Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Qur'anic. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Qur'anic. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Agustus 2011

Anre Gurutta Daud Ismail: Mujahid Dakwah dari Soppeng

Anre Gurutta adalah sebutan bagi sosok yang alim dan tokoh panutan dalam tradisi masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan. Gelar ini hanya disematkan kepada sosok yang disegani, Daud Ismail adalah salah satunya. Pejuang dakwah di tanah Bugis ini mendapatkan gelar dari masyarakat sebagai Anre Gurutta Haji (AGH). Daud Ismail adalah sosok ulama yang ikut mendirikan Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) bersama almarhum AGH Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH Muhammad Abduh Pabbajah serta ulama sunni lainnya. Ia juga dikenal sebagai ulama tafsir melalui karya terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Bugis.
Daud Ismail Lahir di Cenrana Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng tahun 1907, buah perkawinan dari pasangan H Ismail dan Hj Pompola. Setelah mengenyam pendidikan dasar di rumahnya, Daud Ismail melanjutkan belajar ke pesantren-pesantren yang ada di Sengkang.
Sejak kecil, ia dikenal sebagai sosok yang cerdas serta gemar belajar secara outodidak. Terutama ketika belajar mengenal aksara Lontara dan Latin. Kendati demikian, ia tetap menempuh pendidikan formal di Madrasatul Arabiyah Al-Islamiyah (MAI) pada tahun 1930. Selama belajar di Sengkang, ia merasakan banyak kemajuan khususnya dalam menguasai kunci ilmu-ilmu agama. Misalnya, Ilmu Qawaid, Ilmu `Arudh, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Manthiq dan lain-lainnya.
Karena prestasinya yang menonjol, Daud Ismail ditugaskan gurunya, Anre Gurutta As`ad untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Sejak saat itulah, orang-orang mulai memanggilnya Gurutta, panggilan kehormatan setingkat di bawah Anre Gurutta. Perhatian Anre Gurutta As`ad begitu tinggi kepada muridnya itu. Hal ini terbukti dengan pengawasan yang ketat terhadapnya, bahkan ia tidak diizinkan meninggalkan pesantren, hingga memasuki masa sulit ketika harus meninggalkan Sengkang.
Saya merasakan memang agak lain waktu saya belajar pada Gurutta Sade –panggilan akrab bagi Anre Gurutta Muhammad As`ad- dibanding waktu saya belajar di tempat lain,” demikian kenang Gurutta Daud Ismail tentang gurunya ini.

Wasiat sang guru
Tahun 1942, pecah perang dunia II. Masa ini adalah waktu tersulit yang dialami Daud Ismail. Kondisi tersebut membuatnya terpaksa meninggalkan Sengkang untuk kembali ke kampung halamannya di Soppeng. Salah satu cobaan beratnya adalah ketika istrinya meninggal dunia.
Tidak mau larut dalam kesedihan, di tahun itu juga ia mengajar di Madrasatul Amiriyah Watang Soppeng menggantikan Sayyed Masse. Tapi ia tidak bertahan lama, karena gerakannya dibatasi oleh Nippon dan adanya latihan menjadi tentara Jepang (PETA). Selain mengajar, ia juga diangkat sebagai Imam Besar di Lalabata, Soppeng dan sempat menjadi guru pribadi bagi keluarga Datu Pattojo, pada tahun 1944. Karena diakui sebagai seorang ulama yang berilmu luas dan mendalam, Daud Ismail diangkat sebagai Qadhi (hakim) di Kabupaten Soppeng pada tahun 1947 hingga tahun 1951.
Antara tahun 1951-1953, Daud Ismail menjabat sebagai pegawai di bidang kepenghuluan di Kantor Departemen Agama Kabupaten Bone. Sejak saat itu, ia mulai biasa disapa sebagai Anre Gurutta. Sepeninggal sang guru Anre Gurutta As‘ad tahun 1952, Daud Ismail diminta oleh para pemuka masyarakat Wajo dan sesepuh MAI untuk melanjutkan pembinaan madrasah yang ditinggalkan As‘ad. Pada tahun 1953 nama MAI diubah menjadi Madrasah As‘adiyah sebagai penghormatan dan penghargaan kepada Anre Gurutta As‘ad.
Wasiat dari sang guru ia jalankan, meski harus meninggalkan status pegawai negerinya. Namun Daud Ismail hanya memimpin MAI Sengkang selama 8 tahun. Karena adanya desakan dari Soppeng agar ia kembali membina madrasah di daerahnya. Apalagi saat itu merasa sudah ada kader-kader ulama yang dapat menggantikan Anre Gurutta Daud Ismail.
Sekembalinya ke Soppeng, ia mendirikan sekaligus mengetuai Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB) dan membuka Madrasah Muallimin pada tahun 1967. Pada masa ini ia diangkat kembali menjadi Qadhi yang kedua di Soppeng. Ia juga pernah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Soppeng tahun 1993-2005.

Menulis kitab
Sebagai suku yang dikenal kental dengan keagamaan dan taat menjalankan ajaran Islam, masyarakat Bugis sangat bergantung pada pengetahuan yang mereka peroleh dari al-Qur‘an, sehingga tafsir al-Qur‘an memegang peranan penting dalam kehidupan keagamaan mereka. Karena itulah, Daud Ismail menulis sebuah karya tafsir berbahasa Bugis. Maksudnya agar memudahkan masyarakat Bugis mengakses dan memahami Kitab Suci tersebut. Selain agar aksara Lontara, yaitu huruf abjad bahasa Bugis, tidak lekas punah. Karya lain yang pernah ditulis Daud Ismail antara lain Ashshalatu Miftahu Kulli Khair dan Carana Puasae, kitab-kitab ini ditulis dalam bahasa Bugis.
Daud Ismail memimpin Pesantren YASRIB hingga ajal menjemput dalam usia 99 tahun. Tepatnya pada hari Senin 21 Agustus 2006 sekitar pukul 20.00 Wita, setelah sempat dirawat selama tiga pekan, di Rumah Sakit Hikmah, Makassar. Semoga Allah SWT meridhai perjalanannya. Amin.   (FATHURROJI/MG)
(Sumber majalahgontor.co.id)

Senin, 26 April 2010

The Qur’anic Exegesis in Bugis Language: Tracing Methodology and Thought of AG. H. Daud Ismail’s Interpretation


Oleh: Sulaiman Ibrahim

ABSTRACT
From research result of this dissertation indicates that construct of interpretation methodology built by Daud Ismail was still follow the construct of his predecessor’s interpretation methodology. Seen from its interpretation form, this Tafsîr al-Munîr was the follower of Tafsîr bi al-Ma’tsûr, but not denied that the element of tafsîr bi al-ra’y also exist in it. It is true, in Daud Ismail’s interpretation, sometimes tafsîr bi al-Ma’tsûr was confronted with tafsir bi al-ra’y. If tafsîr bi al-ma’tsûr was more relied on historical quotation, on the contrary tafsîr bi al-ra’y tends to relied on mind and logic. This kind of Interpretation method was called by Muhammad al-Fadhil bin ‘Asyur as tafsîr al-atsarî al-nazharî or naqdî.
This dissertation indicates that the pattern has been used by Daud Ismail was mushhafî, interpreting the Qur’an of 30 sections (from Sura al-Fatihah to al-Nas). It is can be seen from his systematic way in interpreting al-Qur’an; (1) Explaining the sura and verse. First, Daud Ismail interprets by explaining whether the sura was makkiy or madaniy, or some of its verses were makkiy and others were madaniy; (2) Mentioning the sura’s order and amount of the verses in the beginning of its discussion. Every interpretations of one verse, two verses, or some verses of al-Qur’an were compiled in such a manner so give the union meaning, or the verses were assumed as one group; (3) The verses of Qur’an were written border on its translation; (4) Explaining vocabulary; (5) Explaining the verses meaning globally; (6) Explaining the revelation causes of the verses (asbab al-nuzûl), if they have; (7) Leaving the terms related to science that assumed can impede the readers in understanding the contents of Qur’an; (8) Language style; (9) At the end of every section was made a table of contents. It was aimed to be easier in its searching of verses and explanation.
These findings strengthen the existence of tafsîr al-atsari al-nazharî or naqdî method that found by Muhammad al-Fadhil bin Asyur in his book, Al-Tafsîr wa Rijâluhu, (Mishr: Majma’ a-Buhuts al-Islamiyyah, 1970), that practiced by ‘Abd al-Qadir Muhammad Shalih in his book, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fi al-‘Ashr al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2003), and also strengthen the view of Rafii Yunus Martan in “Membidik Universalitas, Mengusung Lokalitas: Tafsir al-Qur’an Bahasa Bugis Karya AG. H. Daud Ismail,” (Jakarta: Journal PSQ, 2006). At least, Daud Ismail has used what known in modern-writing system as cross-reference that can facilitate to all reader in comprehending various verses.
This research was qualitative research by using interpretation approach. The main source of this dissertation was Daud Ismail’s Tafsîr al-Munîr. In the gaining of its methodologies aspect, so used some books of ulûm al-Qur'an and interpretation, both of classic or modern. The data read with standard-interpretation science was including interpretation method and content. Understanding of the interpretation content was through the discourse analysis theory, and for analyzing the existing data was supported by interpretation approach. In exploring the interpretation was focused on interpretation thought in the field of theology, syari’ or law and social community, by reason that it was more touched by Daud Ismail in his interpretation, and in order to the obtained-result can be more varied and contextual.