Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Bugis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bugis. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Januari 2013

AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (3)

Anregurutta, Gelar KehormatanSuku Bugis umumnya berdiam di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.

Meski demikian, suku ini juga menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Dalam tradisi masyarakat Bugis, gelar Anregurutta dapat diibaratkan sebagai profesor di dunia akademik.

Meski demikian, seperti dijelaskan dalam situs resmi Nahdlatul Ulama, gelar Anregurutta bukanlah pemberian gelar akedemik, melainkan pengakuan yang timbul dari masyarakat atas ketinggian ilmu, pengabdian, dan jasa seseorang dalam dakwah keislaman.

Tak semua yang mengajar agama dipanggil sebagai Anregurutta, bergantung pada tingkat keilmuannya. Selain itu, masyarakat Bugis juga meyakini adanya kelebihan yang dimiliki Anregurutta, yakni berupa karomah, dalam bahasa Bugis disebuti makarama.

Para mubalig, meski memiliki pengetahuan keislaman cukup luas, belum tentu disebut Anregurutta. Banyak di antara mereka yang tetap dipanggil ustaz. Mereka dianggap mampu membawakan khutbah dan ceramah di masyarakat, namun belum bisa dijadikan rujukan bertanya mengenai berbagai masalah keagamaan.

Sementara itu, Anregurutta biasanya dijadikan tempat bertanya tentang berbagai masalah keagamaan dan kehidupan secara umum.

Nah, salah satu pejuang dakwah di Tanah Bugis yang mendapat gelar Anregurutta adalah Daud Ismail. Dialah sosok ulama besar yang berperan penting dalam pengembangan syiar Islam di Sulawesi Selatan.



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (1

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi masyarakat Bugis, Anregurutta Haji (AGH) Daud Ismail mengukir jasa besar yang tak bisa dilupakan.

Jasa yang tak akan terlupa itu adalah usahanya menerjemahkan dan menafsirkan 30 juz Alquran ke dalam bahasa Bugis.

Rasanya, inilah puncak pencapaian AGH Daud Ismail sebagai ulama besar yang pernah lahir di Sulawesi Selatan.

“Penulisan tafsir Alquran 30 juz di Indonesia masih terbilang langka. Kalaupun ada, biasanya hanya ditulis oleh orang yang tidak sembarangan,” tulis Sulaiman Ibrahim, dosen tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Lokalitas Tafsir Bahasa Bugis: Telaah atas Metodologi Tafsir Anre Gurutta Daud Ismail”.

AGH Daud Ismail terlahir di Soppeng pada 30 Desember 1908. Ia adalah putra dari pasangan H Ismail bin Baco Poso dan Hj Pompola binti Latalibe. Dari 11 bersaudara, ia adalah anak bungsu dan satu-satunya anak lelaki.

Ayahnya dikenal sebagai khatib di Distrik Soppeng. Sang ayah memiliki panggilan lain Katte’ Maila (Ismail). Orang tua Daud Ismail juga dikenal sebagai guru mengaji Alquran di Desa Cenrana. Rupanya, darah mengajar dari orang tuanya itulah yang mengalir deras dalam diri Daud Ismail.

Selain menafsirkan dan menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Bugis, AGH Daud Ismail juga berjasa besar mendirikan Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB) yang di dalamnya terdapat pesantren. Ia juga membuka Madrasah Muallimin pada 1967.

Semua pencapaian besar ini diraih melalui proses otodidak. Proses itu diawali dari hasil belajar Alquran kepada ayahnya sewaktu masih kecil di kampung. Selepas menimba ilmu di rumah, ia melanjutkan pendidikan ke pesantren di Sengkang.

Lalu, pada 1925- 1929, ia mulai mempelajari kitab qawaid di Lapasu Soppeng Riaja. Tempat ini berjarak sekitar 40 km dari kota Parepare. Di tempat ini, ia menimba ilmu dari ulama besar bernama Haji Daeng dan Qadhi Soppeng Riaja.


Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/08/mgagfm-agh-daud-ismail-penerjemah-alquran-ke-bahasa-bugis-1
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Kamis, 26 Juli 2012

The Qur’anic Exegesis in Bugis Language: Vernacularization in the Study of Tafsir al-Munir

By: Sulaiman Ibrahim

This study concludes that the Qur’anic interpretation by AG. H. Daud Ismail successfully conducted a vernacularization of terms and values related to the universality of Islam. This was applied by his presentation of exegesis in which its composition and language style adapt to local interpretation used by the Bugis society. This was due to the fact that many books of Qur’anic interpretation use Arabic and terms which are difficult to understand by local societies. Moreover, most of them include technical terms related to ‘ilm bala>ghah (stylistics), nah}wu (Arabic grammar), and s}arf (word derivations), which sometimes confuse the lay readers.         
This dissertation confirms the argument of Muh}ammad al-Fa>dil ibn A<shu>r in al-Tafsi>r wa Rijāluhu>, that an explanation or interpretation of the Qur’an should uses a language which is easily understood by the community. Indeed, this is in accord with the verse: وماأرسلناك من رسول إلا بلسان قومهم ليبين لهم.
This research is a qualitative one by using interpretive approach. The main source of this dissertation is based on Daud Ismail’s Tafsīr al-Munīr. In attempt to analyze the methodology aspect, it draws on several books of ‘Ulūm al-Qur'an and interpretation (tafsi>r), be it classic or modern one. The data is analyzed with standard interpretation science (‘ilm tafsir) that comprises interpretation method and content analysis. This study uses discourse analysis theory to understand the interpretation while employing interpretation approach to analyze the existing data.




Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Sabtu, 07 April 2012

Abdurrahman Ambo Dalle: Mahaguru Bugis

Kemunduran umat Islam Indonesia yang kita lihat dan alami saat ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh para pemimpin dan tokoh-tokoh Islam yang kurang memerhatikan metode pendidikan dan seni dakwah serta tidak menggunakan senjata berupa sumber daya manusia dan dakwah sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, umat membutuhkan keteladanan dan ulama serta pemimpin bangsa.
Dalam bukunya yang berjudul Anregurutta Ambo Dalle: Mahaguru dari Bumi Bugis, HM Nasruddin Anshoriy Ch mengungkapkan, sangat sedikit para pemimpin dan tokoh Islam saat ini yang mampu melakukan kerja keras di bidang pendidikan, menebarkan kasih sayang kepada segenap umat dengan jalan silaturahim, serta berjihad dengan indah melalui jalan dakwah untuk mengajak masyarakat ke jalan benar, lurus, dan lempang sebagaimana yang telah dilakukan sosok mahaguru dari bumi Bugis bernama Abdurrahman Ambo Dalle.
Keteladanan ini pula yang dilakukan Ambo Dalle dalam menebarkan Islam dan kasih sayang kepada umat Islam di Sulawesi Selatan dan murid-muridnya.
Penikmat novel trilogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tentu masih ingat dengan apa yang dilakukan Lintang, seorang anak nelayan yang harus mengayuh sepeda sejauh 40 kilometer agar bisa menuntut ilmu di SMP Muhammadiyah, Belitong.
Seperti itulah yang dilakukan Ambo Dalle. Ulama asal Sulawesi Selatan ini mengayuh sepedanya sejauh 35 kilometer demi mengajar murid-muridnya dan menemui umatnya untuk berdakwah. Ambo Dalle menunjukkan keteladanan seorang pemimpin dalam mengayomi dan melayani umat. Masihkah ada pemimpin dan ulama seperti Ambo Dalle saat ini?
Anregurutta (guru--Red) Abdurrahman Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan, sekitar tahun 1900, di sebuah desa bernama Ujung yang berada di Kecamatan Tanasitolo, sekitar tujuh kilometer sebelah utara Sengkang yang merupakan ibu kota Kabupaten Wajo. Ayahnya bernama Puang Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Puang Candara Dewi.
Kedua orang tuanya memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak yang memiliki banyak rezeki. Orang tuanya mengharapkan dirinya agar kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abdurrahman diberikan oleh seorang ulama setempat bernama KH Muhammad Ishak pada saat berusia 7 tahun dan sudah dapat menghafal Alquran.

Menuntut ilmu
Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem monolog), yaitu guru membacakan kitab, sementara murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Pelajaran membaca dan menghafal Alquran ia peroleh dari bimbingan bibi serta kedua orang tuanya, terutama sang ibu. Agar lebih fasih membaca Alquran, Ambo Dalle belajar tajwid kepada kakeknya, Puang Caco, seorang imam masjid yang fasih membaca Alquran di Desa Ujung.
Selama menuntut ilmu, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran, seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu, sharaf, tafsir, dan fikih saja, tapi ia juga mengikuti Sekolah Rakyat (Volk School) pada pagi hari serta kursus bahasa Belanda pada sore hari di HIS Sengkang dan belajar mengaji pada malam harinya.
Sementara itu, untuk memperluas cakrawala keilmuan, terutama wawasan modernitas, Ambo Dalle lalu berangkat meninggalkan Wajo menuju kota Makassar. Di kota ini, ia mendapatkan pelajaran tentang cara mengajar dengan metodologi baru melalui Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI). Pada saat itu, SI yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto berada dalam masa kejayaan dan benar-benar membuka tabir kegelapan bagi wawasan sosial, politik, dan kebangsaan di seluruh Tanah Air.
Ketika mengikuti sekolah guru di Makassar inilah, ia menemukan kehidupan sosial yang lain dan jauh berbeda dari tanah Wajo yang masih sepi. Makassar, yang saat itu telah menjadi sebuah kota pelabuhan terpenting di kawasan Indonesia Timur, ramai disinggahi oleh kapal besar dan perahu dari berbagai penjuru yang memuat barang-barang dagangan. Beraneka ragam barang niaga, seperti beras, kelapa, hasil hutan, dan kain tenun sutera, ditawarkan orang-orang di pasar-pasar.
Ketika kembali ke Wajo, Ambo Dalle semakin matang secara keilmuan ataupun wawasan. Karena itu, ia bertekad untuk mencerdaskan putra-putri bangsa, khususnya di daerahnya sendiri. Selain kegiatan rohani dengan pendalaman spiritual yang menjadi gairah hidupnya sehari-hari, kegiatan fisik juga tidak diabaikannya. Misalnya, ia selalu aktif berolahraga. Olahraga yang paling digemarinya adalah sepak bola. Ambo Dalle terkenal sebagai seorang pemain bola yang andal. Karena keahliannya dalam menggiring dan mengolah si kulit bundar, rekan-rekannya menjuluki Ambo Dalle sebagai 'Si Rusa.'
Selain itu, Ambo Dalle terus menambah ilmunya, terutama dalam ilmu agama. Ia pun belajar kepada ulama-ulama asal Wajo yang merupakan alumni Makkah, seperti H Syamsudin dan Sayyid Ali al-Ahdal. Para ulama asal Wajo ini bermaksud membuka pengajian di kampung halaman mereka.

Merintis madrasah
Salah seorang guru Ambo Dalle, yakni Gurutta H As'ad, suatu ketika menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata, jawaban Ambo Dalle dianggap yang paling tepat dan benar. Maka, sejak saat itu, ia diangkat menjadi asisten dan mulai meniti karier mengajar serta secara intens menekuni dunia pendidikan.
Berkat kerja sama antara Gurutta H As'ad dan Ambo Dalle, pengajian itu bertambah maju. Hal tersebut terdengar sampai ke telinga Raja Wajo saat itu, Arung Matoa Wajo. Arung Matoa Wajo pun memutuskan mengadakan peninjauan langsung ke tempat pengajian milik Gurutta H As'ad. Dalam kunjungannya, Raja Wajo ini meminta agar Gurutta H As'ad membuka sebuah madrasah yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah setempat. Gayung bersambut. Maka, tak lama kemudian, dimulailah pembangunan madrasah.
Madrasah yang dibangun ini menyelenggarakan jenjang pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD), dan tsanawiyah (SMP). Lembaga pendidikan itu diberi nama Al-Madrasah al-Arabiyah al-Islamiyah (disingkat MAI) Sengkang. Lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan Gurutta H As'ad bin Abdul Rasyid dan ulama lainnya. Dalam waktu singkat, popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasah) menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.
Selanjutnya, atas izin sang guru, Ambo Dalle pindah dan mendirikan MAI di Mangkoso pada 29 Syawal 1356 H atau 21 Desember 1938. Mulai saat itulah, ia mendapat kehormatan penuh dari masyarakat dengan gelar Gurutta Ambo Dalle. MAI Mangkoso ini kelak menjadi cikal bakal kelahiran organisasi pendidikan keagamaan bernama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI).
Sementara itu, sepeninggal Gurutta H As'ad, MAI Sengkang diubah namanya menjadi Madrasah As'adiyah. Perubahan nama tersebut sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Gurutta H As'ad.
Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah yang dipimpin oleh Ambo Dalle ini sangat pesat. Hal ini terbukti dengan banyaknya permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang MAI Mangkoso. Untuk merespons permintaan itu, dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.

Zaman Jepang
Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena Pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah.
Untuk mengatasi masalah ini, Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia pun mengambil inisiatif. Pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca pada bagian pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu, pada malam hari dilarang menggunakan lampu.
Bukannya sepi peminat, justru siasat yang dilakukan Ambo Dalle ini mengundang masyakarat sekitar untuk mendaftarkan anak-anak mereka belajar di madrasah milik Ambo Dalle. Bahkan, cara yang ditempuhnya ini membuat madrasah tersebut luput dari pengawasan Jepang. berbagai sumber ed:sya

Membangun Benteng Tauhid
Setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok Tanah Air.
Melihat kondisi ini, Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang nyaris terbengkalai. Ia sadar, selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dalam kolonialisme selama berabad-abad.
Namun, usaha yang dirintis Ambo Dalle ini sempat mengalami kendala ketika terjadi Peristiwa Korban 40 Ribu Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara sekutu (NICA) di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat Sulawesi Selatan yang dituduh sebagai ekstremis.
Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso. Banyak santri, yang ditugaskan oleh Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat beliau untuk mengembangkan MAI.
Bahkan, dalam situasi seperti itu, bersama beberapa ulama alumni MAI Sengkang, ia mengadakan pertemuan alim ulama se-Sulawesi Selatan di Watang Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 H/7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati pembentukan organisasi yang diberi nama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. Ambo Dalle kemudian ditunjuk sebagai ketua dan Anregurutta HM Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi.
Meski disibukkan memimpin organisasi dan madrasah, Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH Fakih Usman dari Departemen Agama (Depag) Pusat dipercayakan oleh Pemerintah RI untuk membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama wilayah Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakannya dengan baik. Kepala Depag yang pertama diangkat adalah KH Syukri Gazali, sedangkan Ambo Dalle diangkat menjadi kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Pare Pare pada 1954.
Menurut Prof KH Ali Yafie, salah seorang santri Ambo Dalle, apa yang telah dilakukan oleh gurunya itu selama berpuluh-puluh tahun di bumi Bugis pada khususnya dan bumi Sulawesi pada umumnya adalah sebuah gerakan pembaruan membangun benteng tauhid. Dengan kata lain, yang dikembangkan Ambo Dalle melalui program dakwah, pendidikan, sosial, dan kebudayaan tersebut sesungguhnya bagian dari jihad, ijtihad, dan mujahadah untuk membangun 'budaya tauhid'.
Keteguhan sikap Ambo Dalle tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang ia lalui dalam perjalanan hidupnya. Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Pare Pare tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu, dia berpesan kepada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.

