Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Sabtu, 19 Desember 2020

DINASTI BANI UMAYYAH; Kemajuan, Kemunduran dan Kehancuran

Ketika khalifah Usman (24-36 H / 644-656 M) terbunuh dalam suatu kudeta berdarah yang dilakukan oleh pemberontak dari Mesir, Kufah, dan Basrah, terjadilah kerawanan situasi dalam pemerinatahan Islam, dimana suhu perpolitikan semakin krusial. Sebagai akibatnya, maka pengangkatan Ali bin Abu Thalib  sebagai khalifah (35-40 H / 656-661 M), tidak semulus sebagaimana dua khalifah sebelumnya.[1] Hal ini dikarenakan para sahabat di daerah saling berbeda dalam menentukan sikap dan penilaian terhadap pribadi Ali, yakni ada yang menilainya positif dan ada pula menilainya negatif. Oposisi terhadap Ali semakin meningkat, selain Thalhah dan Zubair berkongsi dengan Aisyah untuk menentang Ali yang melahirkan perang Jamal (36 H), juga pasukan Syiria di bawah pimpinan Mu’awiyah memberontak dengan dalih kegagalan Ali membalas darah Usman terhadap pembunuhnya. Karena itu, mereka enggan membaiat Ali sebagai khalifah (pengganti Usman). Bahkan Muawiyah memproklamirkan dirinya sebagai penguasa tandingan di wilayah Syam.


Dari latar belakang kronologis di atas, melahirkan kontak senjata kedua yang disebut dengan perang Shiffin (37 H). Pasukan Ali tampaknya semula mulai mengungguli lawannya di bidang militer, tetapi ia rupanya lebih mengutamakan kesatuan umat, karena menerima usul konpromi dari Mu’awiyah. Akibatnya kekalahan diplomatik dari pihak Ali, dan akibat lebih fatal, Ali kehilangan legitimasi politiknya dan legitimasi itu beralih ke pihak Mu’awiyah. Kejadian ini terkenal dengan istilah Arbitrase (tahkim), yang menyebabkan sebagian pendukung Ali, melancarkan protes, kemudian membentuk kelompok tandingan yang dikenal dengan kaum Khawarij.[2]

Seusai perang siffin kedudukan Ali semakin menurun, karena selain tekanan dari pihak Mu’awiyah juga dari kelompok Khawarij dan pengikutnya. Sementara itu, Mu’awiyah sangat ditaati perintahnya dan ditambah lagi ketinggian gengsinya dalam bidang politik. Sehingga, meskipun Ali masih hidup dan berkuasa, Mu’awiyah telah diproklamirkan sebagai khalifah di wilayah Khurusan (40 H).[3] Dengan begitu, maka Mu’awiyah telah mengawali suatu episode baru dalam sejarah Islam dan dia lah tercatat dalam sejarah sebagai pendiri Dinasti Umayyah.

Dinasti Bani Umayyah berkuasa hampir satu abad (90 tahun), yakni dalam rentang waktu tahun 41-132 H atau 661-750 M, dengan 14 orang khalifah. Khalifah-khalifah yang dimaksud adalah :

Mu’awiyah I (Ibn Abi Sufyan)       41 H / 661 M

Yazid I (Ibn Mu’awiyah)                60 H / 680 M

Mu’awiyah II (Ibn Yazid)               64 H / 683 M

Abd. Malik Ibn Marwan                  65 H / 685 M

Al-Walid I (Ibn Abd. Malik            86 H / 705 M

Sulaiman Ibn Abd, Malik               96 H / 715 M

Umar Ibn Abd. Aziz                        99 H / 717 M

Yazid II (Ibn Abd. Malik)                101H / 720 M

Hisyam Abd. Malik                          105H / 724 M

Al-Walid II (Ibn Yazid II)                125H / 743 M

Yazid III (Ibn Walid)                        126H / 744 M

Ibrahim ibn al-Walid                        126H / 745 M

Marwan II (Ibn Muhammad)           127H / 746 M[4]

KEMAJUAN

Antara lain kemajuan utama yang terwujud dalam masa Dinasti Umayyah adalah terciptanya suasana yang kondusip dalam negara dan bersatunya kembali seluruh umat Islam dalam arti berhentinya perang antara rakyat dalam negeri. Karena itulah, pada tahun 41 H dikenal dengan istilah ‘Am al-Jama’ah (tahun persatuan seluruh umat).[5] Hal tersebut tercapai dikarenakan Mu’awiyah (pada awal kepemimpinannya) mampu men-jalankan roda pemerintahan dengan baik, dengan cara menguasai dirinya secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, serta memberikan solusi yang terbaik atas segala permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sikapnya seperti ini, sebagaimana yang ia ucapkan  sendiri yakni :

Aku tidak cukup menggunakan pedangku kalau cambuk saja sudah cukup, dan tiada pula kupergunakan cambukku kalau perkataan saja sudah memadai. Andaikata aku dengan orang lain memperebutkan rambut tiadalah akan putus rambut itu. Karena apabila mereka mengencangkanya akan kukendorkan, dan apabila mereka meng-kendorkannya kukencangkannya.[6]

Dengan demikian, daerah-daerah yang dikuasai oleh kaum muslimin pada masa Bani Ummayah adalah Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina Semenanjung Arabia, Irak, sebagian Asia kecil Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbet, Dan Kirgis (di Asia Tengah).

