Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label idul adha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label idul adha. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 Agustus 2020

IBADAH QURBAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN DI ERA PANDEMI COVID-19


Oleh:

Dr. Sulaiman Ibrahim, M.A.

Disampaikan pada hari Raya Id Adha 10 Zulhijjah 1441 H./31 Juli 2020 di Mesjid Daruttaqwa Kp. Bugis Kota Gorontalo

 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الله أكبر الله X 9

الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحن الله بكرة وأصيلا لا إله إلا الله وحده صدق وعده ونصر عبده واعز جنده وهزم الأحزاب وحده لا إله إلا الله ولا نعبد إلا إياه مخلصين له الدين ولو كره المشركون، لا إله الا الله والله أكبر، الله أكبر ولله الحمد.

الحمد لله جعل هذ اليوم عيدا للمسلمين وجعل عبادة الحج وعيد الأضحي من شعائر الله وأحيائها من تقوي القلوب. اشهد ان لا اله إلا الله وحده لا شريك له اله العالمين، واشهد ان سيدنا محمدا عبده ورسوله المبعوث رحمة للعالمين بشيرا ونذيرا وداعيا الي الله بإذنه وسراجا منيرا. اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد افضل من حج واعتمر وعلي اله واصحابه احمعين.

أما بعد : فيا عباد الله اتقوا الله تعالي واعلموا ان يومكم هذا يوم فضيل وعبد شريف حليل، رفع الله تعالى قدره واظهر، وسماه يوم الحج الأكبر، الله أكبر x 3

واستمعوا الى قول الله تعالي في القرآن العظيم وهو أصدق القائلين : اعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم : إنا اعطيناك الكوثر، فصل لربك وانحر، إن شانئك هو الأبتر، ... ومن يعظم شعائر الله فإنها من تقوى القلوب

Allahu Akbar 3x, wa Lillāh al-Hamd

Kaum Muslimīn/Muslimāt Rahimakumullāh !

Di pagi hari yang penuh berkah ini, kita berkumpul untuk melaksanakan shalat ‘Idul Adha. Baru saja kita ruku’ dan sujud sebagai pernyataan taat kepada Allah SWT. Kita agungkan nama-Nya, kita gemakan takbir dan tahmid sebagai pernyataan dan pengakuan atas keagungan Allah SWT. Takbir yang kita ucapkan bukanlah sekedar gerak bibir tanpa arti. Tetapi merupakan pengakuan dalam hati, menyentuh dan menggetarkan relung-relung jiwa manusia yang beriman. Allah Maha Besar. Allah Maha Agung. Tiada yang patut di sembah kecuali Allah.

Karena itu, melalui mimbar ini saya mengajak kepada diri saya sendiri dan juga kepada hadirin sekalian: Marilah tundukkan kepala dan jiwa kita di hadapan Allah Yang Maha Besar. Campakkan jauh-jauh sifat keangkuhan dan kecongkaan yang dapat menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT. Apapun kebesaran yang kita sandang, kita kecil di hadapan Allah. Betapa pun perkasa, kita lemah dihadapan Allah Yang Maha Kuat. Betapapun hebatnya kekuasaan dan pengaruh kita, kita tidak berdaya dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.

 

Allahu Akbar 3x, wa Lillāh al-Hamd

Kaum Muslimīn/Muslimāt Rahimakumullāh !

Ada dua peristiwa penting yang tidak bisa lepas dari Hari Raya Idul Adha. Kedua peristiwa tersebut adalah ibadah haji dan qurban. Namun pada situasi saat ini, kedua ibadah tersebut harus dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19 yang sampai saat ini belum mereda. Tentunya ketentuan Allah SWT ini tidak boleh serta merta menurunkan semangat spiritual kita sebagai umat Islam. Kita harus meyakini bahwa selalu ada hikmah besar yang terkandung dari setiap ketetapan yang diberikan oleh Allah SWT.   

Seperti kita ketahui bersama, akibat pandemi COVID-19 yang mewabah di berbagai penjuru dunia. Jamaah haji Indonesia tahun 2020 tidak diberangkatkan ke Tanah Suci.  Hal ini dilakukan pemerintah untuk menjaga keselamatan jiwa jamaah dari tertular virus corona.  Pemerintah Arab Saudi pun tidak mengizinkan jamaah dari luar negeri untuk menjalankan rukun Islam kelima ini.  Hanya warga Arab Saudi dan warga asing yang berada di Arab Saudi saja yang diperkenankan melaksanakan ibadah haji. Dan itu pun dengan pembatasan jumlah dan peraturan yang sangat ketat. Bagi calon jamaah haji tahun 2020, keputusan ini tentu sangat berat untuk diterima. Setelah sekian lama menunggu antrian kuota haji dengan berbagai macam usaha untuk melunasi ongkos naik haji (ONH), namun giliran saatnya berangkat harus mengalami penundaan. 

Namun ada hikmah besar yang bisa diambil dari keputusan ini di antaranya adalah kesabaran dan kepasrahan. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam Qur’an Surat Al-Anfal ayat 46:   

وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ   

“Bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”.  

Allahu Akbar 3x, wa Lillāh al-Hamd

Melalui Idyl Adha ini, kita membina solidaritas umat dengan cara berqurban sebagai kelengkapan bahan makanan pokok, berupa daging sapi dan atau kambing, kita hadiahkan kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya. Jadi dalam membina solidaritas umat, rasanya tidak lengkap jika kita telah berzakat namun belum berqurban. Dengan demikian, penyembelihan hewan qurban selama empat hari berturut-turut yang disyariatkan Allah setelah perayaaan Idul Adha ini, merupakan test training atas ketaqwaan kita, karena yang dinilai oleh Allah di sini bukanlah daging qurban atau darah hewan itu, melainkan motivasi untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan agar kita menjadi hamba-Nya yang bertaqwa. Dalam QS. al-Hajj (22): 37 Allah berfirman :

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan kamulah yang sampai kepada-Nya

Allahu Akbar 3x, wa Lillāh al-Hamd

Saking urgennya ibadah qurban ini, maka Nabi saw sangat mengecam umatnya yang berkemampuan, tetapi mereka enggang berqurban:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا (رواه ابن ماجه واحمد)

Dari Abu Huraerah bahwa Nabi saw bersabda: Barang siapa yang berkecukupan, lalu tidak berqurban maka janganlah sekali-kali mendekati ke mesjid kami (Hadis Riwayat Ibn Mājah dan Imam Ahmad)

Kaum Muslimīn/Muslimāt Rahimakumullāh !