Kitab karyanya
Sebagai seorang ulama, Ambo Dalle banyak mengupas berbagai persoalan yang menyangkut hampir semua cabang ilmu agama dalam karya-karya tulisnya. Di antaranya adalah tasawuf, akidah, syariah, akhlak, balaghah, dan mantik. Semua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku.
Salah satu karyanya yang dikenal luas adalah kitab Al-Qaulu as-Shadiq fi Ma'rifati al-Khalaqi yang memaparkan perkataan yang benar dalam mengenali Allah SWT dan tata cara pengabdian terhadap-Nya. Menurutnya, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya.
Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekal akal logika, tapi juga dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makrifat kepada Allah. Meskipun, harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah SWT. Dalam berzikir, harus dilakukan sesuai dengan dalil-dalil naqli (Alquran dan hadis). Yakni, dilakukan dengan hati, istikamah, dan tidak boleh goyah.
Pendirian dan sikap akidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri atas tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah.
Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushul-nya tertulis dalam kitab Tanwiru at-Thalib, Tanwiru at-Thullab, dan Irsyadu at-Thullab. Ilmu balaghah (sastra dan paramasastra) dibahas dalam karyanya yang berjudul Ahsanu al-Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya'i, yang menerangkan kosakata dan cara penyusunan kalimat bahasa Arab. Kitab Sullamu al-Lughah menerangkan kosakata, percakapan, dan bacaan.
Beliau juga mengarang pedoman berdiskusi dalam bahasa Arab, yakni kitab Miftahu al-Muzakarah dan tentang ilmu mantik (logika) dalam kitab Miftahu al-Fuhum fi al-Mi'yarif Ulum.

Sumber: www. Republika.co.id



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Kamis, 05 April 2012

The Qur’anic Exegesis in Bugis Language: Locality and Universality in Daud Ismail’s interpretation


oleh: Sulaiman Ibrahim;
This study argues that the more localized interpretation the easier for ordinary people to understand the intent and purpose of the Qur’an. Form of interpretation that utilizes the language of local community facilitates more access to the Qur'an in terms of comprehension and implementation.
This is evidenced by the Qur’anic exegesis by Daud Ismail who presented the arrangement and style of interpretation by using Bugis language which is more easily accepted and understood by Bugis community. This was a response to the fact that many Qur’anic interpretation mostly uses Arabic language that contains technical terms related to science of balaghah, nah}wu, s}arf, that sometimes confuses the readers who are not familiar with Arabic and Qur’anic science.
This dissertation confirms the argument of Muh}ammad al-Fa>dil ibn A<shu>r in al-Tafsi>r wa Rijāluhu>, that an explanation or interpretation of the Qur’an should uses a language which is easily understood by the community. Indeed, this is in accord with the verse: وماأرسلناك من رسول إلا بلسان قومهم ليبين لهم.
This research is a qualitative one by using interpretive approach. The main source of this dissertation is based on Daud Ismail’s Tafsīr al-Munīr. In attempt to analyze the methodology aspect, it draws on several books of ‘Ulūm al-Qur'an and interpretation (tafsi>r), be it classic or modern one. The data is analyzed with standard interpretation science (‘ilm tafsir) that comprises interpretation method and content analysis. This study uses discourse analysis theory to understand the interpretation while employing interpretation approach to analyze the existing data.

Minggu, 14 Agustus 2011

Anre Gurutta Daud Ismail: Mujahid Dakwah dari Soppeng

Anre Gurutta adalah sebutan bagi sosok yang alim dan tokoh panutan dalam tradisi masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan. Gelar ini hanya disematkan kepada sosok yang disegani, Daud Ismail adalah salah satunya. Pejuang dakwah di tanah Bugis ini mendapatkan gelar dari masyarakat sebagai Anre Gurutta Haji (AGH). Daud Ismail adalah sosok ulama yang ikut mendirikan Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) bersama almarhum AGH Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH Muhammad Abduh Pabbajah serta ulama sunni lainnya. Ia juga dikenal sebagai ulama tafsir melalui karya terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Bugis.
Daud Ismail Lahir di Cenrana Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng tahun 1907, buah perkawinan dari pasangan H Ismail dan Hj Pompola. Setelah mengenyam pendidikan dasar di rumahnya, Daud Ismail melanjutkan belajar ke pesantren-pesantren yang ada di Sengkang.
Sejak kecil, ia dikenal sebagai sosok yang cerdas serta gemar belajar secara outodidak. Terutama ketika belajar mengenal aksara Lontara dan Latin. Kendati demikian, ia tetap menempuh pendidikan formal di Madrasatul Arabiyah Al-Islamiyah (MAI) pada tahun 1930. Selama belajar di Sengkang, ia merasakan banyak kemajuan khususnya dalam menguasai kunci ilmu-ilmu agama. Misalnya, Ilmu Qawaid, Ilmu `Arudh, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Manthiq dan lain-lainnya.
Karena prestasinya yang menonjol, Daud Ismail ditugaskan gurunya, Anre Gurutta As`ad untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Sejak saat itulah, orang-orang mulai memanggilnya Gurutta, panggilan kehormatan setingkat di bawah Anre Gurutta. Perhatian Anre Gurutta As`ad begitu tinggi kepada muridnya itu. Hal ini terbukti dengan pengawasan yang ketat terhadapnya, bahkan ia tidak diizinkan meninggalkan pesantren, hingga memasuki masa sulit ketika harus meninggalkan Sengkang.
Saya merasakan memang agak lain waktu saya belajar pada Gurutta Sade –panggilan akrab bagi Anre Gurutta Muhammad As`ad- dibanding waktu saya belajar di tempat lain,” demikian kenang Gurutta Daud Ismail tentang gurunya ini.

