarannya, Jakarta: UI-Press, 1997.





Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Rabu, 21 Januari 2015

The Abstrac



Semakin membumi tafsir itu, semakin mudah dipahami maksud dan tujuan ajarannya. Tafsir yang sesuai dengan bahasa masyarakat akan memudahkan masyarakat memahami Alquran, dan semakin dekat pula dalam pengamalannya.
 Ini dibuktikan Daud Ismail dengan berhasil menampilkan tafsir yang susunan dan gaya bahasanya lebih mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat Bugis setempat. Karena kitab-kitab tafsir yang ada selama ini dinilai terlalu banyak menggunakan bahasa Arab dan istilah yang terasa sulit dicerna dan dipahami oleh kebanyakan masyarakat setempat yang bukan bahasa mereka, apalagi telah dibumbuhi dengan istilah-istilah tertentu, seperti ilmu balaghah, nahwu, dan s}arf, yang semuanya justru kadang membingungkan para pembacanya.
Hal ini memperkuat pendapat Muh}ammad al-Fād}il ibn ‘Āshūr dalam al-Tafsīr wa Rijāluhu, bahwa penjelasan atau tafsir Alquran sebaiknya mengikuti menggunakan bahasa yang dipahami oleh masyarakat itu. Sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat وماأرسلناك من رسول إلا بلسان قومهم ليبين لهم .
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif termasuk penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan tafsir. Sumber utama penelitian ini adalah kitab Tafsīr al-Munīr karya Daud Ismail. Untuk mendapatkan aspek metodologinya digunakan beberapa kitab ‘ulūm al-Qur’ān dan kitab-kitab tafsir klasik maupun modern. Data-data yang dibaca dengan standar ilmu tafsir yang meliputi metode dan kandungan tafsir. Pemahaman kandungan tafsir melalui teori discourse analysis (analisis wacana), dan untuk menganalisis data yang ada dibantu dengan pendekatan tafsir.


 




Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Senin, 20 Mei 2013

Mengenal Ajatappareng, Kerajaan-kerajaan Bugis Di Barat Danau

KABARKAMI. Ajattappareng atau yang pada masa lampau dikenal dengan nama “Tanah di Barat Danau adalah wilayah geographis dalam istilah politiknya berhubungan dengan bentuk persekutuan konfederasi lima kerajaan Bugis yang terletak pada barat dan utara danau Tempe dan Sidenreng di semenanjung barat daya Sulawesi Selatan. Kerajaan Ini antara lain Sidenreng, Sawitto, Suppaq, Rappang dan Alitta. Kelima kerajaan Ajattappareng ini berjaya sekitar tahun 1700-an dengan hasil bumi yang melimpah sehingga pada akhirnya menjadi rebutan bagi kerajaan-kerajaan besar yakni kerajaan Luwu, kerajaan Bone dan kerajaan Gowa. Dalam persaingan ini kerajaan Gowa akhirnya berhasil mengintervensi sistem pemerintahan dan menjadikan persekutuan lima kerajaan Ajatappareng ini di bawah perlindungannya.

Saat ini, wilayah kerajaan Ajatappareng dibagi menjadi empat kabupaten dan satu kota madya. Sawitto, Alitta dan bagian utara-tengah Suppaq yang sebagian besar menjadi kabupaten Pinrang, yang sebelumnya telah didiami bagi sejumlah pemukiman yang bukan bagian dari wilayah kerajaan Ajattappareng sebelum tahun 1600. Pemukiman ini termasuk Batu Lappaq, Kassaq dan Letta, yang dulunya bagian dari konfederasi Massenrempulu yang dikenal dengan nama Lima Massenrempulu (lima tanah di tepi pegunungan), dan sejumlah pemukiman independen kecil lainnya antara lain Supirang, dihuni oleh orang-orang dengan bahasa, budaya dan etnis yang terkait dengan Mamasa-Toraja. Sementara Letta berada di bawah yurisdiksi Sawitto setelah diserang oleh kerajaan Boné pada tahun 1685 karena membunuh utusan kerajaannya.

Memasuki abad kedua puluh, Belanda menempatkan Batu Lappaq dan Kassaq dalam wilayah teritorial kabupaten Pinrang, bersama dengan Sawitto, Alitta dan bagian utara-tengah Suppaq. Nama Pinrang dipilih oleh Belanda sebagai tanah persetujuan berasal dari anak sungai kecil di Sawitto. Bagian selatan Suppaq dengan pusatnya sekarang terletak di kota madya Parepare dan ujung utara kabupaten Barru yang merupakan wilayah sisa anak sungai dari Suppaq yang terletak pada bagian utara kabupaten Barru. Sebagian besar wilayah Sidenreng dan Rappang menjadi kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap). Salah satu wilayah bekas anak sungai Sidenreng yaitu Maiwa, sebagai wilayah yang terbesar dan paling selatan dari lima kecamatan membentuk kabupaten Enrekang.

Wilayah Ajattappareng secara geografis merupakan perpaduan wilayah dari etnis yang beragam, meliputi dataran subur yang luas di bagian selatan dan tengah, daerah pegunungan di bagian utara dari Sidrap dan Pinrang. Beberapa wilayah dibagian selatannya adalah yang paling produktif di pulau Sulawesi sebagai daerah pesawahan yang tumbuh subur yang hanya bisa ditemukan di wilayah ini. Pertanian merupakan pekerjaan utama bagi sebagian besar penduduknya dan diperkirakan telah ada selama berabad-abad. Manuel Pinto, seorang petualang asal Portugis yang pernah menetap di Sidenreng pada tahun 1540-an, menyatakan bahwa daerah ini sangat kaya akan beras dan bahan makanan lainnya. Hingga saat ini, Sidrap dan Pinrang adalah dua produsen pertanian di Sulawesi Selatan yang memproduksi hasil beras terbesar di Asia Tenggara. (sumber: Stephen C. Druce / Widya Ningsih)



dikutip dari: http://www.kabarkami.com/mengenal-ajatappareng-kerajaan-kerajaan-bugis-di-barat-danau.html

Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Minggu, 19 Mei 2013

Diplomasi Makanan Bugis Ala Jusuf Kalla

MAKASSAR,  Inilah gaya asli Jusuf Kalla. Ketika meninjau persiapan pelaksanaan Pertemuan Centris Asia Pacific Democratic International (CAPDI) yang diikuti sekitar 18 negara di Makassar, JK sempat membuat "kalang kabut" panitia yang mengurusi bidang makanan.
Saat mengecek tempat jamuan makan siang yang diagendakan pada Selasa 21 Mei 2013, JK pun ditunjukkan daftar menu makanan dan test food. JK membaca dengan cermat daftar makanan yang tertulis antara lain, salad, sup, steak dan aneka makanan lainnya yang semua berbau makan Barat.

Kepada tim yang menyiapkan makanan yang didatangkan khusus dari hotel berbintang JK kemudian berbicara dengan gayanya yang kocak.

"Anda jangan sekali-kali menyaingi koki-koki barat dengan menyajikan makanan yang mereka sangat kuasai dan ahli. Lagi pula sangat tidak istimewa kalau Anda sodorkan makanan yang mereka bisa dapatkan dimana saja dan boleh jadi jauh lebih enak," kata JK.

"Pokoknya saya mau anda hidangkan semua jenis makanan Bugis, ada ikan bakar, telur ikan terbang, pallu mara, cobek cobek, sambal mangga," kata JK.

"Kita ini mau makan enak, bukan makan formal-formalan, ini kesempatan kita menunjukkan aneka masakan Bugis, cara dan tradisi kita sebagai orang Bugis menjamu tamu-tamu. Kita tidak boleh terasing di negeri sendiri dengan menjamu mereka makanan ala Barat," papar JK.

"Biarkan mereka menikmati makanan dan merasakan keaslian Bugis, kalau ada rendang nanti mereka bingung, ini kita sedang makan di Makassar atau di kota Padang," ujar JK yang disambut tawa lebar para panitia.

Itulah JK, sangat mencintai bangsanya, sangat menghormati kuliner negerinya, memberikan wadah terhormat terhadap aneka makanan leluhurnya. Itulah diplomasi makanan Bugis ala JK. (Dahlan Dahi/ Tribunnews)

Sumber: KOMPAS.com -



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Minggu, 17 Maret 2013

Pappaseng (Petuah Bugis)

1. Sadda mappabbati ada artinya bunyi mewujudkan kata
2. Ada mappabbati gau artinya kata mewujudkan perbuatan
3. Gau mappabbati tau artinya perbuatan mewujudkan manusia

1. AJA’  MUANGOAI ONRONG,  AJA’TO MUACINNAI TANRE TUDANGENG,  NASABA DETUMULLEI PADECENGI TANA,  RISAPPAPO MUOMPO,  RIJELLO’PO MUAKKENGAU
Artinya :
Janganlah menyerakahi kedudukan, jangan pula terlalu mengingini jabatan tinggi, karena engkau tak sanggup memperbaiki Negara.  Kalau dicari baru akan muncul.  Kalu ditunjuk baru engkau mengaku.
Penjelasan :
Pada hakikatnya, semua orang mencita-citakan kedudukan atau jabatan tinggi, tetapi takdir dan kesempatan membawanya kea rah lain. Akan tetapi manakala keserakahan menjadi tumpuan untuk menggapai cita-cita, maka dalam perjalanan menuju cita-cita unsure moral akan dikesampingkan, bahkan fatal bila ditunjang oleh kekuasaan.  Sebaliknya seorang yang beritikad baik pada umumnya mempunyai harga diri sehingga malu akan mengemis jabatan dan bila diberikan amanah dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab.

2. TELLU  RIALA  SAPPO :  TAUWE RI DEWATAE, SIRI  RI WATAKKALETA, NENNIYA SIRI RI PADATTA RUPA TAU
Artinya :
Hanya tiga yang dijadikan pagar : rasa takut kepada Tuhan,  rasa malu  pada diri sendiri, dan rasa malu kepada sesame manusia.
Penjelasan :
Rasa takut kepada Tuhan membawa ketaqwaan dan memperkuat iman.  Rasa malu kepada diri sendiri akan menekan niat buruk dan memperhalus akal budi, dan rasa malu kepada sesama manusia dapat membendung tingkah laku buruk dan meninggikan budi pekerti

3. PALA  URAGAE,  TEBBAKKE  TONGENGNGE,  TECCAU  MAEGAE,  TESSIEWA  SITULA’E
Artinya :
Tipu daya mungkin berhasil untuk sementara, tetapi kebenaran tak termusnahkan,  kebenaran tetap akan hidup dan bersinar terus di dalam kalbu manusia.

Penjelasan :
Karena sumber kebenaran datangnya dari Tuhan.  Yang sedikit  mungkin mengalahkan yang banyak untuk sementara karena kekuatan. Akan tetapi yang banyak tidak dapat diabaikan atau dimusnahkan. Yang banyak saja sudah satu kekuatan apalagi yang banyak membina kekuatan.
Adalah tidak mungkin matahari tenggelam di siang hari, seperti tidak mungkinnya memusnahkan kebenaran .


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Rabu, 09 Januari 2013

AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (2)

Menimba Ilmu di SengkangPada 1927, ketika Anre Gurutta H Muhammad As’ad pulang dari Tanah Suci dan mendirikan pesantren, Daud Ismail muda kembali lagi ke Sengkang.

Di sana, ia menjadi santri angkatan kedua setelah Anre Gurutta H Abdurrahman Ambo Dalle. Sosok inilah yang kemudian menjadi salah satu ulama besar di Bugis.

Selama menimba ilmu di Sengkang, Daud Ismail memperoleh banyak pengetahuan, utamanya dalam hal ilmu-ilmu agama. Sebut saja, ilmu qawaid, arodi, ushul fiqih, mantiq, dan lain-lain.

Berbekal ilmu dari Sengkang inilah Daud Ismail kemudian mulai mengajar. Pada tahap awal, ia mengajar di tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah.

Kembali ke SoppengKetika Perang Dunia II pecah pada 1942, Daud Ismail meninggalkan Sengkang. Ia kembali ke kampung halamannya di Soppeng. Di tempat inilah istri pertama, Hajah Marellung, yang dinikahinya pada 1932, meninggal dunia.

Dari istri pertama, ia mendapatkan dua orang putra. Tak lama setelah itu, Daud Ismail menikahi Hj Salehah. Dari istri kedua, ia tak mendapatkan anak. Di rentang waktu itu, ia kemudian menikah untuk kali ketiga. Perempuan pendampingnya adalah Hj Farida yang memberikan tiga orang anak.

Pada pertengahan 1940-an, Daud Ismail diminta mengajar di al-Madrasatul Amiriyah Watang Soppeng. Panggilan itu datang dari Datu Pattojo pada 1944. Setahun berikutnya, Daud Ismail diangkat menjadi Qadhi Soppeng. Ia diminta menggantikan Sayyed Masse.

Peran ini dijalaninya selama enam tahun hingga terbentuknya Departemen Agama Kabupaten Bone pada 1951 yang membawahi wilayah Soppeng. Pada 1961, ia mendirikan Pondok Pesantren YASRIB di Soppeng. Di tempat ini pula, ia membuka Madrasah Muallimin sekaligus diangkat sebagai qadhi untuk kali kedua.

Segala ikhtiar yang dilakukan AGH Daud Ismail untuk mengabdikan ilmu kepada masyarakat akhirnya menemukan jalan pengujung.

Ia menutup mata untuk selamanya di Rumah Sakit Hikmah Makassar pada usia 99 tahun. Ia pergi dengan tenang ketika azan Isya lepas berkumandang pada 21 Agustus 2006.



 Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/08/mgahb6-agh-daud-ismail-penerjemah-alquran-ke-bahasa-bugis-2


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (4-habis)


Tafsir al-Munir, Sebuah MahakaryaAGH Daud Ismail memang dikenal gemar menulis. Sejumlah kitab pun dihasilkannya. Salah satunya, yang dianggap sebagai mahakarya ulama Bugis ini adalah “Kitab Tafsir al-Munir”.

Kitab tafsir Alquran 30 juz ini ditulis dalam bahasa Bugis dan telah dicetak serta disebarkan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Bugis. Kitab ini merupakan salah satu dari sembilan karya ulama besar kelahiran Soppeng ini.

Delapan karya lainnya adalah Riwayat Hidup AG Kyai Haji Muhammad As’ad (Gurutta Sade) yang ditulis dalam tiga bahasa, yakni Bugis, Indonesia, dan Arab, kemudian Pengetahuan Dasar Islam yang terdiri atas 3 jilid; Hukum Puasa; Hukum Shalat; Hukum Nikah; Kumpulan Khutbah Jumat; Kumpulan Doa-Doa; dan Fatwa-Fatwa.

Sulaiman Ibrahim, dosen tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo, dalam salah satu artikelnya menilai, Tafsir al-Munir berperan besar dalam memberikan pemahaman Alquran kepada masyarakat lokal.

Menurut Sulaiman, ada dua alasan yang membuat Daud Ismail mempergunakan bahasa Bugis dalam kitab Tafsir al-Munir. Pertama, kata dia, Daud Ismail berada di tengah masyarakat Bugis, tempat bahasa tersebut sangat dominan digunakan oleh masyarakat. “Sehingga, karyanya lebih mudah dipahami oleh masyarakat setempat,” tulisnya.

Pertimbangan kedua, usaha dari Daud Ismail ini menjadi jalan penting untuk melestarikan bahasa dan lontara (aksara) Bugis. “Adanya tafsir Alquran ini, memegang peranan penting dalam kehidupan keagamaan, terutama bagi suku Bugis,” kata Sulaiman.

Dalam pandangan Sulaiman, kehadiran kitab Tafsir al-Munir menjadi sangat penting mengingat perkembangan penafsiran Alquran di Indonesia berbeda dengan di dunia Arab.

Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial budaya, geografis, dan bahasa. “Dalam konteks itulah, kehadiran sebuah tafsir bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Bugis, sangat diperlukan,” pungkas Sulaiman.


Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/08/mgahkv-agh-daud-ismail-penerjemah-alquran-ke-bahasa-bugis-4habis

Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya


AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (3)

Anregurutta, Gelar KehormatanSuku Bugis umumnya berdiam di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.

Meski demikian, suku ini juga menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Dalam tradisi masyarakat Bugis, gelar Anregurutta dapat diibaratkan sebagai profesor di dunia akademik.

Meski demikian, seperti dijelaskan dalam situs resmi Nahdlatul Ulama, gelar Anregurutta bukanlah pemberian gelar akedemik, melainkan pengakuan yang timbul dari masyarakat atas ketinggian ilmu, pengabdian, dan jasa seseorang dalam dakwah keislaman.

Tak semua yang mengajar agama dipanggil sebagai Anregurutta, bergantung pada tingkat keilmuannya. Selain itu, masyarakat Bugis juga meyakini adanya kelebihan yang dimiliki Anregurutta, yakni berupa karomah, dalam bahasa Bugis disebuti makarama.

Para mubalig, meski memiliki pengetahuan keislaman cukup luas, belum tentu disebut Anregurutta. Banyak di antara mereka yang tetap dipanggil ustaz. Mereka dianggap mampu membawakan khutbah dan ceramah di masyarakat, namun belum bisa dijadikan rujukan bertanya mengenai berbagai masalah keagamaan.

Sementara itu, Anregurutta biasanya dijadikan tempat bertanya tentang berbagai masalah keagamaan dan kehidupan secara umum.