Di samping itu, kemajuan lain yang  dicapai oleh Dinasti Umayyah secara garis besarnya ada empat, yakni :

Perkembangan Sastra

Pada umumnya, pemimpin Dinasti Umayyah sangat mencintai syair dan pujaan serta kemegahan, sehingga kesusastraan berkembang pesat pada saat itu. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa aspek sebagai berikut

1.    Pertentangan Kabilah, yakni masing-masing kabilah merasa megah dengan unsur sukunya sehingga muncullah para pujangga (penyair) utama untuk membela dan meninggikan kabilahnya masing-masing.

2.    Penghamburan uang, yakni para khalifah dan pembesarnya memelihara para penyair khusus dengan gaji / hadiah yang besar. Di samping memberi hadiah yang berganda kepada para pujangga yang mau memuja dan membela rezim mereka.

3.    Fanatik Arab, yakni menghidupkan dan mengembangkan nilai-nilai kesusastraan yang terdapat dalam bahasa Arab.

4.    Gerakan Adab, yakni adanya hubungan antara orang-orang Muslim dengan bangsa-bangsa yang telah maju, sehingga bagi kaum Muslimin giat menyusun dan membina riwayat Arab, seni bahasa dan hikmah.[7]

Dari keempat hal di atas, menyebabkan bidang kesusastraan pada masa Dinasti Umayyah memeliki keistimewaan tersendiri, yakni terpeliharanya dari bahasa kasar. Dengan kata lain, mereka meng-gunakan bahasa berdasarkan kaidah-kaidah balaghah yang tinggi. Bahkan dalam melantungkan syair-syair tentang khamar pun di-lukiskannya dengan indah dan salah satu judulnya adalah “خمر لزيز”, yang mengungkap keindahan dan kelezatan khamar. Adapun penyair tentang Khamar yang pertama adalah al-Walid bin Yazid.[8]

Di antara penyair yang termasyhur dalam masa ini adalah Nukman bin Basyir al-Anshari (w. 65 H), Ibn Mafragh al-Hamiri (w. 69 H), Abu Aswad al-Duwali (w. 69), Miskin al-Darimiy (w. 90).[9]

Ilmu Pengetahuan

Pemerintahan Dinasti Umayyah yang dibina atas dasar kekerasan dan mata pedang, serta jiwanya yang sangat kental dengan kefilsafatan membuatnya sangat menghormati para cendekiawan sebagai tempat mengadu, bahkan mereka menyediakan dana khsusus untuk para ulama dan filosof.[10] Penghormatan kepada ulama, karena didorong oleh semangat keagamaan mereka, sedangkan penghormatannya kepada filosof karena didorong oleh keinginan mereka untuk menggunakan filsafat guna melawan Yahudi dan Nasrani.

Kota-kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan di masa ini adalah Damaskus, Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Kairawan,, Kordova, Granada. Di kota-kota ini, terdapat beberapa cendekiawan yang mendalami ilmu-ilmu keislaman dan melahirkan karya-karya ilmiah.

Ekonomi

Dalam upaya membiayai roda pemerintahan, maka dibentuklah Bait al-Mal sebagai kas pembendaharaan negara. Semua hasil bumi dan pajak lainnya dimasukkan ke Bait al-Mal tersebut yang dikoordinir oleh Diwan al-Kharaj. Hasil bumi yang digarap oleh masyarakat disetor 5 % ke pemerintah, sedangkan pajak untuk setiap transaksi disetor sebasar 10%. Khusus barang dagangan yang nilainya kurang dari 200 dirham tidak dikenakan pajak.[11]

Sumber dana lain untuk pengisian Bait al-Mal ialah pajak kekayaan yang khusus ditujukan kepada non Muslim yang daerahnya dikuasai oleh pemerintahan Islam. Jumlah pajak yang harus dibayar berpariasi, yakni untuk orang kaya (komlomerat) pajaknya 48 dirham pertahun, untuk kelas menengah pajaknya 24 dieham pertahun, sedangkan untuk orang msikin pajaknya 12 dirham pertahun.[12]

Dana-dana tersebut, digunakan untuk pembangunan pada sektor-sektor penting, yakni jalan raya dan sumur umur di sepanjang jalan, pembangunan pabrik-pabrik. Pemerataan pembangunan bukan hanya pada satu daerah, akan tetapi dilakukan upaya-upaya distribusi ke daerah-daerah secara adil.

Administrasi Negara

Sistem administrasi pemerintahan Dinasti Ummayah terbentuk dalam empat departemen  pokok (diwan) atau lebih tepatnya empat kementrian, yakni :

1.   Kementerian Pajak Tanah (Diwan al-Kharraj), petugasnya adalah pegawai resmi (Shahib al-Kharraj) dengan tugas mengawasi Departemen Keuangan.

2.   Kementerian al-Khatam (Diwan al-Khatam) yang bertugas me-rancang peraturan pemerintah, mengesahkan dan mengecap/ menyegel. Dalam hal ini, Mu’awiyah adalah orang pertama yang memperkenalkan materai untuk mengirimkan memorandum dari khalifah. Setiap duplikat memorandum itu dibuat, ditembus dengan benang dan disegel dengan lilin dan dipress dengan segel kantor.