Wasiat sang guru
Tahun 1942, pecah perang dunia II. Masa ini adalah waktu tersulit yang dialami Daud Ismail. Kondisi tersebut membuatnya terpaksa meninggalkan Sengkang untuk kembali ke kampung halamannya di Soppeng. Salah satu cobaan beratnya adalah ketika istrinya meninggal dunia.
Tidak mau larut dalam kesedihan, di tahun itu juga ia mengajar di Madrasatul Amiriyah Watang Soppeng menggantikan Sayyed Masse. Tapi ia tidak bertahan lama, karena gerakannya dibatasi oleh Nippon dan adanya latihan menjadi tentara Jepang (PETA). Selain mengajar, ia juga diangkat sebagai Imam Besar di Lalabata, Soppeng dan sempat menjadi guru pribadi bagi keluarga Datu Pattojo, pada tahun 1944. Karena diakui sebagai seorang ulama yang berilmu luas dan mendalam, Daud Ismail diangkat sebagai Qadhi (hakim) di Kabupaten Soppeng pada tahun 1947 hingga tahun 1951.
Antara tahun 1951-1953, Daud Ismail menjabat sebagai pegawai di bidang kepenghuluan di Kantor Departemen Agama Kabupaten Bone. Sejak saat itu, ia mulai biasa disapa sebagai Anre Gurutta. Sepeninggal sang guru Anre Gurutta As‘ad tahun 1952, Daud Ismail diminta oleh para pemuka masyarakat Wajo dan sesepuh MAI untuk melanjutkan pembinaan madrasah yang ditinggalkan As‘ad. Pada tahun 1953 nama MAI diubah menjadi Madrasah As‘adiyah sebagai penghormatan dan penghargaan kepada Anre Gurutta As‘ad.
Wasiat dari sang guru ia jalankan, meski harus meninggalkan status pegawai negerinya. Namun Daud Ismail hanya memimpin MAI Sengkang selama 8 tahun. Karena adanya desakan dari Soppeng agar ia kembali membina madrasah di daerahnya. Apalagi saat itu merasa sudah ada kader-kader ulama yang dapat menggantikan Anre Gurutta Daud Ismail.
Sekembalinya ke Soppeng, ia mendirikan sekaligus mengetuai Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB) dan membuka Madrasah Muallimin pada tahun 1967. Pada masa ini ia diangkat kembali menjadi Qadhi yang kedua di Soppeng. Ia juga pernah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Soppeng tahun 1993-2005.

Menulis kitab
Sebagai suku yang dikenal kental dengan keagamaan dan taat menjalankan ajaran Islam, masyarakat Bugis sangat bergantung pada pengetahuan yang mereka peroleh dari al-Qur‘an, sehingga tafsir al-Qur‘an memegang peranan penting dalam kehidupan keagamaan mereka. Karena itulah, Daud Ismail menulis sebuah karya tafsir berbahasa Bugis. Maksudnya agar memudahkan masyarakat Bugis mengakses dan memahami Kitab Suci tersebut. Selain agar aksara Lontara, yaitu huruf abjad bahasa Bugis, tidak lekas punah. Karya lain yang pernah ditulis Daud Ismail antara lain Ashshalatu Miftahu Kulli Khair dan Carana Puasae, kitab-kitab ini ditulis dalam bahasa Bugis.
Daud Ismail memimpin Pesantren YASRIB hingga ajal menjemput dalam usia 99 tahun. Tepatnya pada hari Senin 21 Agustus 2006 sekitar pukul 20.00 Wita, setelah sempat dirawat selama tiga pekan, di Rumah Sakit Hikmah, Makassar. Semoga Allah SWT meridhai perjalanannya. Amin.   (FATHURROJI/MG)
(Sumber majalahgontor.co.id)

