Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Jumat, 22 Oktober 2010

Kebebasan,Hukum,dan Etika Berdemokrasi

oleh Komaruddin Hidayat
TIGA elemen yakni kebebasan, hukum, dan etika sangat vital dalam kehidupan berdemokrasi kalau bangsa dan negara ini ingin tertib dan beradab. Pertama, kebebasan.
Tanpa ada jaminan kebebasan berserikat dan berekspresi, demokrasi tak ada maknanya. Tanpa ada kebebasan, seorang yang beragama bahkan tidak akan bisa tulus dalam melaksanakan ajaran agamanya. Bisakah beriman dengan tulus jika seseorang beragama karena paksaan? Dalam hal kebebasan ini, kondisi sosial politik Indonesia sudah menunjukkan kemajuan luar biasa. Orang bebas mendirikan partai politik (parpol), yang kemudian nanti masyarakat yang akan menentukan hidup-matinya. Kedua, ketegasan hukum. Sebuah masyarakat, jika hanya menikmati kebebasan dan tidak disertai penegakan hukum yang jelas dan tegas, iklim kebebasan lama-lama akan menghancurkan dirinya. Masyarakat akan terjebak dalam suasana kompetisi tanpa kendali yang berujung pada konflik dan pertempuran.
Karena itu, sistem demokrasi dalam sebuah negara yang sehat, kebebasan mesti dikawal dan dijaga oleh penegakan hukum. Lihat dan pelajari saja negara demokrasi yang sudah tua dan mapan seperti di Inggris atau Amerika Serikat (AS), hukum sangat wibawa di sana. Personifikasi hukum ini tampil dalam korps kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan. Di Indonesia aspek penegakan hukum ini sangat menyedihkan sehingga pilar kebebasan menjadi destruktif, menghancurkan dirinya sendiri dan menggerogoti demokrasi, kecuali jika penegakan hukum yang tegas dan wibawa segera diwujudkan. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirancang untuk mengawal demokrasi dan reformasi agar hukum tegak, korupsi bisa dikurangi secara drastis sehingga kesejahteraan rakyat terwujud. Tetapi, yang terjadi sungguh menyedihkan.
Masyarakat semula sangat antusias terhadap peran KPK untuk membangun optimisme masa depan. Tetapi, banyak pihak yang tidak menghendaki KPK ini tumbuh besar, kokoh, dan menjaga ibu pertiwi dari maling-maling, koruptor, dan garong yang menghancurkan ekonomi bangsa. Presiden, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan idealnya merupakan penjaga KPK yang paling setia untuk memberantas korupsi dan menegakkan hukum di Indonesia. Tetapi, berbagai hambatan kerja KPK tampaknya justru datang dari lembaga-lembaga yang mestinya menjadi suporter dan penjaganya. Ini suatu ironi reformasi dan demokrasi di Indonesia. Ketiga, etika berpolitik. Jika mengacu pada Pancasila yang menjadi dasar dan ideologi negara, perjalanan berbangsa dan bernegara ini mestinya sudah sampai pada tahapan etika.
Di atas kebebasan dan penegakan hukum di sana ada etika berpolitik dan berdemokrasi. Ini lebih tinggi derajatnya, merupakan refleksi dan manifestasi sila ketuhanan dan kemanusiaan. Kalau kebebasan dan hukum untuk memperkokoh semangat kebangsaan dan kerakyatan, etika merupakan pesan ketuhanan dan kemanusiaan. Pada tahap ini orang berdemokrasi dan berpolitik tidak saja berpegang pada kaidah hukum, tetapi juga lebih pada kesadaran dan kepantasan moral (moral decency). Ini sesungguhnya bukan suatu utopia. Di Jepang misalnya seorang pejabat tinggi akan mundur karena pertimbangan moral. Malu ketika gagal melaksanakan tugas, lalu mundur. Mereka lebih menghayati sila kemanusiaan. Ada prinsip harga diri.
Pada awal kemerdekaan para pendiri bangsa ini juga memiliki standar etika yang tinggi dalam berpolitik. Hubungan Natsir dan Kasimo misalnya meski berbeda agama dan sering terlibat perdebatan seru dalam persidangan, keduanya dikenal sangat baik dalam hubungan kekeluargaan. Begitu pun Hatta dan Mohamad Roem, mereka sangat sederhana dan bersih dari korupsi. Mereka telah memberikan teladan bagaimana menjunjung etika dalam berdemokrasi. Mereka menghayati spirit sila ketuhanan dan kemanusiaan. Situasi dan perkembangan politik saat ini sungguh semakin menyedihkan. Yang menonjol semua orang ingin bebas. Bebas apa saja.
Bebas mendirikan partai. Bebas berekspresi. Kalau bisa juga ingin bebas menggunakan kekuasaan yang tengah dimiliki untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Bahkan ingin bebas korupsi lalu bebas dari jeratan hukum. Para ekstremis-radikalis dan teroris juga semakin bebas menentang negara dan menghujat Pancasila. Salah satu jalan yang mendesak untuk dilakukan pemerintah adalah menegakkan hukum untuk mengawal pilar kebebasan dalam berdemokrasi. Lembaga penegak hukum mesti diperkuat. Sekarang ini presiden memiliki peluang historis untuk memilih jaksa agung, kapolri, dan ketua KPK baru agar ketiganya membangun sinergi di bawah komando presiden untuk memberantas korupsi secara kencang.
Kalau ini segera dilakukan, wibawa hukum secara perlahan akan membaik. Kalau tidak, yang akan mengemuka adalah kebebasan yang tidak terkontrol. Hukum dilecehkan, etika semakin ditinggalkan dalam kehidupan politik kita. Rakyat semakin merasa letih. Bencana alam sambung-menyambung. Kecelakaan transportasi susul-menyusul. Rakyat mulai bertanya, di mana negara? Apa yang dilakukan pemerintah untuk melindungi rakyatnya? Lagi sibuk apa parpol yang katanya dibentuk untuk memajukan demokrasi demi memajukan bangsa? (*)