Nabi saw juga mengajarkan agar hewan yang diqurbankan itu, haruslah sempurna, tanpa cacat. Ini memberi petunjuk bahwa dalam berqurban haruslah dalam batas maksimal, jangan setengah-tengah, jangan tanggung-tanggung, demi mencapai derajat ketaqwaan. Di sini dipahami bahwa berqurban dengan hewan yang cacat sangat dicela agama. Di sisi lain, kita diperintahkan untuk berqurban adalah dalam rangka menghilangkan sifat-sifat dan perilaku tercela yang dimiliki hewan atau binatang yang kadangkala, bahkan sering bercokol pada diri kita masing-masing. Sifat-sifat dan atau perilaku kebinatangan yang ada pada diri manusia ada empat tipe, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ja’far al-Shadiq sebagai berikut:

أَرْبَعُ خِصَالٍ مِنَ النَّاسِ كَالْحَيَوَانِ وَيَقُوْمُوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ كَالحَيَوَانِ، كَالجِنْـزِيْر، كَالكَلْب، كَالقِطّ، كَالفَأْر.

Ada empat kelompok dari segolongan manusia yang berperilaku seperti binatang, dan mereka akan dibangkitkan di hari hari kiamat kelak dengan muka seperti binatang babi, anjing, kucing, tikus.

Artinya, perilaku babi yang sarakah, harus kita hindari; perilaku anjing yang selalu menjilat-jilat (ccm), harus kita tekan; perilaku kucing yang munafik, harus kita tanggalkan; dan perilaku tikus yang onar dan jorok, harus kita penggal. Inilah antara lain tujuan ibadah qurban, yakni membuang jauh-jauh perilaku kebinatangan tersebut dari diri kita masing-masing.

Allahu Akbar 3x, wa Lillāh al-Hamd

Kaum Muslimin/Muslimat ….

Syariat berqurban pada mulanya, secara tegas dan jelas digambarkan oleh Alquran melalui kisah Nabi Ibrahim as dan Ismail as. Allah swt memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk mengqurbankan Nabi Ismail as, putra kesayangannya, buah hatinya, sibiran jantungnya, anak semata wayangnya. Dalam QS. al-Shaffāt (37): 102, Allah berfirman ;

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Maka tatkala anak itu (Ismail) sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku men-sembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia (Ismail) menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Allahu Akbar 3x, wa Lillā al-Hamd

Tidak dapat kita bayangkan betapa berat dan hebatnya goncangan jiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim as ketika menerima perintah Allah itu. Bahkan ia mengalami konflik batin dan hampir-hampir ia pingsan ketika mendengar jawaban polos dari anaknya Nabi Ismail as “wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu”.

Yang menjadi pertanyaan, masih adakah remaja kita sekarang seperti Nabi Ismail as yang rela mengorbankan jiwanya di jalan Allah swt.? Masihkah anak-anak kita sekarang senantiasa menuruti perintah ayahnya terutama ibunya ?

Agama kita menegaskan bahwa Ayah dan Ibu adalah dua tokoh utama yang harus dihormati dan dimuliakan. Allah swt melalui berbagai firman-Nya menganjurkan hamba-Nya untuk berbakti kepada kedua orangtua.

Dia Allah swt sangat memuji beberapa rasul karena bakti mereka kepada ibu-bapaknya. Pujian terhadap Nabi Yahya as, terdapat dalam QS. Maryam (19): 14 ;

وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا

dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.

Tentang kasih sayang dan bakti Nabi Isa as, dalam QS. Maryam (19) : 32 ;

وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا

dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.

Nabi Yusuf as, sangat mencintai dan menghormati kedua ibu-bapaknya, dalam QS. Yusuf (12) : 10 ;

وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ

Dan ia (Nabi Yusuf as) menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana.

Melalui Nabi Muhammad saw, untuk ummatnya, diayat antara lain dalam QS. al-Isrā (17): 23

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Berdasar dengan ayat-ayat tersebut, dapat dipahami bahwa orang tua memiliki kedudukan yang sangat signifikan. Bahkan boleh dikata bahwa; sekiranya Allah swt “tidak ada” maka orangtualah yang harus disembah.

Allahu Akbar 3x, wa Lillāh al-Hamd

Alqamah sahabat Nabi saw, yang sangat taat beribadah, suatu saat ia shalat dan ia mendengar panggilan ibunya. Setelah shalat, ia terlambat memenuhi panggilan ibunya itu, singkat kisahnya, Alqamah tidak mampu mengucapkan kalimat “syahadat” di akhir kematiannya.

Kisah singkat di atas, mengajak kita untuk membayangkan kedua orang tua kita masing-masing, dan bertanya dalam lubuk hati yang paling mendalam: sudah seberapakah pengabdian kita kepada orang tua? Sampai dimana usaha kita telah membantu orang tua? Apakah kita selama ini tetap menyayangi mereka keduanya sampai berumur lanjut ?

Ibu dengan susah payah merawat kita sejak dalam kandungan, dan ibu telah mempertaruhkan nyawanya, antara hidup atau mati sesaat kita akan dilahirkan. Wajar jika Nabi saw bersabda:

اَلْجَنَّةُ تَحْتَ اْلأقْدَامِ أُمَّهَات (رواه البخار ومسلم)

Surga terletak di telapak kaki ibu (HR. Bukahri Muslim)

Demikian pula bapak yang tanpa mengenal panas dan hujan mencari rezki untuk menghidupi kita, memberikan segala apa yang kita inginkan, sejak kita masih kecil, Dia telah bermandikan keringat mencari nafkah untuk kelangsungan hidup kita semua. Wajar jika Nabi saw bersabda :

أَبَرُّ الْبِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيهِ (رواه ابوداود)

Kebaktian yang paling agung adalah seorang anak tidak putus-putus berbuat baik kepada ayahnya (HR. Abu Dawud)

Allāhu Akbar 3x Walillahi al-Hamd

Besar dan tulusnya kasih sayang dan pengorbanan ayah dan ibu, tidak dapat diukur oleh sesuatu pun. Sejak kita kecil, mereka membiayai kita, lalu pernakah kita merasa membiayai mereka, atau sekurang-kurangnya memberikan uang saku ala kadarnya kepada kedua orang tua?, kalau memang pernah, baru seberapa banyakkah biaya kita yang keluar untuk kebutuhan mereka? baru seberapa banyak pakaian yang kita belikan kepadanya? baru seberapa rupiah uang yang kita berikan kepadanya?. Jangan-jangan kita yang sudah berkeluarga, justeru lebih mencintai isteri atau suami dan mengesampingkan cinta kepada orangtua. Sejak kecil mereka mendoakan kita, nah apakah kita selalu mendoakan mereka ?

Allahu Akbar, 3X Allahu Akbar walillahil hamd.

Ma’aasyiral Muslimiin Rahimakumullah

Inilah hikmah terbesar dari peringatan hari besar IDUL QURBAN yang sedang kita peringati hari ini, bukan hanya untuk memperingati peristiwa sejarah kemanusian itu saja, namun juga, disamping sebagai momentum untuk membersihkan jiwa dan pikiran kita dari penyakit kehidupan yang mematikan, seperti korupsi, manipulasi, menyalahgunakan jabatan dan penyakit kejiwaan lainnya yang tidak kalah mematikan, seperti iri, dengki, hasud, dendam dan sombong yang bisa berujung fitnah dan adu domba, juga untuk membangkitkan semangat dan kesadaran jiwa kita, dimana setiap pribadi Muslim harus siap berkorban untuk kebahagiannya sendiri. Setiap kita harus siap menyongsong keberhasilan dan peningkatan hidup dengan perjuangan dan pengorbanan. Dimulai dari diri sendiri untuk tidak berpangkutangan saja dan bermalas-malasan dan ketika berakibat buruk pada kehidupannya kemudian orang mengkambinghitamkan nasib dan takdir. Padahal nasib dan takdir itu harus dimulai dari diri sendiri, “siapa beramal sholeh maka itu untuk dirinya sendiri, dan siapa berbuat jahat akibatnya akan ditanggung sendiri”. Maksudnya, barangsiapa menanam kebaikan, akan menuai kebajikan dan barangsiapa menanam kejahatan dan kemalasan akan menuai kehancuran. Itu berlaku untuk diri sendiri bukan untuk orang lain, itulah sunnahtullah yang tidak ada perubahan untuk selama-lamanya.

Akhirnya, melalui khutbah Idyl Adha 1441 H ini, semoga dapat menyadarkan kita untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tua yang masih hidup. Bagi mereka yang telah meninggal orang tuanya, juga tetap termotivasi untuk mendoakan orangtua kita. Serta menjauhkan diri kita dari sifat-sifat kebinatangan.. Amin ya Rabbal Alamin..

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ(1)فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ(2)إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ(3)

بارك الله لى ولكم فى القرآن الكريم، ونفعنى واياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم، وتقبل الله منى ومنكم تلاوته، إنه هوالسميع العليم.[]

 

KHUTBAH KEDUA

الله أكبر 7 x ،

الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحن الله بكرة وأصيلا لا إله إلا الله وحده صدق وعده ونصر عبده واعز جنده وهزم الأحزاب وحده لا إله إلا الله ولا نعبد إلا إياه مخلصين له الدين ولو كره المشركون، لا إله الا الله والله أكبر، الله أكبر ولله الحمد.

الحمد لله حمدا كثيرا كما أمر، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، ارغاما لمن جهد به وكفر، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، سيد الإنس والبشر، اللهم صل وسلم على هذا النبين المختار سيدنا الكريم سيدا محمد وعلي اله وأصحابه الابرار.

فيا عباد الله اوصيكم ونفسي بتقوى الله فقد فاز المتقون واحثكم علي طاعة الله ورسوله لعلكم ترحمون. وقال الله تعالى في القرأن العظيم: ياأيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وانتم مسلمون . وقال أيضا، إن لله وملا ئكته يصلون علي النبي، ياأيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما.

اللهم صل وبارك علي سيدنا محمد وعلى ال محمد كما صليت وباركت على إبراهيم وعلى ال إبراهيم فى العالمين انك حميد مجيد. اللهم ارض عنا معهم برحمتك ياارحم الراحمين، اللهم انا نسئلك ايمانا كاملا ورزقا واسعا ويقينا صادقا وعملا مقبولا، يا أرحم اراحمين، اللهم نسئلك رضاك والجنة ونعوذبك من شخطك والنار، وتقبل منا صلاتنا وقيامنا وسجودنا وتخشعنا وتعبدنا يا ارجم الراحمين. اللهم انصر من نصر الدين واخذل من خذل مالمسلمين ودمر اعداء الدين، اللهم اجعل بلدتنا هذه اندونيسية آمنة سكينة مطمئنة وسائر البلدان المسلمين. آمين يا رب العالمين، اللهم ربنا آتنا فى الدنيا حسنة وفىالآخرة حسنة وقنا عذاب النار

الله أكبر 7 x ، ولله الحمد، عباد الله، ان الله يأمر بالعد والاحسان وايتاءذى القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون، واشكروه على نعمه يعظكم ولذكر الله أكبر...

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Senin, 14 Oktober 2013

Haji dan Kurban: Refleksi Idul Adha 1434 H.


Oleh:  Sulaiman Ibrahim

Sejak sebulan terakhir ini, berbagai peristiwa yang memprihatinkan hampir setiap hari terjadi di hadapan mata kepala kita, Mulai dari korupsi di MK, pembunuhan di Apartement, oknum polisi salah tembak, pesta miras yang merenguk enam jiwa, sampai tawuran pelajar menggunakan air keras untuk melukai orang lain. Sementara itu, benak kita pun telah dipadati oleh berbagai masalah-masalah kehidupan, dan berbagai produk industri yang ditawarkan semakin gencar merangsang kebutuhan. Akibatnya hampir semua orang berusaha keras untuk mencapai citra tertentu di hadapan masyarakat apakah itu kedudukan, kekayaan,  popularitas dan sebagainya. Adapun informasi Allah berupa al-Qur’an sudah tidak lagi menjadi perhatian utama dalam hidup, karena telah begitu berdamai dengan kehidupan dunia ini.

Di balik segala peristiwa yang terjadi ini, kita sesungguhnya sedang ditanya oleh Allah tentang hubungan kita kepada-Nya. Apakah orientasi atau motivasi hidup kita betul-betul tertuju hanya kepada Allah semata, sebagai suatu komitmen insan beriman yang telah memilih hidup dan mati hanya untuk Allah.
   Menghayati kenyataan ini mengingatkan kita kepada Baitullah yang merupakan kiblat umat Islam seluruh dunia yang menjadi arah shalat. Kita shalat bukan menyembah ka’bah, melainkan beribadah kepada Allah dengan arah dan tujuan yang sama. Kita berhaji bukan sekedar untuk rekreasi atau melancong, tetapi bagaimana kita mendekatkan diri kepada Allah Sang Khalik.
Sebenarnya haji merupakan gladeresik atau latihan untuk kembali kepada Allah. Haji adalah latihan kematian kita karena kita meninggalkan tanah air, meninggalkan keluarga, meninggalkan tetangga, dengan niat yang satu, yaitu ingin memenuhi undangan Allah Swt. Simbolisme haji ditandai oleh kesediaan seseorang untuk berkurban. Bentuk simbolis itu diwujudkan dengan menyembelih seekor binatang kurban yang dagingnya dibagikan dan disedekahkan kepada orang-orang miskin. Penyembelihan binatang kurban secara simbolik melambangkan kesungguhan hati manusia untuk menyembelih nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri, karena kalau nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia tidak disembelih dan dikorbankan, maka akibatnya akan merusak, baik merusak dirinya sendiri maupun akan merusak orang lain yang ada disekitarnya.
Ibadah haji yang sedang dilaksanakan umat Islam saat ini adalah juga suatu bimbingan moral dan etika Islam bagi orang-orang beriman. Ibadah haji adalah juga suatu institusi keimanan, untuk kita memperbaiki keadaan diri kita, yang juga berarti demi kebaikan masyarakat Islam agar tidak terperangkap dalam budaya tanpa norma (anomik)
Pakaian ihram mengajarkan kepada kita bahwa nilai kehidupan ini hendaknya semata-mata diukur dan bertujuan kepada Allah, bukan untuk berbagai atribut jabatan, kemasyhuran, kebanggaan dan perhiasan dunia. Wuquf di Padang Arafah melambangkan agar kita merenungi diri untuk apa kita hidup dan kemana kita akan pergi setelah kematian.   Dengan demikian, kita tidak akan cinta terhadap dunia secara berlebihan karena telah menyadari bahwa kita diciptakan oleh Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Melempar Jumrah akan mendidik kita bermental anti dosa, anti syaitan dan begundalnya, serta membuang segala prilaku buruk yang pernah kita lakukan, serta tidak mudah terpegaruh oleh tipu daya duniawi yang menyesatkan. Dari sini akan terbina sifat ikhlash, jujur, dan suka kepada kebaikan. Begitupun thawaf di Ka’bah, akan membimbing kita agar segala usaha dan upaya kita, segala langkah dan perbuatan dalam hidup kita adalah dalam rangka mengabdi kepada Allah, sebagai jaminan harkat diri kita kelak di hadapan-Nya.
Ibadah haji adalah juga refleksi aqidah yang telah teruji kemampuannya atau juga suatu komitmen pengabdian diri kepada Allah, bukan rekreasi ritual atau sekedar mencari keamanan semu di hadapan Allah. Ibadah ini mengandung pengertian yang dalam dan suci. Karena itu, mabrur tidaknya seseorang dalam melaksanakan ibadah haji akan diuji prilakunya dalam usaha kemaslahatan umat.
Oleh karena itu, siapapun di antara kita yang sudah melakukan ibadah ini hendaknya merenungi ulang keadaan dirinya dan melakukan evaluasi hubungan hidupnya dengan Allah, agar tidak menjadi pendusta di hadapan-Nya, yang menjadikan predikat haji di depan namanya sebagai selubung kebobrokan dan keburukan prilaku yang dilaknat oleh Allah.
            Dalam hal ini, semangat berkurban dengan menyembelih nafsu kebinatangan dalam diri kita masing-masing, menjadi suatu yang amat penting untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara menuju masa depan yang lebih baik. Karena hanya dengan kesediaan mengorbankan egoisme kekuasaan, kepentingan kelompok, dan fanatisme kesukuan dan keagamaan, maka pluralisme dalam berbagai aspeknya, baik dalam segi sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, maupun agama, akan dapat terjaga dan akan memperkaya kehidupan spritualitas bangsa. Semoga Idul Adha tahun ini memberikan kita pencerahan menuju masa depan yang lebih baik. Amin. Selamat Hari Raya Idul Adha 1434 H.[]



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Minggu, 06 November 2011

Hermeneutika Haji dan Kurban

Oleh: Sulaiman Ibrahim
Ibadah haji merupakan gladi resik atau latihan untuk kembali kepada Allah. Haji adalah latihan kematian karena meninggalkan tanah air, meninggalkan keluarga, meninggalkan tetangga, dengan niat yang satu, yaitu ingin memenuhi undangan Allah Swt. Simbolisme haji ditandai oleh kesediaan seseorang untuk berkurban. Bentuk simbolis itu diwujudkan dengan menyembelih seekor binatang kurban yang dagingnya dibagikan dan disedekahkan kepada orang-orang miskin. Penyembelihan binatang kurban secara simbolik melambangkan kesungguhan hati manusia untuk menyembelih nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri, karena kalau nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia tidak disembelih dan dikorbankan, maka akibatnya akan merusak, baik merusak dirinya sendiri maupun akan merusak orang lain yang ada disekitarnya.
Ibadah haji yang sedang dilaksanakan umat Islam saat ini juga suatu bimbingan moral dan etika Islam bagi orang-orang beriman. Ibadah haji suatu institusi keimanan, untuk kita memperbaiki keadaan diri kita, yang juga berarti demi kebaikan masyarakat Islam agar tidak terperangkap dalam budaya tanpa norma (anomik)
Pakaian ihram mengajarkan kepada kita bahwa nilai kehidupan ini hendaknya semata-mata diukur dan bertujuan kepada Allah, bukan untuk berbagai atribut jabatan, kepopuleran, kebanggaan dan perhiasan dunia. Wuquf di Padang Arafah melambangkan agar kita merenungi diri untuk apa kita hidup dan kemana kita akan pergi setelah kematian. Dengan demikian, kita tidak akan cinta terhadap dunia secara berlebihan karena telah menyadari bahwa kita diciptakan oleh Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Melempar jumrah akan mendidik kita bermental anti dosa, anti setan dan begundalnya, serta membuang segala prilaku buruk yang pernah kita lakukan, tidak mudah terpegaruh oleh tipu daya duniawi yang menyesatkan. Dari sini akan terbina sifat ikhlas, jujur, dan suka kepada kebaikan. Begitupun thawaf, akan membimbing kita agar segala usaha dan upaya kita, segala langkah dan perbuatan dalam hidup kita adalah dalam rangka mengabdi kepada Allah, sebagai jaminan harkat diri kita kelak di hadapan-Nya.
Ibadah haji adalah refleksi aqidah yang telah teruji kemampuannya atau suatu komitmen pengabdian diri kepada Allah, bukan rekreasi ritual atau sekedar mencari keamanan semu di hadapan Allah. Ibadah ini mengandung pengertian yang dalam dan suci. Karena itu, mabrur tidaknya seseorang dalam melaksanakan ibadah haji akan diuji prilakunya dalam usaha kemaslahatan umat.
Dalam hal ini, semangat berkurban dengan menyembelih nafsu kebinatangan, menjadi suatu yang amat penting untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara menuju masa depan yang lebih baik. Karena hanya dengan kesediaan mengorbankan egoisme kekuasaan, kepentingan kelompok, partai, dan fanatisme kesukuan dan keagamaan, maka pluralisme dalam berbagai aspeknya, baik dalam segi sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, maupun agama, akan dapat terjaga dan akan memperkaya kehidupan spritualitas bangsa. Semoga Idul Adha tahun ini memberikan kita pencerahan menuju masa depan yang lebih baik. Selamat Hari Raya Idul Adha 1432 H.[]


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Selasa, 30 Agustus 2011

Hisab dan Rukyat Setara: Astronomi Menguak Isyarat Lengkap dalam Al-Quran tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah

Quantcast
T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI
(Gambar hilal dari http://www.staff.science.uu.nl/~gent0113/islam/islam_lunvis.htm)

Diskusi soal penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah seringkali terfokus pada pemaknaan rukyat dan pengambilan dalil dari banyak hadits. Minim sekali pengambilan dalil dari Al-Quran dalam hal operasionalisasi penentuan awal bulan tersebut, karena memang Al-Quran tidak secara eksplisit mengungkapkan tata caranya seperti dalam hadits. Ya, kalau sekadar menggunakan ilmu tafsir yang selama ini digunakan oleh para ulama, kita sulit menemukan isyarat operasionalisasi penentuan awal bulan qamariyah di dalam Al-Quran.Tetapi, marilah kita gunakan alat bantu astronomi untuk memahami ayat-ayat Allah di dalam Al-Quran dan di alam. Kita akan mendapatkan isyarat yang jelas dan lengkap tata cara penentuan awal bulan itu di dalam Al-Quran. Memang bukan pada satu rangkaian ayat, tetapi dalam kaidah memahami Al-Quran, satu ayat Al-Quran bisa dijelaskan dengan ayat-ayat lainnya.
Dengan pemahaman astronomi yang baik, kita bisa menemukan isyarat yang runtut dan jelas soal penentuan awal bulan qamariyahm khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhjjah. Berikut ini ayat-ayat pokok yang menuntun menemukan isyarat itu yang dipandu pemahaman ayat-ayat kauniyah dengan astronomi:
1. Kapan kita diwajibkan berpuasa? Allah memerintahkan bila menyaksikan syahru (month, bulan kalender) Ramadhan berpuasalah.

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang salah). Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (datangnya) bulan (Ramadhan) itu maka berpuasalah. (QS 2:185)
Lalu bagaimana menentukan datangnya bulan (syahru) tersebut? Al-Quran tidak secara langsung menjelaskannya. Tetapi beberapa ayat berikut menuntun menguak isyarat yang jelas tata cara penentuan syahru tersebut, dengan dipandu pemahaman astronomi akan ayat-ayat kauniyah tentang perilaku bulan dan matahari.
2. Apa sih batasan syahru itu? Syahru itu hanya ada 12, demikian ketentuan Allah. Secara astronomi, 12 bulan adalah satu tahun.

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah ketika Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (QS 9:36).
3. Lalu bagaimana menentukan masing-masing syahru dalam satu tahun? Bilangan tahun diketahui dari keberulangan tempat kedudukan bulan di orbitnya (manzilah-manzilah), yaitu 12 kali siklus fase bulan. Keteraturan keberulangan manzilah-manzilah itu yang digunakan untuk perhitungan tahun, setelah 12 kali berulang. Dengan demikian, kita pun bisa menghitungnya.

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat kedudukan bulan), supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq (benar). Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. 10:5).
4. Lalu, apa tanda-tanda manzilah-manzilah yang mudah dikenali manusia? Manzilah-manzilah ditandai dengan perubahan bentuk-bentuk bulan, dari bentuk sabit makin membesar menjadi purnama sampai kembali lagi menjadi bentuk sabit menyerupai lengkungan tipis pelepah kurma yang tua.

Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia seperti pelapah yang tua. (QS 36:39).
5. Lalu, manzilah yang mana yang bisa dijadikan awal syahru? Manzilah awal adalah hilal, bentuk sabit tipis. Itulah sebagai penentu waktu (mawaqit) awal bulan, karena tandanya jelas setelah sebelumnya menghilang yang disebut bulan mati. Purnama walau paling terang tidak mungkin dijadikan manzilah awal karena tidak jelas titik awalnya. Hilal itu bukan hanya untuk awal Ramadhan (seperti disebut pada ayat-ayat sebelumnya, di QS 2:183 – 188) dan akhirnya (awal Syawal), tetapi juga untuk penentuan waktu ibadah haji pada bulan Dzulhijjah.

Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah penentu waktu bagi manusia dan (bagi penentuan waktu ibadah) haji. (QS 2:189).
Jadi, syahru (bulan) Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ditentukan dengan hilal. Hilal adalah bulan sabit yang tampak, yang merupakan fenomena rukyat (observasi). Tetapi ayat-ayat tersebut juga tegas menyatakan bahwa manzilah-manzilah (termasuk manzilah awal, yaitu hilal) bisa dihitung (hisab). Jadi, rukyat dan hisab setara, bisa saling menggantikan atau saling melengkapi. Tanda-tanda awal bulan yang berupa hilal bisa dilihat dengan mata (rukyat) dan bisa juga dihitung (hisab) berdasarkan rumusan keteraturan fase-fase bulan dan data-data rukyat sebelumnya tentang kemungkinan hilal bisa dirukyat. Data kemungkinan hilal bisa dirukyat itu yang dikenal sebagai kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal.
Apakah ada alternatif lain menentukan awal bulan, yaitu sekadar hisab bulan wujud di atas ufuk (wujudul hilal)? Saya tidak menemukan ayat yang tegas yang dapat menjelaskan soal wujudul hilal tersebut. Ada yang berpendapat isyarat wujudul hilal itu ada di dalam QS 36:40.

Tidaklah mungkin matahari mengejar bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS 36:40).
Logikanya, tidak mungkin matahari mengejar bulan. Tetapi mereka berpendapat ada saatnya matahari mendahului bulan, yaitu matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan, sehingga bulan telah wujud ketika malam mendahului siang (saat maghrib). Saat mulai wujud itulah yang dianggap awal bulan. Tetapi itu kontradiktif. Tidak mungkin mengejar, tetapi kok bisa mendahului. Logika seperti itu terkesan mengada-ada.
Ayat tersebut secara astronomi tidak terkait dengan wujudul hilal, karena pada akhir ayat ditegaskan “masing-masing beredar pada garis edarnya”. Ayat tersebut menjelaskan kondisi fisik sistem bumi, bulan, dan matahari. Walau matahari dan bulan tampak sama-sama di langit, sesungguhnya orbitnya berbeda. Bulan mengorbit bumi, sedangkan Matahari mengorbit pusat galaksi. Orbit yang berbeda itu yang menjelaskan “tidak mungkin matahari mengejar bulan” sampai kapan pun. Malam dan siang pun silih berganti secara teratur, tidak mungkin tiba-tiba malam karena malam mendahului siang. Itu disebabkan karena keteraturan bumi berotasi sambil mengorbit matahari. Bumi juga berbeda garis edarnya dengan matahari dan bulan. Semuanya beredar (yasbahun) di ruang alam semesta, tidak ada yang diam.
Apakah penentuan awal bulan dengan menggunakan tanda-tanda pasang air laut bisa dibenarkan? Tidak benar. Pasang air laut memang dipengaruhi oleh bulan dan matahari. Pada saat bulan baru pasang air laut maksimum. Tetapi, bulan baru belum berarti terlihatnya hilal. Lagi pula, pasang maksimum yang terjadi dua kali sehari tidak memberikan kepastian untuk menentukan awal bulannya.
Ada pula kelompok yang masih menggunakan hisab (perhitungan) lama, dengan cara hisab urfi. Apakah masih dibenarkan? Hisab urfi adalah cara hisab yang paling sederhana ketika ilmu hisab belum berkembang. Caranya, setiap bulan berselang-seling 30 dan 29 hari. Bulan ganjil selalu 30 hari. Jadi Ramadhan selalu 30 hari. Belum tentu awal bulan menurut hisab urfi bersesuaian dengan terlihatnya hilal. Jadi, hisab urfi semestinya tidak digunakan lagi.
Baca artikel terkait:

Idul Adha/Idul Fitri Mengapa Berbeda Hari antara Indonesia dan Arab Saudi

Oleh T. Djamaluddin, Peneliti  Matahari dan  Antariksa, LAPAN Bandung
Quantcast
(Dimuat di Republika, 19 April 1997)
Arab Saudi mengumumkan hari wukuf jatuh pada 16 April 1997. Dengan demikian Idul Adha di sana jatuh pada 17 April 1997 (Republika, 10/4). Sedangkan Departemen Agama RI, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura mengumumkan Idul Adha jatuh pada 18 April (Republika, 12/4).
Perbedaan serupa pernah terjadi tahun 1411 H/1991. Idul Adha di Indonesia dan di Arab Saudi berbeda hari. Pada tahun 1991 wukuf di Arafah terjadi pada 21 Juni 1991 dan Idul Adha di Arab Saudi jatuh pada 22 Juni 1991. Sedangkan di Indonesia Idul Adha jatuh pada 23 Juni 1991.
Banyak orang bingung waktu itu. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara Asia bagian timur. Ada juga yang mengecam perbedaan itu seolah-olah tidak berdasar. Bahkan ada tokoh yang mempertanyakan perbedaan itu, mengapa Indonesia yang letaknya lebih ke timur ketimbang Arab Saudi beridul adha belakangan. Ada yang bertanya-tanya mengapa perbedaan waktu yang hanya empat jam antara Arab Saudi dan Indonesia bisa menyebabkan perbedaan hari raya.
Ada dua aspek yang terkait dengan perbedaan itu yang perlu dijelaskan: aspek astronomis penentuan awal bulan Dzulhijjah dan aspek syariah yang berkaitan dengan puasa hari Arafah. Aspek kedua yang mungkin paling merisaukan banyak orang. Bila kita di Indonesia berpuasa hari Arafah 9 Dzulhijjah pada 17 April sementara kita mendengar hari itu di Arab Saudi sudah Idul Adha, mungkin ada bimbang. Berpuasa pada hari raya adalah haram. Lalu haramkah berpuasa pada 17 April itu?
Sebenarnya keduanya bukan masalah bila kita mengetahui duduk soalnya.
Garis Tanggal
Terjadinya perbedaan hari Idul Adha antara Indonesia dan Arab Saudi beralasan secara astronomis. Perhitungan astronomi menyatakan ijtimak awal Dzulhijjah 1417 terjadi pada 7 April 1997 pukul 11:04 UT atau pukul 14:04 waktu Arab Saudi, pukul 18:04 WIB. Dengan demikian di Arab Saudi ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub) sedangkan di sebagian besar Indonesia saat itu matahari sudah terbenam. Berdasarkan saat ijtimak itu saja dapat difahami bahwa masuknya awal Dzulhijjah di Arab Saudi lebih dahulu daripada di Indonesia.
Pada tanggal 7 April, di Mekkah matahari terbenam pukul 18:38 sedangkan bulan terbenam lebih lambat lagi, pukul 18:45. Walaupun secara astronomis itu masih di bawah kriteria visibilitas hilal, tetapi itu menunjukkan bahwa bulan sudah wujud di atas ufuk pada saat maghrib. Sehingga 1 Dzulhijjah di Arab Saudi jatuh pada tanggal 8 April dan Idul Adha jatuh pada 17 April 1997.
Di Indonesia pada tanggal 7 April itu bulan terbenam lebih dahulu daripada matahari. Di Jakarta bulan terbenam pukul 17:54 dan matahari terbenam pukul 17:55. Dan di Bandung bulan terbenam pukul 17:51 dan matahari terbenam pukul 17:52. Di kawasan Indonesia tengah dan timur perbedaan waktu terbenam bulan dan matahari lebih besar lagi. Secara umum di seluruh Indonesia bulan sudah berada di bawah ufuk pada saat maghrib. Dengan demikian 1 Dzulhijjah jatuh pada 9 April dan Idul Adha jatuh pada 18 April 1997.
Untuk melihat kondisi yang lebih global, sebab perbedaan itu bisa kita lihat pada garis tanggal awal Dzulhijjah. Garis tanggal itu menyatakan daerah yang saat terbenam matahari dan bulan bersamaan. Di sebelah barat garis itu pada tanggal 7 April bulan sudah wujud di atas ufuk pada saat maghrib. Sedangkan di sebelah timurnya bulan sudah berada di bawah ufuk pada saat maghrib. Garis tanggal itu melalui pantai barat Australia, pantai barat Sumatra, India, Kazakhstan, dan Rusia bagian barat. Dengan demikian garis tanggal itu memisahkan Arab Saudi dengan Indonesia.
Bila kita gambarkan peta berdasarkan garis tanggal qamariyah (lunar date line) kita akan jelas melihat bahwa perbedaan hari Idul Adha antara Indonesia dan Arab Saudi hanya semu belaka (lihat gambar). Perbedaan itu hanya disebabkan oleh definisi tanggal syamsiah (solar calendar) yang dipisahkan oleh garis tanggal internasional yang melalui lautan pasifik.
Karena adanya garis tanggal internasional, wilayah di sebelah timur garis itu tanggalnya lebih muda daripada yang di sebelah baratnya. Idul Adha 10 Dzulhijjah di wilayah Asia Timur jatuh pada 18 April sedangkan di Amerika, Eropa, Afrika, dan Timur Tengah jatuh pada 17 April.
Pengaruh definisi garis tanggal internasional yang menyebabkan kejadian yang sama dinyatakan dengan tanggal yang berbeda sebenarnya bukan hal yang aneh. Contoh lain yang terkenal adalah catatan sejarah penyerahan Jepang kepada tentara sekutu. Kejadiannya sama, tetapi buku-buku sejarah di Asia, termasuk di Indonesia, menyebutkan tanggal 15 Agustus 1945. Sedangkan di Amerika Serikat menyebutnya penyerahan itu terjadi pada 14 Agustus 1945. Ini analog dengan perbedaan Idul Adha tersebut.
Jadi, “perbedaan” hari Idul Adha itu sebenarnya tidak berbeda secara hakiki bila dilihat menurut kalender qamariyah dengan garis tanggal qamariyah juga. Merancukan waktu ibadah yang dinyatakan menurut kalender qamariyah dengan tanggal menurut kalender syamsiah bisa menyebabkan timbul kesan seolah-olah ada perbedaan.
Menyamakan dengan Saudi?
Menghadapi kasus “perbedaan” seperti itu sering timbul pertanyaan mengapa tidak diseragamkan saja hari raya itu. Orang yang berpendapat seperti itu menghendaki bila di Arab Saudi Idul Adha tanggal 17 April mengapa di Indonesia dan belahan dunia lainnya tidak mengikutinya saja. Dengan kata lain, waktu Mekkah dijadikan sebagai acuan.
Alasannya sederhana atau disederhanakan. Bukankah Mekah tempatnya Ka’bah, kiblatnya umat Islam sedunia. Sudah sewajarnya penentuan waktu ibadah pun (seperti hari raya) mengiblat juga ke Mekah. Di sisi lain, perbedaan waktu antara Arab Saudi dan Indonesia bagian barat hanya empat jam, semestinya hari rayanya pun bisa dilaksanakan pada hari yang sama.
Sepintas pendapat itu tampak benar dan sederhana. Tetapi bila dikaji lebih mendalam hal itu tidak mempunyai landasan syar’i dan landasan ilmiahnya. Pendapat seperti itu muncul karena menghendaki keseragaman menurut tanggal syamsiah, tetapi mengabaikan tanggal qamariyah. Padahal waktu ibadah dalam Islam ditentukan menurut kalender qamariyah. Menyeragamkan Idul Adha, dalam kasus tahun ini, menjadi tanggal 17 April berarti memaksakan pelaksanaannya di Indonesia menjadi tanggal 9 Dzulhijjah, bukan 10 Dzulhijjah seperti disyariatkan.
Bagaimana dengan puasa hari Arafah? Bagi umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji, pada hari Arafah itu disunahkan berpuasa. Menurut hadits Rasulullah SAW yang diceritakan Abu Qatadah r. a., puasa hari Arafah akan menghapuskan dosa selama dua tahun, tahun yang berlalu dan tahun mendatang. Oleh karenanya puasa hari Arafah ini tergolong puasa sunah yang muakad (utama) sehingga banyak orang yang melaksanakannya.
Hari Arafah adalah 9 Dzulhijjah. Di Indonesia, 9 Dzulhijjah jatuh pada 17 April. Tetapi orang akan bimbang bila berpuasa pada 17 April karena hari itu di Arab Saudi sudah Idul Adha. Menurut Nabi SAW, berpuasa pada hari raya haram hukumnya. Kalau begitu, ada yang berpendapat berpuasalah pada tanggal 16 April karena itulah hari pelaksanaan wukuf di Arafah.
Sepintas pendapat itu nampaknya benar. Kalau dikaji lebih mendalam sebenarnya pendapat itu pun keliru. Bila alasannya hanya karena beda waktu yang pendek (hanya empat jam antara waktu Arab Saudi dan WIB) untuk menyamakan harinya, hal itu pun rancu.
Apakah definisi “sama” harinya? Pengertian “sama” sangat relatif. Secara astronomi bisa berarti mengalami waktu siang secara bersamaan, dengan kata lain bila beda waktunya kurang dari 12 jam. Bila itu diterapkan dalam kasus di Hawaii yang beda waktunya dengan dengan Arab Saudi (dihitung ke arah timur) hanya 11 jam, definisi “sama” harinya malah berbeda tanggal. Tanggal 16 April di Arab Saudi berarti tanggal 15 April di Hawaii.
Lagi pula, pola pikir untuk menyamakan puasa hari Arafah di Indonesia sama dengan hari wukuf 16 April hanya terjadi bila kita tunduk pada sistem kalender syamsiah dan mengabaikan sistem kalender qamariyah yang disyariatkan.
Pada tanggal 16 April di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijjah, jadi bukan waktunya untuk melaksanakan puasa hari Arafah. Kalau begitu, waktu yang tepat untuk melaksanakan puasa hari Arafah di Indonesia adalah 17 April agar tidak melanggar syariat. Dan secara ilmiah hal itu pun beralasan.
Hal itu dapat dijelaskan dengan meruntut perjalanan waktu berdasarkan peredaran bumi. Bagi Muslim di Timur Tengah puasa Arafah mulai sejak fajar 16 April. Makin ke barat waktu fajar bergeser. Di Eropa Barat waktu fajar awal puasa kira-kira 3 jam sesudah di Arab Saudi. Makin ke barat lagi, di pantai barat Amerika Serikat waktu fajar awal puasa Arafah makin bergeser lagi, 11 jam setelah Arab Saudi. Di Hawaii, puasa Arafah juga masih 16 April, tetapi fajar awal puasanya sekitar 13 jam setelah Arab Saudi.
Bila diteruskan ke barat, di tengah lautan Pasifik ada garis tanggal internasional. Mau tidak mau sebutan 16 April harus diganti menjadi 17 April walaupun hanya berbeda beberapa jam dengan Hawaii. Awal puasa Arafah di Indonesia pun yang dilakukan sekitar 7 jam setelah fajar di Hawaii, dilakukan dengan sebutan tanggal yang berbeda hanya gara-gara melewati garis tanggal internasional. Di Indonesia puasa Arafah yang dilakukan pada 17 April 1997 berarti tetap tanggal 9 Dzulhijjah, sama dengan tanggal qamariyah di Arab Saudi.