Kamis, 28 Juli 2011

Pesantren (Madrasah) of South Sulawesi in 20th Century

 Pesantrens are important social and educational institutions, which contribute to the perpetuation and adaptation of the Indonesian Muslim tradition either in local, national and even international spheres. Historically, these institutions have acted as agents of social change within the cultural fabric of society. According to Salim (2001), at least three factors contribute to the importance of pesantren. First, pesantren is instrumental in the development of Muslim tradition. Pesantrens traditionally provide legitimation for rural society and they are acknowledged as cultural symbols and effective media that influence social change. Second, studies on pesantren are rarely conducted either by local or Western scholars. In this sense, Abdurahman Wahid believes that there is a misunderstanding of the role of pesantren due to a lack of serious research and studies. Therefore, scientific research on the one hand must endeavor to give a real description of the strengths and potential of pesantren to enforce change, on the other; it may offer constructive criticism of the role of pesantren. Third, the pesantren tradition is not static but dynamic as it preserves the continuity of tradition and accepts changes.
In the 20th century, pesantren with its traditional teaching methods and system faced crucial challenges not only from the modern education system introduced by the Dutch but also from Muslim community, which began to adopt modern educational systems. Some pesantrens such As’adiyah (Sengkang), DDI (Mangkoso, Parepare, Pinrang), Hasan al-Yamani (Polmas), deal with Islamic education and greatly contribute to the enhancement of the national educational program. This pesantren attracted many santris both from local community and from outside of the South Sulawesi province. There have been many students who came from different regions of South Sulawesi such as Wajo, Soppeng, Bone, Sidrap, Maros, Luwu-Palopo, Gowa, Jeneponto and many others. The students of this pesantren also come from different provinces such as East Kalimantan, South East Sulawesi, Central Sulawesi, Southeast Nusatenggara (NTT), Riau and Jambi.
In Java and South Sulawesi, however, the strength of an Islamic education is not found in madrasah (religious school) as in most Islamic countries, but in the pesantren system. Unlike most pesantrens in Java, which are owned by the kiyai, most pesantrens in South Sulawesi are not owned by a kiyai but by the Islamic community around the pesantren. There are some reasons: First, the intellectual chain of Ulama is not limited to certain family. Second, the Gurutta (kiyai) him self does not want to own that pesantren due to this pesantren for him is a merely a tool of ibadah. Third, most pesantren are donated by the local Government and Muslim community.
Gurutta H. M. As’ad al-Buqisy established Pesantren As’adiyah in 1930 and played a decisive role in the emergence of some well-known pesantren and religious leaders in South Sulawesi. They are Pesantren Yastrib established by Gurutta H. Daud Ismail (Soppeng), Pesantren DDI by H. Abdul Rahman Ambo Dalle (Mangkoso, Parepare, Pinrang), Pesantren al-Furqan by H. Muh. Abduh Pabbajah (Parepare), Pesantren Ma’had al-Hadith by H. Junaid Sulaiman (Bone), Pesantren Al-Urwah al-Wutsqa by H. Abdul Muin Yusuf (Sidrap). , and the Pesantren Nurul al-Junaidiyah by H. Abdul Azis (Luwu Utara).
One of the unique features of Indonesia since its independence in 1945 is that the country has adopted a dual system of education. Even though, the Indonesian government has developed modern secular education however, the government also believes that the traditional Islamic education such as Pesantren and Madrasah that has evolved over many centuries must not be abolished or neglected.


Minggu, 08 Mei 2011

Pesantren of South Sulawesi in 20th Century


              Pesantrens are important social and educational institutions, which contribute to the perpetuation and adaptation of the Indonesian Muslim tradition either in local, national and even international spheres. Historically, these institutions have acted as agents of social change within the cultural fabric of society. According to Salim (2001), at least three factors contribute to the importance of pesantren. First, pesantren is instrumental in the development of Muslim tradition. Pesantrens traditionally provide legitimation for rural society and they are acknowledged as cultural symbols and effective media that influence social change. Second, studies on pesantren are rarely conducted either by local or Western scholars. In this sense, Abdurahman Wahid believes that there is a misunderstanding of the role of pesantren due to a lack of serious research and studies. Therefore, scientific research on the one hand must endeavor to give a real description of the strengths and potential of pesantren to enforce change, on the other; it may offer constructive criticism of the role of pesantrenThird, the pesantren tradition is not static but dynamic as it preserves the continuity of tradition and accepts changes.[1]
              In the 20th century, pesantren with its traditional teaching methods and system faced crucial challenges not only from the modern education system introduced by the Dutch but also from Muslim community, which began to adopt modern educational systems. Some pesantrens such As’adiyah (Sengkang), DDI (Mangkoso, Parepare, Pinrang), Hasan al-Yamani (Polmas), deal with Islamic education and greatly contribute to the enhancement of the national educational program. This pesantren attracted many santris both from local community and from outside of the South Sulawesi province. There have been many students who came from different regions of South Sulawesi such as Wajo, Soppeng, Bone, Sidrap, Maros, Luwu-Palopo, Gowa, Jeneponto and many others. The students of this pesantren also come from different provinces such as East Kalimantan, South East Sulawesi, Central Sulawesi, Southeast Nusatenggara (NTT), Riau and Jambi.[2]
              In Java and South Sulawesi, however, the strength of an Islamic education is not found in madrasah[3] (religious school) as in most Islamic countries, but in the pesantren system. Unlike most pesantrens in Java, which are owned by the kiyai, most pesantrens in South Sulawesi are not owned by a kiyai but by the Islamic community around the pesantren. There are some reasons:  First, the intellectual chain of Ulama is not limited to certain family. Second, the Gurutta (kiyai) him self does not want to own that pesantren due to this pesantren for him is a merely a tool of ibadah. Third, most pesantren are donated by the local Government and Muslim community.
              Gurutta H. M. As’ad al-Buqisy established Pesantren As’adiyah in 1930 and played a decisive role in the emergence of some well-known pesantren and religious leaders in South Sulawesi. They are Pesantren Yastrib established by Gurutta H. Daud Ismail (Soppeng), Pesantren DDI by H. Abdul Rahman Ambo Dalle (Mangkoso, Parepare, Pinrang), Pesantren al-Furqan by H. Abd. Pabbaja (Parepare), Pesantren Ma’had al-Hadith by H. Junaid Sulaiman (Bone), Pesantren Al-Urwah al-Wutsqa by H. Abdul Muin Yusuf (Sidrap).[1], and the Pesantren Nurul al-Junaidiyah by H. Abdul Azis (Luwu Utara).
              One of the unique features of Indonesia since its independence in 1945 is that the country has adopted a dual system of education. Even though, the Indonesian government has developed modern secular education however, the government also believes that the traditional Islamic education such as Pesantren and Madrasah that has evolved over many centuries must not be abolished or neglected.





[1]Muhammad Yunus Pasanreseng, Sejarah Berdirinya Pesantren As’adiyah (Sengkang: Adil, 1992), p. 15-34.


[1] Hairus Salim H.S, editorial introduction in Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esei-esei Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001), p. ix

[2] Madrasah is derived from Arabic means a palce of study. Madrasah is basically religious scholl which is different from public scholl.  The first madrasah, madrasah nizamiyah, was established by Nizam al-Mulk in 457 H. In this sense, madrasah (religious school) is a place to study religious matters, which has certain curriculum. See, H. Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkenbangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), p. 60.

[3] Madrasah is derived from Arabic means a palce of study. Madrasah is basically religious scholl which is different from public scholl.  The first madrasah, madrasah nizamiyah, was established by Nizam al-Mulk in 457 H. In this sense, madrasah (religious school) is a place to study religious matters, which has certain curriculum. See, H. Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkenbangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), p. 60.

Minggu, 17 April 2011

Diplomasi Ala Bugis…

Oleh: M. Yusuf Kalla

Sebelum saya menjabat sebagai WAPRES, karakter dan watak orang Bugis sangat jarang yang mengenalnya di belahan nusantara ini. Bahkan ada banyak pendapat yang keliru dan menyangka orang bugis adalah bangsa yang keras dan tidak pernah kenal kompromi. Ini jika melihat dari sejarah banyak yang menganggap bahwa orang bugis adalah bajak laut pada masa silam. Anggapan ini sungguh tidak berdasar dan keliru.

Orang bugis sebenarnya mempunyai cirri khas yang menarik. Dari sejarahnya kerajaan bugis didirikan bukan pada pusat-pusat ibu kota dan sangat jauh dari pengaruh India. Itulah sebabnya di Bugis tidak ada candi. Ini berbeda dengan kerajaan jawa yang mebangun pusat kerajaannya pada ibu kota dan bersifat konsentris.

Namun demikian, orang bugis sudah terkenal memiliki kebudayaan, mereka memiliki tradisi lisan maupun tulisan. Bahkan orang bugis memiliki salah satu epos terbesar di dunia yang lebih panjang daripada epos Mahabarata yakni cerita tentang lagaligo yang sampai saat ini sering dibaca dan disalin ulang dan menjadi budaya yang mengakar pada masyarakat bugis.

Bagi suku-suku lain, orang Bugis sering dianggap sebagai orang yang berkarakter keras dan sangat

menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu demi kehormatan, orang bugis bersedia melakukan kekerasan. Namun dibalik sifat itu semua, sebenarnya orang bugis adalah orang yang sangat ramah, menghargai orang lain dan menjunjung tinggi kesetiakawanan, bahkan bersedia menjadi bumper demi kesetiakawanan. (itulah mungkin sebabnya mengapa Golkar pada masa pemerintahan SBY-JK sering menjadi Bumper karena ia dipimpin oleh seorang yang sangat berwatak bugis).

Meskipun sebagai bangsa perantau, orang bugis selalu membawa identitas bugisnya di mana mana. Beberapa orang-orang di singapura dan Malaysia meskipun sudah menjadi warga Negara sana, dan mereka sudah bergaya hidup modern tapi mereka selalu mengaku sebagai orang Bugis meskpiun sudah merupakan keturunan yang kesekian dan belum pernah menginjak tanah bugis.