Minggu, 10 Oktober 2010

Lebaran dan Misi Kemanusiaan

Tradisi lebaran, konon, hanya ada di negeri kita, negeri mayoritas dan terbesar muslim di dunia. Menurut sosiolog Imam B. Prasojo, lebaran merupakan tradisi keagamaan yang telah bercampur dengan budaya lokal. Salah satu kebiasaan yang paling menonjol pada setiap menjelang dan saat lebaran adalah adanya ritual pulang kampung secara massif dengan alasan utama untuk bersilaturrahmi dengan sanak keluarga dan handai taulan. Di Amerika ada tradisi yang memiliki kemiripan dengan pulang kampung, yaitu thanksgiving day, namun kondisinya tidak sama dengan di Indonesia karena asal-usul keluarga yang dikunjungi telah banyak yang pindah kota.

Banyak analisis yang dikemukakan para ahli kenapa tradisi pulang kampung hanya ada di negeri kita. Ada yang menyebut karena kegagalan pembangunan yang hanya berfokus pada kawasan perkotaan, sehingga banyak orang yang mencari penghidupan di sana. Karena berpisah dengan keluarga yang berada di kampung dalam waktu lama, maka momen penting untuk bertemu mereka adalah ketika lebaran tiba. Tapi ada juga yang mengatakan karena alasan agama, yaitu anjuran Islam untuk saling memaafkan dan saling bersilaturrahmi (menyambung hubungan baik) kepada sesama, terutama lingkungan terdekat.

