Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Rabu, 09 Januari 2013

AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (2)

Menimba Ilmu di SengkangPada 1927, ketika Anre Gurutta H Muhammad As’ad pulang dari Tanah Suci dan mendirikan pesantren, Daud Ismail muda kembali lagi ke Sengkang.

Di sana, ia menjadi santri angkatan kedua setelah Anre Gurutta H Abdurrahman Ambo Dalle. Sosok inilah yang kemudian menjadi salah satu ulama besar di Bugis.

Selama menimba ilmu di Sengkang, Daud Ismail memperoleh banyak pengetahuan, utamanya dalam hal ilmu-ilmu agama. Sebut saja, ilmu qawaid, arodi, ushul fiqih, mantiq, dan lain-lain.

Berbekal ilmu dari Sengkang inilah Daud Ismail kemudian mulai mengajar. Pada tahap awal, ia mengajar di tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah.

Kembali ke SoppengKetika Perang Dunia II pecah pada 1942, Daud Ismail meninggalkan Sengkang. Ia kembali ke kampung halamannya di Soppeng. Di tempat inilah istri pertama, Hajah Marellung, yang dinikahinya pada 1932, meninggal dunia.

Dari istri pertama, ia mendapatkan dua orang putra. Tak lama setelah itu, Daud Ismail menikahi Hj Salehah. Dari istri kedua, ia tak mendapatkan anak. Di rentang waktu itu, ia kemudian menikah untuk kali ketiga. Perempuan pendampingnya adalah Hj Farida yang memberikan tiga orang anak.

Pada pertengahan 1940-an, Daud Ismail diminta mengajar di al-Madrasatul Amiriyah Watang Soppeng. Panggilan itu datang dari Datu Pattojo pada 1944. Setahun berikutnya, Daud Ismail diangkat menjadi Qadhi Soppeng. Ia diminta menggantikan Sayyed Masse.

Peran ini dijalaninya selama enam tahun hingga terbentuknya Departemen Agama Kabupaten Bone pada 1951 yang membawahi wilayah Soppeng. Pada 1961, ia mendirikan Pondok Pesantren YASRIB di Soppeng. Di tempat ini pula, ia membuka Madrasah Muallimin sekaligus diangkat sebagai qadhi untuk kali kedua.

Segala ikhtiar yang dilakukan AGH Daud Ismail untuk mengabdikan ilmu kepada masyarakat akhirnya menemukan jalan pengujung.

Ia menutup mata untuk selamanya di Rumah Sakit Hikmah Makassar pada usia 99 tahun. Ia pergi dengan tenang ketika azan Isya lepas berkumandang pada 21 Agustus 2006.



 Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/08/mgahb6-agh-daud-ismail-penerjemah-alquran-ke-bahasa-bugis-2


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (4-habis)


Tafsir al-Munir, Sebuah MahakaryaAGH Daud Ismail memang dikenal gemar menulis. Sejumlah kitab pun dihasilkannya. Salah satunya, yang dianggap sebagai mahakarya ulama Bugis ini adalah “Kitab Tafsir al-Munir”.

Kitab tafsir Alquran 30 juz ini ditulis dalam bahasa Bugis dan telah dicetak serta disebarkan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Bugis. Kitab ini merupakan salah satu dari sembilan karya ulama besar kelahiran Soppeng ini.

Delapan karya lainnya adalah Riwayat Hidup AG Kyai Haji Muhammad As’ad (Gurutta Sade) yang ditulis dalam tiga bahasa, yakni Bugis, Indonesia, dan Arab, kemudian Pengetahuan Dasar Islam yang terdiri atas 3 jilid; Hukum Puasa; Hukum Shalat; Hukum Nikah; Kumpulan Khutbah Jumat; Kumpulan Doa-Doa; dan Fatwa-Fatwa.

Sulaiman Ibrahim, dosen tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo, dalam salah satu artikelnya menilai, Tafsir al-Munir berperan besar dalam memberikan pemahaman Alquran kepada masyarakat lokal.

Menurut Sulaiman, ada dua alasan yang membuat Daud Ismail mempergunakan bahasa Bugis dalam kitab Tafsir al-Munir. Pertama, kata dia, Daud Ismail berada di tengah masyarakat Bugis, tempat bahasa tersebut sangat dominan digunakan oleh masyarakat. “Sehingga, karyanya lebih mudah dipahami oleh masyarakat setempat,” tulisnya.

Pertimbangan kedua, usaha dari Daud Ismail ini menjadi jalan penting untuk melestarikan bahasa dan lontara (aksara) Bugis. “Adanya tafsir Alquran ini, memegang peranan penting dalam kehidupan keagamaan, terutama bagi suku Bugis,” kata Sulaiman.

Dalam pandangan Sulaiman, kehadiran kitab Tafsir al-Munir menjadi sangat penting mengingat perkembangan penafsiran Alquran di Indonesia berbeda dengan di dunia Arab.

Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial budaya, geografis, dan bahasa. “Dalam konteks itulah, kehadiran sebuah tafsir bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Bugis, sangat diperlukan,” pungkas Sulaiman.


Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/08/mgahkv-agh-daud-ismail-penerjemah-alquran-ke-bahasa-bugis-4habis

Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya


AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (3)

Anregurutta, Gelar KehormatanSuku Bugis umumnya berdiam di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.

Meski demikian, suku ini juga menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Dalam tradisi masyarakat Bugis, gelar Anregurutta dapat diibaratkan sebagai profesor di dunia akademik.

Meski demikian, seperti dijelaskan dalam situs resmi Nahdlatul Ulama, gelar Anregurutta bukanlah pemberian gelar akedemik, melainkan pengakuan yang timbul dari masyarakat atas ketinggian ilmu, pengabdian, dan jasa seseorang dalam dakwah keislaman.

Tak semua yang mengajar agama dipanggil sebagai Anregurutta, bergantung pada tingkat keilmuannya. Selain itu, masyarakat Bugis juga meyakini adanya kelebihan yang dimiliki Anregurutta, yakni berupa karomah, dalam bahasa Bugis disebuti makarama.

Para mubalig, meski memiliki pengetahuan keislaman cukup luas, belum tentu disebut Anregurutta. Banyak di antara mereka yang tetap dipanggil ustaz. Mereka dianggap mampu membawakan khutbah dan ceramah di masyarakat, namun belum bisa dijadikan rujukan bertanya mengenai berbagai masalah keagamaan.

Sementara itu, Anregurutta biasanya dijadikan tempat bertanya tentang berbagai masalah keagamaan dan kehidupan secara umum.

Nah, salah satu pejuang dakwah di Tanah Bugis yang mendapat gelar Anregurutta adalah Daud Ismail. Dialah sosok ulama besar yang berperan penting dalam pengembangan syiar Islam di Sulawesi Selatan.



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

AGH Daud Ismail, Penerjemah Alquran ke Bahasa Bugis (1

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi masyarakat Bugis, Anregurutta Haji (AGH) Daud Ismail mengukir jasa besar yang tak bisa dilupakan.

Jasa yang tak akan terlupa itu adalah usahanya menerjemahkan dan menafsirkan 30 juz Alquran ke dalam bahasa Bugis.

Rasanya, inilah puncak pencapaian AGH Daud Ismail sebagai ulama besar yang pernah lahir di Sulawesi Selatan.

“Penulisan tafsir Alquran 30 juz di Indonesia masih terbilang langka. Kalaupun ada, biasanya hanya ditulis oleh orang yang tidak sembarangan,” tulis Sulaiman Ibrahim, dosen tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Lokalitas Tafsir Bahasa Bugis: Telaah atas Metodologi Tafsir Anre Gurutta Daud Ismail”.

AGH Daud Ismail terlahir di Soppeng pada 30 Desember 1908. Ia adalah putra dari pasangan H Ismail bin Baco Poso dan Hj Pompola binti Latalibe. Dari 11 bersaudara, ia adalah anak bungsu dan satu-satunya anak lelaki.

Ayahnya dikenal sebagai khatib di Distrik Soppeng. Sang ayah memiliki panggilan lain Katte’ Maila (Ismail). Orang tua Daud Ismail juga dikenal sebagai guru mengaji Alquran di Desa Cenrana. Rupanya, darah mengajar dari orang tuanya itulah yang mengalir deras dalam diri Daud Ismail.

Selain menafsirkan dan menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Bugis, AGH Daud Ismail juga berjasa besar mendirikan Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB) yang di dalamnya terdapat pesantren. Ia juga membuka Madrasah Muallimin pada 1967.

Semua pencapaian besar ini diraih melalui proses otodidak. Proses itu diawali dari hasil belajar Alquran kepada ayahnya sewaktu masih kecil di kampung. Selepas menimba ilmu di rumah, ia melanjutkan pendidikan ke pesantren di Sengkang.

Lalu, pada 1925- 1929, ia mulai mempelajari kitab qawaid di Lapasu Soppeng Riaja. Tempat ini berjarak sekitar 40 km dari kota Parepare. Di tempat ini, ia menimba ilmu dari ulama besar bernama Haji Daeng dan Qadhi Soppeng Riaja.


Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/08/mgagfm-agh-daud-ismail-penerjemah-alquran-ke-bahasa-bugis-1
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Jumat, 04 Januari 2013

Apakah Tuhan Menciptakan Kejahatan?


Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada? Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?

Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?” Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".

"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.

"Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."
Mahasiswa tadi terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"

"Tentu saja," jawab si Profesor

Si Mahasiswa berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"

"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Sang Mahasiswa menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata 'dingin' untuk mendeskripsikan ketiadaan panas."
Ia melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"

Profesor menjawab, "Tentu saja itu ada."
Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan di mana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata 'gelap' dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."
Akhirnya si mahasiswa bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."
Sang Mahasiswa menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak. Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih sayang Tuhan di hati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."
Si Profesor terdiam.

Mahasiswa itu adalah Albert Einstein.


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya