Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label tempat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tempat. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 April 2011

8 Pilar Penyangga Perkawinan

Coolman Deds
 Di masa pacaran, boleh jadi cinta memang sejuta rasanya. Namun ketika memasuki perkawinan, modal cinta saja tak cukup untuk mempertahankan kelangsungan sebuah keluarga.
Dalam mencari pasangan hidup, budaya Jawa mengenal sejumlah kriteria yang dikenal dengan istilah bobot, bibit, bebet. Namun pada kenyataannya, banyak orang beranggapan salah satunya saja sudah cukup memenuhi kriteria pasangan hidup. "Cari pasangan ya lihat pribadinya, dong! Punya mobil pribadi, rumah pribadi, dan kalau perlu vila pribadi!" ujar seorang perempuan tanpa maksud bergurau. "Kalau menurut saya sih, yang penting harus punya tanggung jawab," sela seorang teman bicaranya. "Yang paling penting, ya, cinta, dong!" yang lain menyergah tak kalah semangat.
Sebetulnya apa saja, sih, pilar penyangga yang kokoh bagi kelanggengan sebuah perkawinan? Benarkah cinta bisa diandalkan? Sepenuhnya ditentukan oleh kelimpahan materi? Bagaimana soal komitmen dan tanggung jawab? Seberapa penting aspek kepribadian kedua belah pihak? Bagaimana dengan hal-hal lain, bisakah diabaikan?
"Proses menimbang-nimbang memang seharusnya sudah dimulai sebelum suami-istri memasuki gerbang pernikahan," kata Titi P. Natalia, M.Psi. Meski ia tak menyangkal banyak pasangan yang tidak "sempat" melewati proses seleksi. Meminjam istilah anak zaman sekarang, ada tahapan yang mesti dilalui, yakni koleksi, seleksi, baru resepsi.
Akan tetapi, Titi mengingatkan agar kita tidak perlu lagi menoleh ke belakang hanya untuk mempertanyakan apakah tahapan-tahapan tersebut sudah dilalui atau belum. "Sebaiknya lihat saja ke depan. Komitmen dan kesungguhan suami istrilah yang paling dibutuhkan begitu janur kuning sudah dipasang melengkung," tandasnya.
“Dalam mencari calon istri atau suami untuk menuju atau memasuki pernikahan maka yang perlu diingat jangan pernah mencari pasangan untuk menemukan yang cocok karena itu akan menyebabkan suatu ketika bisa tidak cocok tapi carilah pasangan untuk saling mencocokan sehingga pernikahan kita dapat kuat” demikian kata Donald F.R Sendow,M.Div tentang mencari pasangan hidup.
8 Pilar Yang Dibutuhkan
Pilar-pilar yang dibutuhkan demi kokohnya sebuah pernikahan memang tidak sedikit. Berikut di antaranya:
1. Latar belakang keluarga.
Tak bisa dipungkiri, latar belakang keluarga kedua belah pihak pastilah memegang peran penting. Yang termasuk di sini antara lain suku, bangsa, ras, agama, sosial, kondisi ekonomi, pola hidup dan sebagainya. Namun bukan berarti pasangan dengan latar belakang yang sangat berbeda dan bertolak belakang tidak mungkin bersatu. Hanya saja mereka mesti lebih siap dituntut berupaya lebih keras dalam proses penyesuaian diri.
2. Kesetaraan
Kesetaraan akan mempermudah suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Adanya kesetaraan dalam banyak hal dapat meminimalkan friksi yang mungkin timbul. Kesetaraan ini antara lain meliputi kesetaraan pendidikan, pola pikir dan keimanan.
3. Karakteristik Individu
Setiap individu memiliki karakteristik yang unik dan ini menjadi salah satu pilar yang menentukan langgeng tidaknya sebuah rumah tangga. Individu dengan karakter sulit yang bertemu dengan individu yang juga berkarakter sulit, tentu lebih berat dalam mempertahankan pernikahannya. Sebaliknya, yang berkarakter sulit bila bertemu dengan pasangan yang berkarakter mudah, tentu proses penyesuaian yang harus dijalaninya bakal lebih mulus.
4. Cinta
Jangan anggap sepele kata yang satu ini. Walaupun tidak berwujud, cinta dapat dirasakan. Pernikahan tanpa cinta bisa dibilang ibarat sayur tanpa garam, serba hambar dan dingin. Cinta yang dimaksud adalah cinta yang mencakup makna melindungi, memiliki tanggung jawab, memberi rasa aman pada pasangan dan sebagainya.
Ada yang bilang, setelah sekian tahun menikah cinta biasanya akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Sementara yang tersisa tinggal tanggung jawab. Benarkah? "Tidak harus seperti itu karena cinta bisa dipupuk supaya terus subur. Apalagi menjalani tanggung jawab akan terasa lebih ringan kalau ada cinta di dalamnya," ujar Titi. Meski tentu saja, mempertahankan rumah tangga tidak cukup bermodalkan cinta semata!
5. Kematangan dan Motivasi
Kematangan suami/istri memang ditentukan oleh faktor usia ketika menikah. Mereka yang menikah terlalu muda secara psikologis belum matang dan ini akan berpengaruh pada motivasinya dalam mempertahankan biduk rumah tangga. Namun usia tidak identik dengan kematangan seseorang karena bisa saja orang yang sudah cukup umur tetap kurang memperlihatkan kematangan.
6. Pengertian dan Kebijaksanaan
Semakin dewasa dan lama, perkawinan akan memasuki fase atau level pemahaman yang disebut pengertian. Yaitu proses memahami ketika pasangan kita justru sulit dimengerti. Kejikasanaan memahami apa yang sulit dimengerti menjadi pilar yang kuat menopang perkawinan kita.
7. Penerimaan
Menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa kita dan pasangan kita memang berbeda dan mampu menerima perbedaan itu sebagai seni dalam pernikahan merupakan pilar yang juga penting dalam perkawinan.
8. Partnership
Partnership alias semangat bekerja sama di antara suami dan istri. Tanpa adanya partnership, umumnya rumah tangga mudah goyah. Selain itu perlu "persahabatan" yang bisa dirasakan keduanya. Coba bayangkan, alangkah nikmatnya bila masalah apa pun yang menghadang senantiasa dihadapi bersama dengan seorang sahabat.
Bila Terjadi Kepincangan
Idealnya, menurut Titi, semua pilar tersebut sama-sama ikut menyangga bangunan rumah tangga agar segala sesuatunya menjadi lebih kokoh dan kuat. Namun dalam realitas sering terdapat kepincangan di sana-sini, entah dalam hal motivasi, kesetaraan dan sebagainya. Kalau hal seperti ini yang terjadi, apa yang harus dilakukan?
"Semua terpulang pada tujuan pernikahan itu sendiri. Kalau memang tujuan mereka jelas dan motivasi suami maupun istri kuat, tentu akan ada ´usaha´ dari kedua belah pihak untuk menyelaraskan semuanya," jawab psikolog yang antara lain berpraktik di Empati Development Center. Keduanya akan bersedia menerima pasangannya, apa pun adanya. "Tapi ingat, menerima di sini bukan berarti pasrah begitu saja lo, melainkan harus ada penyesuaian di sana-sini yang bisa diterima bersama."
Mengarungi biduk perkawinan tanpa masalah memang mustahil karena friksi-friksi sangat mungkin muncul kapan saja dan mencakup aspek apa saja. "Namun sekali lagi kembali pada usaha suami dan istri untuk mempersepsikan perbedaan yang ada. Apakah perbedaan itu akan dibesar-besarkan atau dicarikan jalan keluarnya."
Saat menentukan pilihan mungkin saja calon suami/istri adalah yang terbaik. Namun dalam perjalanan hidup perkawinan mereka, di mata istri atau suami, ternyata pasangannya bukan lagi yang terbaik. Lo, kok bisa begitu? "Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dinamis. Selalu saja ada perubahan. Oleh karena itulah dibutuhkan kesadaran kedua belah pihak untuk terus-menerus menyesuaikan diri."
Singkatnya, walaupun semua pilar yang disebutkan itu ada dalam rumah tangga, tidak ada jaminan bahwa pernikahan ini akan mulus tanpa batu sandungan. Namun setidaknya dengan adanya pilar-pilar kokoh tadi, suami dan istri akan dipermudah dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Coolman Deds
sumber: http://kolomkita.detik.com

Selasa, 04 Mei 2010

Tuhan Tempat Pelarian?

Oleh: Komaruddin Hidayat


TIDAK salah jika seseorang mendekat kepada Tuhan di kala duka,ketika tertimpa musibah berat. Bukankah Tuhan Maha Pengasih, Maha Penggembira,dan Maha Penolong? Namun pantaskah seseorang ingat dan mengiba kepada Tuhan hanya di kala duka, sementara di waktu senang tidak pernah mengingat, memuji, danberterimakasih? Cobasaja bayangkan dan analogikan dengan kehidupan sehari-hari.Seorang ibu yang penuh kasih tentu selalu berlapang dada menerima anak-anaknya yang dirundung masalah. Namun sungguh anak itu tidak bermoral dan akan dinilai durhaka ketika hidupnya senang lalu melupakan cinta dan hormatnya kepada ibu.
Demikianlah, dalam kehidupan beragama banyak terjadi perilaku serupa.Mereka rajin berdoa, bersembahyang, berumrah, dan bersedekah ketika dirundung masalah. Padahal,menurut sabda Rasulullah, doa yang didengar dan dikabulkan Tuhan itu adalah doa yang selalu dipanjatkan baik di kala suka maupun duka.Jadi,jangan keburu mengeluh Tuhan tidak peduli terhadap doa seseorang jika dia berdoa hanya di waktu duka. Di situlah salah satu rahasia kekuatan doa dan sembahyang yang dianjurkan agar dilakukan setiap hari.Bahkan perintah ingat kepada Tuhan adalah agar dilakukan kapan saja, di mana saja.Tuhan tidak mengenal birokrasi, baik yang menyangkut ruang maupun waktu,sehingga siapa pun dan dalam situasi apa pun bisa menjumpai Tuhan untuk mengadukan segala persoalan hidupnya.
Siapa pun bebas menjumpai Tuhan sebagaimana mereka juga bebas untuk berpaling dari Tuhan,bahkan mengingkari Tuhan. Di sinilah keunikan beragama dan di sini pula keluhuran serta kesucian kualitas manusia akan teruji. Dalam menghayati iman dan cinta kepada Tuhan,sesungguhnya seseorang tengah mengaktualisasikan kemerdekaannya yang paling tinggi dan tengah membebaskan diri dari dominasi egonya agar diganti dengan sifat-sifat Ilahi. Proses internalisasi sifat Tuhan inilah barangkali yang tersirat dalam doa: “Datanglah Kerajaan-Mu di hati ini dan berlakulah kerajaan- Mu di muka bumi.” Mengapa menghayati iman merupakan pembebasan diri? Sebab, pilihan untuk mencinta serta pasrah kepada Tuhan sebagai sumber segala kebaikan merupakan pilihan bebas, hasil sebuah pergulatan spiritual dan akal budi yang tak seorang pun bisa memaksa ataupun melarang.
Oleh karenanya saat dialog dengan Tuhan,sesungguhnya pada waktu yang sama seseorang juga melakukan dialog dengan diri sendiri. Adakah dialog itu dijiwai rasa syukur, rasa penyesalan, penuh permintaan ataukah datar-datar saja,semuanya itu akan berpulang pada kesadaran dan situasi batin seseorang. Dengan demikian,ketika seseorang berdoa atau tengah melakukan pengakuan dosa, semestinya juga disertai keinginan kuat untuk melakukan perbaikan diri karena kehendak dan karya Tuhan hanya berlaku pada mereka yang membuka dirinya bagi kehadiran Tuhan. Maka ketika makna dan fungsi agama dipahami dan dihayati tak lebih sebagai himpunan dogma tentang surga-neraka atau ketika ritual agama diyakini hanya sebagai ritus pemutihan dosa, bisa dipastikan agama akan kehilangan etos dan spiritnya bagi pembinaan pribadi dan perilaku sosial yang mendukung bagi terwujudnya peradaban unggul.
Doa-doa lalu berubah bagaikan mantra-mantra untuk mengobati frustrasi ataupun untuk mengejar pangkat dan mengawetkan jabatan.Tuhan lalu diposisikan sebagai pesuruh manusia, bukan ekspresi cinta dan kepasrahan. Dalam kaitan ini, tidak mengherankan jika para pejabat tinggi negara senang berkonsultasi kepada dukun ketimbang kepada psikiater karena ingin cepat naik pangkat dan tanpa kerja keras.Cukup dengan mantra-mantra. Dalam bentuknya yang lain, mantramantra itu berubah menjadi suap. Sebab,dengan keberagamaan kita yang seperti itu, nilai agama tidak banyak berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.(*)