Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Sabtu, 11 Juni 2011

Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-11 Tahun 2011

Call for Papers Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-11 Tahun 2011
Tanggal : 01/06/2011 11:56:00
Sumber : Diktis, Kementerian Agama

Dengan ini diberitahukan bahwa Direktorat Pendidikan Tinggi Islam akan menyelenggarakan Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-11 pada bulan Oktober 2011 di Bangka Belitung. Tema kegiatan adalah “Mozaik Islam, Ruang Publik dan Karakter Bangsa”. Untuk itu kami mengharapkan Saudara dapat berperan serta untuk menulis makalah yang akan dipresentasikan pada forum ACIS tersebut dari sisi kajian sosial, budaya, ekonomi, teologi, keagamaan, pendidikan, hukum, politik, gerakan keagamaan, sains, lingkungan hidup, gender dan lainnya.

Sebagai pedoman penulisan kami sampaikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Sub-sub tema yang dapat dikembangkan:

a. Mozaik Kebhinekaan Islam
· Islam dan Kebijaksanaan Lokal (local wisdom)
· Islam dan Pluralitas Masyarakat Dunia
· Kajian Sosiologis dan Teologis Keberagaman Islam
· Islam, Keindonesiaan, dan Kemanusiaan

b. Artikulasi Islam dalam Ruang Publik
· Publik dan Privat dalam Diskursus Keberagaman
· Ruang Publik dan Identitas Keberagaman
· Konflik Teologis dan Kekerasan Berlatar Agama
· Manajemen dan Resolusi Konflik dalam Islam

c. Islam dan Karakter Bangsa
· Islam dan Pendidikan Karakter Bangsa
· Membangun Karakter Bangsa yang Otentik
· Karakter Bangsa dan Globalisasi
· Peluang dan Tantangan Membangun Karakter Bangsa

2. Ketentuan Umum:
a. Tulisan berbasis pada kajian yang mendalam atau penelitian (bukan sekedar refleksi atau opini);
b. Tulisan belum pernah dipublikasikan dan atau dipresentasikan dalam seminar, workshop dan lainnya;
c. Memenuhi ketentuan penulisan umum.

3. Ketentuan Khusus;
a. Makalah ditulis antara 15 s.d. 20 halaman, format kertas ukuran A4, dan 1.5 spasi atau 18 exactly;
b. Margin kiri halaman 4 cm; Margin atas, kanan dan bawah 3 cm;

4. Makalah dalam bentuk soft-copy (berbentuk file: doc./docx./rtf. yang di-attach), diterima PANITIA ACIS XI TAHUN 2011 paling lambat tanggal 15 Agustus 2011 di alamat e-mail: acis.tahun2011@gmail.com (tidak melayani pengiriman dalam bentuk print-out);

5. Makalah terpilih akan diumumkan pada tanggal 12 September 2011. Bagi peserta yang dinyatakan terpilih akan diundang untuk mempresentasikan di forum Annual Conference on Islamic Studies (ACIS).

6. Bagi peserta terpilih disediakan fasilitas transportasi pulang-pergi dan akomodasi selama kegiatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Informasi lebih jelas dapat diakses di http://www.ditpertais.net dan http://www.kemenag.go.id atau menghubungi Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Tlp. 021-3812344 atau Sdr. Muhammad Zain (0812-80015175) atau Sdr. Mustakim (0812-9671234).

Surat undangan (call for papers) dapat dilihat di link di bawah ini.

1. Guru Besar

2. Dosen PTAI dan Pemerhati Kajian Keislaman

Minggu, 08 Mei 2011

Pembaruan Pendidikan Islam

oleh Prof Dr Azyumardi Azra MA

Sejak Peristiwa 11 September 2001 di WTC New York dan markas Pentagon Washington DC, pendidikan Islam menjadi sorotan banyak kalangan Barat. Pendidikan Islam, khususnya madrasah seperti di Afghanistan, Pakistan, dan Yaman, misalnya, mereka curigai sebagai tempat persemaian radikalisme dan 'Talibanisme' yang berujung pada terorisme.
Bagaimana lembaga, para pemangku kepentingan, dan pemerintah negara-negara Muslim merespons perkembangan tersebut? Apakah tekanan dalam dan luar negeri itu mendorong perubahan dan pembaruan pendidikan Islam?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjadi topik pembicaraan dalam Konferensi Reforms in Islamic Education yang diselenggarakan Pusat Kajian Islam Universitas Cambridge dan Universitas Edinburgh Inggris 9-10 April 2011. Konferensi menghadirkan pembahasan tentang berbagai aspek pendidikan Islam, baik di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Mesir, ataupun minoritas Muslim di Inggris, Jerman, Swiss, Belanda, Bosnis-Hercegovina, Swedia, Amerika Serikat, dan Kanada.
Pendidikan Islam jelas tidak seragam di berbagai kawasan dunia tersebut; dan sejarah pembaruan dalam pendidikan Islam sangatlah panjang. Sebagian besar lembaga pendidikan Islam di berbagai kawasan dunia Muslim mengalami pembaruan jauh sebelum terjadinya ketegangan antara Barat dan dunia Muslim. Tujuan pembaruan tidak lain agar membuat peserta didik dan lulusan pendidikan Islam dapat memiliki pandangan dunia keislaman yang kuat dan pada saat yang sama siap menghadapi tantangan dunia modern dengan ilmu dan keahlian.
Di banyak kawasan Timur Tengah, pendidikan Islam sepenuhnya dinasionalisasikan ke dalam sistem pendidikan umum sejak awal 1960-an. Pendidikan formal umum sepenuhnya berada di bawah kontrol negara. Dengan begitu, tidak ada lagi sistem dan kelembagaan yang secara khusus dapat disebut sebagai pendidikan Islam. Jika ada lembaga pendidikan Islam; itu hanya dalam bentuk lembaga pendidikan 'non-formal' semacam kuttab yang menjadi tempat anak-anak untuk belajar membaca Alquran.
Sementara itu, di Pakistan dan Afghanistan, pendidikan Islam-khususnya madrasah-tetap berada di luar sistem pendidikan nasional dengan ideologi dan kurikulumnya sendiri. Usaha negara mereformasi madrasah tidak pernah berhasil, sehingga ia tetap sepenuhnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama sesuai ideologi para pemilik dan pengasuhnya. Karena itulah, madrasah semacam ini sangat rentan menjadi tempat bagi sektarianisme keagamaan yang kian sulit terselesaikan.
Pada saat yang sama, pendidikan Islam yang terus tumbuh di banyak negara Barat sejak di Eropa dan Amerika Utara berjuang untuk mendapat pengakuan negara sehingga para lulusannya dapat melanjutkan mobilitas pendidikan mereka. Untuk itu, mereka harus mengadopsi kurikulum dan standar pendidikan negara Barat setempat. Jika memenuhi syarat, lembaga pendidikan Islam tersebut bisa mendapat biaya sepenuhnya atau setidaknya subsidi dari pemerintah bersangkutan seperti berlaku di Inggris dan Belanda.
Sedangkan di Indonesia pendidikan Islam terintegrasi ke dalam arus utama pendidikan nasional-menciptakan dua sistem paralel, di mana pendidikan Islam berjalan sejajar dengan pendidikan umum. Sistem paralel ini membuat pendidikan Islam setara dengan pendidikan umum, yang memungkinkan terjadinya mobilitas pendidikan lebih luas bagi para peserta didiknya. Bahkan, lembaga pendidikan Islam formal ini juga dilengkapi dengan lembaga pendidikan nonformal di luar waktu sekolah semacam diniyah; memperkuat penanaman nilai-nilai Islam kepada generasi muda Muslim.
Bagi saya yang berbicara dalam panel dengan Tariq Ramadan, guru besar di Universitas Oxford dan Michael S Merry, guru besar Universitas Amsterdam yang banyak meneliti pendidikan Islam di Eropa dan Amerika Utara, pendidikan Islam Indonesia lebih menjanjikan dibanding negara-negara lain, bahkan di dunia Arab sekalipun. Sistem pendidikan Islam Indonesia bahkan bisa disebut sebagai terbesar di seluruh dunia sejak dari tingkat TK sampai perguruan tinggi. Cakupan substansi dan kurikulumnya hampir mencakup seluruh bidang ilmu keislaman, baik yang bersumber dari ayat-ayat Qur'aniyyah maupun ayat-ayat kauniyah.
Tidak kurang pentingnya lebih dari 70 persen lembaga pendidikan Islam tersebut berada di tangan komunitas dan yayasan umat Islam sendiri. Sisanya ada di tangan pemerintah. Ini menunjukkan 'independensi' umat baik dalam pendanaan dan penyelenggaran pendidikan Islam-meski banyak juga lembaga pendidikan Islam swasta ini berjalan 'seadanya'. Tetapi pada pihak lain, peningkatan kemampuan ekonomi umat, juga telah memungkinkan munculnya madrasah, sekolah Islam, pesantren, dan perguruan tinggi Islam swasta yang bermutu kian baik. Dengan begitu, lembaga-lembaga pendidikan Islam ini kian membaik pula citranya-dan bahkan tidak jarang menjadi simbol status sosial.

(Tulisan diatas dimuat pada Harian Republika, Kamis, 21 April 2011).

Pesantren of South Sulawesi in 20th Century


              Pesantrens are important social and educational institutions, which contribute to the perpetuation and adaptation of the Indonesian Muslim tradition either in local, national and even international spheres. Historically, these institutions have acted as agents of social change within the cultural fabric of society. According to Salim (2001), at least three factors contribute to the importance of pesantren. First, pesantren is instrumental in the development of Muslim tradition. Pesantrens traditionally provide legitimation for rural society and they are acknowledged as cultural symbols and effective media that influence social change. Second, studies on pesantren are rarely conducted either by local or Western scholars. In this sense, Abdurahman Wahid believes that there is a misunderstanding of the role of pesantren due to a lack of serious research and studies. Therefore, scientific research on the one hand must endeavor to give a real description of the strengths and potential of pesantren to enforce change, on the other; it may offer constructive criticism of the role of pesantrenThird, the pesantren tradition is not static but dynamic as it preserves the continuity of tradition and accepts changes.[1]
              In the 20th century, pesantren with its traditional teaching methods and system faced crucial challenges not only from the modern education system introduced by the Dutch but also from Muslim community, which began to adopt modern educational systems. Some pesantrens such As’adiyah (Sengkang), DDI (Mangkoso, Parepare, Pinrang), Hasan al-Yamani (Polmas), deal with Islamic education and greatly contribute to the enhancement of the national educational program. This pesantren attracted many santris both from local community and from outside of the South Sulawesi province. There have been many students who came from different regions of South Sulawesi such as Wajo, Soppeng, Bone, Sidrap, Maros, Luwu-Palopo, Gowa, Jeneponto and many others. The students of this pesantren also come from different provinces such as East Kalimantan, South East Sulawesi, Central Sulawesi, Southeast Nusatenggara (NTT), Riau and Jambi.[2]
              In Java and South Sulawesi, however, the strength of an Islamic education is not found in madrasah[3] (religious school) as in most Islamic countries, but in the pesantren system. Unlike most pesantrens in Java, which are owned by the kiyai, most pesantrens in South Sulawesi are not owned by a kiyai but by the Islamic community around the pesantren. There are some reasons:  First, the intellectual chain of Ulama is not limited to certain family. Second, the Gurutta (kiyai) him self does not want to own that pesantren due to this pesantren for him is a merely a tool of ibadah. Third, most pesantren are donated by the local Government and Muslim community.
              Gurutta H. M. As’ad al-Buqisy established Pesantren As’adiyah in 1930 and played a decisive role in the emergence of some well-known pesantren and religious leaders in South Sulawesi. They are Pesantren Yastrib established by Gurutta H. Daud Ismail (Soppeng), Pesantren DDI by H. Abdul Rahman Ambo Dalle (Mangkoso, Parepare, Pinrang), Pesantren al-Furqan by H. Abd. Pabbaja (Parepare), Pesantren Ma’had al-Hadith by H. Junaid Sulaiman (Bone), Pesantren Al-Urwah al-Wutsqa by H. Abdul Muin Yusuf (Sidrap).[1], and the Pesantren Nurul al-Junaidiyah by H. Abdul Azis (Luwu Utara).
              One of the unique features of Indonesia since its independence in 1945 is that the country has adopted a dual system of education. Even though, the Indonesian government has developed modern secular education however, the government also believes that the traditional Islamic education such as Pesantren and Madrasah that has evolved over many centuries must not be abolished or neglected.





[1]Muhammad Yunus Pasanreseng, Sejarah Berdirinya Pesantren As’adiyah (Sengkang: Adil, 1992), p. 15-34.


[1] Hairus Salim H.S, editorial introduction in Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esei-esei Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001), p. ix

[2] Madrasah is derived from Arabic means a palce of study. Madrasah is basically religious scholl which is different from public scholl.  The first madrasah, madrasah nizamiyah, was established by Nizam al-Mulk in 457 H. In this sense, madrasah (religious school) is a place to study religious matters, which has certain curriculum. See, H. Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkenbangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), p. 60.

[3] Madrasah is derived from Arabic means a palce of study. Madrasah is basically religious scholl which is different from public scholl.  The first madrasah, madrasah nizamiyah, was established by Nizam al-Mulk in 457 H. In this sense, madrasah (religious school) is a place to study religious matters, which has certain curriculum. See, H. Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkenbangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), p. 60.

Minggu, 17 April 2011

Islam Keras dan Santun

Oleh: K.H. Aqil Sirajd

Tema radikalisme Islam kembali mencuat. Sebutannya pun bisa beragam, seperti ekstrem kanan, fundamentalis, dan militan. Ada juga yang menyebut radikal dengan sebutan Neo-Khawarij dan Khawarij abad ke-20.
Radikalisme sekelompok Muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai biang keladi radikalisme. Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi bahaya besar bagi masa depan peradaban manusia.
Gerakan radikalisme bukan sebuah gerakan spontan, tetapi memiliki faktor pendorong. Gejala kekerasan ”agama” bisa didudukkan sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Akar masalahnya bisa ditelusuri dari sudut sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia.
Faktor lain adalah sentimen keagamaan dan solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Namun, hal ini lebih tepat disebut faktor emosi keagamaan, bukan faktor agama an sich, meski gerakan radikalisme selalu mengibarkan simbol agama seperti jihad dan mati syahid. Emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas, bersifat. Jadi, sifatnya nisbi dan subyektif.
Faktor kultural juga memiliki andil besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Secara kultural, di masyarakat selalu ditemukan usaha untuk melepaskan diri dari jerat jaring-jaring kebudayaan yang dianggap tidak sesuai. Faktor kultural adalah sebagai antitesa terhadap budaya sekularisme Barat yang dicap sebagai musuh besar.

Islam Indonesia

Islam adalah agama ”pendatang” karena berasal dari Timur Tengah. Namun, berkat proses transformasi yang berjalan damai, Islam menjadi bagian tak terpisahkan kehidupan bangsa Indonesia. Sesuai makna dasar Islam, dari kata aslama, bermakna ”damai”, ternyata para pembawa panji-panji Islam tempo dulu mampu menyebarkan agama Islam dengan damai.
Penyebaran Islam di Indonesia berjalan lancar dan tidak menimbulkan konfrontasi dengan pemeluk agama sebelumnya. Masuk melalui pantai Aceh, Islam dibawa para perantau dari berbagai penjuru, seperti Arab Saudi dan sebagian dari mereka ada yang berasal dari Gujarat.
Penyebab proses Islamisasi berjalan damai karena kepiawaian para mubalig dalam memilih media dakwah, seperti sosial budaya, ekonomi, dan politik. Dalam penggunaan media budaya, sebagian mubalig memanfaatkan wayang sebagai salah satu media dakwah. Sunan Kalijaga, misalnya, mampu menarik simpati rakyat Jawa yang amat akrab dengan budaya dan tradisi Hindu-Buddha.
Para pembawa panji Islam juga memanfaatkan aspek ekonomi untuk mengembangkan nilai-nilai dan ajaran Islam. Dari berbagai literatur terungkap, aspek itu menempati posisi strategis dalam upaya Islamisasi di Nusantara. Salah satu faktor yang mendorong minat masyarakat Nusantara mengikuti agama para pedagang itu karena tata cara dagang serta perilaku sehari-hari lainnya dianggap menarik sanubari masyarakat setempat.
Setelah kokoh menancapkan pengaruhnya di Indonesia, peran Islam lambat laun meningkat ke wilayah politik melalui upaya mendirikan kerajaan Islam, antara lain Kerajaan Pasai, Demak, Mataram, dan Pajang. Lalu, semua itu mengalami keruntuhan karena adanya berbagai faktor, baik konflik internal di antara anggota keluarga kerajaan maupun faktor eksternal seperti serbuan kolonialis Portugis dan Belanda. Namun, posisi Islam tetap kukuh dan kian menyatu dengan kehidupan masyarakat dan hampir selalu memperlihatkan wajahnya yang ramah dan santun. Gejolak yang sifatnya radikal nyaris tak terdengar.

Dakwah santun

Memahami Islam secara tekstualistik akan mendatangkan sikap ekstrem. Padahal, Al Quran tidak melegitimasi sedikit pun perilaku dan sikap yang melampaui batas. Dalam konteks ini, ada tiga sikap yang dikategorikan ”melampaui batas”.
Pertama, ghuluw, bentuk ekspresi berlebihan manusia dalam merespons persoalan hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan.
Kedua, tatharruf, sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi kepada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat.
Ketiga, irhab, yang mengundang kekhawatiran karena bisa membenarkan kekerasan atas nama agama. Irhab adalah sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi.
Idealnya, seorang Muslim harus memahami ajaran Islam secara utuh, hingga berdampak sosial yang positif bagi dirinya. Alangkah kering dan gersangnya agama jika aspek eksoterik dalam Islam hanya sebatas legal-formal dan tekstualistik. Sebuah ayat tentang jihad akan terasa gersang jika pemahamannya dimonopoli tafsir ”perang mengangkat senjata”. Padahal, jihad pada masa Rasulullah merupakan wujud pembebasan rakyat untuk menghapus diskriminasi dan melindungi hak-hak rakyat demi terbangunnya tatanan masyarakat yang beradab.
Puncak keberagamaan seseorang terletak pada sikap arif dan bijaksana (al-hikmah). Di sinilah perlunya mengedepankan aspek esoteris Islam. Sisi ini merupakan pemahaman keislaman yang moderat, serta bentuk dakwah yang mengedepankan qaulan karima (perkataan yang mulia), qaulan ma’rufa (perkataan yang baik), qaulan maisura (perkataan yang pantas), qaulan layyinan (perkataan yang lemah lembut), qaulan baligha (perkataan yang berbekas pada jiwa), dan qaulan tsaqila (perkataan yang berat). Semua sikap itu telah diamanatkan dalam Al Quran.
Said Aqiel Siradj
Ketua PBNU
Dimuat HU Kompas, Jumat, 4 September 2009

Diplomasi Ala Bugis…

Oleh: M. Yusuf Kalla

Sebelum saya menjabat sebagai WAPRES, karakter dan watak orang Bugis sangat jarang yang mengenalnya di belahan nusantara ini. Bahkan ada banyak pendapat yang keliru dan menyangka orang bugis adalah bangsa yang keras dan tidak pernah kenal kompromi. Ini jika melihat dari sejarah banyak yang menganggap bahwa orang bugis adalah bajak laut pada masa silam. Anggapan ini sungguh tidak berdasar dan keliru.

Orang bugis sebenarnya mempunyai cirri khas yang menarik. Dari sejarahnya kerajaan bugis didirikan bukan pada pusat-pusat ibu kota dan sangat jauh dari pengaruh India. Itulah sebabnya di Bugis tidak ada candi. Ini berbeda dengan kerajaan jawa yang mebangun pusat kerajaannya pada ibu kota dan bersifat konsentris.

Namun demikian, orang bugis sudah terkenal memiliki kebudayaan, mereka memiliki tradisi lisan maupun tulisan. Bahkan orang bugis memiliki salah satu epos terbesar di dunia yang lebih panjang daripada epos Mahabarata yakni cerita tentang lagaligo yang sampai saat ini sering dibaca dan disalin ulang dan menjadi budaya yang mengakar pada masyarakat bugis.

Bagi suku-suku lain, orang Bugis sering dianggap sebagai orang yang berkarakter keras dan sangat

menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu demi kehormatan, orang bugis bersedia melakukan kekerasan. Namun dibalik sifat itu semua, sebenarnya orang bugis adalah orang yang sangat ramah, menghargai orang lain dan menjunjung tinggi kesetiakawanan, bahkan bersedia menjadi bumper demi kesetiakawanan. (itulah mungkin sebabnya mengapa Golkar pada masa pemerintahan SBY-JK sering menjadi Bumper karena ia dipimpin oleh seorang yang sangat berwatak bugis).

Meskipun sebagai bangsa perantau, orang bugis selalu membawa identitas bugisnya di mana mana. Beberapa orang-orang di singapura dan Malaysia meskipun sudah menjadi warga Negara sana, dan mereka sudah bergaya hidup modern tapi mereka selalu mengaku sebagai orang Bugis meskpiun sudah merupakan keturunan yang kesekian dan belum pernah menginjak tanah bugis.

Begitu juga dengan saya, selama terjun ke dunia politik saya tidak pernah melepas karakter bugis saya yang blak-blakan, dan sering dianggap kurang santun bagi mereka yang sangat menghargai etiket. Tapi itulah saya, saya sering mengatakan kepada teman-teman, jangan paksa saya jadi orang jawa. Menjadi orang bugis dan berkarakter keras kadang berguna juga. Waktu menyelesaikan kasus ambalat untuk pertama kalinya, saat itu saya menggunakan gaya diplomasi ala Bugis yang anda tidak dapatkan dalam literature strategi diplomasi. Waktu itu saya ke Malaysia bertemu dengan Perdana Menteri yaitu Najib. Saat itu ia ditemani oleh 5 Menteri dan saya juga ditemani oleh 5 Menteri plus Dubes kita. Saat pertemuan itu

saya bilang ke Najib “ Najib…Ambalat itu masalah sensitive, itu bisa membuat kita perang. Kalau kita perang, belum tentu siapa yang menang. Tapi satu hal yang mesti you ingat, di Malaysia ini ada 1 juta orang Indonesia, 1000 orang saja saya ajari Bom, dan mereka Bom ini gedung-gedung di Malaysia maka habislah kalian”

Saat itu pak Najib kaget, dia sadar sebagai sesama Bugis, ancaman saya bukan hanya gertakan belaka. Dia bilang ke saya “pak Jusuf, tidak bisa begitu”

Saya bilang ke dia “makanya mari kita berunding, terus terang saya kadang tidak suka sama you punya Negara, Buruh-buruh Ilegal dari Indonesia ditangkapi kayak binatang, sedangkan majikannya tidak

ditangkap, padahal kalau ada buruh Ilegal maka tentu ada juga majikan illegal. Setiap ada Ilegal loging pasti orang Malaysia yang ambil, begitu ada kebakaran hutan mereka marah-marah, padahal hampir sepanjang tahun mereka menghirup udara segar yang dihasilkan oleh hutan-hutan di Indonesia, satu bulan saja ada kabut asap mereka marah marah. Dan juga setiap ada ledakan Bom di Indonesia selalu orang Malaysia dalangnya”

Waktu itu Pak Dubes langsung bisiki saya “Pak, Ini sepertinya sudah melewati batas diplomasi”

Saya langsung bilang ke dia “kau kan Dubes, yah sudah kau perbaikilah mana yang lewat”

Setelah itu, untuk menunjukkan ketidak sukaan saya kepada Malaysia saya menolak menginap di Kuala

Lumpur, saya bilang saya mau menginap di kampong Bugis di Johor sana. Akhirnya pak Najib ikut juga saya ke sana. Di atas mobil, dalam perjalanan menuju Johor Pak Najib Bilang ke saya “ Kayaknya bapak terlalu keras tadi waktu berunding”

Saya cuman bilang ke dia “kamu kan juga orang Bugis, kenapa kau tidak keras juga tadi?” mendengar itu dia cuman ketawa saja.

Malamnya di Johor, kita makan malam dan nyanyi-nyanyi, mengundang Siti Nurhaliza, sampai jam 1 malam dan kita ngantuk. Keesokan paginya kita main golf, dan saat itu juga masalah Ambalat selesai. Dengan gaya Diplomasi ala Bugis, saya tidak perlu memakai bahan yang sudah disiapkan oleh DEPLU semua spontanitas saja. Dan sampai sekarang kalau ada tentara Malaysia datang lagi di Ambalat, saya tinggal telpon Najib “Hey Najib, jangan lagi kau kirim, you punya tentara ke Ambalat, kita bisa perang nanti”

Demikan juga waktu saya menyuruh EXXON supaya angkat kaki dari Blok Natuna. Waktu itu saya dikejar oleh orang-orang EXXON mereka mau melobi. Tapi saya selalu menolak ketemu dan menghindar. Saya ke Riyadh, mereka mau nyusul ke sana, saya ke Jedah mereka mau datang, tapi saya tolak karena saya mau ibadah dan sampai di belahan bumi manapun mereka kejar saya. Akhirnya waktu itu Di Makassar karena melihat kegigihan mereka, saya suruh mereka datang. Dan datanglah itu Chairman Exxon mereka 4 oran

g dan saya hanya ditemani oleh Sekretaris saya.

Saat pertemuan di Hotel Sahid Makassar, orang Exxon bilang ke saya, “Mr.Vice President, anda kalau membatalkan kontrak dengan EXXON, maka besok akan saya SU”

Saya langsung pukul meja saya dan bilang ke dia “kalau kau berani SU, maka saya akan SU kau 10 kali, Its

my country, not your country, jangan kau datang ke sini mau ancam-ancam saya”.

Saat itu dia langsung minta maaf. Dan saat itu Blok Natuna kembali ke tangan kita pengelolaannya,

meskipun pada akhirnya lepas lagi ke EXXON karena wewenang saya dicabut dan control tidak lagi berada di tangan saya. Apa pun itu, untuk kehormatan bangsa, kita jangan mau didikte oleh bangsa lain, kalau mereka keras, maka kita balas lebih keras lagi. Jangan pernah takut kita akan dibuat susah dan macam-macam. Selama kita yakin Tuhan selalu bersama kita, maka bangsa lain tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadap kita.
(Sumber: kompasiana.com)

Senin, 11 April 2011

BULLYING, THE PERSISTENT PROBLEM IN SCHOOL

Nowadays, we usually hear about some problems that occur at schools. One of the Persistent Problems, which occurs is bullying. Some people had bad experiences to be bullied when they had been young students. In this situation, when they had been being bullied, they had no courage and power to fight against the bully. After being bullied, most of the bullied students feel scared and guilty about letting their teacher and their parents know.
Before giving the solution of how to overcome bullying at school, we should find out some factors, which may create and support the students to do such action. If we interrogate the bullying students the reasons of why they engage with bullying, some of them will reply that “it was fun”, because they want to show their power to others and take advantage of the weak and younger students. Based on this statement, we can see the causes of bullying action.
As a matter of fact, every teenage student, particularly the boys are inclined to show their power to others so that they will be admitted as powerful boys, and this make them satisfied. If these powers are not addressed to a creative way, it will push them to look for other outlets like bullying. So we can understand that they do bullying because the environments around them such as school and home does not provide them with the means and chances to realize their feeling and their potential.
Every one must take part to overcome this persistent problem, because it has very negative effects on children’s future as it can leave scars throughout adulthood, imparing performance and preventing people achieving their potential. The Psychiatric hurt from bullying in childhood may also cause long term damage to both physical and mental health.
After mentioning some factors that cause bullying at school, we can formulate the solution to solve this problem. This problem requires good cooperation among students, teachers and parents. Firstly, Student must empower themselves to fight against the bully. Secondly, Teachers should take a pro-active approach, not a reactical one which will be too late. However, it must to be effectively implemented and not just gather dust on the self. Lastly, parents have to pay more attention to their children by hearing their fears and feelings by providing them with useful means for study and encouraging them to improve their potential.
(By. Syam)

Minggu, 10 April 2011

Pluralitas Penafsiran al-Qur’an


            Kalau kita perhatikan dan pelajari secara kritis tafsir-tafsir al-Qur’an yang ada saat ini ataupun pengajian-pengajian yang diberikan oleh para ustaz, maka tidak jarang kita temukan perbedaan pemahaman para penafsir atau ustadz-ustadz tersebut terhadap makna ayat-ayat al-Qur’an. Pertanyaannya kemudian penafsiran yang manakah yang paling benar? adakah metode yang dapat digunakan untuk memperoleh dan juga menilai penafsiran yang benar? mengapa ayat yang sama bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda bahkan kadang bertolak belakang? dan masih banyak lagi pertanyaan yang lainnya.

Dari Komunikasi Lisan ke Tulisan
     Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita perlu memahami esensi al-Qur’an itu sendiri. Sebagaimana diyakini oleh umat Islam di seluruh dunia, al-Qur’an merupakan firman-firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Firman-firman tersebut yang pada awalnya dikomunikasikan secara lisan kepada Nabi Muhammad, pada perkembangannya kemudian dibukukan dalam suatu mushhaf sehingga umat Islam dapat mengaksesnya dengan mudah. Akan tetapi, pentransformasian al-Qur’an dari komunikasi lisan ke dalam tulisan membawa berbagai macam konsekwensi lain, terutama di dalam usaha memahami dan menafsirkan al-Qur’an.
Di dalam beberapa tulisannya Paul Ricoeur (lahir 1913) menulis bahwa suatu diskursus yang telah ditetapkan dalam tulisan mengalami tiga macam proses distansiasi/pen-jarak-an (distanciation). Sebelum menjelaskan ketiga macam proses tersebut, Ricoeur terlebih dahulu membuktikan bahwa suatu teks adalah merupakan suatu diskursus dari komunikasi lisan yang telah dibentuk ke dalam tulisan (discourse fixed into writing). Akan tetapi Ricoeur melihat adanya perbedaan yang sangat menyolok antara komunikasi lisan dan tulisan. Pertama, berbeda dengan komunikasi lisan di mana si pembicara dan pendengar sama-sama berada antara satu dengan lainnya sehingga dapat menghasilkan suatu komunikasi dua arah, di dalam komunikasi tekstual sering terjadi di mana si pengarang tidak hidup dalam satu masa atau satu tempat yang sama dengan si pembaca sehingga komunikasi yang terjadi di antara keduanya adalah dialog satu arah (one way communication), yaitu komunikasi antara si pengarang dengan suatu teks atau si pembaca dengan teks.

Sabtu, 09 April 2011

Rujukan Aksara "Lontarak"

Muhammad Salim

Muhammad Salim adalah bukti hidup bahwa penghargaan datang bukan karena gelar dan jabatan, tetapi karena karya berkelanjutan. Hampir sepanjang hidup ia menekuni ”lontarak”, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Dia menghidupkan dan memaknainya kendati ini kerja sunyi tanpa banyak imbalan.
Kami bertemu di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, tempat Salim ”bekerja” yang tak memberinya honor empat tahun terakhir. Dengan semua itu, ia bersetia mengawal pendokumentasian lontarak dari seluruh penjuru Sulsel.
Lontarak adalah kehidupan Salim. Aktivitas menyalin lontarak ke huruf Latin (transliterasi) lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia (translasi) ibarat menu hariannya. Dalam sehari ia menghabiskan dua hingga tiga jam untuk menyalin lontarak, termasuk Lontarak Enrekang, proyek yang baru dia mulai.
Meski demikian, yang membuat nama Salim diperhitungkan hingga mancanegara tentulah Sureq Galigo. Dia terpilih dalam Proyek Transliterasi dan Terjemahan Sureq Galigo yang digagas Universitas Leiden, Belanda, tahun 1987. Ia mulai bekerja tahun 1988 dan membutuhkan waktu 5 tahun 2 bulan untuk menerjemahkan hikayat penciptaan peradaban manusia di Sulsel itu.
Naskah I La Galigo di Universitas Leiden memiliki tebal sekitar 6.000 halaman. Arung Pancana Toa-lah yang memberikan naskah ini kepada orang Belanda, BF Matthes. Naskah di Leiden termasuk kisah paling lengkap kendati belum sepenuhnya selesai. Sebenarnya masih banyak lontarak yang terserak dan belum ditemukan.
Tidak mudah menerjemahkan I La Galigo, karya sastra terpanjang yang berabad-abad ”tertidur”. Salim tak sekadar membaca teks, tetapi juga konteksnya. Galigo merupakan karya sastra yang khas dengan pola pengejaan lima-lima, seperti: i-la-ga-li-go dan sa-we-ri-ga-ding.
Melalui pergulatannya, Salim menemukan Sureq Galigo juga menggunakan bahasa Bugis klasik dan Sanskerta, contohnya pada Sangiangserri yang artinya Dewi Padi. ”Dalam Sanskerta, dikenal Sang Hyang Sri, yang juga Dewi Padi.”
Dalam penerjemahan, ia membutuhkan tiga kamus sekaligus, yakni bahasa Bugis-bahasa Belanda lama, bahasa Belanda lama-bahasa Melayu lama, dan bahasa Melayu lama-bahasa Indonesia.
Penerjemahan Galigo memang melelahkan. Ruang kerja di rumah panggungnya berupa bilik. Sejak pukul 08.00 hingga 17.00 ia menekuni aksara kuno. Di sebelah meja kerja, ada kasur untuk Salim beristirahat sewaktu-waktu.
Honor transliterasi kala itu 5 dollar AS per lembar, sedangkan translasi 8 dollar AS per lembar. ”Uangnya saya pakai untuk beribadah haji. Saya tak suka beli barang,” tuturnya.
Mendunia
Nama Salim ikut mendunia bersama ”terbangunnya” I La Galigo. Mata dunia memandangnya seakan dia baru muncul. Padahal, jauh sebelumnya ia sudah tenggelam dalam dunia lontarak. Lahir dan besar di Pangkajene, Sidenreng Rappang, Sulsel, ia terbiasa membaca lontarak.
Pada masa lalu masyarakat menuliskan kisah dalam aksara lontarak. Apa pun bisa diceritakan; ilmu perbintangan, hubungan suami-istri, silsilah keluarga, pantangan, doa-doa, hingga nyanyian. Salim kecil belajar membaca lontarak dari neneknya.
Kemampuan ini terasah saat ia masuk pesantren di Allakuang, Sidenreng Rappang (Sidrap). Dia bergurukan KH Muhammad Yafie dan Muhammad Abduh Pabbajah. Murid-murid di sini terbiasa menerjemahkan Al Quran dalam bahasa Arab ke bahasa Bugis. Semuanya ditulis dalam huruf lontarak.
Seperti telah digariskan, hidup Salim tak pernah jauh dari lontarak. Lulus Sekolah Guru Bawah (SGB), ia mengajar pelajaran bahasa Bugis di satu-satunya sekolah menengah pertama di Pangkajene selama delapan tahun.
Berselang setahun, ia menempuh pendidikan guru sekolah lanjutan jurusan Bahasa Bugis di Makassar. Dia lalu ditarik ke kampung halaman, menjadi Kepala Dinas Kebudayaan Sidrap pada 1971.
Dengan posisinya itu, Salim kian gencar memopulerkan lontarak bagi pelajar. Ia mendorong penerbitan buku cerita rakyat dalam huruf lontarak untuk tingkat sekolah dasar dan buku nyanyian untuk tingkat SMP. Satu buku cerita bisa ditukar dengan satu liter beras atau satu kelapa bagi keluarga yang tak punya uang.
Tahun 1980, saat menjadi staf Dinas Permuseuman, Sejarah, dan Kepurbakalaan Sulsel, ia berkesempatan menyelami naskah kuno. Ia lalu menggagas proyek pengumpulan lontarak. Ia menjelajahi seluruh kabupaten di Sulsel hingga Kabupaten Selayar ”berburu” lontarak.
Proyek ini bertujuan mendokumentasikan lontarak di Sulsel dan menerjemahkannya. ”Banyak sekali lontarak berisi pengetahuan yang bisa diterapkan sampai kini, seperti pengobatan dan pertanian,” ujarnya.
Dari perburuan itu, Salim mengumpulkan lebih dari 100 lontarak. Semua tersimpan rapi di Yayasan Kebudayaan Sulsel. Beberapa lontarak sudah disalin ke huruf Latin dan sejumlah kecil diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Namun, banyak yang tak diterbitkan karena kurangnya dana.
Harta karun sejarah ini lebih menarik minat peneliti asing. Bahkan I La Galigo pun diterjemahkan tanpa bantuan uang Pemerintah Indonesia.
Tanpa gelar
Salim menjadi rujukan siapa pun yang meneliti lontarak. Ia masih bersemangat bicara tentang lontarak.
Ia percaya, pengetahuan juga digembleng karena pengalaman. Dia bukan profesor, tetapi kefasihannya memaknai lontarak membuatnya bertemu para profesor asing. Mereka takjub melihat orang yang menghidupkan kembali epos Sawerigading adalah pria sederhana.
Dalam hati, Salim tetap merasa sebagai guru. Ia ingin menularkan ilmunya kepada banyak guru dan mahasiswa. Untuk itu dia mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Dia juga bertahan di Yayasan Kebudayaan Sulsel. Padahal. bisa dikatakan yayasan ini bangkrut, tak ada uang dan peneliti. Beberapa buku penting terkait sejarah di kawasan timur Indonesia diambil alih Arsip Nasional.
Yang tersisa dari yayasan adalah lontarak, pekerja berhonor kecil, dan Salim. Kendati demikian, yayasan ini telah menjadi ”rumah” bagi Salim yang setia dengan Vespa tuanya. Hanya bila hujan deras saja dia urung datang. ”Khawatir Vespa-nya mogok,” kata pria bercucu tujuh dan bercicit satu ini.
Warisan Salim ialah penerjemahan I La Galigo, dan dunia patut berterima kasih kepadanya.

*** 
Muhammad Salim
• Lahir: Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, 4 Mei 1936 
• Istri: Hj Djamiah (65) 
• Anak:  - Husnah Salim - Nurdinah Salim  - Hamdan Salim 
• Kegiatan: - Dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin - Peneliti di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan 
• Lontarak yang disalin dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia antara lain: - Sureq Galigo  - Lontarak Sidenreng - Lontarak Soppeng/Luwu - Budhistihara yang berisi nasihat keagamaan - Pappaseng - Lontarak Enrekang (dalam pengerjaan) 

(Sumber:  kompas.com)

Kamis, 07 April 2011

8 Pilar Penyangga Perkawinan

Coolman Deds
 Di masa pacaran, boleh jadi cinta memang sejuta rasanya. Namun ketika memasuki perkawinan, modal cinta saja tak cukup untuk mempertahankan kelangsungan sebuah keluarga.
Dalam mencari pasangan hidup, budaya Jawa mengenal sejumlah kriteria yang dikenal dengan istilah bobot, bibit, bebet. Namun pada kenyataannya, banyak orang beranggapan salah satunya saja sudah cukup memenuhi kriteria pasangan hidup. "Cari pasangan ya lihat pribadinya, dong! Punya mobil pribadi, rumah pribadi, dan kalau perlu vila pribadi!" ujar seorang perempuan tanpa maksud bergurau. "Kalau menurut saya sih, yang penting harus punya tanggung jawab," sela seorang teman bicaranya. "Yang paling penting, ya, cinta, dong!" yang lain menyergah tak kalah semangat.
Sebetulnya apa saja, sih, pilar penyangga yang kokoh bagi kelanggengan sebuah perkawinan? Benarkah cinta bisa diandalkan? Sepenuhnya ditentukan oleh kelimpahan materi? Bagaimana soal komitmen dan tanggung jawab? Seberapa penting aspek kepribadian kedua belah pihak? Bagaimana dengan hal-hal lain, bisakah diabaikan?
"Proses menimbang-nimbang memang seharusnya sudah dimulai sebelum suami-istri memasuki gerbang pernikahan," kata Titi P. Natalia, M.Psi. Meski ia tak menyangkal banyak pasangan yang tidak "sempat" melewati proses seleksi. Meminjam istilah anak zaman sekarang, ada tahapan yang mesti dilalui, yakni koleksi, seleksi, baru resepsi.
Akan tetapi, Titi mengingatkan agar kita tidak perlu lagi menoleh ke belakang hanya untuk mempertanyakan apakah tahapan-tahapan tersebut sudah dilalui atau belum. "Sebaiknya lihat saja ke depan. Komitmen dan kesungguhan suami istrilah yang paling dibutuhkan begitu janur kuning sudah dipasang melengkung," tandasnya.
“Dalam mencari calon istri atau suami untuk menuju atau memasuki pernikahan maka yang perlu diingat jangan pernah mencari pasangan untuk menemukan yang cocok karena itu akan menyebabkan suatu ketika bisa tidak cocok tapi carilah pasangan untuk saling mencocokan sehingga pernikahan kita dapat kuat” demikian kata Donald F.R Sendow,M.Div tentang mencari pasangan hidup.
8 Pilar Yang Dibutuhkan
Pilar-pilar yang dibutuhkan demi kokohnya sebuah pernikahan memang tidak sedikit. Berikut di antaranya:
1. Latar belakang keluarga.
Tak bisa dipungkiri, latar belakang keluarga kedua belah pihak pastilah memegang peran penting. Yang termasuk di sini antara lain suku, bangsa, ras, agama, sosial, kondisi ekonomi, pola hidup dan sebagainya. Namun bukan berarti pasangan dengan latar belakang yang sangat berbeda dan bertolak belakang tidak mungkin bersatu. Hanya saja mereka mesti lebih siap dituntut berupaya lebih keras dalam proses penyesuaian diri.
2. Kesetaraan
Kesetaraan akan mempermudah suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Adanya kesetaraan dalam banyak hal dapat meminimalkan friksi yang mungkin timbul. Kesetaraan ini antara lain meliputi kesetaraan pendidikan, pola pikir dan keimanan.
3. Karakteristik Individu
Setiap individu memiliki karakteristik yang unik dan ini menjadi salah satu pilar yang menentukan langgeng tidaknya sebuah rumah tangga. Individu dengan karakter sulit yang bertemu dengan individu yang juga berkarakter sulit, tentu lebih berat dalam mempertahankan pernikahannya. Sebaliknya, yang berkarakter sulit bila bertemu dengan pasangan yang berkarakter mudah, tentu proses penyesuaian yang harus dijalaninya bakal lebih mulus.
4. Cinta
Jangan anggap sepele kata yang satu ini. Walaupun tidak berwujud, cinta dapat dirasakan. Pernikahan tanpa cinta bisa dibilang ibarat sayur tanpa garam, serba hambar dan dingin. Cinta yang dimaksud adalah cinta yang mencakup makna melindungi, memiliki tanggung jawab, memberi rasa aman pada pasangan dan sebagainya.
Ada yang bilang, setelah sekian tahun menikah cinta biasanya akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Sementara yang tersisa tinggal tanggung jawab. Benarkah? "Tidak harus seperti itu karena cinta bisa dipupuk supaya terus subur. Apalagi menjalani tanggung jawab akan terasa lebih ringan kalau ada cinta di dalamnya," ujar Titi. Meski tentu saja, mempertahankan rumah tangga tidak cukup bermodalkan cinta semata!
5. Kematangan dan Motivasi
Kematangan suami/istri memang ditentukan oleh faktor usia ketika menikah. Mereka yang menikah terlalu muda secara psikologis belum matang dan ini akan berpengaruh pada motivasinya dalam mempertahankan biduk rumah tangga. Namun usia tidak identik dengan kematangan seseorang karena bisa saja orang yang sudah cukup umur tetap kurang memperlihatkan kematangan.
6. Pengertian dan Kebijaksanaan
Semakin dewasa dan lama, perkawinan akan memasuki fase atau level pemahaman yang disebut pengertian. Yaitu proses memahami ketika pasangan kita justru sulit dimengerti. Kejikasanaan memahami apa yang sulit dimengerti menjadi pilar yang kuat menopang perkawinan kita.
7. Penerimaan
Menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa kita dan pasangan kita memang berbeda dan mampu menerima perbedaan itu sebagai seni dalam pernikahan merupakan pilar yang juga penting dalam perkawinan.
8. Partnership
Partnership alias semangat bekerja sama di antara suami dan istri. Tanpa adanya partnership, umumnya rumah tangga mudah goyah. Selain itu perlu "persahabatan" yang bisa dirasakan keduanya. Coba bayangkan, alangkah nikmatnya bila masalah apa pun yang menghadang senantiasa dihadapi bersama dengan seorang sahabat.
Bila Terjadi Kepincangan
Idealnya, menurut Titi, semua pilar tersebut sama-sama ikut menyangga bangunan rumah tangga agar segala sesuatunya menjadi lebih kokoh dan kuat. Namun dalam realitas sering terdapat kepincangan di sana-sini, entah dalam hal motivasi, kesetaraan dan sebagainya. Kalau hal seperti ini yang terjadi, apa yang harus dilakukan?
"Semua terpulang pada tujuan pernikahan itu sendiri. Kalau memang tujuan mereka jelas dan motivasi suami maupun istri kuat, tentu akan ada ´usaha´ dari kedua belah pihak untuk menyelaraskan semuanya," jawab psikolog yang antara lain berpraktik di Empati Development Center. Keduanya akan bersedia menerima pasangannya, apa pun adanya. "Tapi ingat, menerima di sini bukan berarti pasrah begitu saja lo, melainkan harus ada penyesuaian di sana-sini yang bisa diterima bersama."
Mengarungi biduk perkawinan tanpa masalah memang mustahil karena friksi-friksi sangat mungkin muncul kapan saja dan mencakup aspek apa saja. "Namun sekali lagi kembali pada usaha suami dan istri untuk mempersepsikan perbedaan yang ada. Apakah perbedaan itu akan dibesar-besarkan atau dicarikan jalan keluarnya."
Saat menentukan pilihan mungkin saja calon suami/istri adalah yang terbaik. Namun dalam perjalanan hidup perkawinan mereka, di mata istri atau suami, ternyata pasangannya bukan lagi yang terbaik. Lo, kok bisa begitu? "Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dinamis. Selalu saja ada perubahan. Oleh karena itulah dibutuhkan kesadaran kedua belah pihak untuk terus-menerus menyesuaikan diri."
Singkatnya, walaupun semua pilar yang disebutkan itu ada dalam rumah tangga, tidak ada jaminan bahwa pernikahan ini akan mulus tanpa batu sandungan. Namun setidaknya dengan adanya pilar-pilar kokoh tadi, suami dan istri akan dipermudah dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Coolman Deds
sumber: http://kolomkita.detik.com

Senin, 04 April 2011

7 Konsep Hubungan Pernikahan yang Sehat

Jangan anggap pernikahan akan selalu dalam masa-masa bahagia. Pertengkaran dan masa-masa sulit pasti akan menghampiri kehidupan pernikahan Anda.

Agar kelangsungan hubungan suami-istri tetap berjalan penuh cinta, ikuti konsep pernikahan berikut ini untuk menjadikan pernikahan yang sehat.

Mendengarkan
Sediakan waktu untuk mendengarkan pasangan. Mendengar adalah seni dan butuh latihan serta komitmen agar Anda bisa menjadi pendengar yang baik.

Jangan egois
Jangan selalu membawa keyakinan Anda dan merasa tidak mungkin melakukan kesalahan. Sikap egois akan merenggangkan ikatan Anda dan pasangan.

Jangan gampang untuk mengucapkan perceraian
Jangan pernah Anda mengancam untuk meninggalkan rumah atau bercerai. Apalagi jika Anda sendiri tak yakin dengan keinginan itu. Sekali tercetus, tak mungkin bisa dihapus meskipun Anda menyesal setengah mati karena telanjur melontarkannya.

Meski emosi sudah tidak terbendung lagi, hindari mengancam minta bercerai. Anda mungkin bakal tertawa senang jika si dia memohon-mohon agar Anda sudi menarik kembali ucapan itu. Tapi bagaimana jika sebaliknya? Anda bakal gigit jari.

Minta maaf
Jangan gengsi untuk meminta maaf. Segeralah mengakui kesalahan dan minta maaflah dengan tulus. Cara ini dapat dengan mudah meredakan pertengkaran dan memperkuat ikatan cinta.

Menghargai perbedaan
Jangan berharap si dia juga memiliki prinsip-prinsip yang sama dengan yang Anda yakini. Hormati saja perbedaan-perbedaan itu. Cintai si dia tanpa syarat.

Memuji
Berikan pujian kepada pasangan untuk semakin memotivasinya. Pria sangat senang apabila usaha dan pencapaiannya dihargai dan dipuji oleh orang yang dicintainya.

Selesaikan masalah segera
Hindari berangkat tidur dalam kondisi amarah masih bergemuruh di dada. Minimal, lakukan gencatan senjata dulu sampai Anda berdua bisa berpikir lebih jernih. Ingat, mempertahankan pernikahan Anda jauh lebih berarti daripada tetap memelihara konflik.

(sumber http://www.wolipop.com)

Rabu, 16 Maret 2011

Sekularisme versus Fundamentalisme

Oleh: Komaruddin Hidayat

MASYARAKAT pendukung paham sekularisme di Barat mulai khawatir akan terdesak oleh kekuatan fundamentalisme agama yang jumlah populasinya kian berkembang dari tahun ke tahun, baik di lingkungan Yahudi, Kristen, maupun Islam.

Pernyataan di atas dikemukakan Eric Kaufmann dalam buku Shall the Religious Inherit the Earth? (London, 2010). Kaufmann menganalisis hubungan antara kependudukan dan politik pada abad-21, yang menurutnya perkembangan penduduk di lingkungan komunitas pendukung paham fundamentalisme agama jauh lebih tinggi ketimbang masyarakat sekuler. Jika tren ini berjalan terus, sebelum 2050 kekuatan agama akan mendominasi percaturan politik dunia.

Secara ideologis-intelektual paham ateisme-sekularisme memperoleh bintang-bintang baru, seperti Richard Dawkin, Christopher Hitchens, Sam Haris, dan Daniel Denett, dengan karya-karyanya yang serius menyerang fondasi teologi agama-agama besar dunia. Buku mereka cukup laku keras di pasaran sebagai serangan balik terhadap kebangkitan fundamentalisme agama yang dianggap emosional dan menggerogoti pilar sekularisme yang menjadi karakter masyarakat Barat modern.

”Kita memasuki abad ideologi yang berakar pada keimanan, yang berseberangan dengan kebudayaan ilmiah yang dialogis dan rasional,” kata Kauffmann. Di tengah dua arus yang menguat ini, mereka yang berpaham moderat didorong untuk berpihak ke salah satu kubu. ”Moderate faith is being squeezed by both secularism and fundamentalism,” tulisnya. Kebangkitan agama di panggung politik ditandai oleh kehadiran Ayatullah Khomeini dari pengasingan ke Iran pada 1979.

Lalu pada 1981 terjadi penembakan terhadap Anwar Sadat di Mesir oleh pengikut aliran keras. Sejak dekade 1980-an Pantekosta berkembang pesat di Amerika Latin, Afrika, dan Asia sehingga menjadi komunitas terbesar setelah Protestan dan Katolik di tingkat global. Di Amerika Serikat anak-anak muda dari komunitas Yahudi Ortodoks mengkritik generasi tuanya yang mereka anggap lembek. Mereka kini tampil lebih militan.

Etnisitas ke Keagamaan
Terdapat hubungan signifikan antara jumlah penduduk, sentimen etnis, agama, dan peran politik dalam sebuah negara. Semakin maju tingkat pendidikan dan ekonomi sebuah bangsa, fertilitas penduduk cenderung menurun. Sebaliknya, pertambahan populasi masyarakat miskin dan kurang pendidikan berkembang cepat. Pertambahan penduduk ini juga berkaitan dengan paham keagamaan dan ideologi. Di Eropa imigran muslim yang datang dari dunia Islam semakin tinggi populasinya, sedangkan tingkat pendidikan dan ekonomi tergolong rendah dibanding masyarakat setempat.

Perkembangan penduduk ini sekaligus dianggap memberi tambahan amunisi bagi perkembangan gerakan fundamentalisme agama di benua itu. Persaingan jumlah populasi Protestan dan Katolik di Irlandia Utara juga selalu menimbulkan ketegangan politik. Begitu pun di Lebanon, Irak, dan Bahrain terjadi ketegangan politik dan ekonomi yang ditimbulkan oleh imigran dan konflik antara penduduk penganut Syiah dan Sunni.

Jadi, apa yang populer dengan sebutan ethno-religion kelihatannya semakin menguat di berbagai belahan bumi seiring laju migrasi penduduk lintas negara yang semakin terbuka peluangnya. Di Indonesia, faktor migrasi bangsa Arab dan China beberapa abad lalu sangat nyata pengaruhnya terhadap perkembangan agama, ekonomi dan politik di wilayah Nusantara ini. Belum lama ini Kong Hu Cu sudah resmi dinyatakan sebagai agama resmi sehingga keberagamaan di Indonesia kian warna-warni.

Kenyataan di atas mengisyaratkan satu hal, terdapat korelasi signifikan antara identitas etnis dan agama serta dinamika politik. Kekuatan dan kelanggengan sebuah tradisi agama mengasumsikan dukungan jumlah komunitas pendukungnya. Semakin banyak warga pendukungnya semakin kokoh sebuah tradisi agama.Dengan demikian sesungguhnya keberagamaan seseorang sangat dipengaruhi oleh keluarga dan tradisi tempat seseorang dilahirkan dan tumbuh, bukan hasil sebuah pilihan bebas.

Sekadar contoh, kalau orang menyebut warga Aceh, Manado, Bali, Sunda, misalnya, tanpa disadari pasti punya asosiasi keberagamaan tertentu. Pluralitas etnis dan agama ini akan menjadi problem ketika muncul tren yang berseberangan, antara pendukung paham sekularisme-liberalisme dan fundamentalisme-skripturalisme dalam melihat tradisi agama. Konflik ideologis semakin sulit diredam kalau negara yang mestinya melindungi warganya tidak jelas dan tegas menegakkan hukum untuk melindungi warganya, bahkan kalah oleh desakan massa. Indonesia sebagai negara hukum, mestinya konstitusi dan hukum menjadi acuan dalam menyelesaikan berbagai sengketa.(*)

Senin, 14 Maret 2011

Tokoh Islam yang Berperan Besar dalam Matematika

Rekayasa mekanika melambungkan nama Banu Musa di khazanah sains Islam. Melalui kemampuannya, Banu Musa menciptakan berbagai peralatan mesin yang terbilang pada masanya. Namun, sebenarnya bukan itu saja prestasinya. Banu Musa menoreh kan prestasi gemilang di ranah matematika.

Kepakaran Banu Musa dalam matematika bahkan layak disejajarkan dengan sejumlah tokoh besar lainnya, seperti al-Khawarizmi (780-846 Masehi), al-Kindi (801-873), atau Umar Khayam (1048-1131). Matematika dijadikan pijakan bagi Banu Musa untuk menopang kemampuanya di bidang teknik.

Perlu diketahui, Banu Musa, atau keluarga Mu sa, terdiri dari tiga bersaudara: Jafar Mu hammad bin Musa bin Shakir, Ahmad bin Musa bin Shakir, dan al-Hasan bin Musa bin Shakir. Ketiganya merupakan putra dari seorang cendekiawan terkemuka abad ke-8, yakni Musa bin Shakir.

Banu Musa ikut andil dalam mendorong kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Bahkan, Banu Musa termasuk saintis Muslim pertama yang mengembangkan bidang ilmu hitung di dunia Islam melalui transfer pengetahuan dari peradaban Yunani. Lalu, Banu Musa membangun konsep dan teori baru, khususnya pada lingkup geometri. Dari tiga saudara tadi, adalah si sulung Jafar Muhammad yang berada di baris depan dalam kajian geometri. Selanjutnya diikuti oleh al-Hasan.

Sementara itu, Ahmad bin Musa membawa konsep matematika kepada aspek mekanika. Mereka terus bekerja bersama-sama hingga mencapai hasil yang sempurna. Banu Musa sangat tertarik dengan manuskrip ilmiah dari Yunani. Salah satunya berjudul Conics. Keseluruhan karya Appollonius ini terdiri dari delapan jilid. Diungkapkan Jere L Bacharach dalam Medieval Islamic Civilization, topik utama dari naskah tersebut membahas tentang geometri.

Banu Musa meminta bantuan dua sarjana terkemuka, yaitu Hilal bin Abi Halal al-Himsi dan Thabit bin Qurra, untuk menerjemahkan karya itu ke dalam bahasa Arab. Dalam buku MacTutor History of Mathematics, sejarawan sains John O’Connor dan Edmund F Robertson menyebut Banu Musa sebagai salah satu peletak dasar bidang geometri.

Banu Musa berhasil menghubungkan konsep geometri dari matematika Yunani ke dalam khazanah keilmuan Islam sepanjang abad pertengah an. Di kemudian hari, Banu Musa menyusun risalah penting tentang geometri, yakni Kitab Marifat Masakhat al-Ashkal. Kitab tersebut sangat terkenal di Barat. Menyusul penerjemahannya ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 oleh Gerard of Cremona dengan judul Libertrium Fratum de Geometria.

Menurut O’Connor dan Robertson, terdapat beberapa kesamaan metodologi dan konsep geometri dari Banu Musa dengan yang diusung Apollonius. Namun, keduanya menegaskan pula bahwa banyak pula perbedaan yang muncul. Sebab, Banu Musa melakukan perbaikan dan membangun rumusrumus baru yang terbukti sangat efektif. Lebih jauh, Banu Musa menyempurnakan metode persamaan yang dirintis Eudoxus dan Archimedes.

Pakar matematika Muslim itu menambahkan rumus poligon dengan dua bidang sama luas. Sebelum diteruskan oleh Banu Musa, metode ini tidak banyak mendapat perhatian dan nyaris hilang dimakan zaman. Di sisi lain, Banu Musa membangun pola lebih maju terkait penghitung an luas serta volume yang mampu dijabarkan lewat angka-angka.

O’Connor dan Robertson mengungkapkan, penggunaan sistem angka merupakan keunggulan dari metode geo metri awal warisan peradaban Islam. Hal lain diungkapkan oleh Shirali Kadyrov melalui tulisannya Muslim Contributions to Mathematics.

Menurut dia, Banu Musa juga menje laskan mengenai angka konstan phi. Ini adalah besaran dari hasil pembagian diameter lingkaran. Banu Musa mengatakan, konsep ini pernah dipakai Archimedes. Namun, pada saat itu pemikiran Archimedes dinilai masih kurang sempurna. Sezgin, seorang ahli matematika Barat, menganggap bukti temuan Banu Musa merupakan fondasi kajian geometri pada masa berikutnya.

Hal serupa disampaikan Roshidi Rashed dalam History of a Great Number. Di samping itu, mereka menciptakan pemecahan geometri dasar untuk menghitung luas volume. Laman isesco.org menyatakan, sumbangan Banu Musa yang lain yakni ketika menemukan metode dan praktik geometri yang ringkas serta mudah diaplikasikan.

Dalam membentuk lingkaran, misalnya, bisa dikerjakan dengan memakai besi siku atau jangka. Masing-masing ujung besi siku itu diletakkan di titik berbeda. Kemudian diambil sudut tertentu. Ambil salah satu ujung sebagai tumpuan dan ujung lainnya diputar melingkar. Maka dihasilkan sebuah lingkaran sempurna.

Berdasarkan pengamatan Victor J Katz dan Annete Imhausen pada The Mathematics of Egypt, Mesopotamia, China, India and Islam, kajian geometri mencapai tahap tertinggi melalui pemikiran dan karya Banu Musa. Inti gagasan mencakup sejumlah operasi penghitungan kubus, lingkaran, volume, kerucut, dan sudut.

Selain Kitab Marifat, Muhammad bin Musa menulis beberapa karya geometri yang penting. Salah satunya menguraikan tentang ukuran ruang, pembagian sudut, serta perhitungan proporsional. Hal ini terutama digunakan untuk menghitung pembagian tunggal antara dua nilai tertentu. Sedangkan, al-Hasan mengerjakan penelitian untuk menjabarkan sifat-sifat geometris dari elips. (Sumber Republika)

Selasa, 08 Februari 2011

Bagaimana KB Menurut Islam?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Yusuf Al-Qaradhawi melalui bukunya Halal dan Haram mengungkapkan, tujuan perkawinan salah satunya adalah lahirnya keturunan. Dengan adanya keturunan, menopang kelangsung je nis manusia. Islam menyukai banyaknya keturunan di kalangan umatnya.

Namun, Islam pun mengizinkan kepada setiap Muslim untuk mengatur keturunan apabila didorong oleh alasan kuat. Hal yang masyhur digunakan pada zaman Rasulullah untuk mengatur kelahiran adalah dengan azl, yaitu mengeluarkan sperma di luar rahim ketika akan terasa keluar.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dijelaskan, para sahabat menyatakan bahwa mereka biasa melakukan azl pada masa Nabi Muhammad SAW. Ketika informasi itu sampai kepada Rasulullah, beliau tidak melarangnya. Di sisi lain ada bantahan terhadap cerita-cerita tentang orang Yahudi bahwa azl merupakan pembunuhan kecil.

Rasulullah menegaskan dusta orang-orang Yahudi itu. Kalau Allah SWT berkehendak untuk menjadikannya hamil dari hubungan itu, maka tak akan ada yang dapat mengelaknya. Maksudnya, dalam hubungan intim dengan cara azl terkadang ada setetes sperma yang menyebabkan kehamilan.

Menurut Al-Qaradhawi, ada alasan-alasan yang menjadi pijakan untuk berkeluarga berencana. Di antaranya, adanya kekhawatiran kehidupan atau kesehatan ibu bila hamil atau melahirkan. Ini setelah penelitian dan pemeriksaan dokter yang dapat dipercaya. Ia mengutip AlBaqarah ayat 195, agar seseorang tak menjatuhkan diri dalam kebinasaan.

Alasan lainnya adalah kekhawatiran munculnya bahaya terhadap urusan dunia yang tak jarang mempersulit ibadah. Pada akhirnya, hal itu membuat seseorang mau saja menerima barang haram atau menjalankan pekerjaan terlarang demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

Persoalan kesehatan dan pendidikan juga menjadi faktor yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan berkeluarga berencana. Keharusan melakukan azl karena khawatir terhadap keadaan perempuan yang sedang menyusui kalau hamil atau melahirkan anak lagi. Rasulullah, kata Al-Qaradhawi, selalu berusaha demi kesejahteraan umatnya.

Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan umatnya berbuat hal yang melahirkan maslahat dan tak mengizinkan sesuatu yang menimbulkan bahaya. Menurut Al-Qaradhawi, di masa kini sudah ada beragam alat kontrasepsi yang dapat dipastikan kebaikannya. Hal inilah yang diharapkan oleh Rasulullah.

Beliau, ujar Al-Qaradhawi, ingin melindungi anak yang masih menyusu dari bahaya. Dengan dasar inilah ia mengatakan, jarak yang pantas antara dua anak adalah sekitar 30 atau 33 bulan bagi mereka yang berkeinginan menyempurnakan susuannya.
Imam Ahmad menuturkan, se muanya tentu jika ada perkenan sang istri.

Sebab, istrilah yang lebih berhak atas anaknya. Istri juga mempunyai hak bersenang-senang.

Pandangan Muhammadiyah

Sementara itu, Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui fatwafatwa tarjih menjelaskan, surah An-Nisa ayat 9 secara umum dapat menjadi motivasi keluarga berencana, tapi bukan jadi dasar langsung kebolehannya.

Ayat tersebut berbunyi, "Hendaklah takut kepada Allah orangorang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar".

Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid, Islam menganjurkan agar kehidupan anak-anak jangan sampai telantar sehingga menjadi tanggungan orang lain. Ayat tersebut mengingatkan agar orang tua selalu memikirkan kesejahteraan jasmani dan rohani anakanaknya.

Pendapat Sayyid Sabiq dan Al Ghazali

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah menjelaskan, dalam keadaan tertentu Islam tidak menghalangi pembatasan kelahiran melalui penggunaan obat pencegah kehamilan atau caracara lainnya. "Pembatasan kelahiran diperbolehkan bagi lakilaki yang beranak banyak dan tak sanggup lagi menanggung biaya pendidikan anaknya dengan baik," tambahnya.

Demikian pula jika keadaan istri sudah lemah, mudah hamil, serta suaminya dalam kondisi miskin. Dalam keadaan semacam ini, ujar Sabiq, diperbolehkan membatasi kelahiran. Sejumlah ulama menegaskan pembatasan kelahiran tak sekadar diperbolehkan bahkan dianjurkan.

Imam Al-Ghazali membolehkan hal itu jika istri merasa khawatir akan rusak kecantikannya. Dalam kondisi tersebut, suami dan istri berhak memutuskan untuk melakukan pembatasan. Ada pula ulama yang mengatakan pembatasan bisa dilakukan tanpa syarat apa pun yang mendasarinya.

Mereka berpegang pada hadis-hadis mengenai sikap Rasulullah yang mengizinkan para sahabat melakukan azl.
(Sumber Republika.com)

Siapa yang Membangun Kabah? Kabah

Kabah berkali-kali rusak sehingga harus berkali-kali dibongkar sebelum dibangun kembali. Di Museum Haramain, benda-benda itu disim pan. Ada kotak tempat menyimpan parfum yang dulu pernah mengisi ruangan Kabah. "Ruang Kabah isinya hanya tiga pilar dan kotak parfum itu,'' ujar Abdul Rahman, menunjuk pilar-pilar dan kotak yang letaknya berjauhan.

Petugas Museum Haramain di Ummul Joud, Makkah, itu mengantar kami keliling melihat koleksi museum. Museum ini menyimpan benda-benda dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Ada potongan pilar Kabah yang bentuknya sudah seperti kayu fosil berwarna cokelat tua, disimpan bersama kunci pintu Kabah dari kayu, juga berwarna cokelat tua. Pintu Kabah selalu dikunci dan pemegang kunci sudah turun-temurun dari satu keluarga, sejak sebelum Nabi lahir.

Tangga kuno yang pernah dipakai untuk masuk Kabah juga tersimpan di museum ini. Tersimpan pula pelapis Hajar Aswad serta pelapis dan pelindung Maqam Ibrahim. Jika orangorang berebut mencium pelindung Maqam Ibrahim, seharusnya yang layak dicium adalah yang tersimpan di museum ini karena usianya lebih tua dari pelindung yang sekarang dipasang.

Namun, tak ada anjuran mencium Maqam Ibrahim. Nabi hanya memberi contoh mencium Hajar Aswad.

Kotak parfum Kabah yang disimpan di museum ini juga berwarna cokelat tua. Sewaktu masih difungsikan di dalam Kabah, botol-botol parfum yang dipakai untuk mengharumkan ruangan Ka'bah disimpan di kotak itu.

Riwayat Kabah

Kabah awalnya dibangun oleh Adam dan kemudian anak Adam, Syist, melanjutkannya. Saat terjadi banjir Nabi Nuh, Kabah ikut musnah dan Allah memerintahkan Nabi Ibrahim membangun kembali. Al-Hafiz Imaduddin Ibnu Katsir mencatat riwayat itu berasal dari ahli kitab (Bani Israil), bukan dari Nabi Muhammad.

Kabah yang dibangun Ibrahim pernah rusak pada masa kekuasaan Kabilah Amaliq. Kabah dibangun kembali sesuai rancangan yang dibuat Ibrahim tanpa ada penambahan ataupun pengurangan. Saat dikuasai Kabilah Jurhum, Kabah juga mengalami kerusakan dan dibangun kembali dengan meninggikan fondasi. Pintu dibuat berdaun dua dan dikunci.

Di masa Qusai bin Kilab, Hajar Aswad sempat hilang diambil oleh anak-anak Mudhar bin Nizar dan ditanam di sebuah bukit. Qusai adalah orang pertama dari bangsa Quraisy yang mengelola Ka'bah selepas Nabi Ibrahim. Di masa Qusai ini, tinggi Ka'bah ditambah menjadi 25 hasta dan diberi atap. Setelah Hajar Aswad ditemukan, kemudian disimpan oleh Qusai, hingga masa Ka'bah dikuasai oleh Quraisy pada masa Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad membantu memasangkan Hajar Aswad itu pada tempat semestinya.

Dari masa Nabi Ibrahim hingga ke bangsa Quraisy terhitung ada 2.645 tahun. Pada masa Quraisy, ada perempuan yang membakar kemenyan untuk mengharumkan Ka'bah. Kiswah Ka'bah pun terbakar karenanya sehingga juga merusak bangunan Ka'bah. Kemudian, terjadi pula banjir yang juga menambah kerusakan Ka'bah. Peristiwa kebakaran ini yang diduga membuat warna Hajar Aswad yang semula putih permukaannya menjadi hitam.

Untuk membangun kembali Kabah, bangsa Quraisy membeli kayu bekas kapal yang terdampar di pelabuhan Jeddah, kapal milik bangsa Rum. Kayu kapal itu kemudian digunakan untuk atap Kabah dan tiga pilar Kabah. Pilar Kabah dari kayu kapal ini tercatat dipakai hingga 65 H. Potongan pilarnya tersimpan juga di museum.

Empat puluh sembilan tahun sepeninggal Nabi (yang wafat pada 632 Masehi atau tahun 11 Hijriah), Ka'bah juga terbakar. Kejadiannya saat tentara dari Syam menyerbu Makkah pada 681 Masehi, yaitu di masa penguasa Abdullah bin Az-Zubair, cucu Abu Bakar, yang berarti juga keponakan Aisyah.

Kebakaran pada masa ini mengakibatkan Hajar Aswad yang berdiameter 30 cm itu terpecah jadi tiga.

Untuk membangun kembali, seperti masa-masa sebelumnya, Kabah diruntuhkan terlebih dulu. Abdullah AzZubair membangun Ka'bah dengan dua pintu. Satu pintu dekat Hajar Aswad, satu pintu lagi dekat sudut Rukun Yamani, lurus dengan pintu dekat Hajar Aswad. Abdullah bin Az-Zubair memasang pecahan Hajar Aswad itu dengan diberi penahan perak. Yang terpasang sekarang adalah delapan pecahan kecil Hajar Aswad bercampur dengan bahan lilin, kasturi, dan ambar.
Jumlah pecahan Hajar Aswad diperkirakan mencapai 50 butir.

Pada 693 Masehi, Hajjaj bin Yusuf Ath-Taqafi berkirim surat ke Khalifah Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima dari Bani Umayyah yang mulai menjadi khalifah pada 692 Masehi), memberitahukan bahwa Abdullah bin Az-Zubair membuat dua pintu untuk Ka'bah dan memasukkan Hijir Ismail ke dalam bangunan Ka'bah.

Hajjaj ingin mengembalikan Kabah seperti di masa Quraisy; satu pintu dan Hijir Ismail berada di luar bangunan Ka'bah. Maka, oleh Hajjaj, pintu kedua--yang berada di sebelah barat dekat Rukun Yamani--ditutup kembali dan Hijir Ismail dikembalikan seperti semula, yakni berada di luar bangunan Ka'bah.

Akan tetapi, Khalifah Abdul Malik belakangan menyesal setelah mengetahui Ka'bah di masa Abdullah bin AzZubair dibangun berdasarkan hadis riwayat Aisyah. Di masa berikutnya, Khalifah Harun Al-Rasyid hendak mengembalikan bangunan Ka'bah serupa dengan yang dibangun Abdullah bin Az-Zubair karena sesuai dengan keinginan Nabi. Namun, Imam Malik menasihatinya agar tidak menjadikan Ka'bah sebagai bangunan yang selalu diubah sesuai kehendak setiap pemimpin. Jika itu terjadi, menurut Imam Malik, akan hilang kehebatannya di hati kaum Mukmin.

Pada 1630 Masehi, Kabah rusak akibat diterjang banjir. Sultan Murad Khan IV membangun kembali, sesuai bangunan Hajjaj bin Yusuf hingga bertahan 400 tahun lamanya pada masa pemerintahan Sultan Abdul Abdul Aziz. Sultan inilah yang memulai proyek pertama pelebaran Masjidil Haram.

Replika mushaf di Museum ini tersimpan pula replika Quran mushaf Usmani yang bacaannya, susunan surah dan ayatnya, serta jumlah surah dan ayatnya dipakai sebagai panduan hingga sekarang. Yang berbeda cuma bentuk hurufnya.

Pada masa Khalifah Usman bin Affan (35 H) dibuatlah standardisasi penulisan Quran. Di masa itu, sahabatsahabat Nabi memiliki mushaf yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan surah dan ayat, maupun jumlah surah dan ayat.

Mushaf yang dimiliki Ibnu Mas'ud, misalnya, tidak menyertakan Surat AlFatihah dan susunan surat yang berbeda. Surah keenam bukanlah Surah Al-An'am, melainkan Surah Yunus.

Quran Ali bin Abi Thalib juga tak memiliki Surah Al-Fatihah. Ali juga tak memasukkan surah ke-13, 34, 66, dan 96 ke mushafnya. "Ukuran mushaf Usman yang asli berbeda dari yang ini.
Ini hanya duplikat,'' ujar Abdul Rahman.
(Sumber Republika.com)

Minggu, 09 Januari 2011

Gadamer’s Hermeneutics


Betti’s Teoria generale della interpretazione surveys the spectrum  of different types of interpretation with a view to formulating an inclusive and systematic general theory and to developing a set of canons basic to all forms of interpretation which can serve as the basis for more valid interpretation.

With the apperance of Truth and Method hermeneutical theory enters an important new phase. The older conception of hermeneutics as the methodological basis specifically for the Geisteswissenschaften is left behind, and the status of method itself is called into question, for the title of Gadamer’s book contains an irony: method is not the way to truth.
Understanding is not conceived as a subjective process of man over and against an object but the way of being of man himself; hermeneutics is not defined as a general help discipline for the humanities but as a philosophical effort to account for understanding as an ontological process in man.

Gadamer is not directly concerned with the practical problems of formulating right principles for interpretation, he wishes rather to bring the phenomenon of understanding itself to light. Gadamer is working on a preliminary and more fundamental question: How is understanding possible, not only in the humanities but in the whole of man’s experience of the world? (Palmer 164)

The experience of a work of art transcends every subjective horizon of interpretation, both that of the artist and that of the perceiver. For this reason, “the mens auctoris is no possible measure of the meaning [bedeutung] of a work. Indeed, to speak about a work-in-itself, cut off from its ever renewed reality as it comes to stand in experience, is to take a very abstract view.” The decisive thing is neither the author’s intention, nor the work as a thing in itself outside history, but the ‘what’ that comes repeatedly to stand in historical encounters. (Palmer 164)

Like Heidegger, Gadamer is a critic of the modern surrender to technological thinking, which is rooted in subjectism (Subjektitat) – that is in taking the human subjective consciousness, and the certainties of reason based on it, as the ultimate point of reference for human knowledge.
The pre-Cartesian philosophers did not take subjectivity as their starting point and then ground the objectivity of their knowledge on it. Their was a more dialectical approach that tried to allow itself to be guide by the nature of what was being understood. Knowledge is not something that they acquired as a possession but something in which they participated, allowing themselves to be directed and even possessed by their knowledge. (Palmer 165)

For Gadamer, truth is not reached methodically but dialectically.
Strictly speaking, method is incapable of revealing new truth; it only renders explicit the kind of truth already implicit in the method. The discovery of the method itself was not arrived at through method but dialectically, that is, through a questioning responsiveness to the matter being encountered.
In method the inquiring subject leads and controls and manipulates; in dialectic the matter encountered poses the question to which he responds. One can only respond on the basis of his belonging to and in the matter. (Palmer 165)

The interpretative situation is no longer that of a questioner and an object, the the questioner having to construct methods to bring the object within his grasp, on the contrary the questioner suddenly finds himself the being who is interrogated by the subject matter. In such a situation, the subject-object schema is only misleading, for the subject has now become the object.  (palmer 165)

The objective of the dialectic is eminently phenomenological: to have the being or thing encountered reveal itself. Method involves a specific kind of questioning which lays open one side of a thing; a dialectical hermeneutics opens itself to be questioned by the being of the thing, so that the thing encountered can disclose itself in its being.

Prejudgment:
The idea of freeing understanding and interpretation from the prejudices of the prevailing opinion of the time is common to us. It would be ridiculous, we commonly say, to judge the achievements of a past age by the standards of today. The objective of historical knowledge can only be fulfilled through freedom from personal ideas and values on a subjct and a perfectly “open mind” to the world of ideas and values of a past age.

Prejudgments are not something we must or can dispense with; they are the basis of our being able to understand history at all. “There can be no ‘presuppositionless’ interpretation.”
Understandng, since it is an historically accumulated and historically operative basic structure, underlies even scientific interpretation; the meaning of a described experience does not come from the interplay of the elements in the experiment but from the tradition of interpretation in which it stands and the future possibilities it opens up.

If there can be no presuppositionless understanding, then we must reexamine our relationship to our heritage. Traddition and authority need no longer be seen as the enemiues of reason and rational freedom. Tradition furnishes the stream of conceptions within which we stand, and we must be prepared to distinguish between fruitful presuppositions and those that imprison and prevent us from thinking and seeing.\There is no intrinsic opposition between the claims of reason and those of tradition; reason stands always within tradition. Tradition supplies reason with the aspect of reality and history with chich it will work.
If there can be no presuppositionless interpretation, then the notion of one “right interpretation” as right in itself is a thoughtless ideal and an impossibility.
There is no interpretation without relationship to the present, and this is never permanent and fixed. A transmitted tesxt has to be understood in the hermeneutical situation in which it finds itself in relation to the present.
Meaning is not like a changeless property of an object but is always “for us.”
It asserts that meaning is present related, arising in the hermeneutical situation.

Rabu, 05 Januari 2011

Kajian Naskah Islam Nusantara Minim


Kajian Naskah Islam Nusantara Minim
Azyumardi Azra
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kajian terhadap naskah-naskah Islam Nusantara masih minim. Padahal keberadaan naskah Islam nusantara sangat penting. Menurut Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ((UIIN SYAHID) Jakarta, Azyumardi Azra, naskah tersebut akan mengungkapkan berbagai aspek Islam di Indonesia mulai dari sejarah sosial hingga pemikiran dan intelektualisme Islam.

”Tanpa penelitian dan pengkajian naskah, sulit mengenali dinamika Islam di Indonesia,”ujarnya dalam seminar yang bertajuk Filologi dan Penguatan Kajian Islam Indonesia di Jakarta, Senin (19/7).

Dalam acara yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascarsarjana (SPs) UIN SYAHID bekerjasama dengan Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag itu Azyumardi mengemukakan kajian filologi atas naskah-naskah Islam nusantara membantu menjelaskan Islam dengan kacamata lokal (from within) dan bukan paradigma luar (from without).

Sebab menurut dia, kajian naskah Islam nusantara yang dilakukan oleh pihak luar banyak penyimpangan. Sebagai contoh, Snouck Hurgronje menuding kitab //Turjuman Al-Mustafid// bukan karya orisinil Abdurrauf Singkel akan tetapi disadur dari kitab tafsir karangan Al-Baidlawi. “Padahal pendapat itu salah dan bertentangan dengan fakta sejarah,”ungkapnya

Lebih lanjut, Azyumardi mengungkapkan, kajian naskah Islam nusantara masih tergolong kurang populer. Hal ini disebabkan oleh minimnya sumber daya manusia yang menguasai dan terjun di bidang filologi. Oleh karena itu, kajian filologi atas naskah Islam Nusantara perlu ditingkatkan lagi.

Pemerintah juga diharapkan memperhatikan nasib naskah nusantara agar tidak diklaim oleh negara lain. “Naskah nusantara mutlak diperlukan dan diperhatikan serta tidak bisa diabaikan,”katanya

Hal senada diungkapkan oleh Oman Fathurraman, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), mengatakan kajian filologi terhadap naskah Islam nusantara belum memikat bagi civitas akademis di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Tercatat di Indonesia baru SPs UIN SYAHID yang memiliki program studi filologi. Oleh karena itu, PTAI dihimbau agar memasukkan filologi kajian naskah Islam nusatara ke dalam kurikulum pendidikan.

Namun demikian, Oman mengakui kajian atas naskah Islam Nusantara mulai meningkat terutama sejak tahun 2000. Akan tetapi, peningkatan tersebut masih mendapat kendala dan hambatan. Di antaranya, meningkatnya animo peneliti atas kajian filologi teks naskah Islam nusantara tidak diimbangi dengan sarana dan prasana yang mendukung terutama dana dan finansial.

Di samping itu, belum terdapat lembaga penelitian khusus guna mengkaji naskah Islam nusantara.”Keberadaan lembaga penting agar lebih fokus dan tidak saling tumpang tindih,”himbaunya

Sementara itu, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag, Atho Mudzhar mengutarakan kajian dan penelitian naskah keagamaan nusantara mutlak diperlukan. Mengingat naskah tersebut adalah salah satu warisan berharga bangsa. Apalagi, akhir-akhir ini jual beli naskah klasik di Indonesia marak dan kondisinya memprihatinkan.

Atho mengatakan, penelitian terhadap naskah-naskah keagamaan nusantara masih sangat terbatas tak sebanding dengan jumlah naskah yang ada. Oleh karena itu, sejak tahun 1994 Balitbang dan Diklat Kemenag RI melalui Puslitbang Lektur Keagamaan melakukan identifikasi naskah klasik keagamaan mulai dari wilayah Jawa.

Di samping itu, harapan paling besar terletak di PTAI karena PTAI memiliki peran strategis melestarikan naskah Islam nusantara. Langkah yang bisa ditempuh PTAI antara lain membuka progam studi filologi, melakukan penelitian tentang pernaskahan, memperbanyak seminar, menerbitkan hasil penelitian naskah, dan mengadakan penyuluhan ke masyarakat akan pentingnya menjaga naskah klasik keagamaan. “Jika PTAI di Indonesia perduli masalah ini maka pekerjaan terkait naskah bukanlah masalah yang sulit,” tegasnya.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/07/19/125424-kajian-naskah-islam-nusantara-minim

Naskah Kuno Islam Nusantara, Ternyata Begitu Berserakan


Naskah Kuno Islam Nusantara, Ternyata Begitu Berserakan
Naskah kuno
Hingga saat ini, Indonesia dikenal sebagai suatu negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Jumlahnya sekitar 90 persen dari total populasi yang berjumlah 230 juta jiwa. Agama Islam dianut oleh masyarakat Indonesia, mulai dari barat sampai timur dan dari utara sampai selatan. Dari wilayah Sabang di Aceh sampai Merauke di Papua, dari Pulau Miangas sampai Rote.

Menurut sejumlah data, agama Islam masuk ke wilayah nusantara ini sejak abad ke-13 dan ke-14 Masehi. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan berupa kuburan Fatimah Maimun di Gresik. Sumber lain menyebutkan, agama Islam telah masuk ke bumi nusantara ini sejak abad ke-7 Masehi. Hal ini diungkapkan oleh seorang peneliti Muslim asal Cina, Ibrahim Tien Ying Ma, dalam bukunya Muslim in Cina.

Penyebar agama Islam di Indonesia, jelas Ibrahim, dibawa oleh utusan dari sahabat Saad bin Abi Waqqash RA. Ditambahkan oleh Sumanto Al-Qurtuby, dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI, agama Islam masuk ke Indonesia tak hanya dibawa oleh pedagang Gujarat dan Arab, tapi juga oleh pedagang Cina. Oleh karena itu, ia menyebutkan, Islam masuk ke Indonesia ini melalui tiga jalur, yakni Arab, Gujarat, dan Cina.

Dengan penyebaran Islam yang gencar itu, tak heran bila Islam berkembang pesat di nusantara. Penyebaran berikutnya dilanjutkan oleh tokoh masyarakat, ulama, dan para mubaligh. Mereka inilah yang memiliki peran besar dalam menyebarkan dan mengembangkan Islam di Indonesia. Sebagian besar, nama-nama mereka telah melegenda.

Sebut saja nama Walisongo atau Sembilan Wali yang menyebarkan Islam di wilayah Jawa. Sedangkan di daerah lain, juga dikembangkan oleh tokoh ulama setempat. Para ulama yang ada di daerah, seperti Lombok, Mataram (NTB), Makasar (Sulawesi Selatan), Ternate (Maluku), Padang (Sumatra), Banjar (Kalimantan Selatan), menyebarkan Islam di wilayah setempat. Mereka mengajarkan agama Islam menurut bahasa dan adat istiadat setempat.

Pendekatan yang baik, membuat Islam begitu mudah diterima masyarakat. Tak hanya melalui ceramah dan pidato, para ulama daerah ini juga menyampaikan pesan-pesan Islam melalui karya-karyanya. Buku-buku itu ditulis dengan tangan di atas lembaran kertas yang ada saat itu. Misalnya, ada karya berjudul Hikayat Banjar, Sirah Nabawiyah, Fiqh al-Islam, dan lain sebagainya. Walaupun tak dikenal luas, peranan ulama daerah tersebut sangat penting bagi masyarakat.

"Ada ribuan karya ulama nusantara," kata Dasrizal MA, kepala Bidang Bina Program Penelitian, Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, kepada Republika. Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, karya-karya ulama daerah itu banyak terlupakan. Naskah-naskah yang mereka tulis hanya sebagian yang berhasil dibukukan. Sisanya, tak sempat disusun menjadi sebuah buku.

Karena minimnya perhatian terhadap karya-karya klasik ulama tersebut, sebagian besar hilang dan tak jelas rimbanya. Sebagian lagi, naskah mereka ada yang berada di luar negeri, seperti Belanda, Prancis, Inggris, Jerman, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Beberapa yang tersisa di Indonesia, tercecer ke mana-mana. Ada yang masih dimiliki ahli waris, ada yang terpendam, dan ada pula yang diperjualbelikan. "Yang baru berhasil diselamatkan hanya sekitar 600 naskah Islam klasik karya ulama nusantara," lanjut Dasrizal.

Karya-karya itu berisi tentang ilmu pengetahuan, ajaran, dan syair. Di antaranya berisi tentang ketuhanan, ajaran budi pekerti, sejarah, cerita rakyat (dongeng, legenda), teknologi tradisional, mantra, silsilah, jimat, syair, politik, pemerintahan, undang-undang, hukum adat, pengobatan tradisional, dan hikayat. Kini, naskah-naskah itu telah dijilid dengan baik dan didigitalisasi oleh Puslitbang Lektur Keagamaan, Balitbang Depag. Sebagian tersimpan di perpustakaan nasional dan beberapa ahli waris.
(Sumber Republika.com)