3.   Kementerian Surat Menyurat (Diwan al-Rasa’il) yang bertugas mengontrol permasalahan di daerah-daerah dan semua komunikasi dari gubernur-gubernur.

4.   Kementrian Urusan Pajak (Diwan al-Mustaghalat).

Disamping keempat kementrian ini, ada pula badan yang tidak kalah pentingnya dibanding kementrian-kementrian yang ada, yaitu badan yang bertugas mencatat setiap peraturan yang dikelola oleh khalifah dengan satu register. Barangkali bisa disamakan dengan kesekretariatan negara di Indonesia dewasa ini.

KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN

Mundurnya suatu dinasti merupakan gejala alamiah sejarah. Usia efektif imperium dinasti adalah tidak lebih dari usia manusia. Masa 100 tahun pada umumnya merupakan waktu yang paling lama untuk dapat diharapkan bagi usia seseorang. Khusus Dinasti Umayyah, rupanya cukup eksis kira-kira hampir 100 tahun hingga dan pada gilirannya ia mengalami kemunduran disebabkan beberapa faktor, sebagaimana uraian berikut ;

1.         Sejak berdirinya Dinasti Umayyah, memang telah menghadapi tantangan dan kaum Khawarij yang tidak setuju dengan penyelesaian masalah dengan cara tahkim yang menurut tanggapan mereka tidak berdasarkan atas Alquran. Dengan demikian, sejak berdirinya Dinasti memang sekolompok masyarakat tidak memberikan respon. Bahkan dalam tragedi Karbala, cucu Nabi saw (Husain) ditebas lehernya oleh khalifah Yazid, yang secara otomatis semakin banyak masyarakat kurang simpatik kepada penguasa Umayyah.[13] Dengan begitu, tentu tanda-tanda kemunduran sudah muncul ke permukaan.

2.         Seusai Mu’awiyah meninggal, Hijaz berdiri sendiri dipimpin oleh Abdullah ibn Zubair. Yazid ibn Mu’awiyah kahlifah Bani Ummayah pada waktu itu mengirim tentara ke Madinah dan ke Mekkah. Ketika itu, Ka’bah dibakar dan Hajar al-Aswad pecah menjadi tiga puing.[14] Dengan begitu maka umat Islam  secara keseluruhan merasa terhina akibat diporak-porandakan kota suci itu. Sehingga, bertambah menurunlah wibawah kepemimpinan Dinasti Umayyah.

3.         Pertentangan tradisional antara suku Arab Utara dan suku Arab Selatan. Dalam hal ini kalau pemerintah memihak kepada suku Arab Utara, tentunya Suku Arab Selatan akan berkberatan, begitu pula sebaliknya. Sedangkan kedua suku ini tidak bisa didamaikan, terbukti sampai akhir masa pemerintahan Dinasti Umayyah antara keduanya selalu kontak senjata.[15] Dengan begitu, maka kondisi dalam negara semakin memburuk.

4.         Persaingan di kalangan Dinasti Umayyah sendiri dalam menentukan putera mahkota, karena tidak ada kepastian, apakah turun kepada anak atau saudara kandung yang masih hidup, ditambah lagi dengan kebiasaan hidup mewah di Istana membuat putra mahkota tidak mampu menghadapi beban pemerintahan negara yang besar.[16] Dengan begitu, maka perhatian terhadap negara dinomorduakan.

Data-data di atas, tentu saja menyebabkan Diansti Umayyah mengalami problematika yang sangat besar dan bermuara pada hasil yang sangat negatif. Inilah celah-celah yang mengakibatkan kemundurannya yang berujung pada kehancurannya.

Proses kehancuran Dinasti Umayyah bermula sejak pemerintahan di tangan Yazid, yang diombang ambing oleh gejolak politik yang sangat tidak stabil, yakni sang khalifah bagaikan boneka yang tidak punya wibawa, sehingga mulailah keturunan Bani Abbas melancarkan propoganda dan mengambil kuda-kuda untuk meruntuhkannya. Hal tersebut berlanjut sampai masa pemerintahan Marwan II (Bani Umayyah terkahir). Dalam situasi demikian, maka keturunan Bani Abbas yang memang kelompok oposisi dari keturunan Bani Umayyah, senantiasa mengadakan aksi-aksi dan kerusuhan-kerusahan.

Sebagai akibat dari kerusuhan-kerusuhan ini, Hims dan Palestina mula-mula memberontak di Irak, yang diikuti dengan pemberontakan-pemberontakan dan perlawanan-perlawanan di berbagai bagian imperium. Pusat kerusahan utama adalah di Khurasa, tempat Bani Abbas memusatkan kegiatannya.


Abu Muslim pemimpin Bani Abbas, memancangkan panji-panji Abbasiyah dan berhasil merebut kota di sebelah Timur. Akhirnya, pada tanggal 25 Ramdahan 129 H / Mei 747 M) tentara Bani Umayyah dipukul mundul dari Herat dan tempat-tempat lainnya di Timur Jauh. Dengan begitu maka titik kehancuran Dinasti Umayyah semakin nampak. Tidak lama kemudian pada bulan Oktober 749 M Abdul Abbas dinyatakan di Mesjid Kufah sebagai khalifah seluruh imperium Muslim.[17] Dari tragedi inilah, Dinasti Abbasiyah mewarisi imperium besar Dinasti Umayyah.

PENUTUP

Dinasti Umayyah merupakan bentuk baru pemerintahan dalam Islam yang menganut paham kerajaan (monarchi). Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan yang telah dicapainya adalah melebarkan sayap kekuasaan Islam ke berbagai wilayah, yakni meliputi benua Asia, Afrika, dan Eropa.

 

Mengenai kemajuannya, dapat terlihat dari obsesi para pemimpin Dinasti Umayyah dalam mewujudkan pegembangkan kesusastraan, penguasaan terhadap ilmu pengetahuan, memapankan perekonomian rakyat dan menertibkan sistem administrasi pemerintahan.

Disamping kemajuan yang telah dipersembahkan, maka dalam sisi lain Dinasti Umayyah memperlihatkan kekurangan, khusunya aspek moral sehingga menyebabkan kemerosotan, yang pada gilirannya bermuara pada kemunduran yang berujung pada kehancuran.

Memang sudah menjadi sunnatullah, bahwa roda kehidupan selalu berputar, suatu saat berada dipuncak kejayaan, namun saat yang lain seiring dengan perjalanan waktu, cepat atau lambat akan mengalami kemunduran dan bahkan tergiring kepada kehancuran, seperti yang dialami oleh Dinasti Bani Ummayah.


DAFTAR PUSTAKA

Bosworth, C.E. The Islamic Dynasties, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan, 1993.

al-Harwy, Abd. Al-Sami Salim. Lughah al-Idarah. t.tp.: al-Haiah al-Misrishriyah, 1986.

Hasan, Ibrahim Hasan. Islamic History and Culture, diterjemahkan oleh Djahdan Human dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.

Hasjmy,  A. Sejarah Kebudayaan Islam. Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Ismail, M. Syhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Cet. I; Bandung: Angkasa, 1988.

al-Maududi, Abu al-A’la. al-Khilafah wa al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Mizan, 1984.

Nasir, Syekh Mahmudun. Its Concepts dan History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dengan judul, Islam; Konsepsi dan Sejarahnya. Cet. IV; Bandung: Roskarya, 1994.

Saile, Abd. Kadir. Khawarij, Murj’ah, Jabariah dan Qadariyah, “Makalah SPPDI”.  Makassar: PPS IAIN Alauddin, 2002.

Syalabi, Ahmad. Tarikh al-Islam, diterjemahkan oleh H. Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latif dengan judul,  Sejarah Kebudayaan Islam 2. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.

al-Syaraf, Muhammad Jalal dan Ali Abdul Muthy. Al-Fikr al-Siyasi fiy al-Islam. Iskandariah: Dar al-Jama’ah al-Mishriyah, 1978.

 

 



[1]Yakni, khalifah Abu Bakar (11-13 H / 632-634 M) dan khalifah Umar bin Khattab (13-25 H / 634-644 M)

[2]Uraian lebih lanjut lihat Abd. Kadir Saile, Khawarij, Murj’ah, Jabariah dan Qadariyah, “Makalah SPPDI”  (Makassar: PPS IAIN Alauddin, 2002), h. 3.

[3]C.E. Bosworth, The Islamic Dynasties, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Dinasti-Dinasti Islam (Bandung: Mizan, 1993), h. 24.

[4]Ibid., h.

[5]Abu al-A’la al-Maududi, al-Khilafah wa al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1984), h. 202.

[6]Pernyataan Mu’awiyah di atas dikutip dari Ahmad Syalabi, Tarikh al-Islam, diterjemahkan oleh H. Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latif dengan judul,  Sejarah Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), h. 113.

[7]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 196.

[8]al-Walid bin Yazid adalah salah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah.

[9]A. Hasjmi, loc. cit.

[10]Ibid., h. 180.

[11]Muhammad Jalal al-Syaraf dan Ali Abdul Muthy, Al-Fikr al-Siyasi fiy al-Islam (Iskandariah: Dar al-Jama’ah al-Mishriyah, 1978), h. 148.

[12]Abd. Al-Sami Salim al-Harwy, Lughah al-Idarah  (t.tp.: al-Haiah al-Misrishriyah, 1986), h. 256.

[13]Uraian lebih lengkap lihat Syekh Mahmudun Nasir,  Its Concepts dan History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dengan judul, Islam; Konsepsi dan Sejarahnya (Cet. IV; Bandung: Roskarya, 1994), h. 209.

[14]Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, diterjemahkan oleh Djahdan Human dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 75.

[15]Ibid., 80.

[16]Ibid., 83.

[17]Disadur dari Mahmudun Nasir, op. cit., h. 238-239.

Sabtu, 19 September 2020

KAJIAN HADIS DI INDONESIA

Sulaiman Ibrahim

Pendahuluan
        Di samping Al-Qur’an, hadis juga merupakan sumber hukum Islam. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an. Kedudukan hadis sebagai sebagai salah satu sumber hukum Islam telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam.
Amat banyak kasus-kasus hukum yang bersumber dari hadis, karena sebagaimana dipahami bahwa salah satu fungsi hadis adalah penjelas (bayān) atas Al-Qur’an, maka tentu saja untuk kasus-kasus tertentu yang penjelasan tentangnya dalam Al-Qur’an bersifat global, dapat ditemukan rinciannya dalam hadis. Hal ini tidak dapat dipungkiri, misalnya Al-Qur’an menjelaskan shalat, puasa, dan zakat, maka untuk mengetahui cara shalat dan dimensi hukumnya, juga puasa dan zakat semuanya dapat diketahui melalui hadis. Dengan demikian, hadis memiliki fungsi yang sangat strategis dalam menjelaskan kandungan Al-Qur’an.
Secara tegas dikatakan dalam Al-Qur’an bahwa Nabi saw (yang identik dengan hadisnya) diberi kewenangan dalam menjabarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya. Dimaklumi bahwa Nabi saw sebagai pemimpin masyarakat muslim, atau lebih tegas bahwa Nabi saw sebagai kepala pemerintahan, berkewajiban menerapkan hukum-hukum Tuhan, tidak hanya dalam lingkungan masyarakat muslim tetapi juga dalam masyarakat non muslim yang berada dalam lingkungan kekuasaannya.
Lebih lanjut menurut Yusuf al-Qardhawi minimal tiga fungsi hadis terhadap Al-Qur’an dalam masalah hukum yakni; (1) memperkuat hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, baik yang global maupun yang detail; (2) menjelaskan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, yakni men-qayyid-kan yang mutlaq, men-tafshil-kan yang mujmal, dan men-takhsis-kan yang ‘am; (3) menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh Al-Qur’an. Untuk fungsi yang terakhir ini, ulama berbeda pendapat.

Berdasar pada uraian-uraian di atas, maka dipahami bahwa Al-Qur’an dan hadis adalah sumber hukum yang integral, tidak mungkin seorang muslim memahami hukum atau ajaran Islam hanya merujuk kepada Al-Qur’an semata tanpa melirik hadis.


A. Metode Kajian Hadis di Indonesia
II. Pembahasan
Dalam beberapa literatur hadis yang berbahasa Indonesia, metode kajian hadis yang dilakukan oleh Kiai, Ulama, Cendekiawan maupun dunia Akademisi tidak ada perbedaan yang dilakukan oleh ulama-ulama yang ada di Timur Tengah saat ini. Walaupun ada, itupun hanya karena faktor keterbatasan bahasa dan literatur yang dimiliki. Karena ulama yang ada di Indonesia, sebagian besar pendidikannya juga berasal dari Timur Tengah, seperti Mesir, Yordan, Sudan, Syiria dan Arab Saudi. Memang diakui, walaupun mayoritas masyarakatnya beragama Islam, Indonesia tidak bisa dijadikan tolok ukur sebagai pusat ilmu atau kajian agama, apalagi ilmu mengenai al-Qur’an dan hadis. Sebagian besar kitab-kitab hadis yang ada di Indonesia hanya sebatas buku dakwah atau salinan hadis-hadis tertentu dan untuk masalah tertentu. Hal ini dimungkinkan, karena disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.
(Ingin mendapatkan makalah ini dengan lengkap hubungi penulis)

 

 

Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Minggu, 02 Agustus 2020

IBADAH QURBAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN DI ERA PANDEMI COVID-19


Oleh:

Dr. Sulaiman Ibrahim, M.A.

Disampaikan pada hari Raya Id Adha 10 Zulhijjah 1441 H./31 Juli 2020 di Mesjid Daruttaqwa Kp. Bugis Kota Gorontalo

 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الله أكبر الله X 9

الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحن الله بكرة وأصيلا لا إله إلا الله وحده صدق وعده ونصر عبده واعز جنده وهزم الأحزاب وحده لا إله إلا الله ولا نعبد إلا إياه مخلصين له الدين ولو كره المشركون، لا إله الا الله والله أكبر، الله أكبر ولله الحمد.

الحمد لله جعل هذ اليوم عيدا للمسلمين وجعل عبادة الحج وعيد الأضحي من شعائر الله وأحيائها من تقوي القلوب. اشهد ان لا اله إلا الله وحده لا شريك له اله العالمين، واشهد ان سيدنا محمدا عبده ورسوله المبعوث رحمة للعالمين بشيرا ونذيرا وداعيا الي الله بإذنه وسراجا منيرا. اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد افضل من حج واعتمر وعلي اله واصحابه احمعين.

أما بعد : فيا عباد الله اتقوا الله تعالي واعلموا ان يومكم هذا يوم فضيل وعبد شريف حليل، رفع الله تعالى قدره واظهر، وسماه يوم الحج الأكبر، الله أكبر x 3

واستمعوا الى قول الله تعالي في القرآن العظيم وهو أصدق القائلين : اعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم : إنا اعطيناك الكوثر، فصل لربك وانحر، إن شانئك هو الأبتر، ... ومن يعظم شعائر الله فإنها من تقوى القلوب

Allahu Akbar 3x, wa Lillāh al-Hamd

Kaum Muslimīn/Muslimāt Rahimakumullāh !

Di pagi hari yang penuh berkah ini, kita berkumpul untuk melaksanakan shalat ‘Idul Adha. Baru saja kita ruku’ dan sujud sebagai pernyataan taat kepada Allah SWT. Kita agungkan nama-Nya, kita gemakan takbir dan tahmid sebagai pernyataan dan pengakuan atas keagungan Allah SWT. Takbir yang kita ucapkan bukanlah sekedar gerak bibir tanpa arti. Tetapi merupakan pengakuan dalam hati, menyentuh dan menggetarkan relung-relung jiwa manusia yang beriman. Allah Maha Besar. Allah Maha Agung. Tiada yang patut di sembah kecuali Allah.

Karena itu, melalui mimbar ini saya mengajak kepada diri saya sendiri dan juga kepada hadirin sekalian: Marilah tundukkan kepala dan jiwa kita di hadapan Allah Yang Maha Besar. Campakkan jauh-jauh sifat keangkuhan dan kecongkaan yang dapat menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT. Apapun kebesaran yang kita sandang, kita kecil di hadapan Allah. Betapa pun perkasa, kita lemah dihadapan Allah Yang Maha Kuat. Betapapun hebatnya kekuasaan dan pengaruh kita, kita tidak berdaya dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.

 

Allahu Akbar 3x, wa Lillāh al-Hamd

Kaum Muslimīn/Muslimāt Rahimakumullāh !

Ada dua peristiwa penting yang tidak bisa lepas dari Hari Raya Idul Adha. Kedua peristiwa tersebut adalah ibadah haji dan qurban. Namun pada situasi saat ini, kedua ibadah tersebut harus dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19 yang sampai saat ini belum mereda. Tentunya ketentuan Allah SWT ini tidak boleh serta merta menurunkan semangat spiritual kita sebagai umat Islam. Kita harus meyakini bahwa selalu ada hikmah besar yang terkandung dari setiap ketetapan yang diberikan oleh Allah SWT.   

Seperti kita ketahui bersama, akibat pandemi COVID-19 yang mewabah di berbagai penjuru dunia. Jamaah haji Indonesia tahun 2020 tidak diberangkatkan ke Tanah Suci.  Hal ini dilakukan pemerintah untuk menjaga keselamatan jiwa jamaah dari tertular virus corona.  Pemerintah Arab Saudi pun tidak mengizinkan jamaah dari luar negeri untuk menjalankan rukun Islam kelima ini.  Hanya warga Arab Saudi dan warga asing yang berada di Arab Saudi saja yang diperkenankan melaksanakan ibadah haji. Dan itu pun dengan pembatasan jumlah dan peraturan yang sangat ketat. Bagi calon jamaah haji tahun 2020, keputusan ini tentu sangat berat untuk diterima. Setelah sekian lama menunggu antrian kuota haji dengan berbagai macam usaha untuk melunasi ongkos naik haji (ONH), namun giliran saatnya berangkat harus mengalami penundaan. 

Namun ada hikmah besar yang bisa diambil dari keputusan ini di antaranya adalah kesabaran dan kepasrahan. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam Qur’an Surat Al-Anfal ayat 46:   

وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ   

“Bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”.  

Allahu Akbar 3x, wa Lillāh al-Hamd

Melalui Idyl Adha ini, kita membina solidaritas umat dengan cara berqurban sebagai kelengkapan bahan makanan pokok, berupa daging sapi dan atau kambing, kita hadiahkan kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya. Jadi dalam membina solidaritas umat, rasanya tidak lengkap jika kita telah berzakat namun belum berqurban. Dengan demikian, penyembelihan hewan qurban selama empat hari berturut-turut yang disyariatkan Allah setelah perayaaan Idul Adha ini, merupakan test training atas ketaqwaan kita, karena yang dinilai oleh Allah di sini bukanlah daging qurban atau darah hewan itu, melainkan motivasi untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan agar kita menjadi hamba-Nya yang bertaqwa. Dalam QS. al-Hajj (22): 37 Allah berfirman :

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan kamulah yang sampai kepada-Nya

Allahu Akbar 3x, wa Lillāh al-Hamd

Saking urgennya ibadah qurban ini, maka Nabi saw sangat mengecam umatnya yang berkemampuan, tetapi mereka enggang berqurban:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا (رواه ابن ماجه واحمد)

Dari Abu Huraerah bahwa Nabi saw bersabda: Barang siapa yang berkecukupan, lalu tidak berqurban maka janganlah sekali-kali mendekati ke mesjid kami (Hadis Riwayat Ibn Mājah dan Imam Ahmad)

Kaum Muslimīn/Muslimāt Rahimakumullāh !

Nabi saw juga mengajarkan agar hewan yang diqurbankan itu, haruslah sempurna, tanpa cacat. Ini memberi petunjuk bahwa dalam berqurban haruslah dalam batas maksimal, jangan setengah-tengah, jangan tanggung-tanggung, demi mencapai derajat ketaqwaan. Di sini dipahami bahwa berqurban dengan hewan yang cacat sangat dicela agama. Di sisi lain, kita diperintahkan untuk berqurban adalah dalam rangka menghilangkan sifat-sifat dan perilaku tercela yang dimiliki hewan atau binatang yang kadangkala, bahkan sering bercokol pada diri kita masing-masing. Sifat-sifat dan atau perilaku kebinatangan yang ada pada diri manusia ada empat tipe, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ja’far al-Shadiq sebagai berikut:

أَرْبَعُ خِصَالٍ مِنَ النَّاسِ كَالْحَيَوَانِ وَيَقُوْمُوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ كَالحَيَوَانِ، كَالجِنْـزِيْر، كَالكَلْب، كَالقِطّ، كَالفَأْر.

Ada empat kelompok dari segolongan manusia yang berperilaku seperti binatang, dan mereka akan dibangkitkan di hari hari kiamat kelak dengan muka seperti binatang babi, anjing, kucing, tikus.

Artinya, perilaku babi yang sarakah, harus kita hindari; perilaku anjing yang selalu menjilat-jilat (ccm), harus kita tekan; perilaku kucing yang munafik, harus kita tanggalkan; dan perilaku tikus yang onar dan jorok, harus kita penggal. Inilah antara lain tujuan ibadah qurban, yakni membuang jauh-jauh perilaku kebinatangan tersebut dari diri kita masing-masing.

Allahu Akbar 3x, wa Lillāh al-Hamd

Kaum Muslimin/Muslimat ….

Syariat berqurban pada mulanya, secara tegas dan jelas digambarkan oleh Alquran melalui kisah Nabi Ibrahim as dan Ismail as. Allah swt memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk mengqurbankan Nabi Ismail as, putra kesayangannya, buah hatinya, sibiran jantungnya, anak semata wayangnya. Dalam QS. al-Shaffāt (37): 102, Allah berfirman ;

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Maka tatkala anak itu (Ismail) sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku men-sembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia (Ismail) menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Allahu Akbar 3x, wa Lillā al-Hamd

Tidak dapat kita bayangkan betapa berat dan hebatnya goncangan jiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim as ketika menerima perintah Allah itu. Bahkan ia mengalami konflik batin dan hampir-hampir ia pingsan ketika mendengar jawaban polos dari anaknya Nabi Ismail as “wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu”.

Yang menjadi pertanyaan, masih adakah remaja kita sekarang seperti Nabi Ismail as yang rela mengorbankan jiwanya di jalan Allah swt.? Masihkah anak-anak kita sekarang senantiasa menuruti perintah ayahnya terutama ibunya ?

Agama kita menegaskan bahwa Ayah dan Ibu adalah dua tokoh utama yang harus dihormati dan dimuliakan. Allah swt melalui berbagai firman-Nya menganjurkan hamba-Nya untuk berbakti kepada kedua orangtua.

Dia Allah swt sangat memuji beberapa rasul karena bakti mereka kepada ibu-bapaknya. Pujian terhadap Nabi Yahya as, terdapat dalam QS. Maryam (19): 14 ;

وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا

dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.

Tentang kasih sayang dan bakti Nabi Isa as, dalam QS. Maryam (19) : 32 ;

وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا

dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.

Nabi Yusuf as, sangat mencintai dan menghormati kedua ibu-bapaknya, dalam QS. Yusuf (12) : 10 ;

وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ

Dan ia (Nabi Yusuf as) menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana.

Melalui Nabi Muhammad saw, untuk ummatnya, diayat antara lain dalam QS. al-Isrā (17): 23

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Berdasar dengan ayat-ayat tersebut, dapat dipahami bahwa orang tua memiliki kedudukan yang sangat signifikan. Bahkan boleh dikata bahwa; sekiranya Allah swt “tidak ada” maka orangtualah yang harus disembah.

Allahu Akbar 3x, wa Lillāh al-Hamd

Alqamah sahabat Nabi saw, yang sangat taat beribadah, suatu saat ia shalat dan ia mendengar panggilan ibunya. Setelah shalat, ia terlambat memenuhi panggilan ibunya itu, singkat kisahnya, Alqamah tidak mampu mengucapkan kalimat “syahadat” di akhir kematiannya.

Kisah singkat di atas, mengajak kita untuk membayangkan kedua orang tua kita masing-masing, dan bertanya dalam lubuk hati yang paling mendalam: sudah seberapakah pengabdian kita kepada orang tua? Sampai dimana usaha kita telah membantu orang tua? Apakah kita selama ini tetap menyayangi mereka keduanya sampai berumur lanjut ?

Ibu dengan susah payah merawat kita sejak dalam kandungan, dan ibu telah mempertaruhkan nyawanya, antara hidup atau mati sesaat kita akan dilahirkan. Wajar jika Nabi saw bersabda:

اَلْجَنَّةُ تَحْتَ اْلأقْدَامِ أُمَّهَات (رواه البخار ومسلم)

Surga terletak di telapak kaki ibu (HR. Bukahri Muslim)

Demikian pula bapak yang tanpa mengenal panas dan hujan mencari rezki untuk menghidupi kita, memberikan segala apa yang kita inginkan, sejak kita masih kecil, Dia telah bermandikan keringat mencari nafkah untuk kelangsungan hidup kita semua. Wajar jika Nabi saw bersabda :

أَبَرُّ الْبِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيهِ (رواه ابوداود)

Kebaktian yang paling agung adalah seorang anak tidak putus-putus berbuat baik kepada ayahnya (HR. Abu Dawud)

Allāhu Akbar 3x Walillahi al-Hamd

Besar dan tulusnya kasih sayang dan pengorbanan ayah dan ibu, tidak dapat diukur oleh sesuatu pun. Sejak kita kecil, mereka membiayai kita, lalu pernakah kita merasa membiayai mereka, atau sekurang-kurangnya memberikan uang saku ala kadarnya kepada kedua orang tua?, kalau memang pernah, baru seberapa banyakkah biaya kita yang keluar untuk kebutuhan mereka? baru seberapa banyak pakaian yang kita belikan kepadanya? baru seberapa rupiah uang yang kita berikan kepadanya?. Jangan-jangan kita yang sudah berkeluarga, justeru lebih mencintai isteri atau suami dan mengesampingkan cinta kepada orangtua. Sejak kecil mereka mendoakan kita, nah apakah kita selalu mendoakan mereka ?

Allahu Akbar, 3X Allahu Akbar walillahil hamd.

Ma’aasyiral Muslimiin Rahimakumullah

Inilah hikmah terbesar dari peringatan hari besar IDUL QURBAN yang sedang kita peringati hari ini, bukan hanya untuk memperingati peristiwa sejarah kemanusian itu saja, namun juga, disamping sebagai momentum untuk membersihkan jiwa dan pikiran kita dari penyakit kehidupan yang mematikan, seperti korupsi, manipulasi, menyalahgunakan jabatan dan penyakit kejiwaan lainnya yang tidak kalah mematikan, seperti iri, dengki, hasud, dendam dan sombong yang bisa berujung fitnah dan adu domba, juga untuk membangkitkan semangat dan kesadaran jiwa kita, dimana setiap pribadi Muslim harus siap berkorban untuk kebahagiannya sendiri. Setiap kita harus siap menyongsong keberhasilan dan peningkatan hidup dengan perjuangan dan pengorbanan. Dimulai dari diri sendiri untuk tidak berpangkutangan saja dan bermalas-malasan dan ketika berakibat buruk pada kehidupannya kemudian orang mengkambinghitamkan nasib dan takdir. Padahal nasib dan takdir itu harus dimulai dari diri sendiri, “siapa beramal sholeh maka itu untuk dirinya sendiri, dan siapa berbuat jahat akibatnya akan ditanggung sendiri”. Maksudnya, barangsiapa menanam kebaikan, akan menuai kebajikan dan barangsiapa menanam kejahatan dan kemalasan akan menuai kehancuran. Itu berlaku untuk diri sendiri bukan untuk orang lain, itulah sunnahtullah yang tidak ada perubahan untuk selama-lamanya.

Akhirnya, melalui khutbah Idyl Adha 1441 H ini, semoga dapat menyadarkan kita untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tua yang masih hidup. Bagi mereka yang telah meninggal orang tuanya, juga tetap termotivasi untuk mendoakan orangtua kita. Serta menjauhkan diri kita dari sifat-sifat kebinatangan.. Amin ya Rabbal Alamin..

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ(1)فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ(2)إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ(3)

بارك الله لى ولكم فى القرآن الكريم، ونفعنى واياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم، وتقبل الله منى ومنكم تلاوته، إنه هوالسميع العليم.[]

 

KHUTBAH KEDUA

الله أكبر 7 x ،

الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحن الله بكرة وأصيلا لا إله إلا الله وحده صدق وعده ونصر عبده واعز جنده وهزم الأحزاب وحده لا إله إلا الله ولا نعبد إلا إياه مخلصين له الدين ولو كره المشركون، لا إله الا الله والله أكبر، الله أكبر ولله الحمد.

الحمد لله حمدا كثيرا كما أمر، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، ارغاما لمن جهد به وكفر، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، سيد الإنس والبشر، اللهم صل وسلم على هذا النبين المختار سيدنا الكريم سيدا محمد وعلي اله وأصحابه الابرار.

فيا عباد الله اوصيكم ونفسي بتقوى الله فقد فاز المتقون واحثكم علي طاعة الله ورسوله لعلكم ترحمون. وقال الله تعالى في القرأن العظيم: ياأيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وانتم مسلمون . وقال أيضا، إن لله وملا ئكته يصلون علي النبي، ياأيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما.

اللهم صل وبارك علي سيدنا محمد وعلى ال محمد كما صليت وباركت على إبراهيم وعلى ال إبراهيم فى العالمين انك حميد مجيد. اللهم ارض عنا معهم برحمتك ياارحم الراحمين، اللهم انا نسئلك ايمانا كاملا ورزقا واسعا ويقينا صادقا وعملا مقبولا، يا أرحم اراحمين، اللهم نسئلك رضاك والجنة ونعوذبك من شخطك والنار، وتقبل منا صلاتنا وقيامنا وسجودنا وتخشعنا وتعبدنا يا ارجم الراحمين. اللهم انصر من نصر الدين واخذل من خذل مالمسلمين ودمر اعداء الدين، اللهم اجعل بلدتنا هذه اندونيسية آمنة سكينة مطمئنة وسائر البلدان المسلمين. آمين يا رب العالمين، اللهم ربنا آتنا فى الدنيا حسنة وفىالآخرة حسنة وقنا عذاب النار

الله أكبر 7 x ، ولله الحمد، عباد الله، ان الله يأمر بالعد والاحسان وايتاءذى القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون، واشكروه على نعمه يعظكم ولذكر الله أكبر...

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya