Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label al-Qur'an. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label al-Qur'an. Tampilkan semua postingan

Selasa, 31 Desember 2019

Secercah Renungan Tahun Baru 2020

Penghujung akhir tahun tinggal menghitung detik, banyak diantara masyarakat yang memanfaatkan libur akhir tahun untuk sekedar pulang ke kampung halaman dan merayakan tahun baru bersama keluarga. Hampir disetiap kota menyambut tahun baru dengan menggelar berbagai pesta seperti konser musik yang diakhiri dengan kembang api. Dan banyak pula yang menggelar berbagai kumpulan di luar kota hanya untuk melihat gegap gempita tahun baru.

            Penyambutan pergantian tahun baru sebenarnya hanyalah seremonial yang terlalu dibesar-besarkan. Nyatanya pergantian tahun 2020 hanyalah momentum yang biasa terjadi seperti bergantinya menit, detik dan seterusnya. Ramainya tahun baru tentu meningkatkan intensitas kemacetan diberbagai titik, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa keramaian ini juga berpotensi akan kejadian kriminal yang sangat mungkin terjadi seperti pencopetan.
            Kemacetan saat perayaan tahun baru juga membuang banyak waktu dan tenaga yang sebenarnya sangatlah sia-sia. Sehingga tidak ada salahnya untuk menyambut tahun baru di rumah bersama dengan keluarga ataupun orang terdekat. Jika perayaan tahun baru identik dengan keramaian, kenapa tidak mencoba merayakan tahun baru dengan konsep kesunyian, dimana masing-masing merefleksi diri tanpa hingar bingar alunan distorsi musik maupun ledakan kembang api.
            Kesunyian di rumah juga bagus untuk mendekatkan hubungan antar anggota keluarga, tak ada salahnya untuk bermain bersama keluarga atau dengan menikmati makanan kesukaan secara bersama-sama, hal tersebut tentu bisa menjadi sarana untuk saling merenungi pencapaian selama setahun terakhir.
            Meski di rumah kamu masih bisa merayakan tahun baru dengan special bersama dengan keluarga, jika halaman rumahmu cukup luas maka manfaatkan untuk merayakan pergantian malam tahun baru dengan mendirikan kemah, buatlah api unggun jika mungkin dan nikmati suasana malam tahun baru secara lebih akrab dengan keluarga.
            Dengan merayakan tahun baru dirumah artinya, kamu telah mengurangi keramaian dan kemacetan di beberapa titik. Aktifitas pergantian malam tahun baru di rumah tentu bisa menjadi sesuatu yang antimainstream dan tidak membuang banyak waktu, selain itu perayaan tahun baru di rumah merupakan upaya agar tidak berhura-hura atau foya-foya.
            Rumah merupakan tempat ternyaman dan teraman ketika malam tahun baru, tak ada salahnya untuk melakukan marathon nonton film jika kamu merupakan penyuka film. Siapkan beberapa cemilan atau makanan ringan atau minuman segar untuk menemani marathon nonton film selama serangkaian malam tahun baru.
            Tak ada salahnya jika mamu berdiskusi dengan teman-teman untuk berdiskusi dan merencanakan perayaan tahun baru di rumah, tentu dengan budget minimal namun tidak mengurangi kesan selama acara berlangsung.
            Begitu banyak hal yang bisa dilakukan untuk merayakan tahun baru tanpa  harus berdesak-desakkan dalam keramaian. Apabila kamu telah terbiasa dengan lingkungan ramai, maka nikmatilah pergantian malam tahun baru dengan lingkungan yang sunyi seperti di  rumah bersama teman-teman.
            Merayakan tahun tidak berarti harus terjebak pada keramaian ataupun kerumunan banyak orang. Sejatinya malam tahun baru bisa dijadikan sebagai ajang refleksi ataupun berbagi harapan akan masa depan diri dan keluarga. 
Setiap pergantian tahun baru baik hijriah maupun miladiyah, merupakan momen yang tepat untuk melakukan evaluasi diri, mengintropeksi diri dengan segala sesuatu yang telah kita kerjakan selama satu tahun, karena dengan datangnya tahun baru ini menunjukkan bahwa umur kita semakin berkurang dan itu artinya maut semakin dekat.
Jika melihat umur kita semakin berkurang mestinya setiap insan terutama muslim harus semakin mengurangi dosa kita dengan perbanyak tobat.
Semoga dengan sedilit refleksi di tahun baru hijriah ini menjadikan kita manusia yang selalu istiqomah, bersyukur atas segala nikmatNya sehingga selamat dunia dan akhirat, amin.


Selasa, 26 September 2017

Pengaruh Pendidikan Agama Islam di Kalangan Remaja Terhadap Akhlakul Karimah


Pendidikan merupakan suatu hal yang penting dalam pembentukkan karakter manusia. Dalam perkembangan istilah pendidikan berarti bimbingan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar selanjutnya pendidkan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang agar ia menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. Menurut Ahmad D. Marimba yang dinamakan dinamakan pendidikan Islam adalah “Bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum agama Islam”.[1] Seseorang tidak mampu memahami dan menjalani tanpa aspirasi (cita-cita) untuk maju. Untuk memajukan kehidupan mereka itulah maka pendidikan menjadi sarana utama yang diperlukan di kelola secara sitematis dan konsisten berdasarkan berbagai pandangan teoritikal dan pratikal sepanjang waktu sesua dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri.
Manusia adalah makhluk yang dinamis dan bercita-cita ingin meraih kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam arti yang luas, baik lahiriyah, batiniyah, dunia dan ukhrawi. Namun cita-cita demikian tidak mungkin tercapai jika manusia itu sendiri tidak berusaha keras meningkatkan kemampuannya. Secara optimal mungkin melalui proses pendidikan. Proses pendidikan adalah suatu kegiatan secara bertahap berdasarkan perencanaan yang matang untuk mencapai tujuan atau cita-cita yang diharapkan oleh setiap pendidik dalam proses pembinaan dan peningkatan moralitas dan keilmuan di masa-masa yang akan datang. 
Pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan manusia. Jhon Dewey berpendapat bahwa pendidikan  merupakan salah satu kebutuhan hidup, salah satu fungsi sosial, sebagai bimbingan dan sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.[2]
Pendidikan membentuk manusia dari tidak mengetahui menjadi mengetahui, dan membentuk jasmani dan rohani yang matang. Sebagaimana tujuan pendidikan, menurut Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) UU RI NO. 20 TH. 2003 BAB II Pasal 3, dinyatakan:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[3]
Tujuan pendidikan setidaknya terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan yang bertujuan mengembangkan aspek batin atau rohani. Dengan demikian secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk anak didik menjadi manusia berkualitas tidak saja berkualitas dalam segi skill, kognitif, afektif tetapi juga aspek spiritual. Hal ini membuktikan pendidikan mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak didik dalam mengembangkan diri berdasarkan potensi dan bakatnya melalui pendidikan anak mungkin menjadi pribadi yang sholeh, pribadi berkualitas dalam segi skill, kognitif dan spiritual.
Masalah remaja merupakan topik yang selalu hangat di bicarakan oleh semua orang, sehingga tidak jarang permasalahan remaja seringkali ditulis dalam buku-buku, majalah dan artikel-artikel bahkan dijadikan topik di dalam seminar-seminar.
Usia remaja adalah usia yang rawan dan seringkali menerima apa saja yang datangnya dari luar, dimana kemampuan berfikir logis mulai berkembang, kemajuan teknologi yang bermanfaat bagi pendidikan akan mempercepat perkembangan daya tangkap dan pemahaman, namun kemampuan menyaring dan memilih yang baik dan buruk belum tumbuh sempurna kecenderungan untuk meniru masih tinggi, segala bentuk tingkah laku dalam kehidupan banyak terpengaruh oleh hal-hal yang terlihat, terbaca, terdengar. Oleh karena itu perlunya diberikan pendidikan yang menyeluruh baik itu pendidikan yang berupa agama atau pendidikan lainnya yang diberikan orang tua atau orang dewasa lainnya.
Dalam keadaan terganggu secara emosional itu mereka menjadi lupa daratan. Mereka menjadi tidak sadar atau setengah sadar, sehingga menjadi emosinya tinggi dan sangat agresif, untuk kemudian tanpa berfikir panjang melakukan bermacam-macam tindak asusila. Dalam keadaan terganggu jiwanya ini hati nuraninya sering tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya mereka mereka melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan diri sendiri maupun lingkungannya.
Selanjutnya yang dialami tadi selalu saja membujuk anak remaja yang tidak imbang secara emosional (terganggu secara emosional) itu melakukan kejahatan, dan terus menerus memberikan rangsangan yang kuat sekali untuk melakukan tindak kejahatan. Sebagai akibat dari proses pengkondisian lingkungan buruk terhadap pribadi anak, yang dilakukan oleh anak muda tanggung usia, puber, dan adolesens.

