Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label hermeneutik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hermeneutik. Tampilkan semua postingan

Selasa, 25 Desember 2012

HERMENEUTIKA TEKS; Sebuah Tawaran Metode Tafsir al-Qur’an


Oleh: Sulaiman Ibrahim

Abstrak
Hermeneutika al-Qur’an adalah suatu penafsiran rasional “bebas terkendali” dalam rangka memahami al-Qur’an dengan kontekstual. Walaupun Hermeneutika sebuah metode dari Barat, tetapi bukan berarti tidak bisa dipakai untuk manafsirkan sebuah teks al-Qur’an. justru hal ini membuahkan sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional

Kebutuhan Sebuah Penafsiran
Sepanjang  berkaitan dengan ilmu pengetahuan, tidak ada teks yang sakral. Sebab ilmu pengetahuan berkembang dengan cara mengkritik yang lama dan melahirkan yang baru. Sakralisasi teks mungkin diperlukan oleh orang awam supaya tidak bingung, sebagaimana mereka perlu pemimpin, apabila tidak ada pemimpin mungkin pemandu, yaitu teks-teks. Tapi ketika sudah dewasa, orang harus tahu bahwa sakralisasi bisa mempersempit Islam itu sendiri.[1]
Modernisme Islam atau pembaharuan dalam Islam selama ini dipahami sebagai upaya untuk menyesuaikan paham-pahaDm keagamaan Islam dengan dinamika dan perkembangan baru yang timbul atau ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Atau, yang dimaksud dengan modernisme Islam adalah upaya memperbarui penafsiran, penjabaran dan cara-cara pelaksanaan ajaran-ajaran dasar dan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis sesuai dan sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi masalah yang dihadapi.[2]
Dalam sejarah perkembangan modernisme Islam terdapat suatu gagasan utama yang selalu dicetuskan oleh oleh para tokoh pembaru, modernis, yaitu kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Muhammad Abduh, misalnya, dengan serius mengajak untuk kembali kepada al-Qur’an dan berpegang teguh dengannya, dan perlunya penafsiran/interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, sesuai dan sejalan dengan tuntunan dan perkembangan zaman.[3]3 Sehubungan dengan gagasan utama modernisme Islam, semua pihak, terutama tokoh-tokoh modernis, sepakat dan antusias untuk mengoperasionalisasikan dan melaksanakannya. Mengingat perlunya penafsiran atau interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, khususnya al-Qur’an, maka mau atau tidak mau terlibatlah apa yang disebut tafsir.
            Al-Qur’an, sebagaimana diyakini umat Islam, adalah kalam Tuhan yang menyimpan segala petunjuk dan ajaran-Nya, yang meliputi segala aspek kehidupan manusia yang umumnya diungkap dalam bentuk dasar-dasarnya. Dan tafsir dipandang dari segi eksistensinya yang sangat melekat dengan al-Qur’an sungguh amat penting dan utama. Kepentingan dan keutamaan tafsir amat terasa apabila dihubungkan dengan keharusan umat Islam untuk memahami kandungan atau makna ajaran-ajaran al-Qur’an. Memahami segala kandungan al-Qur’an  merupakan perintah Allah Swt. (QS. 38: 29) dan (QS. 4: 82).
            Demikian penting upaya memahami dan merenungkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an, demi mendapatkan pelajaran-pelajaran berharga darinya. Untuk sampai pada tingkat pengamalan dan pelaksanaan segala petunjuk, ajaran dan aturan serta norma al-Qur’an tidaklah mudah, kecuali setelah memahami dengan sebaik-baiknya segala nasehat dan petunjuk al-Qur’an, serta menghayati prinsip-prinsip ajarannya, karena semua itu termuat dalam kemasan bahasa Arab yang beruslub tinggi. Hal ini menurut al-Zarqani, jelas diperlukan tafsir. Tanpa tafsir, tidak akan diperoleh apa-apa yang terkandung dalam khazanah al-Qur’an.[4]
            Dalam rangka penafsiran baru al-Qur’an sesuai dengan konteks kekinian dan kemoderenan zaman, tafsir yang lebih diperlukan ialah tafsir yang bercorak rasional, yaitu tafsir yang disebut dengan istilah tafsir al-Qur’an bi al-ra’y (dengan menggunakan akal) atau tafsîr al-Ijtihâd.[5] Di samping itu diperlukannya perpaduan antara pemikiran-pemikiran yang memberi interpretasi pada wahyu (tafsir bi al-Ma’tsur)[6], dengan interpretasi rasional “liberal” dalam hal ini “hermeneutik”.[7]


[1]Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, Doktrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2003) h. 118
[2]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002) cet I, h. 5

[3]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002) cet I, h. 5

[4]Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi al-‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: Musthafa al- Babi al-Halabi, tth.) jilid II, h. 6

[5]Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi al-‘Ulûm al-Qur’ân, h. 11

[6] Menurut al-Dzahabi al-tafsîr bi al-ma’tsûr adalah penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan: (a) ayat-ayat al-Qur’an, (b) riwayat yang berasal dari Rasulullah Saw. (c) riwayat dari sahabat, dan (d) riwayat dari para tabi’in. Lihat Al-Dzahabi, I, h. 152.
[7]Hermeneutika adalah ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi kita sekarang. Ini melibatkan aturan metodologis yang diterapkan dalam penafsiran maupun asumsi-asumsi epistimologis tentang  pemahaman. Hermeneutika mengasumsikan bahwa setiap orang mendatangi teks dengan membawa persoalan dan harapan sendiri, dan adalah masuk akal untuk menuntut  penafsir menyisihkan subjektivitas dirinya dan menafsirkan suatu teks tanpa pemahaman dan pertanyaan awal yang dimunculkannya. Lihat Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme. Terjemahan dari: Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Penerjemah: Watung A. Budiman. (Bandung: Mizan Media Utama, 2000), h. 83.

Ingin mendapatkan Artikel di atas silahkan hubungi Email: emand_99@hotmail.com

Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Kamis, 20 Desember 2012

Metodologi Tafsir


Para Ulama sepakat ada 4 corak penulisan Tafsir :
  1. Metode Tahlili,
  2. Metode Ijmali
  3. Metode Muqari
  4. Metode Maudhu’i.

A. Al-Tafsir al-Tahlili (Tafsir dengan Metode Tahlili)
         Tahlili berasal dari bahasa Arab hallala-yuhallilu-tahlil yang berarti  “Mengurai, Menganalisis”
Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam al-Qur’an. Muhammad Baqir al-Shadar menyebut tafsir metode tahlili atau tajzi’I yang secara harfiah berarti “Tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian, atau tafsir parsial“.
Dalam menafsirkan al-Qur’an mufassir biasanya melakukan sebagai berikut :
1.        Menerangkan hubungan (munasabah) baik antara satu ayat dengan ayat-ayat lain maupun antara satu surah dengan surah lain. Misalnya, dalam menafsirkan awal surah Ali-Imran
2.       Menjelaskan sebab-sebab turunya ayat (asbabu Nusul).
3.       Menganalisis mufradad (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab. Untuk menguatkan pendapatnya, terutama dalam menjelaskan mengenai bahasa ayat bersangkutan, mufassir kadang-kadang juga mengutip syair-syair yang berkembang sebelum dan pada masanya.
4.      Meamaparkan hubungan ayat secara umum dan maksudnya.
5.       Menerangkan unsure-unsur fashahah, bayan dan i’jaz-nya, bila dianggap perlu. Khususnya, apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung keindah
6.       Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila  Ayat-ayat yang ditafsirkan aadalah ayat-ayat ahkam, yaitu berhubungan dengan  Persoalan hukum.
7.       Menerangkan makna dan maksud syara yang terkandung dalam ayat yang   bersangkutan. Sebagai sandaranya, mufassir mengambil manfaat dari ayat-ayat lainya, hadist Nabi Saw., pendapat para sahabat dan tabi’in di samping ijthad mufassir sendiri.
         Dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang teradapat dalam tafsir tahlili yang jumlahnya sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh metode tafsir  Yaitu :
A. Al-Tafsir bi al-Ma’tsur,  secara harfiah berarti penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu tafsir ini dinamakan juga dengan al-tafsir bi al-riwayah (tafsir dengan riwayat) atau al-tafsir bi al-manqul (tafsir dengan menggunakan pengutipan (riwayat). Penafsiran dalam corak ini, dapat di bagi menjadi empat bentuk :
I . Al-tafsir bi al-ma’tsur secara harfiah berarti penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu, tafsir ini dinmakan juga dengan al-tafsir bi al-riwayah (tafsir dengan riwayat) atau al-tafsir bi al-manqul tafsir dengan menggunakan  pengutipan (riwayat). Penafsiran dalam corak ini dapat di bagi menjadi empat bentuk yaitu :
Ø  Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat lain. Pertama, ayat atau ayat-ayat lain menjabarkan apa yang diungkapkan pada ayat tertentu. Misalnya, kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertaqwa) dalam ayat I surah al-Baqarah, dijabarkan ayat-ayat sesudahnya ( ayat-ayat 3-4) yang menyatakan………. Kedua, ada informasi tertentu, misalnya tentang kisah Nabi Musa, pada surah tertentu diungkapkansecara singkat, sementara pada surah yang lain secara panjang lebar. Dalam hal ini ayat-ayat yang panjang lebar menafsirkan ayat-ayat yang mengandung informasi yang lebih ringlas. Ketiga, ayat-ayat mujmal ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mubayyan, ayat-ayat yang muthlaq ditafsirkan oleh ayat-ayat muqayyad, dan ayat-ayat yang ‘am ditafsirkan oleh ayat-ayat khash. Ringkasnya, ayat-ayat yang mengandung penegertian umum dan global ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mengandung pengertian khusus dan rinci. Keempat, informasi yang terkandung dalam satu ayat kadang terlihat berbeda dengan informasi yang terdapat pada ayat-ayat lain. Penafsiran ayat-ayat dilakukan dengan mengkompromikan pengertian-pengertian tersebut.
Ø  Penafsiran ayat al-Qur’an dengan hadist Nabi Saw.
Ø  Disamping al-Qur’an, otoritas dalampenafsiran al-Qur’an terletak di tangan Nabi Saw. Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa Nabi diutus untuk menjelaskan wahyu al-Qur’an yang diturunkan kepadanya.
Ø  Penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat.
Ø  para ulama berpendapat bahwa setelah Nabi Saw. Wafat, orang yang paling memahami al-Qur’an adalah generasi sahabat, karena mereka hidup pada masa al-Qur’an masih diturunkan, bergaul dengan Nabi yang paling paham dengan isi al-Qur’an, serta mengetahui konteks al-Qur’an turun. Karena itu, pendapat-pendapat para sahabat dijadikan oleh para ulama tafsir sebagai bahan penting dalam menafsirkan al-Qur’an.
Ø  Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan pendapat para tabiin.
Ø  Perkembangan metode tafsir ini dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode lisan, ketika penafsiran dari Nabi Saw. Dan para sahabat sebarluaskan secara periwayatan, dan tulisan, ketika riwayat-riwayat yang sebelumnya tersebar secara lisan itu mulai dibukukan.
Ø  Diantara kitab-kitab tafsir yang dapat dikategorikan sebagai al-tafsir bi al-ma’tsur adalah Jami’ al-Bayan fi-Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Ibn Jarir al-Thabari (w.310 H), Ma’alim al-Tanzil karya al-Baghawi (w.516 H/1122 M), Tafsir al-Qur’an al-Karim (tafsir Ibn Katsir), karya Abu al-Fida’Isma’il ibn katsir (w.77 H/1373 M), dan al-Durr alManshur fi al-Tafsir al-Ma’tsur karya Jalal al-Din al Suyuthi (w.911 H/1505 M).



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Minggu, 06 November 2011

Hermeneutika Haji dan Kurban

Oleh: Sulaiman Ibrahim
Ibadah haji merupakan gladi resik atau latihan untuk kembali kepada Allah. Haji adalah latihan kematian karena meninggalkan tanah air, meninggalkan keluarga, meninggalkan tetangga, dengan niat yang satu, yaitu ingin memenuhi undangan Allah Swt. Simbolisme haji ditandai oleh kesediaan seseorang untuk berkurban. Bentuk simbolis itu diwujudkan dengan menyembelih seekor binatang kurban yang dagingnya dibagikan dan disedekahkan kepada orang-orang miskin. Penyembelihan binatang kurban secara simbolik melambangkan kesungguhan hati manusia untuk menyembelih nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri, karena kalau nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia tidak disembelih dan dikorbankan, maka akibatnya akan merusak, baik merusak dirinya sendiri maupun akan merusak orang lain yang ada disekitarnya.
Ibadah haji yang sedang dilaksanakan umat Islam saat ini juga suatu bimbingan moral dan etika Islam bagi orang-orang beriman. Ibadah haji suatu institusi keimanan, untuk kita memperbaiki keadaan diri kita, yang juga berarti demi kebaikan masyarakat Islam agar tidak terperangkap dalam budaya tanpa norma (anomik)
Pakaian ihram mengajarkan kepada kita bahwa nilai kehidupan ini hendaknya semata-mata diukur dan bertujuan kepada Allah, bukan untuk berbagai atribut jabatan, kepopuleran, kebanggaan dan perhiasan dunia. Wuquf di Padang Arafah melambangkan agar kita merenungi diri untuk apa kita hidup dan kemana kita akan pergi setelah kematian. Dengan demikian, kita tidak akan cinta terhadap dunia secara berlebihan karena telah menyadari bahwa kita diciptakan oleh Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Melempar jumrah akan mendidik kita bermental anti dosa, anti setan dan begundalnya, serta membuang segala prilaku buruk yang pernah kita lakukan, tidak mudah terpegaruh oleh tipu daya duniawi yang menyesatkan. Dari sini akan terbina sifat ikhlas, jujur, dan suka kepada kebaikan. Begitupun thawaf, akan membimbing kita agar segala usaha dan upaya kita, segala langkah dan perbuatan dalam hidup kita adalah dalam rangka mengabdi kepada Allah, sebagai jaminan harkat diri kita kelak di hadapan-Nya.
Ibadah haji adalah refleksi aqidah yang telah teruji kemampuannya atau suatu komitmen pengabdian diri kepada Allah, bukan rekreasi ritual atau sekedar mencari keamanan semu di hadapan Allah. Ibadah ini mengandung pengertian yang dalam dan suci. Karena itu, mabrur tidaknya seseorang dalam melaksanakan ibadah haji akan diuji prilakunya dalam usaha kemaslahatan umat.
Dalam hal ini, semangat berkurban dengan menyembelih nafsu kebinatangan, menjadi suatu yang amat penting untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara menuju masa depan yang lebih baik. Karena hanya dengan kesediaan mengorbankan egoisme kekuasaan, kepentingan kelompok, partai, dan fanatisme kesukuan dan keagamaan, maka pluralisme dalam berbagai aspeknya, baik dalam segi sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, maupun agama, akan dapat terjaga dan akan memperkaya kehidupan spritualitas bangsa. Semoga Idul Adha tahun ini memberikan kita pencerahan menuju masa depan yang lebih baik. Selamat Hari Raya Idul Adha 1432 H.[]


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Minggu, 09 Januari 2011

Gadamer’s Hermeneutics


Betti’s Teoria generale della interpretazione surveys the spectrum  of different types of interpretation with a view to formulating an inclusive and systematic general theory and to developing a set of canons basic to all forms of interpretation which can serve as the basis for more valid interpretation.

With the apperance of Truth and Method hermeneutical theory enters an important new phase. The older conception of hermeneutics as the methodological basis specifically for the Geisteswissenschaften is left behind, and the status of method itself is called into question, for the title of Gadamer’s book contains an irony: method is not the way to truth.
Understanding is not conceived as a subjective process of man over and against an object but the way of being of man himself; hermeneutics is not defined as a general help discipline for the humanities but as a philosophical effort to account for understanding as an ontological process in man.

Gadamer is not directly concerned with the practical problems of formulating right principles for interpretation, he wishes rather to bring the phenomenon of understanding itself to light. Gadamer is working on a preliminary and more fundamental question: How is understanding possible, not only in the humanities but in the whole of man’s experience of the world? (Palmer 164)

The experience of a work of art transcends every subjective horizon of interpretation, both that of the artist and that of the perceiver. For this reason, “the mens auctoris is no possible measure of the meaning [bedeutung] of a work. Indeed, to speak about a work-in-itself, cut off from its ever renewed reality as it comes to stand in experience, is to take a very abstract view.” The decisive thing is neither the author’s intention, nor the work as a thing in itself outside history, but the ‘what’ that comes repeatedly to stand in historical encounters. (Palmer 164)

Like Heidegger, Gadamer is a critic of the modern surrender to technological thinking, which is rooted in subjectism (Subjektitat) – that is in taking the human subjective consciousness, and the certainties of reason based on it, as the ultimate point of reference for human knowledge.
The pre-Cartesian philosophers did not take subjectivity as their starting point and then ground the objectivity of their knowledge on it. Their was a more dialectical approach that tried to allow itself to be guide by the nature of what was being understood. Knowledge is not something that they acquired as a possession but something in which they participated, allowing themselves to be directed and even possessed by their knowledge. (Palmer 165)

For Gadamer, truth is not reached methodically but dialectically.
Strictly speaking, method is incapable of revealing new truth; it only renders explicit the kind of truth already implicit in the method. The discovery of the method itself was not arrived at through method but dialectically, that is, through a questioning responsiveness to the matter being encountered.
In method the inquiring subject leads and controls and manipulates; in dialectic the matter encountered poses the question to which he responds. One can only respond on the basis of his belonging to and in the matter. (Palmer 165)

The interpretative situation is no longer that of a questioner and an object, the the questioner having to construct methods to bring the object within his grasp, on the contrary the questioner suddenly finds himself the being who is interrogated by the subject matter. In such a situation, the subject-object schema is only misleading, for the subject has now become the object.  (palmer 165)

The objective of the dialectic is eminently phenomenological: to have the being or thing encountered reveal itself. Method involves a specific kind of questioning which lays open one side of a thing; a dialectical hermeneutics opens itself to be questioned by the being of the thing, so that the thing encountered can disclose itself in its being.

Prejudgment:
The idea of freeing understanding and interpretation from the prejudices of the prevailing opinion of the time is common to us. It would be ridiculous, we commonly say, to judge the achievements of a past age by the standards of today. The objective of historical knowledge can only be fulfilled through freedom from personal ideas and values on a subjct and a perfectly “open mind” to the world of ideas and values of a past age.

Prejudgments are not something we must or can dispense with; they are the basis of our being able to understand history at all. “There can be no ‘presuppositionless’ interpretation.”
Understandng, since it is an historically accumulated and historically operative basic structure, underlies even scientific interpretation; the meaning of a described experience does not come from the interplay of the elements in the experiment but from the tradition of interpretation in which it stands and the future possibilities it opens up.

If there can be no presuppositionless understanding, then we must reexamine our relationship to our heritage. Traddition and authority need no longer be seen as the enemiues of reason and rational freedom. Tradition furnishes the stream of conceptions within which we stand, and we must be prepared to distinguish between fruitful presuppositions and those that imprison and prevent us from thinking and seeing.\There is no intrinsic opposition between the claims of reason and those of tradition; reason stands always within tradition. Tradition supplies reason with the aspect of reality and history with chich it will work.
If there can be no presuppositionless interpretation, then the notion of one “right interpretation” as right in itself is a thoughtless ideal and an impossibility.
There is no interpretation without relationship to the present, and this is never permanent and fixed. A transmitted tesxt has to be understood in the hermeneutical situation in which it finds itself in relation to the present.
Meaning is not like a changeless property of an object but is always “for us.”
It asserts that meaning is present related, arising in the hermeneutical situation.