Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Tafsir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tafsir. Tampilkan semua postingan

Kamis, 20 Desember 2012

Metodologi Tafsir


Para Ulama sepakat ada 4 corak penulisan Tafsir :
  1. Metode Tahlili,
  2. Metode Ijmali
  3. Metode Muqari
  4. Metode Maudhu’i.

A. Al-Tafsir al-Tahlili (Tafsir dengan Metode Tahlili)
         Tahlili berasal dari bahasa Arab hallala-yuhallilu-tahlil yang berarti  “Mengurai, Menganalisis”
Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam al-Qur’an. Muhammad Baqir al-Shadar menyebut tafsir metode tahlili atau tajzi’I yang secara harfiah berarti “Tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian, atau tafsir parsial“.
Dalam menafsirkan al-Qur’an mufassir biasanya melakukan sebagai berikut :
1.        Menerangkan hubungan (munasabah) baik antara satu ayat dengan ayat-ayat lain maupun antara satu surah dengan surah lain. Misalnya, dalam menafsirkan awal surah Ali-Imran
2.       Menjelaskan sebab-sebab turunya ayat (asbabu Nusul).
3.       Menganalisis mufradad (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab. Untuk menguatkan pendapatnya, terutama dalam menjelaskan mengenai bahasa ayat bersangkutan, mufassir kadang-kadang juga mengutip syair-syair yang berkembang sebelum dan pada masanya.
4.      Meamaparkan hubungan ayat secara umum dan maksudnya.
5.       Menerangkan unsure-unsur fashahah, bayan dan i’jaz-nya, bila dianggap perlu. Khususnya, apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung keindah
6.       Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila  Ayat-ayat yang ditafsirkan aadalah ayat-ayat ahkam, yaitu berhubungan dengan  Persoalan hukum.
7.       Menerangkan makna dan maksud syara yang terkandung dalam ayat yang   bersangkutan. Sebagai sandaranya, mufassir mengambil manfaat dari ayat-ayat lainya, hadist Nabi Saw., pendapat para sahabat dan tabi’in di samping ijthad mufassir sendiri.
         Dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang teradapat dalam tafsir tahlili yang jumlahnya sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh metode tafsir  Yaitu :
A. Al-Tafsir bi al-Ma’tsur,  secara harfiah berarti penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu tafsir ini dinamakan juga dengan al-tafsir bi al-riwayah (tafsir dengan riwayat) atau al-tafsir bi al-manqul (tafsir dengan menggunakan pengutipan (riwayat). Penafsiran dalam corak ini, dapat di bagi menjadi empat bentuk :
I . Al-tafsir bi al-ma’tsur secara harfiah berarti penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu, tafsir ini dinmakan juga dengan al-tafsir bi al-riwayah (tafsir dengan riwayat) atau al-tafsir bi al-manqul tafsir dengan menggunakan  pengutipan (riwayat). Penafsiran dalam corak ini dapat di bagi menjadi empat bentuk yaitu :
Ø  Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat lain. Pertama, ayat atau ayat-ayat lain menjabarkan apa yang diungkapkan pada ayat tertentu. Misalnya, kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertaqwa) dalam ayat I surah al-Baqarah, dijabarkan ayat-ayat sesudahnya ( ayat-ayat 3-4) yang menyatakan………. Kedua, ada informasi tertentu, misalnya tentang kisah Nabi Musa, pada surah tertentu diungkapkansecara singkat, sementara pada surah yang lain secara panjang lebar. Dalam hal ini ayat-ayat yang panjang lebar menafsirkan ayat-ayat yang mengandung informasi yang lebih ringlas. Ketiga, ayat-ayat mujmal ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mubayyan, ayat-ayat yang muthlaq ditafsirkan oleh ayat-ayat muqayyad, dan ayat-ayat yang ‘am ditafsirkan oleh ayat-ayat khash. Ringkasnya, ayat-ayat yang mengandung penegertian umum dan global ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mengandung pengertian khusus dan rinci. Keempat, informasi yang terkandung dalam satu ayat kadang terlihat berbeda dengan informasi yang terdapat pada ayat-ayat lain. Penafsiran ayat-ayat dilakukan dengan mengkompromikan pengertian-pengertian tersebut.
Ø  Penafsiran ayat al-Qur’an dengan hadist Nabi Saw.
Ø  Disamping al-Qur’an, otoritas dalampenafsiran al-Qur’an terletak di tangan Nabi Saw. Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa Nabi diutus untuk menjelaskan wahyu al-Qur’an yang diturunkan kepadanya.
Ø  Penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat.
Ø  para ulama berpendapat bahwa setelah Nabi Saw. Wafat, orang yang paling memahami al-Qur’an adalah generasi sahabat, karena mereka hidup pada masa al-Qur’an masih diturunkan, bergaul dengan Nabi yang paling paham dengan isi al-Qur’an, serta mengetahui konteks al-Qur’an turun. Karena itu, pendapat-pendapat para sahabat dijadikan oleh para ulama tafsir sebagai bahan penting dalam menafsirkan al-Qur’an.
Ø  Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan pendapat para tabiin.
Ø  Perkembangan metode tafsir ini dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode lisan, ketika penafsiran dari Nabi Saw. Dan para sahabat sebarluaskan secara periwayatan, dan tulisan, ketika riwayat-riwayat yang sebelumnya tersebar secara lisan itu mulai dibukukan.
Ø  Diantara kitab-kitab tafsir yang dapat dikategorikan sebagai al-tafsir bi al-ma’tsur adalah Jami’ al-Bayan fi-Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Ibn Jarir al-Thabari (w.310 H), Ma’alim al-Tanzil karya al-Baghawi (w.516 H/1122 M), Tafsir al-Qur’an al-Karim (tafsir Ibn Katsir), karya Abu al-Fida’Isma’il ibn katsir (w.77 H/1373 M), dan al-Durr alManshur fi al-Tafsir al-Ma’tsur karya Jalal al-Din al Suyuthi (w.911 H/1505 M).