Wujud perilaku anak-anak dalam kondisi lingkungan yang buruk, yaitu:
1.      Kriminalitas anak remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan pengancaman, intimidasi, merampas, maling, mencuri, mencopet, merampas, dan menjambret.
2.      Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika (obat bius; drugs) yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan.
3.      Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan menaruh sehingga mengakibatkan kriminalitas.
4.      Berpesta pora sambil mabuk-mabukkan, melakukan hubungan seks bebas yang  menimbulkan keadaan kacau balau yang menggangu lingkungan .
5.      Perkosaan, agresivitas dan pembunuhan dengan motif seksual, depresi hebat, rasa kesunyian, emosi balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain.
6.      Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompentensi, disebabkan adanya organ-organ. [4]
Tetapi realitas di masyarakat membuktikan pendidikan belum mampu menghasilkan anak didik yang berkualitas keseluruhan. Kenyataan ini dapat dicermati dengan banyaknya prilaku tidak terpuji terjadi di masyarakat. Sebagai contoh merebaknya penggunaan narkoba, penyalahgunaan wewenang, korupsi, perampokkan, pembunuhan, pelecehan seksual, pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan lain-lain. Realitas ini memunculkan anggapan bahwa pendidikan belum mampu membentuk anak didik berkepribadian sempurna. Anggapan tersebut menjadikan pendidikan sebagai institusi yang dianggap gagal membentuk akhlak mulia. Padahal tujuan pendidikan diantaranya adalah membentuk pribadi yang watak, bermartabat beriman dan bertakwa serta berakhlak.
Dalam pendidikan Islam, agama merupakan salah satu aspek yang perlu ditanamkan pada diri peserta didik. Karena me\lalui pendidikan agama, bukan hanya pengetahuan dan pegembangan potensi yang akan terbentuk secara keseluruhan dari mulai pengetahuan agama latihan-latihan, sehari-hari keberagamaannya dan prilaku (akhlak) yang sesuai dengan ajaran agama baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lain, serta manusia dengan dirinya sendiri.
Begitu pentingnya pendidikan agama dalam kehidupan manusia oleh karena itu pendidikan agama berperan dalam membina siswa yang sedang dalam masa pertumbuhan, dengan mengadakan pendekatan dan perhatian yang bersifat tuntunan dan bimbingan. Hal yang senada dikemukakan pula oleh Mahmud Yunus, bahwa: “Pendidikan agama mempunyai kedudukan yang tinggi dan paling mulia karena pendidikan agama menjamin untuk memperhatikan akhlak anak-anak dan mengangkat mereka ke derajat yang tinggi dan berbahagia dalam kehidupannya”.[5] 
  Sementara kenyataan sekarang membuktikan banyak pemuda yang terjangkit demoralisasi dan dekadensi moral yang buruk. Akhlak di anggap usang, akhlak tidak perlu lagi dalam tatanan kehidupan dan tata pergaulan hidup sehari-hari. Ini terbukti dengan maraknya berbagai kemaksiatan baik pemakaian narkoba serta pergaulan bebas pria dan wanita yang dilakukan pada generasi muda terlebih dilakukan oleh pemuda dan pemudi yang masih berada di bangku sekolah.
Kenyataan ini sangat relevan dengan kondisi dan situasi yang ada di Majelis Ta’lim Ihsan Ma’mur di Kelurahan Kampung Rawa kec. Johar Baru Jakarata Pusat, adanya anak remaja yang melakukan kekurangan dalam penanaman akhlakul karimah.
Untuk mengatasi hal ini perlu adanya pendidikan yang baik dalam penerapan pendidikan akhlak agar tercipta generasi muda yang berakhlakul karimah. Pendidikan Islam merupakan penawar dan berperan dalam mengatasi problem tersebut. Pendidikan Islam merupakan konsep yang sangat relevan untuk menangani hal tersebut. Dan pendidikan Islam merupakan faktor pendukung untuk menyelesaikan persoalan remaja dan masyarakat yang rentan sekali dengan tindakan-tindakan yang jauh dari nilai agama dan masyarakat. Generasi Islam harus dibekali dengan pendidikan Islam sebagai pedoman moral untuk mengendalikan dampak perkembangan zaman yang dapat menggeserkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan.




        [1] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Islam 2, (Bandung: PT. Al-Ma’ry, 1992), hal. 11
        [2] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hal. 35
        [3] Depdiknas, UU SISDIKNAS 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 5
        [4] Kartini Kartono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT Raja Grafindo Presada, 2006), hal. 2
        [5] Mahmud Yunus, H, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: Hidakarya, 1992), hal. 7



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Selasa, 22 Agustus 2017

TAFSIR DAN LOKAL WISDOM: Perilaku Keagamaan Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dalam Memahami Tafsir al-Qur’an

Oleh: 
Sulaiman Ibrahim

Dalam penyebaran agama Islam,para ulama di Sulawesi Selatan telah menempuh berbagai cara, di antaranya ada yang giat melakukan dakwah Islamiyah secara langsung di tengah-tengah masyarakat, ada pula selain melakukan dakwah mereka juga membuat karya tulis untuk dijadikan bahan bacaan di kalangan santri-santri dan masyarakat sekitarnya. Berbagai upaya dan cara itulah telah ditempuh oleh ulama pendahulu dalam rangka mengkaji agama Islam dan menggali kandungan ayat-ayat Alquran.
Literatur-literatur tafsir Alquran yang muncul dari tangan para muslim Nusantara, dengan keragaman bahasa dan aksara yang digunakan mencerminkan adanya “hirarki”, baik “hirarki tafsir” itu sendiri di tengah karya-karya tafsir lain, maupun “hirarki pembaca” yang menjadi sasarannya. 
Misalnya penggunaan bahasa Arab, seperti yang ditempuh oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam tafsīr Marah{ Labīb, dari segi sasaran –dengan mempertimbangkan bahasa Arab- tafsir ini lebih mudah diakses oleh para peminat kajian Alquran secara Internasional, namun pada sisi yang lain, yakni dalam konteks Indonesia sendiri, karya tafsir itu tentu lebih bersifat elitis. Sebab, seperti yang kita ketahui bahwa tidak semua muslim Indonesia mahir berbahasa Arab. Demikian juga, literatur tafsir yang ditulis dengan bahasa daerah –Jawa atau Bugis misalnya- dan menggunakan huruf Arab pegon, pada satu sisi akan mempermudah bagi komunitas muslim yang kebetulan satu daerah dan menguasai bahasa lokal tersebut. Namun, pada tingkat cakupan keindonesiaan, model inipun juga pada akhirnya tidak bisa menghindardari sifat elitisnya, sebab seakan-akan karya ini hanya ditulis khusus untuk daerah pemakai bahasa tersebut.
Satu hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa sentimen orang-orang Bugis di Sulawesi Selatan untuk memelihara bahasa daerahnya berbeda jauh di bawah level sentimen suku lain untuk melestarikan bahasa daerahnya. Tidak diketahui secara pasti apa yang menyebabkan hal tersebut, namun dugaan sementara adalah karena kurangnya literatur berbahasa Bugis yang beredar dalam masyarakat. Dapat dikatakan, tidak banyak bahkan sangat jarang orang yang membuat karya tulis dalam bahasa Bugis dewasa ini.






Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Rabu, 21 Januari 2015

The Abstrac



Semakin membumi tafsir itu, semakin mudah dipahami maksud dan tujuan ajarannya. Tafsir yang sesuai dengan bahasa masyarakat akan memudahkan masyarakat memahami Alquran, dan semakin dekat pula dalam pengamalannya.
 Ini dibuktikan Daud Ismail dengan berhasil menampilkan tafsir yang susunan dan gaya bahasanya lebih mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat Bugis setempat. Karena kitab-kitab tafsir yang ada selama ini dinilai terlalu banyak menggunakan bahasa Arab dan istilah yang terasa sulit dicerna dan dipahami oleh kebanyakan masyarakat setempat yang bukan bahasa mereka, apalagi telah dibumbuhi dengan istilah-istilah tertentu, seperti ilmu balaghah, nahwu, dan s}arf, yang semuanya justru kadang membingungkan para pembacanya.
Hal ini memperkuat pendapat Muh}ammad al-Fād}il ibn ‘Āshūr dalam al-Tafsīr wa Rijāluhu, bahwa penjelasan atau tafsir Alquran sebaiknya mengikuti menggunakan bahasa yang dipahami oleh masyarakat itu. Sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat وماأرسلناك من رسول إلا بلسان قومهم ليبين لهم .
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif termasuk penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan tafsir. Sumber utama penelitian ini adalah kitab Tafsīr al-Munīr karya Daud Ismail. Untuk mendapatkan aspek metodologinya digunakan beberapa kitab ‘ulūm al-Qur’ān dan kitab-kitab tafsir klasik maupun modern. Data-data yang dibaca dengan standar ilmu tafsir yang meliputi metode dan kandungan tafsir. Pemahaman kandungan tafsir melalui teori discourse analysis (analisis wacana), dan untuk menganalisis data yang ada dibantu dengan pendekatan tafsir.


 




Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Kamis, 20 November 2014

Wanita dalam Konteks Sosial; Pra dan Pasca Turunnya Alquran

Informasi yang kita terima dari al-Qur’ân menyebutkan bahwa kondisi umum perempuan dalam masyarakat Arab sampai pada masa al-Qur’ân diturunkan adalah kondisi yang kurang menguntungkan bahkan sangat buruk. Perempuan bukan hanya dipandang sebagai makhluk Tuhan yang rendah, melainkan juga dihargai sebagai barang, bisa diwarisi, dan diperlakukan sebagai layaknya budak. (QS. Al-Nisa, 4:19). Mereka juga dianggap tidak memiliki hak apa-apa atas kehidupannya sendiri dan dalam relasi-relasi sosial. Peran-peran mereka dibatasi pada wilayah domestik dan dalam kerangkamelayani kebutuhan seksual laki-laki. Beberapa ayat al-Qur’ân bahkan menyebutkan adanya tradisi pembunuhan bayi-bayi perempuan hidup-hidup. (QS. 16: 58-59, QS. 81: 8-9). Alasannya adalah karena kelahiran anak perempuan akan menambah beban ekonomi dan bisa mencoreng muka atau memalukan keluarga. Keadaan ini biasanya berlaku pada keluarga miskin dan marginal. Realitas posisi subordinat perempuan juga diinformasikan oleh ayat 34 surah al-Nisa. Ayat ini menjelaskan bahwa kepemimpinan atau kekuasaan domestik, apalagi publik, berada di tangan laki-laki. Al-Qur’ân menyatakan bahwa hal itu karena laki-laki memiliki kelebihan setingkat lebih tinggi dibanding perempuan dan karena fungsi ekonomi ada di tangan laki-laki. Yang menarik adalah bahwa teks tersebut tidak menjelaskan secara eksplisit tentang kelebihan lakilaki atas perempuan.
Wanita sebelum datangnya Alquran yakni pada masa jahiliyah, mereka dipandang rendah, hina dan tidak mempunyai nilai di tengah-tengah keluarga dan masyarakat, ia tidak diberi hak, dan penghormatan, ia hanya menjadi pelampiasan hawa nafsu belaka dari pihak laki-laki.[1] Umar bin Khattab menuturkan kejelekan sifat- sifat Arab jahiliyah, sebagai berikut:
كـنـا  فى  الـجـاهـلـيــة  لا نـعـتـد  بـالـنـســاء  ولا  نــدخـلـهـن  فى شـيئ  من أمـورنـا بـل كـنـا  ونحن  بـمـكـة  لا يـكـلـم  أحـدنـا  امـرأتـه  إذا  كـانـت لـه  حـاجـة  سـفـع  بـرجـلـيـهـا ... فـقـضى مـنـهـا  حـاجـتـه.[2]
Karena pandangannya Arab jahiliyah begitu jelek, hina dan rendah sehingga ia sangat membencinya dan tidak segan-segan mengubur hidup-hidup. Alquran melukiskan perbuatan Arab jahiliyah itu dengan nada amat mencela:
-   وإذا  بـشـر احـدهـم  بـالأنـثى  ظـل  وجـهـه  مـسـودا  وهو كـظـم، يـتـوارى  من الـقـوم  مـاسـوء  مـا بـشـر بــه  ايـمـسـكـه  على هون ام يـدسـه  فى الـتراب  الاسـاء  مـا يـحـكـمـون.[3]
-   وإذا  الـمـودودة  سـئـلـت، بـإي  ذنب  قـتـلـت.[4]
Demikianlah ungkapan Alquran tentang kekejian, kedahsyatan dan kengerian kebiasaan mengubur hidup-hidup anak wanitanya. Kebiasaan ini dilakukan karena:
1-   خـشـيـة  الـوقـوع  فى الـعـار، إذا شـذت  اخـلاقـهـا  وارتـكـبـت  الـسـوء.
2-   إذا وقـعـت  فى الـسبي  واخـذهـا  الـحـدوعـهـوة  فـاصـبـحـت  فـريـبـسـة بـين يـديـه.
3-   خـسـيــة  الـفـقــر والامـلاق.[5]
Di zaman jahiliah, wanita bagaikan barang warisan bagi seorang laki-laki pemiliknya. Ia dapat diwariskan begitu saja kepada saudara sang pemilik yang meninggal dunia. Keluarga almarhum suami dari pihak ayah bisa saja mengawinkan si wanita dengan salah seorang di antara mereka atau dengan siapa saja yang mereka suka, mereka bisa juga mencegahnya kawin lagi, agar ia tidak membawa pergi harta suaminya, dan dengan demikian harta warisan tetap menjadi milik keluarga mereka. Dan anak yang menjadi pewaris rumah ayah adalah anak-anaknya yang laki-laki. Sedangkan anak wanita tidak mendapat apa-apa, kecuali bila ada belas kasihan saudara-saudaranya, ia dapat hidup di bawah perlindungan mereka.[6] Dari kenyataan ini menunjukkan bahwa wanita pada masa itu tidak mempunyai hak sama sekali, wanita diperlakukan sewenang-wenang oleh kaum laki-laki, mereka dikuasai dan tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat.
Pada masa jahiliyah di negara Arab terdapat bermacam-   macam kultur perkawinan yang merusak sendi-sendi moral yaitu:
1.     Poliandry; Seorang wanita dipersembahkan kepada banyak laki-laki, baik secara resmi maupun dengan cara lain, Anak yang dilahirkan diserahkan kepada salah satu mereka yang mau.
2.     Istibda; Seorang suami mengizinkan isterinya digauli oleh laki-laki tertentu seperti para penguasa dan pejabat tinggi yang pemberani dan terhormat, agar para isteri mendapat keturunan seperti dia.
3.     Ittikhaf al-Akhdam wa al-Saffah; Sistem perkawinan tidak legal dengan wanita-wanita lain selain isteri seperti mengambil wanita lacur secara terang-terangan (al-Saffah), gundik-gundik atau pacar (al-Akhdam) sebagai teman berkencan dan lain-lain.
4.     Mut’ah; Sistem pernikahan mut’ah disebut pernikahan sementara, Syi'ah sekte Imamiyah memperbolehkan hal yang sama bagi orang-orang Islam.
5.     Mubadalah; Dua orang suami sepakat menukar masing-masing isteri untuk yang lain di antara keduanya.[7]
Dari sistem-sistem perkawinan di atas menunjukkan berlakunya budaya pemilikan atau penguasaan wanita oleh pihak laki-laki, dia diberlakukan sebagaimana hewan dan binatang serta barang.
Dan apakah kelebihan yang diberikan Tuhan kepada laki-laki tersebut bersifat tetap, tidak berubah-ubah atau sebaliknya. Para ahli tafsirlah yang kemudian mengelaborasi lebih lanjut ayat ini dengan menyatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena kwalitas intelektualnya yang lebih tinggi, di samping karena fungsi penanggungjawab nafkah. Akibat dari ketimpangan relasi kuasa dalam dua hal ini; intelektual dan ekonomi, kaum perempuan tidak memiliki hak untuk dilibatkan sebagai penentu dalam segala urusan penting baik dalam ruang domestik maupun publik. Umar bin Khattab, seorang tokoh terkemuka dan teman sebaya Nabi Muhammad Saw juga pernah memberikan kesaksian atas kondisi umum kaum perempuan Arab pra Islam tersebut. Ia mengatakan: “Kami bangsa Arab sebelum Islam, tidak menganggap apa-apa terhadap perempuan. Tetapi begitu nama mereka disebut-sebut Tuhan (dalam al-Qur’ân), kami baru mengetahui bahwa ternyata mereka mempunyai hak-hak atas kami... (bersambung)


[1]Lihat, Muhammad Ali Qutub, Fa«lu Tarbiyat Al-Banati Fi Al-Islam, (Qairo: Maktabah Al-Qur’an, t.th.), h. 21.
[2]Ibid.
[3]Surah Al-Nahl ayat 58-59.
[4]Surah Al-Takwir ayat 8-9.
[5]Lihat, Muhammad Ali Qutub, Op. cit., h. 23.
[6]Lihat, Al-Tahir Al-Hadad, Imratuna fi Al-Syafiati wa Al-Mujtama’, (Cet. II; t.t.: Al-D±r Al-Tunisiah l³ Al-Nasyan, 1972), h. 30.
[7]Lihat, Muhammad Rasyid Ridha, Huquq Al-Mar’at Al-Muslimat, (Qairo: Ma¯ba’ah Al-Manar, 1931), h. 19.