Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Methodology. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Methodology. Tampilkan semua postingan

Kamis, 20 Desember 2012

Metodologi Tafsir


Para Ulama sepakat ada 4 corak penulisan Tafsir :
  1. Metode Tahlili,
  2. Metode Ijmali
  3. Metode Muqari
  4. Metode Maudhu’i.

A. Al-Tafsir al-Tahlili (Tafsir dengan Metode Tahlili)
         Tahlili berasal dari bahasa Arab hallala-yuhallilu-tahlil yang berarti  “Mengurai, Menganalisis”
Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam al-Qur’an. Muhammad Baqir al-Shadar menyebut tafsir metode tahlili atau tajzi’I yang secara harfiah berarti “Tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian, atau tafsir parsial“.
Dalam menafsirkan al-Qur’an mufassir biasanya melakukan sebagai berikut :
1.        Menerangkan hubungan (munasabah) baik antara satu ayat dengan ayat-ayat lain maupun antara satu surah dengan surah lain. Misalnya, dalam menafsirkan awal surah Ali-Imran
2.       Menjelaskan sebab-sebab turunya ayat (asbabu Nusul).
3.       Menganalisis mufradad (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab. Untuk menguatkan pendapatnya, terutama dalam menjelaskan mengenai bahasa ayat bersangkutan, mufassir kadang-kadang juga mengutip syair-syair yang berkembang sebelum dan pada masanya.
4.      Meamaparkan hubungan ayat secara umum dan maksudnya.
5.       Menerangkan unsure-unsur fashahah, bayan dan i’jaz-nya, bila dianggap perlu. Khususnya, apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung keindah
6.       Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila  Ayat-ayat yang ditafsirkan aadalah ayat-ayat ahkam, yaitu berhubungan dengan  Persoalan hukum.
7.       Menerangkan makna dan maksud syara yang terkandung dalam ayat yang   bersangkutan. Sebagai sandaranya, mufassir mengambil manfaat dari ayat-ayat lainya, hadist Nabi Saw., pendapat para sahabat dan tabi’in di samping ijthad mufassir sendiri.
         Dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang teradapat dalam tafsir tahlili yang jumlahnya sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh metode tafsir  Yaitu :
A. Al-Tafsir bi al-Ma’tsur,  secara harfiah berarti penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu tafsir ini dinamakan juga dengan al-tafsir bi al-riwayah (tafsir dengan riwayat) atau al-tafsir bi al-manqul (tafsir dengan menggunakan pengutipan (riwayat). Penafsiran dalam corak ini, dapat di bagi menjadi empat bentuk :
I . Al-tafsir bi al-ma’tsur secara harfiah berarti penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu, tafsir ini dinmakan juga dengan al-tafsir bi al-riwayah (tafsir dengan riwayat) atau al-tafsir bi al-manqul tafsir dengan menggunakan  pengutipan (riwayat). Penafsiran dalam corak ini dapat di bagi menjadi empat bentuk yaitu :
Ø  Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat lain. Pertama, ayat atau ayat-ayat lain menjabarkan apa yang diungkapkan pada ayat tertentu. Misalnya, kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertaqwa) dalam ayat I surah al-Baqarah, dijabarkan ayat-ayat sesudahnya ( ayat-ayat 3-4) yang menyatakan………. Kedua, ada informasi tertentu, misalnya tentang kisah Nabi Musa, pada surah tertentu diungkapkansecara singkat, sementara pada surah yang lain secara panjang lebar. Dalam hal ini ayat-ayat yang panjang lebar menafsirkan ayat-ayat yang mengandung informasi yang lebih ringlas. Ketiga, ayat-ayat mujmal ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mubayyan, ayat-ayat yang muthlaq ditafsirkan oleh ayat-ayat muqayyad, dan ayat-ayat yang ‘am ditafsirkan oleh ayat-ayat khash. Ringkasnya, ayat-ayat yang mengandung penegertian umum dan global ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mengandung pengertian khusus dan rinci. Keempat, informasi yang terkandung dalam satu ayat kadang terlihat berbeda dengan informasi yang terdapat pada ayat-ayat lain. Penafsiran ayat-ayat dilakukan dengan mengkompromikan pengertian-pengertian tersebut.
Ø  Penafsiran ayat al-Qur’an dengan hadist Nabi Saw.
Ø  Disamping al-Qur’an, otoritas dalampenafsiran al-Qur’an terletak di tangan Nabi Saw. Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa Nabi diutus untuk menjelaskan wahyu al-Qur’an yang diturunkan kepadanya.
Ø  Penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat.
Ø  para ulama berpendapat bahwa setelah Nabi Saw. Wafat, orang yang paling memahami al-Qur’an adalah generasi sahabat, karena mereka hidup pada masa al-Qur’an masih diturunkan, bergaul dengan Nabi yang paling paham dengan isi al-Qur’an, serta mengetahui konteks al-Qur’an turun. Karena itu, pendapat-pendapat para sahabat dijadikan oleh para ulama tafsir sebagai bahan penting dalam menafsirkan al-Qur’an.
Ø  Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan pendapat para tabiin.
Ø  Perkembangan metode tafsir ini dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode lisan, ketika penafsiran dari Nabi Saw. Dan para sahabat sebarluaskan secara periwayatan, dan tulisan, ketika riwayat-riwayat yang sebelumnya tersebar secara lisan itu mulai dibukukan.
Ø  Diantara kitab-kitab tafsir yang dapat dikategorikan sebagai al-tafsir bi al-ma’tsur adalah Jami’ al-Bayan fi-Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Ibn Jarir al-Thabari (w.310 H), Ma’alim al-Tanzil karya al-Baghawi (w.516 H/1122 M), Tafsir al-Qur’an al-Karim (tafsir Ibn Katsir), karya Abu al-Fida’Isma’il ibn katsir (w.77 H/1373 M), dan al-Durr alManshur fi al-Tafsir al-Ma’tsur karya Jalal al-Din al Suyuthi (w.911 H/1505 M).



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Kamis, 27 Oktober 2011

STRUKTURALISME KONFLIK: Upaya Penyelesaian Konflik Agama di Masyarakat Pluralis


Oleh: Sulaiman Ibrahim

I. Pendahuluan

Kehidupan sosial-keagamaan era modern ini ditandai oleh semakin seringnya terjadi tantangan dan benturan kultural, sosial, etnis dan agama yang melibatkan masyarakat sipil. Hal ini memperkuat alasan betapa pentingnya upaya menambah, mengembangkan, dan memperkaya intensitas saling tukar-menukar pengetahuan yang dapat dipercaya sebagai penghubung tentang berbagai agama (aspek doktrin) dan kehidupan sosial-keagamaan (aspek empiris-historis).[1]
Dilihat dari jumlah penganutnya, keberadaan agama yang ada di suatu negara, terdapat agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya, dan ada pula agama lainnya yang dianut oleh minoritas penduduknya. Di Indonesia misalnya terdapat agama Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Agama Islam dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, diikuti oleh Kristen dan seterusnya. Memang, keberadaan agama yang berbeda-beda itu pada suatu negara terkadang ditandai oleh adanya hubungan yang mesra dan harmonis, dan kadang pula ditandai adanya hubungan yang penuh ketegangan, konflik dan permusuhan yang membawa pertumpahan darah. Agama Kristen misalnya telah berhubungan dengan agama Islam selama lebih dari empat belas abad lamanya. Rentang waktu begitu panjang dan terus menerus dalam hubungan itu telah menjadi saksi dari berbagai perubahan dan naik turunnya batas-batas kebudayaan dan toritorial antara keduanya.[2]
Kecendrungan kekerasan bernuansa agama juga konflik etnik yang semakin kental dibeberapa bagian wilayah Indonesia makin mengancam keberadaan masa depan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Kekerasan tersebut tentu saja tidak boleh berkembang dan dibiarkan. Ini tidak dapat dilepaskan dari upaya setiap elemen bangsa untuk mencari jalan keluar dari ancaman konflik agama dan etnik.
Kritik bahwa kekerasan berwajah agama itu tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan agama yang cenderung memperkeras identitas keagamaan secara eksklusif dan secara bersamaan menumpulkan kepekaan sesama umat yang berbeda keyakinan. Klaim kebenaran (truth claims)  suatu agama oleh pemeluknya acapkali dijadikan dasar untuk menegasikan keberadaan pemeluk agama lainnya. Dalam kehidupan masyarakat yang sangat majemuk baik dari aspek agama maupun etnik, tentu saja hal ini tidak menguntungkan bagi harapan terciptanya sebuah kehidupan umat beragama yang harmonis, toleran dan dialogis.[3]
Masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang majemuk, terlingkup di dalamnya berbagai komposisi sosial dan aliran. Heteregonitas masyarakat tersebut membuat sistem sosial selalu terus progresif dan berjalan dinamis. Akan tetapi, heterogenitas dalam masyarakat di sisi lain akan mengakibatkan rawannya terjadi konflik di antara sesama masyarakat. Terjadinya konflik lebih disebabkan oleh pengelolaan stratifikasi sosial dalam masyarakat tidak berfungsi. Berbagai pendekatan teori telah diupayakan oleh beberapa sosiolog untuk meneliti kestabilan terhadap tingkat kerawanan sosial tersebut, tetapi kebanyakan sosiolog tersebut mengacuhkan analisa konflik sosial. Kaum fungsional struktural misalnya, melihat bahwa konflik hanyalah manifes dari disfungsinya sebuah struktur dalam masyarakat dan melihat masyarakat hanya sebagai sebuah struktur yang paten.
Sebagai antitesa dari teori tersebut, dalam melihat struktur masyarakat maka muncullah teori baru, yakni strukturalisme konflik. Teori ini mengemukakan kondisi-kondisi di mana secara positif, konflik membantu mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya terbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan para anggota kelompok lewat pengukuhan kembali identitas kelompok.
Di dalam teori konflik dikenal adanya ukuran kepentingan sebagai unsur dasar dari kehidupan sosial, bukan berdasarkan nilai. Dengan demikian, kehidupan sosial melibatkan dorongan atau terjadinya dinamisasi bahkan dengan berbagai gesekan-gesekan sosial bila diperlukan. Dari gesekan tersebut sebagian yang bertentangan dengan sebuah gesekan atau yang pro pada reaksi aksi mengambil jalur oposisi. Dari gerakan ini dapat melahirkan konflik struktural. Dari konflik ini memicu lahirnya kecenderungan kehidupan sosial yang selalu mementingkan kelompok. Akhirnya, terjadi perbedaan yang menonjol yang melibatkan kekuasaan, menyebabkan sistem sosial terintegrasi dan ditimpa oleh berbagai bentuk kontradiksi. Kemudian sistem sosial cenderung selalu berubah. Dengan argumen seperti ini, maka strukturalisme konflik dapat dipahami sebagai ilmu yang berusaha memberikan pengertian, gambaran tentang aktivitas sosial, bahkan aksi-aksinya menurut lapisan atau susunan masyarakatnya yang berkaitan dengan konflik sosial di dalam suatu kelompok masyarakat, baik secara vertikal maupun horisontal.


[1]Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), h. 145.
[2]Hal ini juga ditandai dengan periode panjang konfrontasi sekaligus juga kerja sama yang produktif. Tetapi bagaimanapun juga, pola hubungan yang paling dominan antara kedua tradisi keimanan ini yaitu permusuhan, kebencian, dan kecurigaan, ketimbang persahabatan dan saling memahami. Lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), cet. III, h.  95.
[3]Lihat Samsuri, "Paradigma Pendidikan Islam dalam Masyarakat Majemuk" dalam Lektur, Vol. X, No. 2, 2004, h. 225.

Senin, 26 April 2010

The Qur’anic Exegesis in Bugis Language: Tracing Methodology and Thought of AG. H. Daud Ismail’s Interpretation


Oleh: Sulaiman Ibrahim

ABSTRACT
From research result of this dissertation indicates that construct of interpretation methodology built by Daud Ismail was still follow the construct of his predecessor’s interpretation methodology. Seen from its interpretation form, this Tafsîr al-Munîr was the follower of Tafsîr bi al-Ma’tsûr, but not denied that the element of tafsîr bi al-ra’y also exist in it. It is true, in Daud Ismail’s interpretation, sometimes tafsîr bi al-Ma’tsûr was confronted with tafsir bi al-ra’y. If tafsîr bi al-ma’tsûr was more relied on historical quotation, on the contrary tafsîr bi al-ra’y tends to relied on mind and logic. This kind of Interpretation method was called by Muhammad al-Fadhil bin ‘Asyur as tafsîr al-atsarî al-nazharî or naqdî.
This dissertation indicates that the pattern has been used by Daud Ismail was mushhafî, interpreting the Qur’an of 30 sections (from Sura al-Fatihah to al-Nas). It is can be seen from his systematic way in interpreting al-Qur’an; (1) Explaining the sura and verse. First, Daud Ismail interprets by explaining whether the sura was makkiy or madaniy, or some of its verses were makkiy and others were madaniy; (2) Mentioning the sura’s order and amount of the verses in the beginning of its discussion. Every interpretations of one verse, two verses, or some verses of al-Qur’an were compiled in such a manner so give the union meaning, or the verses were assumed as one group; (3) The verses of Qur’an were written border on its translation; (4) Explaining vocabulary; (5) Explaining the verses meaning globally; (6) Explaining the revelation causes of the verses (asbab al-nuzûl), if they have; (7) Leaving the terms related to science that assumed can impede the readers in understanding the contents of Qur’an; (8) Language style; (9) At the end of every section was made a table of contents. It was aimed to be easier in its searching of verses and explanation.
These findings strengthen the existence of tafsîr al-atsari al-nazharî or naqdî method that found by Muhammad al-Fadhil bin Asyur in his book, Al-Tafsîr wa Rijâluhu, (Mishr: Majma’ a-Buhuts al-Islamiyyah, 1970), that practiced by ‘Abd al-Qadir Muhammad Shalih in his book, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fi al-‘Ashr al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2003), and also strengthen the view of Rafii Yunus Martan in “Membidik Universalitas, Mengusung Lokalitas: Tafsir al-Qur’an Bahasa Bugis Karya AG. H. Daud Ismail,” (Jakarta: Journal PSQ, 2006). At least, Daud Ismail has used what known in modern-writing system as cross-reference that can facilitate to all reader in comprehending various verses.
This research was qualitative research by using interpretation approach. The main source of this dissertation was Daud Ismail’s Tafsîr al-Munîr. In the gaining of its methodologies aspect, so used some books of ulûm al-Qur'an and interpretation, both of classic or modern. The data read with standard-interpretation science was including interpretation method and content. Understanding of the interpretation content was through the discourse analysis theory, and for analyzing the existing data was supported by interpretation approach. In exploring the interpretation was focused on interpretation thought in the field of theology, syari’ or law and social community, by reason that it was more touched by Daud Ismail in his interpretation, and in order to the obtained-result can be more varied and contextual.