Nah, salah satu pejuang dakwah di Tanah Bugis yang mendapat gelar Anregurutta adalah Daud Ismail. Dialah sosok ulama besar yang berperan penting dalam pengembangan syiar Islam di Sulawesi Selatan.



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (1

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi masyarakat Bugis, Anregurutta Haji (AGH) Daud Ismail mengukir jasa besar yang tak bisa dilupakan.

Jasa yang tak akan terlupa itu adalah usahanya menerjemahkan dan menafsirkan 30 juz Alquran ke dalam bahasa Bugis.

Rasanya, inilah puncak pencapaian AGH Daud Ismail sebagai ulama besar yang pernah lahir di Sulawesi Selatan.

“Penulisan tafsir Alquran 30 juz di Indonesia masih terbilang langka. Kalaupun ada, biasanya hanya ditulis oleh orang yang tidak sembarangan,” tulis Sulaiman Ibrahim, dosen tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Lokalitas Tafsir Bahasa Bugis: Telaah atas Metodologi Tafsir Anre Gurutta Daud Ismail”.

AGH Daud Ismail terlahir di Soppeng pada 30 Desember 1908. Ia adalah putra dari pasangan H Ismail bin Baco Poso dan Hj Pompola binti Latalibe. Dari 11 bersaudara, ia adalah anak bungsu dan satu-satunya anak lelaki.

Ayahnya dikenal sebagai khatib di Distrik Soppeng. Sang ayah memiliki panggilan lain Katte’ Maila (Ismail). Orang tua Daud Ismail juga dikenal sebagai guru mengaji Alquran di Desa Cenrana. Rupanya, darah mengajar dari orang tuanya itulah yang mengalir deras dalam diri Daud Ismail.

Selain menafsirkan dan menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Bugis, AGH Daud Ismail juga berjasa besar mendirikan Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB) yang di dalamnya terdapat pesantren. Ia juga membuka Madrasah Muallimin pada 1967.

Semua pencapaian besar ini diraih melalui proses otodidak. Proses itu diawali dari hasil belajar Alquran kepada ayahnya sewaktu masih kecil di kampung. Selepas menimba ilmu di rumah, ia melanjutkan pendidikan ke pesantren di Sengkang.

Lalu, pada 1925- 1929, ia mulai mempelajari kitab qawaid di Lapasu Soppeng Riaja. Tempat ini berjarak sekitar 40 km dari kota Parepare. Di tempat ini, ia menimba ilmu dari ulama besar bernama Haji Daeng dan Qadhi Soppeng Riaja.


Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/08/mgagfm-agh-daud-ismail-penerjemah-alquran-ke-bahasa-bugis-1
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Jumat, 28 Desember 2012

Menag: Terjemahan Al Qur’an Dalam Bahasa Lokal Memiliki Peran Penting dan Strategis

Jakarta, (19/12) – Dengan jumlah penduduk lebih dari 241 juta jiwa, 1.128 suku bangsa dan ratusan bahasa lokal membuat Indonesia begitu heterogen.  Dari data tersebut, dicermati bahwa banyak diantaranya tidak mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia,  namun mereka masih bertutur dalam bahasa lokal.
Dalam acara Launching Thesaurus Manuskrip Keagamaan Nusantara dan Terjemahan Al Quran Bahasa Makassar-Kaili dan Sasak, di auditorium Kemenag Jl.MH.Thamrin No.6, Jakarta, Rabu (19/12), Menteri Agama Suryadharma Ali menilai bahwa terjemahan Al Qur’an dalam bahasa lokal memiliki peran penting dan strategis paling tidak terjemahan dapat memberikan beberapa manfaat yaitu pertama berupa layanan keagamaan lokal sehingga meningkatkan pemahaman dalam bidang agama.  Kedua, terjemahan memainkan peran dalam pelestarian budaya lokal sehingga budaya lokal tersebut terpelihara dan terjaga nilai-nilai luhurnya.
Berkaitan dengan bahasa lokal, upaya Badan Litbang dan Diklat melalui Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan patut diacungi jempol.  Selain berperan dalam meningkatkan pemahaman isi Al Qur’an, terjemahan dalam bahasa lokal juga turut melestarikan identitas kesukuan karena daerah yang kehilangan bahasa lokalnya otomatis kehilangan identitas kesukuannya.  (RPS)

 Sumber: http://balitbangdiklat.kemenag.go.id


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya