Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Tuhan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tuhan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Januari 2013

Apakah Tuhan Menciptakan Kejahatan?


Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada? Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?

Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?” Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".

"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.

"Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."
Mahasiswa tadi terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"

"Tentu saja," jawab si Profesor

Si Mahasiswa berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"

"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Sang Mahasiswa menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata 'dingin' untuk mendeskripsikan ketiadaan panas."
Ia melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"

Profesor menjawab, "Tentu saja itu ada."
Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan di mana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata 'gelap' dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."
Akhirnya si mahasiswa bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."
Sang Mahasiswa menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak. Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih sayang Tuhan di hati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."
Si Profesor terdiam.

Mahasiswa itu adalah Albert Einstein.


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Selasa, 30 Agustus 2011

Isra’ Mi’raj Perjalanan Keluar Dimensi Ruang Waktu

 
i
T. Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Untuk melengkapi tulisan saya sebelumnya Isra’ Mi’raj  (http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/04/28/isra-miraj-mujizat-salah-tafsir-dan-makna-pentingnya/)  dan tulisan terkait dengan “Tujuh Langit” di http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/05/10/tujuh-langit-tidak-berarti-tujuh-lapis/)  tentang bagaimana Isra’ Mi’raj dipahami secara sains, saya tuliskan juga ulasan tentang perjalanan seperti apa isra’ mi’raj itu.
Isra’ mi’raj jelas bukan perjalanan seperti dengan pesawat terbang antarnegara dari Mekkah ke Palestina dan penerbangan antariksa dari Masjidil Aqsha ke langit ke tujuh lalu ke Sudratul Muntaha. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan keluar dari dimensi ruang waktu. Tentang caranya, iptek tidak dapat menjelaskan. Tetapi bahwa Rasulullah SAW melakukan perjalanan keluar ruang waktu, dan bukan dalam keadaan mimpi, adalah logika yang bisa menjelaskan beberapa kejadian yang diceritakan dalam hadits shahih. Penjelasan perjalanan keluar dimensi ruang waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan bahwa itu sesuatu yang lazim ditinjau dari segi sains, tanpa harus mempertentangkannya dan menganggapnya sebagai suatu kisah yang hanya dapat dipercaya saja dengan iman.
Kita hidup di alam yang dibatas oleh dimensi ruang-waktu (x,y,z,t). Sehingga kita selalu memikirkan soal jarak dan waktu. Dalam kisah Isra’ mi’raj, Rasulullah bersama Jibril dengan wahana “buraq” keluar dari dimensi ruang, sehingga dengan sekejap sudah berada di Masjidil Aqsha. Rasul bukan bermimpi karena dapat menjelaskan secara detil tentang masjid Aqsha dan tentang kafilah yang masih dalam perjalanan. Rasul juga keluar dari dimensi waktu sehingga dapat menmbus masa lalu dengan menemui beberapa Nabi. Di langit pertama (langit dunia) – tujuh berturut-turut bertemu (1) Nabi Adam, (2) Nabi Isa dan Nabi Yahya, (3) Nabi Yusuf, (4) Nabi Idris, (5) Nabi Harun, (6) Nabi Musa, dan (7) Nabi Ibrahim. Rasulullah SAW juga ditunjukkan surga dan neraka, suatu alam yang mungkin berada di masa depan, mungkin juga sudah ada masa sekarang sampai setelah kiamat nanti.
Sekadar analogi sederhana perjalanan keluar dimensi ruang waktu adalah seperti kita pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar. Sekadar ilustrasi, dimensi 1 adalah garis, dimensi 2 adalah bidang, dimensi 3 adalah ruang. Bidang dengan mudah menggambarkan garis. Demikian juga ruang dengan mudah menggambarkan bidang. Tetapi dimensi rendah tidak akan sempurna menggambarkan dimensi yang lebih tinggi. Kotak berdimensi 3 tidak tampak sempurna bila digambarkan di bidang yang berdimensi 2.
Sekarang bayangkan ada alam berdimensi 2 (bidang) berbentuk U. Makhluk di alam “U” itu bila akan berjalan dari ujung satu ke ujung lainnya perlu menempuh jarak jauh. Kita yang berada di alam yang berdimensi lebih tinggi dengan mudah memindahkannya dari satu ujung ke ujung lainnya dengan mengangkat makhluk itu keluar dari dimensi 2, tanpa perlu berkeliling menyusuri lengkungan “U”.
Alam malaikat (juga jin) bisa jadi berdimensi lebih tinggi dari dimensi ruang waktu, sehingga bagi mereka tidak ada lagi masalah jarak dan waktu. Karena itu mereka bisa melihat kita, tetapi kita tidak bisa melihat mereka. Ibaratnya dimensi dua tidak dapat menggambarkan dimensi tiga, tetapi sebaliknya dimensi 3 mudah saja menggambarkan dimensi 2. Bukankah isyarat di dalam Al-Quran dan Hadits juga menunjukkan hal itu. Malaikat dan jin tidak diberikan batas waktu umur, sehingga seolah tidak ada kemarian bagi mereka. Mereka pun bisa berada di berbagai tempat karena tak dibatas oleh ruang.
Rasulullah bersama jibril diajak ke dimensi malaikat, sehingga Rasulullah dapat melihat bentuk Jibril dan malaikat lainnya dalam bentuk aslinya (baca QS 53:13-18). Rasul pun dengan mudah pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya, tanpa terikat ruang dan waktu. Langit dalam konteks istra’ mi’raj pun bukanlah langit fisik berupa planet atau bintang, tetapi suatu dimensi tinggi. Langit memang bermakna sesuatu di atas kita, dalam arti fisik maupun non-fisik.

Selasa, 04 Mei 2010

Tuhan Tempat Pelarian?

Oleh: Komaruddin Hidayat


TIDAK salah jika seseorang mendekat kepada Tuhan di kala duka,ketika tertimpa musibah berat. Bukankah Tuhan Maha Pengasih, Maha Penggembira,dan Maha Penolong? Namun pantaskah seseorang ingat dan mengiba kepada Tuhan hanya di kala duka, sementara di waktu senang tidak pernah mengingat, memuji, danberterimakasih? Cobasaja bayangkan dan analogikan dengan kehidupan sehari-hari.Seorang ibu yang penuh kasih tentu selalu berlapang dada menerima anak-anaknya yang dirundung masalah. Namun sungguh anak itu tidak bermoral dan akan dinilai durhaka ketika hidupnya senang lalu melupakan cinta dan hormatnya kepada ibu.
Demikianlah, dalam kehidupan beragama banyak terjadi perilaku serupa.Mereka rajin berdoa, bersembahyang, berumrah, dan bersedekah ketika dirundung masalah. Padahal,menurut sabda Rasulullah, doa yang didengar dan dikabulkan Tuhan itu adalah doa yang selalu dipanjatkan baik di kala suka maupun duka.Jadi,jangan keburu mengeluh Tuhan tidak peduli terhadap doa seseorang jika dia berdoa hanya di waktu duka. Di situlah salah satu rahasia kekuatan doa dan sembahyang yang dianjurkan agar dilakukan setiap hari.Bahkan perintah ingat kepada Tuhan adalah agar dilakukan kapan saja, di mana saja.Tuhan tidak mengenal birokrasi, baik yang menyangkut ruang maupun waktu,sehingga siapa pun dan dalam situasi apa pun bisa menjumpai Tuhan untuk mengadukan segala persoalan hidupnya.
Siapa pun bebas menjumpai Tuhan sebagaimana mereka juga bebas untuk berpaling dari Tuhan,bahkan mengingkari Tuhan. Di sinilah keunikan beragama dan di sini pula keluhuran serta kesucian kualitas manusia akan teruji. Dalam menghayati iman dan cinta kepada Tuhan,sesungguhnya seseorang tengah mengaktualisasikan kemerdekaannya yang paling tinggi dan tengah membebaskan diri dari dominasi egonya agar diganti dengan sifat-sifat Ilahi. Proses internalisasi sifat Tuhan inilah barangkali yang tersirat dalam doa: “Datanglah Kerajaan-Mu di hati ini dan berlakulah kerajaan- Mu di muka bumi.” Mengapa menghayati iman merupakan pembebasan diri? Sebab, pilihan untuk mencinta serta pasrah kepada Tuhan sebagai sumber segala kebaikan merupakan pilihan bebas, hasil sebuah pergulatan spiritual dan akal budi yang tak seorang pun bisa memaksa ataupun melarang.
Oleh karenanya saat dialog dengan Tuhan,sesungguhnya pada waktu yang sama seseorang juga melakukan dialog dengan diri sendiri. Adakah dialog itu dijiwai rasa syukur, rasa penyesalan, penuh permintaan ataukah datar-datar saja,semuanya itu akan berpulang pada kesadaran dan situasi batin seseorang. Dengan demikian,ketika seseorang berdoa atau tengah melakukan pengakuan dosa, semestinya juga disertai keinginan kuat untuk melakukan perbaikan diri karena kehendak dan karya Tuhan hanya berlaku pada mereka yang membuka dirinya bagi kehadiran Tuhan. Maka ketika makna dan fungsi agama dipahami dan dihayati tak lebih sebagai himpunan dogma tentang surga-neraka atau ketika ritual agama diyakini hanya sebagai ritus pemutihan dosa, bisa dipastikan agama akan kehilangan etos dan spiritnya bagi pembinaan pribadi dan perilaku sosial yang mendukung bagi terwujudnya peradaban unggul.
Doa-doa lalu berubah bagaikan mantra-mantra untuk mengobati frustrasi ataupun untuk mengejar pangkat dan mengawetkan jabatan.Tuhan lalu diposisikan sebagai pesuruh manusia, bukan ekspresi cinta dan kepasrahan. Dalam kaitan ini, tidak mengherankan jika para pejabat tinggi negara senang berkonsultasi kepada dukun ketimbang kepada psikiater karena ingin cepat naik pangkat dan tanpa kerja keras.Cukup dengan mantra-mantra. Dalam bentuknya yang lain, mantramantra itu berubah menjadi suap. Sebab,dengan keberagamaan kita yang seperti itu, nilai agama tidak banyak berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.(*)