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Kamis, 26 Juli 2012

The Qur’anic Exegesis in Bugis Language: Vernacularization in the Study of Tafsir al-Munir

By: Sulaiman Ibrahim

This study concludes that the Qur’anic interpretation by AG. H. Daud Ismail successfully conducted a vernacularization of terms and values related to the universality of Islam. This was applied by his presentation of exegesis in which its composition and language style adapt to local interpretation used by the Bugis society. This was due to the fact that many books of Qur’anic interpretation use Arabic and terms which are difficult to understand by local societies. Moreover, most of them include technical terms related to ‘ilm bala>ghah (stylistics), nah}wu (Arabic grammar), and s}arf (word derivations), which sometimes confuse the lay readers.         
This dissertation confirms the argument of Muh}ammad al-Fa>dil ibn A<shu>r in al-Tafsi>r wa Rijāluhu>, that an explanation or interpretation of the Qur’an should uses a language which is easily understood by the community. Indeed, this is in accord with the verse: وماأرسلناك من رسول إلا بلسان قومهم ليبين لهم.
This research is a qualitative one by using interpretive approach. The main source of this dissertation is based on Daud Ismail’s Tafsīr al-Munīr. In attempt to analyze the methodology aspect, it draws on several books of ‘Ulūm al-Qur'an and interpretation (tafsi>r), be it classic or modern one. The data is analyzed with standard interpretation science (‘ilm tafsir) that comprises interpretation method and content analysis. This study uses discourse analysis theory to understand the interpretation while employing interpretation approach to analyze the existing data.




Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Sabtu, 05 November 2011

PLURALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Oleh: Sulaiman Ibrahim
Salah satu fakta yang tidak dapat kita pungkiri dalam kehidupan sosial adalah adanya keragaman agama yang dipeluk oleh masyarakat. Keragaman itu disatu sisi memang memperkaya dan menjadikan kehidupan sosial masyarakat penuh dinamika, namun disii lain ternyata keragaman ini membawa potensi konflik yang cukup serius, yakni konflik antar umat beragama. Orang mejadi tega membunuh, menyakiti bahkan memperkosa hanya karena alasan beda agama. Kasus di Ambon menjadi contoh yang baik bagi kita bagimana agama ternyata tidak hanya menjadi pengkontrol moral dan mengarahkan manusia menjadi lebih beradab, tetapi agama dapat dengan mudah dimanipulasi sedemikian rupa untuk menjustifikasi kekerasan atas nama klaim kebenaran agama. Suatu kelompok merasa bahwa hanya dirinyalah yang paling benar sedangkan yang lain salah, tersesat ahli bid’ah dan seterusnya yang membuat mereka mengahalalkan perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi terhadap kelompok lain. Hal ini memang nampaknya menjadi sebuah paradoks dari kehadiran agama didunia ini, tidak ada satu agama pun yang mengajarkan dan menganjurkan dehumanisasi tetapi mengapa banyak kekerasan justru disebabkan karena agama atau lebih tepatnya agama ketika berhadapan dengan pruralitas keberagamaan masyarakat.
Bagaiman pruralitas ini dalam pandangan Islam ?. Dalam Al qur’an disebutkan bahwa Allah telah menciptaan manusia dengan beragam suku dan bangsa supaya dapat saling mengenal (wahai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal QS. Al Hujurat ayat 12), dan salah satu keragaman tersebut adalah keragaman umat beragama ( bagi tiap umat di antara kai, Kami (Allah) telah buatkan peraturan dan jalan, kalau sekiranya tuhan menghendaki maka tentu kami menjadikannya umat yang tunggalm tetapi Dia hendak menguji kamu berkenaan dengan hal-hal yang diberikan kepadamu QS. Al maidah ayat 48) jadi dapat dikatan bahwa walaupun asalnya manusia itu dulunya bersatu ( manusia dahulu adalah umat yang satu kemudian mereka saling berselisih pendapat QS. Yunus ayat 19) tetapi tuhan dengan kebijaksanannya sengaja membuatnya beraga dengan hikmah-hikmah terterntu. . Maka dapat dikatakan bahwa keragaman ini merupakan merupakan salah satu dari sunnatullah yang tetap dan tidak berubah-ubah (Tidakkah mereka memperhatikan sunnah pada orang-orang terdahulu ? maka engkau tidak akan menemukan dalam sunnatullah suatu perubahan, dan engkau tidak kan menemkan dalam sunnatullah suatu peralihan QS. Ayat fathir 43). Karena sifatnya yang prinsipil ini maka tugas kita bukanlah untuk menyatukan keragaman tersebut, tetapi bagaimana menyikapinya dengan tindakan-tindakan positif.
Masalahnya adalah manusia cenderung membanggakan apa yang ia yakini dan percayai sebagai yang paling baik. Hal ini disinggung oleh Allah dalam surat ayat (dan tiap-tiap mereka merasa bangga terhadap apa yang mereka yakini). Diayat lain Allah mencontohan sikap bangga dan saling menafikan tersebut dalam klaim agama Yahudi atas orang Nasrani dan sebaliknya, klaim yang sebenarnya sangat potensial sekali dimiliki oleh setiap kaum beragama apapun (Dan orang-orang yahudi berkata orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai pegangan dan orang-orang Nasrani mengatakan bahwa orang-orang Yahudi tidak mempunyai pegangan , padahal mereka sama-sama memilki pegangan (kitab) demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui mengatakan seperti ucapan mereka (kaum yahudi dan nasrani) itu QS. Al Baqoroh ayat 113).
Sebagai agama yang secara prinsipil menyatakan diri sebagai bagian integral dari agama-agama sebelumnya (Sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya dan (sebagaimana) telah kami wahyukan keada Ibrahim, ismail, ishaq, ya’qub dan anak cucunya, serta kepada isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman, QS. Al Baqoroh ayat 163). Islam memberikan beberapa prinsip dasar dalam menyikapi dan memahami pruralisme ini. Pertama prinsip keberagamaan yang lapang (Al Hanifiyah Al Samhah /inklusfisme relatif). Salah satu masaah yang serius dalam menyikapi keberagamaan adalah masalah klaim kebenaran. Islam sangat tidak membenarkan adanya kefantikan buta yang membelenggu umat islam dalam mencari kebenaran dan terlepas dari ikatan ketuhanan ( Dan janganah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pandangan, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya QS. Al Isra’ ayat 17). Padahal untuk mencapai kepasrahan yang tulus kepada tuhan (makna generik dari kata islam) diperlukan suatu pemahaman yang sadar dan bukan hanya ikut-ikutan. Oleh sebab itu sikap kelapangan dalam mencapai kebenaran ini bisa dikatakan sebagai makna terdalam keislaman itu sendiri. Diceritakan dalam hadist nabi bersabda kepada sahabat Utsman bin Mazhun “ Dan sesungguhnya sebaik-baik agama disisi Allah adalah semangat pencarian kebenaran yang lapang (Al Hanifiyah Al Samhah) “. Dengan memiliki sikap inklusif ini kita juga akan dapat menghargai pruralitas keberagaman dengan elegan, kita tidak jatuh pada kalim-klaim kebenaran yang sebenanya merupakan kesombongan intelektual kita dihadapan manusia yang kita anggap tidak mampu mencapai kebenaran dari tuhan.
Prinsip kedua adalah keadilan yang obyektif. Kata keadilan banyak sekali disebutan oleh Allah dalam Al Qur’an sebagai sikap yang harus dimiliki oleh umat islam. Dalam konteks pruralisme, Keadilan mencakup pandangan maupun tindakan kita terhadap pemeluk agama lain. Seringkali kita membuat generalisasi terhadap suatu pemeluk agama, hanya karena kita melihat dan menyaksikan bebrapa orang melukaksn hal-hal yang tidak pantas kemudian kita menggeneralisasikan dan menyimpulkan bahwa semua pemeluk agama tersebut berbuat demikian. Padahal Allah sendiri menyaakan bahwa mereka (pemeluk agama lain) sama seperti kita ada yang shaleh ada juga tidak, ada yang ahli ibadah ada juga yang ahli bid’ah (Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harta yang sedikit mereka memperoleh pahala disisi tuhannya QS. Ali imran ayat 199).
Kedangkalan dalam tindakan seringkali kita karena tidak suka dan mengangap orang lain sebagai bukan bagian dari kelompok kita (outsider) maka kita bisa berbuat tidak adil terhadap mereka dalam memutuskan hukum, interkasi sosial maupun hal-hal lain. Seperti meniadakan kesempatan bagi mereka untuk duduk pemerintahan di negara Indonesia yang jelas-jelas dibangun secara bersama-sama. Islam mengajarkan bahwa kita harus menegakkan keadilan dalam sikap dan pandangan ini dengan obyektif terlepas dari rasa suka atau tidak suka (like and dislike) dan tentunya terbebas dari kepentingan untuk membela kelompok kita sendiri (hai rag-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kbencianmu pada suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena adil itu lebih dekat kepada taqwa QS. Al Maidah ayat 8 )
Prinsip ketiga adalah menjauhi kekerasan dalam berinteraksi dengan pemeluk agama lain termasuk ketika melakukan dakwah. Dalam islam kekerasan hanya ditolerir ketika kita harus mengahadapi kemungkaran atau didlolimi terlebih dahulu ituun harus dengan pertimbangan bahwa hanya jalan inilah yang dapt kita lakukan untuk menghilangkan kemungkaran dan kedloliman tersebut, tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin menggunakan (kekerasan baik fisik maupun psikologis) untuk berdakwah dan memaksa pemeluk agama lain untuk masuk agama islam. Hal ini sebagaimana firman Allah ( Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat QS. Al Baqoroh ayat 256). Oleh sebab itu dalam berdawah kita harus mengutamakan dialog, kebijaksanaan dan cara — cara argumentatif lainnya (interfaith dialogue). Firman Allah ( Serah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan jalan bijaksana dan pelajaran yang baik dan bantahlahlah mereka dengan lebih baik QS. An Nahl ayat 125). Ada beberapa point penting yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin dalam dialog ini pertama bahwa tiap agama mempunyai logikanya sendiri dalm memahami tuhan dan firmannya, kedua bahwa dialog bukanlah dimaksudkan untuk saling menyerang tetapi adalah upaya untuk mencapai kesepahaman, dan mempertahankan keyakinan kita (tentunya dalam kerangka al hanifiyah al samhah sebagimana diatas) ( Katakanlah olehmu (wahai Muhammad) ‘ wahai Ahli kitab marilah menuju ketitik pertemuan antara kami dan kamu QS. Ali Imran ayat 64).
Prinsip keempat adalah menjadikan keragaman agama (religious pruralism) tersebut sebagai kompetisi positif dalam kebaikan ( fastabiqul khairat). Salah satu hikmah diciptakannya manusia berbeda-beda disamping supaya bisa saling mengenal adalah agar keragaman tersebut memacu manusia untuk saling bersaing, memacu diri menjadi yang terbaik diantara umat-umat agama lain dalam hal berbuat kebajikan. ( Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya yang mereka menghadap kepadanya, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan QS. Al Baqarah ayat 148). Dalam kerangka inilah seharusnya hubungan antar agama diletakkan , konsekwensinya ketika ada pemeluk agama lain berbuat amal sosial dengan semisal melakukan advokasi terhadap masyrakat tertindas seperti kaum buruh, pelecehan seksual dan sebagainya maka kita tidak boleh begitu mencurigainya sebagai gerakan pemurtadan atau bahkan berusaha menggagalkannya tetapi hal tersebut haruslah menjadi pemacu bagi kita kaum muslimin untuk berusaha menjadi lebih baik dari mereka dalam hal amal sosial.
Kalau keempat prinsip ini bisa kita pegang Insya Allah akan tercipta hubungan yang lebih harrmonis antar umat beragama, hubungan yang dilandasi oleh sikap saling menghargai, menghormati dan saling membantu dalam kehidupan sosial. Sehingga kehadiran agama (khususnya islam) tidak lagi menjadi momok bagi kemanusiaan tetapi malah menjadi rahmat bagi keberadaan tidak hanya manusia tetapi sekaligus alam semsta ini. ( Wallahu A’lam Bishawab).


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Selasa, 30 Agustus 2011

Isra’ Mi’raj Perjalanan Keluar Dimensi Ruang Waktu

 
i
T. Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Untuk melengkapi tulisan saya sebelumnya Isra’ Mi’raj  (http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/04/28/isra-miraj-mujizat-salah-tafsir-dan-makna-pentingnya/)  dan tulisan terkait dengan “Tujuh Langit” di http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/05/10/tujuh-langit-tidak-berarti-tujuh-lapis/)  tentang bagaimana Isra’ Mi’raj dipahami secara sains, saya tuliskan juga ulasan tentang perjalanan seperti apa isra’ mi’raj itu.
Isra’ mi’raj jelas bukan perjalanan seperti dengan pesawat terbang antarnegara dari Mekkah ke Palestina dan penerbangan antariksa dari Masjidil Aqsha ke langit ke tujuh lalu ke Sudratul Muntaha. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan keluar dari dimensi ruang waktu. Tentang caranya, iptek tidak dapat menjelaskan. Tetapi bahwa Rasulullah SAW melakukan perjalanan keluar ruang waktu, dan bukan dalam keadaan mimpi, adalah logika yang bisa menjelaskan beberapa kejadian yang diceritakan dalam hadits shahih. Penjelasan perjalanan keluar dimensi ruang waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan bahwa itu sesuatu yang lazim ditinjau dari segi sains, tanpa harus mempertentangkannya dan menganggapnya sebagai suatu kisah yang hanya dapat dipercaya saja dengan iman.
Kita hidup di alam yang dibatas oleh dimensi ruang-waktu (x,y,z,t). Sehingga kita selalu memikirkan soal jarak dan waktu. Dalam kisah Isra’ mi’raj, Rasulullah bersama Jibril dengan wahana “buraq” keluar dari dimensi ruang, sehingga dengan sekejap sudah berada di Masjidil Aqsha. Rasul bukan bermimpi karena dapat menjelaskan secara detil tentang masjid Aqsha dan tentang kafilah yang masih dalam perjalanan. Rasul juga keluar dari dimensi waktu sehingga dapat menmbus masa lalu dengan menemui beberapa Nabi. Di langit pertama (langit dunia) – tujuh berturut-turut bertemu (1) Nabi Adam, (2) Nabi Isa dan Nabi Yahya, (3) Nabi Yusuf, (4) Nabi Idris, (5) Nabi Harun, (6) Nabi Musa, dan (7) Nabi Ibrahim. Rasulullah SAW juga ditunjukkan surga dan neraka, suatu alam yang mungkin berada di masa depan, mungkin juga sudah ada masa sekarang sampai setelah kiamat nanti.
Sekadar analogi sederhana perjalanan keluar dimensi ruang waktu adalah seperti kita pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar. Sekadar ilustrasi, dimensi 1 adalah garis, dimensi 2 adalah bidang, dimensi 3 adalah ruang. Bidang dengan mudah menggambarkan garis. Demikian juga ruang dengan mudah menggambarkan bidang. Tetapi dimensi rendah tidak akan sempurna menggambarkan dimensi yang lebih tinggi. Kotak berdimensi 3 tidak tampak sempurna bila digambarkan di bidang yang berdimensi 2.
Sekarang bayangkan ada alam berdimensi 2 (bidang) berbentuk U. Makhluk di alam “U” itu bila akan berjalan dari ujung satu ke ujung lainnya perlu menempuh jarak jauh. Kita yang berada di alam yang berdimensi lebih tinggi dengan mudah memindahkannya dari satu ujung ke ujung lainnya dengan mengangkat makhluk itu keluar dari dimensi 2, tanpa perlu berkeliling menyusuri lengkungan “U”.
Alam malaikat (juga jin) bisa jadi berdimensi lebih tinggi dari dimensi ruang waktu, sehingga bagi mereka tidak ada lagi masalah jarak dan waktu. Karena itu mereka bisa melihat kita, tetapi kita tidak bisa melihat mereka. Ibaratnya dimensi dua tidak dapat menggambarkan dimensi tiga, tetapi sebaliknya dimensi 3 mudah saja menggambarkan dimensi 2. Bukankah isyarat di dalam Al-Quran dan Hadits juga menunjukkan hal itu. Malaikat dan jin tidak diberikan batas waktu umur, sehingga seolah tidak ada kemarian bagi mereka. Mereka pun bisa berada di berbagai tempat karena tak dibatas oleh ruang.
Rasulullah bersama jibril diajak ke dimensi malaikat, sehingga Rasulullah dapat melihat bentuk Jibril dan malaikat lainnya dalam bentuk aslinya (baca QS 53:13-18). Rasul pun dengan mudah pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya, tanpa terikat ruang dan waktu. Langit dalam konteks istra’ mi’raj pun bukanlah langit fisik berupa planet atau bintang, tetapi suatu dimensi tinggi. Langit memang bermakna sesuatu di atas kita, dalam arti fisik maupun non-fisik.

Minggu, 10 April 2011

Pluralitas Penafsiran al-Qur’an


            Kalau kita perhatikan dan pelajari secara kritis tafsir-tafsir al-Qur’an yang ada saat ini ataupun pengajian-pengajian yang diberikan oleh para ustaz, maka tidak jarang kita temukan perbedaan pemahaman para penafsir atau ustadz-ustadz tersebut terhadap makna ayat-ayat al-Qur’an. Pertanyaannya kemudian penafsiran yang manakah yang paling benar? adakah metode yang dapat digunakan untuk memperoleh dan juga menilai penafsiran yang benar? mengapa ayat yang sama bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda bahkan kadang bertolak belakang? dan masih banyak lagi pertanyaan yang lainnya.

Dari Komunikasi Lisan ke Tulisan
     Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita perlu memahami esensi al-Qur’an itu sendiri. Sebagaimana diyakini oleh umat Islam di seluruh dunia, al-Qur’an merupakan firman-firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Firman-firman tersebut yang pada awalnya dikomunikasikan secara lisan kepada Nabi Muhammad, pada perkembangannya kemudian dibukukan dalam suatu mushhaf sehingga umat Islam dapat mengaksesnya dengan mudah. Akan tetapi, pentransformasian al-Qur’an dari komunikasi lisan ke dalam tulisan membawa berbagai macam konsekwensi lain, terutama di dalam usaha memahami dan menafsirkan al-Qur’an.
Di dalam beberapa tulisannya Paul Ricoeur (lahir 1913) menulis bahwa suatu diskursus yang telah ditetapkan dalam tulisan mengalami tiga macam proses distansiasi/pen-jarak-an (distanciation). Sebelum menjelaskan ketiga macam proses tersebut, Ricoeur terlebih dahulu membuktikan bahwa suatu teks adalah merupakan suatu diskursus dari komunikasi lisan yang telah dibentuk ke dalam tulisan (discourse fixed into writing). Akan tetapi Ricoeur melihat adanya perbedaan yang sangat menyolok antara komunikasi lisan dan tulisan. Pertama, berbeda dengan komunikasi lisan di mana si pembicara dan pendengar sama-sama berada antara satu dengan lainnya sehingga dapat menghasilkan suatu komunikasi dua arah, di dalam komunikasi tekstual sering terjadi di mana si pengarang tidak hidup dalam satu masa atau satu tempat yang sama dengan si pembaca sehingga komunikasi yang terjadi di antara keduanya adalah dialog satu arah (one way communication), yaitu komunikasi antara si pengarang dengan suatu teks atau si pembaca dengan teks.