Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Anre Gurutta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Anre Gurutta. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 September 2017

Pengaruh Pendidikan Agama Islam di Kalangan Remaja Terhadap Akhlakul Karimah


Pendidikan merupakan suatu hal yang penting dalam pembentukkan karakter manusia. Dalam perkembangan istilah pendidikan berarti bimbingan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar selanjutnya pendidkan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang agar ia menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. Menurut Ahmad D. Marimba yang dinamakan dinamakan pendidikan Islam adalah “Bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum agama Islam”.[1] Seseorang tidak mampu memahami dan menjalani tanpa aspirasi (cita-cita) untuk maju. Untuk memajukan kehidupan mereka itulah maka pendidikan menjadi sarana utama yang diperlukan di kelola secara sitematis dan konsisten berdasarkan berbagai pandangan teoritikal dan pratikal sepanjang waktu sesua dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri.
Manusia adalah makhluk yang dinamis dan bercita-cita ingin meraih kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam arti yang luas, baik lahiriyah, batiniyah, dunia dan ukhrawi. Namun cita-cita demikian tidak mungkin tercapai jika manusia itu sendiri tidak berusaha keras meningkatkan kemampuannya. Secara optimal mungkin melalui proses pendidikan. Proses pendidikan adalah suatu kegiatan secara bertahap berdasarkan perencanaan yang matang untuk mencapai tujuan atau cita-cita yang diharapkan oleh setiap pendidik dalam proses pembinaan dan peningkatan moralitas dan keilmuan di masa-masa yang akan datang. 
Pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan manusia. Jhon Dewey berpendapat bahwa pendidikan  merupakan salah satu kebutuhan hidup, salah satu fungsi sosial, sebagai bimbingan dan sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.[2]
Pendidikan membentuk manusia dari tidak mengetahui menjadi mengetahui, dan membentuk jasmani dan rohani yang matang. Sebagaimana tujuan pendidikan, menurut Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) UU RI NO. 20 TH. 2003 BAB II Pasal 3, dinyatakan:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[3]
Tujuan pendidikan setidaknya terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan yang bertujuan mengembangkan aspek batin atau rohani. Dengan demikian secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk anak didik menjadi manusia berkualitas tidak saja berkualitas dalam segi skill, kognitif, afektif tetapi juga aspek spiritual. Hal ini membuktikan pendidikan mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak didik dalam mengembangkan diri berdasarkan potensi dan bakatnya melalui pendidikan anak mungkin menjadi pribadi yang sholeh, pribadi berkualitas dalam segi skill, kognitif dan spiritual.
Masalah remaja merupakan topik yang selalu hangat di bicarakan oleh semua orang, sehingga tidak jarang permasalahan remaja seringkali ditulis dalam buku-buku, majalah dan artikel-artikel bahkan dijadikan topik di dalam seminar-seminar.
Usia remaja adalah usia yang rawan dan seringkali menerima apa saja yang datangnya dari luar, dimana kemampuan berfikir logis mulai berkembang, kemajuan teknologi yang bermanfaat bagi pendidikan akan mempercepat perkembangan daya tangkap dan pemahaman, namun kemampuan menyaring dan memilih yang baik dan buruk belum tumbuh sempurna kecenderungan untuk meniru masih tinggi, segala bentuk tingkah laku dalam kehidupan banyak terpengaruh oleh hal-hal yang terlihat, terbaca, terdengar. Oleh karena itu perlunya diberikan pendidikan yang menyeluruh baik itu pendidikan yang berupa agama atau pendidikan lainnya yang diberikan orang tua atau orang dewasa lainnya.
Dalam keadaan terganggu secara emosional itu mereka menjadi lupa daratan. Mereka menjadi tidak sadar atau setengah sadar, sehingga menjadi emosinya tinggi dan sangat agresif, untuk kemudian tanpa berfikir panjang melakukan bermacam-macam tindak asusila. Dalam keadaan terganggu jiwanya ini hati nuraninya sering tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya mereka mereka melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan diri sendiri maupun lingkungannya.
Selanjutnya yang dialami tadi selalu saja membujuk anak remaja yang tidak imbang secara emosional (terganggu secara emosional) itu melakukan kejahatan, dan terus menerus memberikan rangsangan yang kuat sekali untuk melakukan tindak kejahatan. Sebagai akibat dari proses pengkondisian lingkungan buruk terhadap pribadi anak, yang dilakukan oleh anak muda tanggung usia, puber, dan adolesens.

Wujud perilaku anak-anak dalam kondisi lingkungan yang buruk, yaitu:
1.      Kriminalitas anak remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan pengancaman, intimidasi, merampas, maling, mencuri, mencopet, merampas, dan menjambret.
2.      Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika (obat bius; drugs) yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan.
3.      Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan menaruh sehingga mengakibatkan kriminalitas.
4.      Berpesta pora sambil mabuk-mabukkan, melakukan hubungan seks bebas yang  menimbulkan keadaan kacau balau yang menggangu lingkungan .
5.      Perkosaan, agresivitas dan pembunuhan dengan motif seksual, depresi hebat, rasa kesunyian, emosi balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain.
6.      Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompentensi, disebabkan adanya organ-organ. [4]
Tetapi realitas di masyarakat membuktikan pendidikan belum mampu menghasilkan anak didik yang berkualitas keseluruhan. Kenyataan ini dapat dicermati dengan banyaknya prilaku tidak terpuji terjadi di masyarakat. Sebagai contoh merebaknya penggunaan narkoba, penyalahgunaan wewenang, korupsi, perampokkan, pembunuhan, pelecehan seksual, pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan lain-lain. Realitas ini memunculkan anggapan bahwa pendidikan belum mampu membentuk anak didik berkepribadian sempurna. Anggapan tersebut menjadikan pendidikan sebagai institusi yang dianggap gagal membentuk akhlak mulia. Padahal tujuan pendidikan diantaranya adalah membentuk pribadi yang watak, bermartabat beriman dan bertakwa serta berakhlak.
Dalam pendidikan Islam, agama merupakan salah satu aspek yang perlu ditanamkan pada diri peserta didik. Karena me\lalui pendidikan agama, bukan hanya pengetahuan dan pegembangan potensi yang akan terbentuk secara keseluruhan dari mulai pengetahuan agama latihan-latihan, sehari-hari keberagamaannya dan prilaku (akhlak) yang sesuai dengan ajaran agama baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lain, serta manusia dengan dirinya sendiri.
Begitu pentingnya pendidikan agama dalam kehidupan manusia oleh karena itu pendidikan agama berperan dalam membina siswa yang sedang dalam masa pertumbuhan, dengan mengadakan pendekatan dan perhatian yang bersifat tuntunan dan bimbingan. Hal yang senada dikemukakan pula oleh Mahmud Yunus, bahwa: “Pendidikan agama mempunyai kedudukan yang tinggi dan paling mulia karena pendidikan agama menjamin untuk memperhatikan akhlak anak-anak dan mengangkat mereka ke derajat yang tinggi dan berbahagia dalam kehidupannya”.[5] 
  Sementara kenyataan sekarang membuktikan banyak pemuda yang terjangkit demoralisasi dan dekadensi moral yang buruk. Akhlak di anggap usang, akhlak tidak perlu lagi dalam tatanan kehidupan dan tata pergaulan hidup sehari-hari. Ini terbukti dengan maraknya berbagai kemaksiatan baik pemakaian narkoba serta pergaulan bebas pria dan wanita yang dilakukan pada generasi muda terlebih dilakukan oleh pemuda dan pemudi yang masih berada di bangku sekolah.
Kenyataan ini sangat relevan dengan kondisi dan situasi yang ada di Majelis Ta’lim Ihsan Ma’mur di Kelurahan Kampung Rawa kec. Johar Baru Jakarata Pusat, adanya anak remaja yang melakukan kekurangan dalam penanaman akhlakul karimah.
Untuk mengatasi hal ini perlu adanya pendidikan yang baik dalam penerapan pendidikan akhlak agar tercipta generasi muda yang berakhlakul karimah. Pendidikan Islam merupakan penawar dan berperan dalam mengatasi problem tersebut. Pendidikan Islam merupakan konsep yang sangat relevan untuk menangani hal tersebut. Dan pendidikan Islam merupakan faktor pendukung untuk menyelesaikan persoalan remaja dan masyarakat yang rentan sekali dengan tindakan-tindakan yang jauh dari nilai agama dan masyarakat. Generasi Islam harus dibekali dengan pendidikan Islam sebagai pedoman moral untuk mengendalikan dampak perkembangan zaman yang dapat menggeserkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan.