Di Arab Saudi, tempat lahirnya Islam, tidak mengenal tradisi ini, dan tentu saja pemerintahnya tidak pusing menangani transprotasi massal arus mudik dan balik lebaran. Bagi warga Arab Saudi, hari lebaran yang sesungguhnya adalah ketika Idul Adha (musim haji) tiba. Sementara di Mesir, sehabis umat Islam melakukan shalat Idul Fitri, nampak kerumunan para anggota keluarga yang bercengkerama menghabiskan waktu bersantai di tempat-tempat hiburan. Di negeri kita, kebiasaan seperti di Mesir dilakukan oleh sebagian komunitas etnis Madura yang berada di Jakarta dan sekitarnya yang memadati TMII dan Ancol di hari lebaran pertama untuk berekreasi dan bercengkerama bersama keluarga.

Namun demikian, dari tradisi lebaran yang memiliki corak unik dan massif ini menyimpan nilai agung, yaitu misi kemanusiaan yang patut mendapat perhatian, yaitu:

1. Lebaran yang dirayakan oleh umat Islam Indonesia setiap tahunnya telah menjadi milik semua umat yang ada di negeri ini. Bukan hanya Islam, umat Kristen, Hindu, Buddha dan Khonghucu mendapat “berkah” lebaran, seperti bisnis pakaian, makanan, transportasi, dan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan lebaran. Hampir semua umat merasakan kebahagiaan lebaran karena massifnya kebutuhan sosial antara satu dengan yang lain.

2. Momen lebaran yang dibarengi dengan tradisi Halal Bihalal bertujuan untuk mempererat silaturrahmi antar sesama. Tradisi ini seperti telah menjadi bagian tak terpisahkan masyarakat Indonesia yang tidak saja melibatkan umat Islam, namun juga semua kalangan dari semua agama. Bahkan tradisi ini dilakukan pada tingkat pemerintahan, mulai daerah sampai pusat, kalangan swasta maupun di lingkungan masyarakat sendiri dengan berbagai aktifitas keagamaan, seperti pengajian akbar, dzikir akbar dan lain-lain. Uniknya, tradisi Halal Bihalal ini seperti menjadi medium komunikasi antara sesama yang tidak mengenal sekat apapun. Bahkan orang yang tidak pernah melakukan kesalahan atau tidak kenal sekalipun saling bermaaf-maafan.

3. Idul Fitri yang berarti “kembali fitrah” merupakan momen spiritual umat Islam yang menjunjung tinggi kepedulian social, yaitu dengan kewajiban derma berupa zakat fitrah. Manfaat zakat fitrah adalah bagian dari pesan Idul Fitri dimana setiap mukmin yang berpuasa selama sebulan penuh agar terus meningkatkan kualitas kebersamaan, toleransi, dialog, dan saling tolong menolong. Dialog antar agama dan inter agama seharusnya semakin intensif ketika Idul Fitri tiba. Kejadian penusukan yang menimpa seorang jemaat HKBP di bilangan Bekasi pada hari Ahad (12/11/10) yang dilakukan oleh oknum masyarakat patut disayangkan, karena terjadi justru pada saat umat Islam merayakan Idul Fitri. Jika diingat kembali, kerusuhan besar yang melibatkan isyu SARA di Ambon pada awal tahun 1999-an juga terjadi pada saat Idul Fitri. Sementara Idul Fitri merupa momen penting yang perlu dihargai oleh sikap yang toleran, baik umat Islam sendiri maupun umat non-muslim.

Dari ketiga poin tersebut menunjukkan bahwa hari raya lebaran sesungguhnya mengemban misi kemanusiaan yang sangat agung. Bukan sekedar ritual tahunan yang hanya untuk berpesta atau menghabiskan uang untuk kebutuhan-kebutuhan hidup yang tidak perlu, namun harus dimaknai sebagai momen bagi terbangunnya system social yang harmonis, bahagia, adil dan sejahtera. Selamat hari raya lebaran, mohon maaf lahir dan batin. Wallahu a’lam bish-shawab.

(ditulis oleh Thobib Al-Asyhar adalah pengamat social keagamaan, penulis buku).