Begitu juga dengan saya, selama terjun ke dunia politik saya tidak pernah melepas karakter bugis saya yang blak-blakan, dan sering dianggap kurang santun bagi mereka yang sangat menghargai etiket. Tapi itulah saya, saya sering mengatakan kepada teman-teman, jangan paksa saya jadi orang jawa. Menjadi orang bugis dan berkarakter keras kadang berguna juga. Waktu menyelesaikan kasus ambalat untuk pertama kalinya, saat itu saya menggunakan gaya diplomasi ala Bugis yang anda tidak dapatkan dalam literature strategi diplomasi. Waktu itu saya ke Malaysia bertemu dengan Perdana Menteri yaitu Najib. Saat itu ia ditemani oleh 5 Menteri dan saya juga ditemani oleh 5 Menteri plus Dubes kita. Saat pertemuan itu

saya bilang ke Najib “ Najib…Ambalat itu masalah sensitive, itu bisa membuat kita perang. Kalau kita perang, belum tentu siapa yang menang. Tapi satu hal yang mesti you ingat, di Malaysia ini ada 1 juta orang Indonesia, 1000 orang saja saya ajari Bom, dan mereka Bom ini gedung-gedung di Malaysia maka habislah kalian”

Saat itu pak Najib kaget, dia sadar sebagai sesama Bugis, ancaman saya bukan hanya gertakan belaka. Dia bilang ke saya “pak Jusuf, tidak bisa begitu”

Saya bilang ke dia “makanya mari kita berunding, terus terang saya kadang tidak suka sama you punya Negara, Buruh-buruh Ilegal dari Indonesia ditangkapi kayak binatang, sedangkan majikannya tidak

ditangkap, padahal kalau ada buruh Ilegal maka tentu ada juga majikan illegal. Setiap ada Ilegal loging pasti orang Malaysia yang ambil, begitu ada kebakaran hutan mereka marah-marah, padahal hampir sepanjang tahun mereka menghirup udara segar yang dihasilkan oleh hutan-hutan di Indonesia, satu bulan saja ada kabut asap mereka marah marah. Dan juga setiap ada ledakan Bom di Indonesia selalu orang Malaysia dalangnya”

Waktu itu Pak Dubes langsung bisiki saya “Pak, Ini sepertinya sudah melewati batas diplomasi”

Saya langsung bilang ke dia “kau kan Dubes, yah sudah kau perbaikilah mana yang lewat”

Setelah itu, untuk menunjukkan ketidak sukaan saya kepada Malaysia saya menolak menginap di Kuala

Lumpur, saya bilang saya mau menginap di kampong Bugis di Johor sana. Akhirnya pak Najib ikut juga saya ke sana. Di atas mobil, dalam perjalanan menuju Johor Pak Najib Bilang ke saya “ Kayaknya bapak terlalu keras tadi waktu berunding”

Saya cuman bilang ke dia “kamu kan juga orang Bugis, kenapa kau tidak keras juga tadi?” mendengar itu dia cuman ketawa saja.

Malamnya di Johor, kita makan malam dan nyanyi-nyanyi, mengundang Siti Nurhaliza, sampai jam 1 malam dan kita ngantuk. Keesokan paginya kita main golf, dan saat itu juga masalah Ambalat selesai. Dengan gaya Diplomasi ala Bugis, saya tidak perlu memakai bahan yang sudah disiapkan oleh DEPLU semua spontanitas saja. Dan sampai sekarang kalau ada tentara Malaysia datang lagi di Ambalat, saya tinggal telpon Najib “Hey Najib, jangan lagi kau kirim, you punya tentara ke Ambalat, kita bisa perang nanti”

Demikan juga waktu saya menyuruh EXXON supaya angkat kaki dari Blok Natuna. Waktu itu saya dikejar oleh orang-orang EXXON mereka mau melobi. Tapi saya selalu menolak ketemu dan menghindar. Saya ke Riyadh, mereka mau nyusul ke sana, saya ke Jedah mereka mau datang, tapi saya tolak karena saya mau ibadah dan sampai di belahan bumi manapun mereka kejar saya. Akhirnya waktu itu Di Makassar karena melihat kegigihan mereka, saya suruh mereka datang. Dan datanglah itu Chairman Exxon mereka 4 oran

g dan saya hanya ditemani oleh Sekretaris saya.

Saat pertemuan di Hotel Sahid Makassar, orang Exxon bilang ke saya, “Mr.Vice President, anda kalau membatalkan kontrak dengan EXXON, maka besok akan saya SU”

Saya langsung pukul meja saya dan bilang ke dia “kalau kau berani SU, maka saya akan SU kau 10 kali, Its

my country, not your country, jangan kau datang ke sini mau ancam-ancam saya”.

Saat itu dia langsung minta maaf. Dan saat itu Blok Natuna kembali ke tangan kita pengelolaannya,

meskipun pada akhirnya lepas lagi ke EXXON karena wewenang saya dicabut dan control tidak lagi berada di tangan saya. Apa pun itu, untuk kehormatan bangsa, kita jangan mau didikte oleh bangsa lain, kalau mereka keras, maka kita balas lebih keras lagi. Jangan pernah takut kita akan dibuat susah dan macam-macam. Selama kita yakin Tuhan selalu bersama kita, maka bangsa lain tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadap kita.
(Sumber: kompasiana.com)