        [1] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Islam 2, (Bandung: PT. Al-Ma’ry, 1992), hal. 11
        [2] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hal. 35
        [3] Depdiknas, UU SISDIKNAS 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 5
        [4] Kartini Kartono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT Raja Grafindo Presada, 2006), hal. 2
        [5] Mahmud Yunus, H, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: Hidakarya, 1992), hal. 7



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Senin, 02 Maret 2015

Wahdat al-Wujud In the View of Syekh Yusuf al-Makassari

A. Introduction
Since the early 17th century, Islam has spread completely in almost all regions of South Sulawesi where were still fragmented in several kingdoms such as Gowa-Tallo, Bone, Luwu, Soppeng, Wajo, Mandar, Sidendreng Rappang, and some small kingdoms.
Islam that was the first time introduced and spread in those regions by three Ulama from Minangkabau was mystical oriented (tasawwuf), besides Fiqh with mazhab oriented. It might be understandable since the general inclination of Islam disseminated in East at that time was colored with tasawwuf teaching after the fall of Bagdad in Mongol’s hand in 1258. Therefore, muslims who studied Islam at that time tended to pay their attentions to tarekat, tasawwuf teaching, and fiqh especially syafi’i school.
Syekh Yusuf (1626-1699) who will be major concern of this paper is one of ulama of Gowa kingdom who was born and grew up in such condition. As the product of his era, it is no surprising if he became expert in fiqh of Syafi’I school, tasawwuf and tarekat. However, his name became more famous as a great sufi and he is highly venerated in South-Sulawesi as the father of Khalwatiah order. Almost all of his adventures in seeking knowledge were spent to learn and deepen mystical order of various schools such as: Qadiriyyah, Ba’lawiyyah, Naksyabandiyah, Syattariyyah, Ahmadiyyah, Suhrawardiyyah, Kabrutiyyah, Maduriyyah, Muhammadiyyah, Madyaniyyah, Kawabiyyah, and Khalwatiyyah. For the last order, his teacher gave him honorific title “Taj al-Khalwati Hidayat Allah.”
In this paper, the writer only attempts to focus on Syekh yusuf’s view of Wahdat al-Wujud which is by no means associated with Ibn ‘Arabi, the father of such concept. It is interesting to study his view on this controversial concept since he was generally assumed by his followers as Sunni Sufi. However, in fact, in some of his works, he seems to partly accept Wahdat al-Wujud for certain extent.
B. Short Biography of Syekh Yusuf al-Makassari
The first written source which reveals the life of Syekh Yusuf Makassar is the traditional book of history belongs to Makassarese-buginese, that is the so-called “Lontara”. There are three Lontara which inform much of his life, namely lontara Tallo, lontara Gowa and lontara Bilangngang. It was the three lontara considered to very reliable in tracing Riwawayana Tuanta Salamaka ri Gowa (the history of our safe master in Gowa, i.e. Syekh Yusuf al-Makassar). Besides, oral tradition which is famous among Buginese-Makassarese people in South Sulawesi could also tell us such history.
According to “Lontara Bilangngang”, the heritage of the twin kingdoms, Gowa-Tallo, Syekh Yusuf was born on 3 July 1626 M coinciding with 8 Syawal 1036 H. The story of his birth was told in oral tradition in Buginese-Makassarese society and it become agreement among them. This fact indicates that his birth was 20 years after Gowa and Tallo kingdoms being Islamized by an Ulama from Minangkabau, namely Abdul Kadir Khatib Tunggal or popularly called Dato’ri Bandang.
As an ordinary human, he was born on the earth through his father and mother. As stated in Lontara Riwaya’na Tuanta Salama ri Gowa, his father is Galarrang Moncongloe, a brother in one mother line of the king of Gowa Imanga’rangi Daeng Manrabia or Popularly known as Sultan Alauddin, the first king who converted to Islam and declared Islam as the formal religion of his kingdom in 1603. His Mother is Aminah binti Damapang Ko’mara, who is descendant of noble family from the Tallo kingdom, the twin kingdom of Gowa.
However, according to hasyiyat fi al-Kitab al-Anba’ fi I’rab la Ilaha illa Allah, one of syekh yusuf’s works stated that his father is Abdullah, so Prof. Hamka decides that his father’s name is Abdullah. Besides, oral tradition inherited by his descendants informs that His father is Abdullah Khaidir. Yet, the latter name still becomes controversy in common people since some regard that he is the prophet Khaidir. Nonetheless, the geneology of his descendants which is inherited by generations can convince us that his father is Gallarang Moncongloe, then Islamized as Abdullah Khaidir.
The life of Syekh Yusuf was popular up to now in four places or countries; they are Makassar (South Sulwesi), Banten (West Java), Ceylon (Sri Langka), and Cape Town (South Africa) since he spent much of his life at those places. In Ceylon and South Africa, he was even regarded as the first who put foundations of the existing Moslem community and as the father of several Moslem communities in south Africa who struggled to realize unity against oppression and ethnical differences.
During his childhood, he spent with learning to read al-Qur’an and was taught how to practice Islam in daily life. After being able to read al-Qur’an and ready to study further, his father sent him to pondok pesantren Bontoala to study Islamic knowledge and linguistic means such as: Nahw, Sharf, Balaghah, Ma’ani and ‘Ilm al-Mantiq. Afterwards, Syekh Yusuf pursued his study in pondok Cikoang under the teaching of Syekh Jalaluddin al-Aidid. Because of his intelligence in following Majlis, he was then suggested by his teachers to continue his study in Jazirah Arabia.
Having adventured in Middle-East for around twenty years to study Islam, he returned to his hometown. Although there is oral story stated that he never go home, this story can not be accepted because we do not get any strong reasons and historical fact for evidence. Yet, it should be noted that after returning to Nusantara, Syekh Yusuf became the great warrior who always precipitated rebellions against the Dutch either when he was in Makassar, Banten, Ceylon, and South Africa. Wherever he was, he often dessiminated Da’wah Islamiyyah and called upon Jihad fi Sabilillah.
Syekh Yusuf was also popular as the prolific writer of tasawwuf works either in Makkassarese, Bugis, Arabic, Javanese, and Arabic. His works written in Arabic to mention some as follow:
1. al-Barakat al-Sailaniyyah
2. Bidayat al-Mubtadi’
3. al-Fawaih al-Yusufiyyah
4. Hashiyah in Kitab al-Anba’
5. Kaifiyyat al-Munghi
6. Matalib al-Salikin
7. al-Nafhat al-sailaniyyah
8. Qurrat al-‘Ain
9. Sirr al-Asrar
10. Sura
11. Taj al-Asrar
12. Zubdat al-Asrar
13. Fath Kaifiyyat al-Dzikr
14. Dafal-Bala’
15. Hazhihi Fawaid ‘Azima Dzikr La Ilaha illa Allah
16. Muqaddimat al-Fawaid allati ma la budda min al-‘Aqaid
17. Tahsil al-Inayah wa al-Hidayah
18. Risalah Ghayat al-Ikhtishar wa Nihayat al-Intizar
19. Tuhfat al-Amr fi Fadilat adz-Dzikr
20. Tuhfat al-Abrar li Ahl al-Asrar
21. al-Munjiyya ‘an Madarrat al-Hijaiba

Syekh Yusuf passed away in 22 Zulqaidah 1109 H coinciding with 23 May 1699 M. in his seclusion, Zandvliet at the age of 73 years old. He was buried in sandy hill of Fasle Bay, not far from his residence. His tomb now was seen as ‘sacred’ and believed as the holy place. His tomb was completed with other buildings, including the tombs of his four students who also struggled for Islam in South Africa.
C. Wahdatul Wujud in the View of Syekh Yusuf al-Makassary
It is widely acknowledged that the founder of wahdat al-wujud is the outstanding sufi, Ibn Arabi, who was born in Murcia, Andalusia in 560 H/1165 M and passed away in Damascus in 683 H/1240 M. Albeit the term “Wahdat al-Wujud” can not be found in his works, he always made statements that lead to such idea.
One of his works, Futuhat al-Makkiyyah, in which he wrote much about his amazing spiritual experiences that marked with many signs indicate that he has reached the level of kasyf when he was still young. Despite his works he wrote are more symbolic, he acquired his knowledge through the process of ‘opening’ (Kasyf).
It is hard to precisely understand Ibnu ‘Arabi’s concept of Wahdatul Wujud, but the main point is that there is no being/existence (wujud) except God; only one wujud, namely God. Anything except God is nothing in itself; it is merely the manifestation of God. Universe has no wujud itself except borrowing wujud comes from God. God (al-Haqq) and alkhalq (universe) are one but different.
In terms of the concept of Wahdat al-Wujud, Syekh Yusuf elaborated it in his message (risalah) Matalib al-Salikin. In introduction, he explains actually that risalah were the notes he wrote during his participation in majlis under his teacher Syekh Abdul Karim Al-Lahure, one of the leaders of Naqsabandiyah order and the famous Ulama in that era. Syekh yusuf notes that one should necessarily learn three things in order to complete his knowledge, namely ma’rifah, tauhid, and ibadah. The aforementioned kinds of knowledge cannot be separated with one another since they are illustrated as a tree, tauhid as the root, ma’rifah as the branch and the leaf, and lastly ibadah as the fruit.
In explaining the meaning of tauhid, he devides it into two parts, tauhid Wahdat al-Wujud and tauhid that can be understood by common Moslems. Syekh Yusuf did not strictly put one or both tauhid under priority, because according to him, the ability of human to understand tauhid is different with one another. Therefore, everyone is able to understand the concept of tauhid in accordance with his ability.
Commenting the concept of Wahdat al-Wujud, he argues that this kind of tauhid is only believed by some sufi. In his view, basically there is no ‘being’ (maujud) in ghaib and syahadah, in form (surah) and meaning (ma’na), in exoteric and esoteric, except in one existence (wujud), one essence and one substance. Syekh Yusuf illustrated this explanation like different parts of human body with its spirit itself. Similarly, as he said, the relation between God and creatures like the relation between human body and its spirit. It means that human spirit does not only exist (istiqrar) in one part of his body, but it covers all parts of his body. Likewise, God does not only exist (istiqrar) in one creature, but He covers all creatures.
In the context of essence unity and the characteristic (sifat) of God, Syekh Yusuf explains that both are one unity that is impossible to be separated. It is more likely the same with the nature of human who has body and spirit, as long as he or she is still alive, there is no separation at all. It seems from the explanation above that the concept of Wahdat al-Wujud according to Syekh Yusuf is not exactly the same with that addressed to Ibnu ‘Arabi since the latter stated: “know that Allah is one in unity, it is impossible if the one hulul to thing, or the thing hulul to Him, or He unites with a thing”.
Ibnu ‘Arabi asserted that it is impossible if the qadim One can become a place for the jadid (new) or take place in jadid. The new existence and qadim existence are interlinked with one another on the bounding of idhafah and law, not the bounding between one existence with the other one, since it is impossible if God can unite with His creature in the one level (martabat).
If one compares between Ibnu ‘Arabi’s statements and Syekh Yusuf’s interpretation on Wahdat al-Wujud, it will be apparent that Ibn ‘Arabi’s concept is more complicated and vulnerable to be misleading. It was Ibnu Arabi entitled as the father of Wahdat al-Wujud in tasawwuf world because he the first composed such concept more completely and this influenced much the latter sufi and scholars. That is why his thought up to now still becomes controversial among Moslem thinkers.
It is more probably that Syekh Yusuf did not directly refer this matter to Ibnu ‘Arabi’s writings especially Futuhat al-Makkiyyah and fushus al-Hikam. He might merely rest on the interpretations of Wahdat al-Wujud which were developed in his era through his teachers. Nevertheless, we can find in his writings focusing on the essence of universe existence that have slight similarities with Ibnu ‘Arabi’s statements in his book Fusus al-Hikam such as: “actually the existence of universe is equal to non-existence, likes the existence of shadow. The existence of shadow is not the reality; in fact it is non-physic in the form (surah) of existence.”
This statement is almost the same with that of Ibn ‘Arabi in Fushus al-Hikam: “know that anything that is called as “except al-Haqq” or the so-called as universe, if it is addressed to al-Haqq (Allah), it might be like the human’s shadow. Universe is the shadow of God, and He is the essence of addressing existence to universe since that shadow exists in reality without any doubt in belief.
It seems to me, from the explanation above, that the influence of Ibnu ‘Arabi on essence of al-wujud is quite dominant in Syekh Yusuf’s philosophy of tasawwuf. While the interpretation of Wahdat al-Wujud referred to Syekh Yusuf was obviously influenced by the thought trend expanded in his era. His interpretation in this case is much closer to idea of negating the existence at all except the existence of God.
Furthermore, in his works, we also can find the influence of Syekh Nuruddin ar-Raniri’s thought concerning the interpretation of Wahdat al-Wujud. It might be due to his acquaintance with him in Aceh before travel to Middle-East for seeking knowledge. The works of ar-Raniri he read improved hid horizon especially his criticism toward those misunderstood the concept of Wahdat al-Wujud.
There are some terms of ar-Raniri which is also used by Syekh Yusuf in explaining the meaning of wujud and Wahdat al-Wujud in his works such as: hakiki, majazy, muqayyad. Mazha, zill and so on. This may indicate that he was impressed by Wahdat al-Wujud delivered by ar-Raniry.
Wahdat al-Wujud expressed by Syekh Yusuf only mentioned once in his risalah Mathalib a-Salikin. Even he makes a new term, namely Wahdah Samadiyyah which means one meaning to express the sense of creature’s togetherness with God in that can not be reached by human understanding except God himself, who knows the essence of such togetherness . However, it may be felt by those who perform ibadah sincerely and continually.
Based on the explanations above, the writer can formulate that Syekh Yusuf in elaborating Wahdat al-Wujud still holds firmly manhaj ahl Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. He treats Muhkamat verses on Tauhid as the foundation of aqidah, while Mutasyabihat verses, he understood them without ta’wil and render the essence and the meaning to God. He is very careful in interpreting sufi’s views relating to Wahdat al-Wujud. Therefore, he did not label his tasawwuf teaching as Wahdat al-Wujud even more hulul and ittihad.
Nevertheless, in the context of relation between creature and his God through ibadah, he used the terms ihatah and ma’iyyah derived from al-Qur’an. He formulated both terms in one concept which he called Wahdah Samadiyyah. This concept, as I mentioned before, is the sense of togetherness of God with his creatures, and this can be felt by anyone who devotes himself to God.
D. Conclusion
It is undeniable that Syekh yusuf al-Makassari is the great ulama in 17th century who got involved in coloring the Islamic thoughts in Indonesia, notably tasawwuf and lots of his works he produced during his life. On the basis of the elucidations above, we can draw a conclusion that he is typical ulama that is very careful in interpreting sufi’s view in relation to Wahdat al-Wujud. Although he was influenced by Ibnu ‘Araby’s concept, he did not become the extreme follower of Ibnu ‘Arabi since he did not label it as Wahdat al-Wujud. Instead, he uses his own terms ihatah and ma’iyyah for the context of relation between God and Human. Both terms were formulated into one concept, namely Wahdat as-Samadiyyah. This concept does not concern on unity between God and Human in essence and substance (zat), but the sense of togetherness with God.


Bibliography

Abu Hamid, Syekh Yusuf Tajul Khalwati:Satu Kajian Antropologi, Tesis Doktor Falsafah, Universitas Hasanuddin Makassar, 1990
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah an Kepulauan Nusantara Abad 17 dan 18: Melacak akar-Akar Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung ; Mizan, 1994
Chittick, William C., Imajinal World, Ibn.al-Arabi and The Problem of Religious Diversity. Indonesian translation. Surabaya; Risalah Gusti, 2001
Galigo, Syamsul Bahri Andi, Syekh Yusuf Makassar dan Pemikiran Tasawufnya, Tesis Doktor Falsafah, Universitas Kebangsaan, 1998
Hamka, Sejarah Umat Islam, Cet. II, Jakarta : Bulan Bintang,1976
Ibnu Arabi, Muhyiddin, al-Futuhat al-Makkiyah, Tahqiq Ibarahim Madkur, Vol. III, Al Qahirah; Dar al-Ma’rifah, 1987
---------------, Fusus al-Hikam, Beirut; Dar al-Kitab al-Arabi, 1946
Ismail, Taufik, Syekh Yusuf: seorang Ulama Sufi dan Pejuang, Jakarta ; Percetakan Obor, 1994
Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995.
Mattulada, Islam in Sulawesi Selatan in Agama dan perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 1996,
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan sejarah Indonesia, Jakarta; LP3ES, 1987.
Tudjimah, Syekh Yusuf Makassar; Riwayat dan Ajarannya, Jakarta: UI-Press, 1997.





Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Rabu, 21 Januari 2015

The Abstrac



Semakin membumi tafsir itu, semakin mudah dipahami maksud dan tujuan ajarannya. Tafsir yang sesuai dengan bahasa masyarakat akan memudahkan masyarakat memahami Alquran, dan semakin dekat pula dalam pengamalannya.
 Ini dibuktikan Daud Ismail dengan berhasil menampilkan tafsir yang susunan dan gaya bahasanya lebih mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat Bugis setempat. Karena kitab-kitab tafsir yang ada selama ini dinilai terlalu banyak menggunakan bahasa Arab dan istilah yang terasa sulit dicerna dan dipahami oleh kebanyakan masyarakat setempat yang bukan bahasa mereka, apalagi telah dibumbuhi dengan istilah-istilah tertentu, seperti ilmu balaghah, nahwu, dan s}arf, yang semuanya justru kadang membingungkan para pembacanya.
Hal ini memperkuat pendapat Muh}ammad al-Fād}il ibn ‘Āshūr dalam al-Tafsīr wa Rijāluhu, bahwa penjelasan atau tafsir Alquran sebaiknya mengikuti menggunakan bahasa yang dipahami oleh masyarakat itu. Sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat وماأرسلناك من رسول إلا بلسان قومهم ليبين لهم .
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif termasuk penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan tafsir. Sumber utama penelitian ini adalah kitab Tafsīr al-Munīr karya Daud Ismail. Untuk mendapatkan aspek metodologinya digunakan beberapa kitab ‘ulūm al-Qur’ān dan kitab-kitab tafsir klasik maupun modern. Data-data yang dibaca dengan standar ilmu tafsir yang meliputi metode dan kandungan tafsir. Pemahaman kandungan tafsir melalui teori discourse analysis (analisis wacana), dan untuk menganalisis data yang ada dibantu dengan pendekatan tafsir.


 




Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Rabu, 09 Januari 2013

AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (2)

Menimba Ilmu di SengkangPada 1927, ketika Anre Gurutta H Muhammad As’ad pulang dari Tanah Suci dan mendirikan pesantren, Daud Ismail muda kembali lagi ke Sengkang.

Di sana, ia menjadi santri angkatan kedua setelah Anre Gurutta H Abdurrahman Ambo Dalle. Sosok inilah yang kemudian menjadi salah satu ulama besar di Bugis.

Selama menimba ilmu di Sengkang, Daud Ismail memperoleh banyak pengetahuan, utamanya dalam hal ilmu-ilmu agama. Sebut saja, ilmu qawaid, arodi, ushul fiqih, mantiq, dan lain-lain.

Berbekal ilmu dari Sengkang inilah Daud Ismail kemudian mulai mengajar. Pada tahap awal, ia mengajar di tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah.

Kembali ke SoppengKetika Perang Dunia II pecah pada 1942, Daud Ismail meninggalkan Sengkang. Ia kembali ke kampung halamannya di Soppeng. Di tempat inilah istri pertama, Hajah Marellung, yang dinikahinya pada 1932, meninggal dunia.

Dari istri pertama, ia mendapatkan dua orang putra. Tak lama setelah itu, Daud Ismail menikahi Hj Salehah. Dari istri kedua, ia tak mendapatkan anak. Di rentang waktu itu, ia kemudian menikah untuk kali ketiga. Perempuan pendampingnya adalah Hj Farida yang memberikan tiga orang anak.

Pada pertengahan 1940-an, Daud Ismail diminta mengajar di al-Madrasatul Amiriyah Watang Soppeng. Panggilan itu datang dari Datu Pattojo pada 1944. Setahun berikutnya, Daud Ismail diangkat menjadi Qadhi Soppeng. Ia diminta menggantikan Sayyed Masse.

Peran ini dijalaninya selama enam tahun hingga terbentuknya Departemen Agama Kabupaten Bone pada 1951 yang membawahi wilayah Soppeng. Pada 1961, ia mendirikan Pondok Pesantren YASRIB di Soppeng. Di tempat ini pula, ia membuka Madrasah Muallimin sekaligus diangkat sebagai qadhi untuk kali kedua.

Segala ikhtiar yang dilakukan AGH Daud Ismail untuk mengabdikan ilmu kepada masyarakat akhirnya menemukan jalan pengujung.

Ia menutup mata untuk selamanya di Rumah Sakit Hikmah Makassar pada usia 99 tahun. Ia pergi dengan tenang ketika azan Isya lepas berkumandang pada 21 Agustus 2006.



 Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/08/mgahb6-agh-daud-ismail-penerjemah-alquran-ke-bahasa-bugis-2


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (4-habis)


Tafsir al-Munir, Sebuah MahakaryaAGH Daud Ismail memang dikenal gemar menulis. Sejumlah kitab pun dihasilkannya. Salah satunya, yang dianggap sebagai mahakarya ulama Bugis ini adalah “Kitab Tafsir al-Munir”.

Kitab tafsir Alquran 30 juz ini ditulis dalam bahasa Bugis dan telah dicetak serta disebarkan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Bugis. Kitab ini merupakan salah satu dari sembilan karya ulama besar kelahiran Soppeng ini.

Delapan karya lainnya adalah Riwayat Hidup AG Kyai Haji Muhammad As’ad (Gurutta Sade) yang ditulis dalam tiga bahasa, yakni Bugis, Indonesia, dan Arab, kemudian Pengetahuan Dasar Islam yang terdiri atas 3 jilid; Hukum Puasa; Hukum Shalat; Hukum Nikah; Kumpulan Khutbah Jumat; Kumpulan Doa-Doa; dan Fatwa-Fatwa.

Sulaiman Ibrahim, dosen tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo, dalam salah satu artikelnya menilai, Tafsir al-Munir berperan besar dalam memberikan pemahaman Alquran kepada masyarakat lokal.

Menurut Sulaiman, ada dua alasan yang membuat Daud Ismail mempergunakan bahasa Bugis dalam kitab Tafsir al-Munir. Pertama, kata dia, Daud Ismail berada di tengah masyarakat Bugis, tempat bahasa tersebut sangat dominan digunakan oleh masyarakat. “Sehingga, karyanya lebih mudah dipahami oleh masyarakat setempat,” tulisnya.

Pertimbangan kedua, usaha dari Daud Ismail ini menjadi jalan penting untuk melestarikan bahasa dan lontara (aksara) Bugis. “Adanya tafsir Alquran ini, memegang peranan penting dalam kehidupan keagamaan, terutama bagi suku Bugis,” kata Sulaiman.

Dalam pandangan Sulaiman, kehadiran kitab Tafsir al-Munir menjadi sangat penting mengingat perkembangan penafsiran Alquran di Indonesia berbeda dengan di dunia Arab.

Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial budaya, geografis, dan bahasa. “Dalam konteks itulah, kehadiran sebuah tafsir bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Bugis, sangat diperlukan,” pungkas Sulaiman.


Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/08/mgahkv-agh-daud-ismail-penerjemah-alquran-ke-bahasa-bugis-4habis

Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya


AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (3)

Anregurutta, Gelar KehormatanSuku Bugis umumnya berdiam di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.

Meski demikian, suku ini juga menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Dalam tradisi masyarakat Bugis, gelar Anregurutta dapat diibaratkan sebagai profesor di dunia akademik.

Meski demikian, seperti dijelaskan dalam situs resmi Nahdlatul Ulama, gelar Anregurutta bukanlah pemberian gelar akedemik, melainkan pengakuan yang timbul dari masyarakat atas ketinggian ilmu, pengabdian, dan jasa seseorang dalam dakwah keislaman.

Tak semua yang mengajar agama dipanggil sebagai Anregurutta, bergantung pada tingkat keilmuannya. Selain itu, masyarakat Bugis juga meyakini adanya kelebihan yang dimiliki Anregurutta, yakni berupa karomah, dalam bahasa Bugis disebuti makarama.

Para mubalig, meski memiliki pengetahuan keislaman cukup luas, belum tentu disebut Anregurutta. Banyak di antara mereka yang tetap dipanggil ustaz. Mereka dianggap mampu membawakan khutbah dan ceramah di masyarakat, namun belum bisa dijadikan rujukan bertanya mengenai berbagai masalah keagamaan.

Sementara itu, Anregurutta biasanya dijadikan tempat bertanya tentang berbagai masalah keagamaan dan kehidupan secara umum.

Nah, salah satu pejuang dakwah di Tanah Bugis yang mendapat gelar Anregurutta adalah Daud Ismail. Dialah sosok ulama besar yang berperan penting dalam pengembangan syiar Islam di Sulawesi Selatan.



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (1

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi masyarakat Bugis, Anregurutta Haji (AGH) Daud Ismail mengukir jasa besar yang tak bisa dilupakan.

Jasa yang tak akan terlupa itu adalah usahanya menerjemahkan dan menafsirkan 30 juz Alquran ke dalam bahasa Bugis.

Rasanya, inilah puncak pencapaian AGH Daud Ismail sebagai ulama besar yang pernah lahir di Sulawesi Selatan.

“Penulisan tafsir Alquran 30 juz di Indonesia masih terbilang langka. Kalaupun ada, biasanya hanya ditulis oleh orang yang tidak sembarangan,” tulis Sulaiman Ibrahim, dosen tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Lokalitas Tafsir Bahasa Bugis: Telaah atas Metodologi Tafsir Anre Gurutta Daud Ismail”.

AGH Daud Ismail terlahir di Soppeng pada 30 Desember 1908. Ia adalah putra dari pasangan H Ismail bin Baco Poso dan Hj Pompola binti Latalibe. Dari 11 bersaudara, ia adalah anak bungsu dan satu-satunya anak lelaki.

Ayahnya dikenal sebagai khatib di Distrik Soppeng. Sang ayah memiliki panggilan lain Katte’ Maila (Ismail). Orang tua Daud Ismail juga dikenal sebagai guru mengaji Alquran di Desa Cenrana. Rupanya, darah mengajar dari orang tuanya itulah yang mengalir deras dalam diri Daud Ismail.

Selain menafsirkan dan menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Bugis, AGH Daud Ismail juga berjasa besar mendirikan Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB) yang di dalamnya terdapat pesantren. Ia juga membuka Madrasah Muallimin pada 1967.

Semua pencapaian besar ini diraih melalui proses otodidak. Proses itu diawali dari hasil belajar Alquran kepada ayahnya sewaktu masih kecil di kampung. Selepas menimba ilmu di rumah, ia melanjutkan pendidikan ke pesantren di Sengkang.

Lalu, pada 1925- 1929, ia mulai mempelajari kitab qawaid di Lapasu Soppeng Riaja. Tempat ini berjarak sekitar 40 km dari kota Parepare. Di tempat ini, ia menimba ilmu dari ulama besar bernama Haji Daeng dan Qadhi Soppeng Riaja.


Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/08/mgagfm-agh-daud-ismail-penerjemah-alquran-ke-bahasa-bugis-1
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya