Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Kamis, 28 Agustus 2014

HUBUNGAN SUNNI SYI’AH

HUBUNGAN SUNNI SYI’AH  (Renungan Masa Depan Umat Islam)

            Satu lagi isu yang sangat sensitif dan krusial dalam Islam adalah perbedaan prinsip-prinsip antara sunnah dan syi’ah yang terjadi sejak berabad-abad silam. Isu ini sebenarnya isu klasik, namun tidak pernah berakhir sampai saat ini, sehingga menjadi sebuah teka-teki. Selain bertentangan secara politik, sunnah dan syiah juga kemudian bertentangan secara teologis yang merupakan jurang pemisah antar agama.
Perpecahan Teologi Islam (نشأة الفرق وتفرقها)

Sekalipun masalah teologi dianggap sebagai pemisah antar agama, namun bukan berarti tidak ada hubungan dan tidak ada interaksi antara pemeluk agama yang berbeda. Bahkan diharapkan antara pemeluk agama yang berbeda dapat hidup damai dan berdampingan dengan cara berdialog antara satu sama lain. Oleh karena itu, salah seorang Profesor di bidang teologi Kristen di Universitas Eberhard Karls, Tübingen, Jerman, Yang dikenal dengan nama “Hans Kung”[1] mengatakan: “tidak mungkin kedamaian diwujudkan di atas dunia, kecuali dengan perdamaian antar agama, dan tidak ada kedamaian antar agama kecuali dengan dialog antar agama”[2]. Yang sangat menarik dari perkataan di atas adalah “dialog antar agama”. Kalau dilihat secara sepintas, ternyata pihak agama lain menginginkan dialog dengan muslim. Bahkan Prof. Huns Kung mengeluarkan buku baru yang bercerita seputar toleransi Islam yang ideal terhadap agama lain. Secara tersirat ini merupakan  satu bukti bahwa mengenal, melihat, serta meneliti pihak lain sangat diperlukan. Gunanya adalah untuk menilai letak kesamaan dan perbedaan, serta kelebihan dan kekurangan, agar di kemudian hari tercipta kesefahaman antar agama, yang konsekwensinya adalah masing-masing agama tidak mengganggu keyakinan dan kepercayaan agama lain, sehingga terwujud kedamian. 
          Kalau orang luar Islam ingin hidup damai dan berdampingan dengan Islam, kenapa orang Islam sendiri saling menjatuhkan, saling menjauhi, saling menuding, dan saling mencaci. Seperti fenomena yang terjadi di antara pengikut aliran sunnah dan pengikut aliran syi’ah. Dari sini timbul pertanyaan yang mendasar, apakah kedua kelompok tersebut boleh bersatupadu atas dasar persamaan agama,  yaitu “Islam”? Atau minimal didekatkan dan disandingkan antara satu sama lain, sehingga tidak menimbulkan konflik agama dalam tubuh Islam sendiri. Di samping itu, perlukah kita adakan konfrensi, pertemuan, seminar, dan diskusi terus menerus untuk membicarakan masalah ini?. Kalau antar agama yang berbeda saja boleh hidup rukun dan damai, mengapa antara sesama Islam sendiri tidak bisa?.
Penulis sengaja memberikan judul artikel ini dengan kalimat Netralisasi (Neutralisation), yang dalam bahasa Arab disebut “Mu’aadalah”, dan memberikan arti “Penyetaraan”, berdasarkan nilai-nilai keislaman yang terkandung pada dua golongan tersebut, sehingga diharapkan tercipta sikap “I’tidaal” atau “Moderat”, dan bukannya  sikap “Mutatharrif” atau radikal dan ekstrim.
Netralisasi di sini merupakan proses penetralan nominal hubungan antara sunnah dan syi’ah. Yang bertujuan untuk melihat hubungan antara golongan sunnah dan syi’ah dengan semangat kemoderatan, agar tidak saling merugikan dan dirugikan. Dan kalau memungkinkan, menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara satu sama lain dengan mengukur derajat kesamaan masing-masing golongan. Sebab tanpa hubungan yang baik antara keduanya, maka yang rugi adalah umat Islam secara keseluruhannya.
         Sebagai bentuk keprihatinan penulis terhadap adanya pertikaian dan persesteruan yang berlarut-larut antara sunnah dan syi’ah, yang hanya menimbulkan perpecahan umat sampai masa sekarang, maka penulis akan mencoba untuk menjawab pertanyaan di atas. Dan ada baiknya kalau dilihat lebih dahulu sudut pandangan masing-masing golongan tentang dasar, prinsip, atau rukun agama dan iman yang dipegang dan dijadikan sebagai pedoman hidup oleh masing-masing golongan, baik golongan sunnah ataupun syi’ah. Setelah itu kita akan menilai dan menanggapi pertanyaan di atas.
Sebagai perbandingan pertama, kita memulai dengan membahas masalah rukun Islam antara sunnah & syi’ah:

Rukun Islam:
           Sunnah dan syi’ah berbeda tentang pilar agama Islam. Kalau me­nurut pandangan Ahlu Sunnah, Islam memiliki beberapa pokok ajaran atau dasar agama yang biasa disebut sebagai rukun agama "Arkaan ad-Din”. Dan rukun ini memiliki konsekwensi yang fatal kalau ditinggal atau tidak dilaksanakan, yang menyebabkan suatu perkara yang dilakukan menjadi tidak sah. Sebab makna rukun itu sendiri adalah, sesuatu yang merupakan sebagian daripada suatu perkara yang karena kewujudannya maka wujudlah perkara itu, manakala sekiranya ia tidak wujud, maka tidak wujudlah perkara itu”. Contohnya perkara niat dalam shalat, niat merupakan rukun wujudnya shalat, jika seorang shalat tanpa disertai dengan niat maka shalatnya tidak sah.
Dalam agama Islam ada dua rukun yang mesti dilaksanakan oleh setiap orang yang mengaku dirinya beragama Islam, rukun tersebut adalah rukun Islam dan rukun Iman. Rinciannya adalah sebagaimana  berikut:
Golongan sunnah berpendapat bahwa rukun Islam setelah mengucapkan dua kalimat syahadat ada 4 perkara, yaitu: (1) Shalat, (2) Puasa, (3) Zakat, (4) Haji. Landasan bagi pendapat Sunni ini adalah hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ.
“Dari Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab r.a berkata : Saya mendengar Rasulullah saw bersabda : Islam dibangun di atas lima perkara; bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan berpuasa di bulan ramadhan”. (Riwayat Turmuzi dan Muslim).
Dari hadits di atas dapat dipahami  bahwa seseorang yang ingin memeluk agama Islam diwajibkan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dahulu, sebab syahadah adalah asas ajaran Islam. Syahadat diibaratkan sebagai kunci dan pilar utama untuk menjadi seorang muslim. Syahadat pertama  menuntut orang tersebut bertauhid atau meng-esa-kan Allah swt, dan syahadat yang kedua merupakan pengakuan bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah swt. Pilar yang kedua adalah, bagi seseorang yang mengaku beragama Islam diwajibkan menunaikan shalat lima waktu dalam sehari semalam, yaitu: shalat dzuhur,  ashar , maghrib , isya, dan subuh. Pilar yang ketiga menuntut seseorang muslim mengeluarkan zakat dalam jumlah yang telah ditentukan kadarnya. Pilar yang keempat adalah, bagi seorang muslim diwajibkan melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan, dengan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, dimulai dari sejak terbitnya fajar sehingga terbenamnya matahari. Dan pilar terakhir adalah, kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji di Mekkah al-Mukarramah sekali dalam seumur hidup.
            Inilah tiang agama yang mesti dilakukan oleh setiap umat Islam menurut pandangan golongan sunni.
Sedangkan bagi masalah keimanan yang merupakan suatu keyakinan yang dipercayai dengan sepenuh jiwa dan hati oleh pemeluk agama Islam, maka bagi golongan sunni, seorang muslim diwajibkan mempercayai enam rukun iman, yang terdiri dari: (1) Iman kepada Allah, (2) para malaikat, (3) kitab-kitab, (4) para rasul, (5) hari kiamat, serta (6) qadha & qadar. Dalil yang diajukan oleh sunni mengenai keenam rukun iman ini adalah sebagi berikut:
(أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ) (رواه مسلم والبخاري).
“Bahwa engkau beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul, dan hari akhirat, dan engkau beriman mengenai Qadar (takdir), baik dan buruknya".

(آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ) (البقرة، 285).
           “Rasul telah beriman kepada al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman, semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan):"Kami tidak membeda-bedakan antara seserangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan:"Kami dengar dan kami ta'at". (Mereka berdoa):"Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (Q.S. al-baqarah: 285).
Sedangkan golongan syi’ah berbeda dengan sunnah mengenai pembagian rukun Islam. Bahkan antara aliran-aliran syi’ah sendiri saling berbeda pandangan dalam hal ini. syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa rukun agama ada 5, yaitu: (1) Shalat, (2) Zakat, (3) Hajji, (4) Puasa, (5) Wilayah. Sebagaimana beberapa riwayat yang disebutkan oleh al-Kulaini dalam kitabnya "Ushul al-Kafi":
عَنْ أَبِي جَعْفَر قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: عَلَى الصلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَالصَّوْمِ وَالْحَجِّ وَالْوِلاَيَةِ، وَلَمْ يُنَادَ بِشَيْءٍ كَمَا نُوْدِيَ بِالْوِلاَيَةِ".
           “Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas lima perkara; yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan haji, dan wilayah, dan tidak ada satu pun daripada rukun-rukun yang tersebut yang diseru (keras) sebagaimana seruan yang diberikan kepada wilayah”[3].
 وعَنْ أَبِي جَعْفَر قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةٍ، عَلَى الصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَالصَّوْمِ وَالْوِلاَيَةِ، قَالَ زَرَارَة: فَقُلْتُ: وَأَىُّ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ أَفْضَل، فَقَالَ: اَلْوِلاَيَةُ أَفْضَل لِأَنَّهَا مِفْتَاحُهُنَّ، وَالْوَلِيُّ هُوَ الدَّلِيْلُ عَلَيْهِنَّ".
          “Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas lima perkara; mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, puasa ramadhan, dan wilayah. Zararah bertanya kepada Abu Ja’far: manakah rukun yangh terbaik di antara rukun-rukun tersebut?. Abu Ja’far menjawab: Wilayah adalah rukun yang terbaik, sebab wilayah merupakan kunci dari semua rukun agama, dan Wali (Imam) adalah penunjuk atas kesemua rukun tersebut”[4].
عَنْ عُجْلاَن أَبِي صَالِحْ قَالَ: قُلْتُ لِاَبِي عَبْدِ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَم: “أَوْقِفْنِي عَلَى حُدُوْدِ الاِيْمَانِ، فَقَالَ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَالِإقْرَارُ بِمَا جَاءَ بِهِ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَصَلاةُ الْخَمْسِ وَأَدَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ شَهْرِ رَمَضَان وَحَجُّ الْبَيْتِ وَوِلاَيَةُ وَلِيِّنَا وَعَدَاوَةُ عَدُوِّنَا وَالدُّخُوْلُ مَعَ الصَّادِقِيْنَ”.
          “Dari ‘Ujlan Abu Shalih, ia bekata: Saya meminta penjelasan dari Abu Abdillah tentang batasan-batasan iman, ia menjawab bahwa iman adalah :“Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dan Beriqrar (mengakui) segala yang datangnya dari Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan haji, percaya kepada Wilayah, dan memerangi musuh-musuh, dan berhimpun bersama orang-orang yang benar (jujur)”[5].
           Bila diperhatikan riwayat terakhir di atas, syi’ah Imamiyah menjadikan ucapan dua kalimat syahadat sebagai bahagian dari rukun iman, sementara sunnah menjadikannya sebagai rukun Islam.
           Adapun bagi syi’ah Isma'iliyah Bathiniyah, rukun Islam ada 7. Hal ini dinyatakan dengan tegas oleh salah seorang ulama Syi’ah Isma’iliyah, yaitu al-Qadhi an-Nu'man dalam kitabnya "Da'aa`im al-Islam". Kitab tersebut mensinyalir bahwa rukun Islam ada 7 perkara, yaitu: (1) Wilayah, (2) Kesucian, (3) Shalat, (4) Zakat, (5) Puasa, (6) Hajji, (7) Jihad. Adapun teksnya adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي جَعْفَر أَنَّهُ قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى سَبْعِ دَعَائِمٍ : اَلْوِلاَيَةُ، وَهِيَ أَفْضَلُهَا، وَبِهَا وَبِالْوَلِيِّ يُوْصِلُ إِلَى مَعْرِفَتِهَا، وَالطَّهَارَةُ، وَالصَّلاَةُ، وَالزَّكَاةُ، وَالصَّوْمُ، وَالْحَجُّ، وَالْجِهَادُ".
             “Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas tujuh perkara; Wilayah, dan wilayah adalah rukun terbaik dari rukun lainnya, sebab dengan wali (imam) seseorang dapat mengenal rukun-rukun Islam, kemudian Thahara (kesucian), mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan haji, dan berjihad”[6].
Jadi, syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma'iliyah sepakat bahwa wilayah (imamah) adalah rukun yang paling utama dari rukun yang lainnya.
Dari beberapa riwayat yang diketengahkan oleh syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah dapat dilihat bahwa dua kalimat syahadat tidak dimasukkan dalam rukun Islam mereka. Sedangkan sunnah menjadikannya sebagai rukun Islam pertama dan yang paling utama. Sementara bagi syi’ah wilayah (imamah) adalah salah satu rukun agama dan rukun Iman yang paling mendasar dan paling utama dibanding rukun-rukun lainnya. Sehingga salah seorang ulama syi’ah Imamiyah kontemporer yang bernama syekh Amir Muhammad al-Qazawayni menyatakan dengan tegas bahwa: “barang siapa yang mengingkari kepemimpinan imam Ali, maka sungguh telah gugur keimanannya”[7].
Di samping itu berkaitan dengan kalimat syahadat, terkadang syi’ah menambahkan sebutan imam Ali sebagai wali Allah, sehingga teks syahadat versi mereka berbunyi:
"أَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَه وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ عَلِيًّا وَلِيُّ اللَهِ"
“Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, dan Ali adalah wali Allah”.
Namun perlu disebutkan, bahwa as-Sayyid al-Murtadha, yang merupakan salah seorang ulama terkemuka Syi’ah pada abad ke lima Hijriah mengharamkan penyebutan azan yang ditambahkan dengan kalimat "Ali adalah wali Allah", yaitu yang berbunyi “أَشْهَدُ أَنَّ عَلِيًّا وَلِيَّ الله ”. Seorang cendikiawan Syi’ah Imamiyah yang netral dan moderat bernama DR. Musa al-Musawi menilai bahwa sebenarnya penambahan ini tidak mendasar dan keliru. Ia muncul setelah Ghibah al-Kubrah pada tahun 329 Hijriah. Bahkan menurutnya, seandainya imam Ali masih hidup saat ini, dan mendengarkan penambahan nama beliau dalam azan, maka niscaya beliau akan memberikan hukuman “Had” kepada pelantun azan tersebut[8]. Tentunya pernyataan ini merupakan suatu usaha untuk menuju penetralan dan penjernihan aqidah yang dilakukan oleh sebagian intelektual modern dari kalangan Syi’ah.
Bahkan terkadang lafadz Nabi Muhammad-pun dihilangkan dari kalimat syahadat. Seperti riwayat di bawah ini:
عَنْ أَبِي جَعْفَرْ قَالَ: "لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ عِنْدَ الْمَوْتِ شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَالْوِلاَيَة".
“Ketika Talqin, bacakanlah kepada mayat-mayat kalimat syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan wilayah (Ali wali Allah)”[9].
Di tempat lain, syi’ah menafsirkan ayat dalam surah al-Baqarah ayat 132, 137, yang berbunyi:
(قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ. فَإِنْ آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ) –البقرة: 136، 137-.
“Katakanlah (hai orang-orang mu'min):"Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'kub dan anak cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan 'Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Bagi syi’ah, lafadz (فَإِنْ آمَنُواْ), bermaksud, mereka umat manusia,  sedangkan lafadz  (بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ), adalah imam Ali, Fatimah, Hasan, Husain, dan para imam-imam lainnya. Jadi maksud ayat ini adalah keimanan seorang mu’min harus melalui dan mengikuti serta sesuai dengan keimanan para imam-imam syi’ah[10].
Inilah gambaran tentang konsep keimanan kepada Allah swt yang diyakini oleh golongan syi’ah.
            Tentang Nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang pada asalnya sifat-sifat tersebut hanya dimilki Allah semata-mata, oleh Syi’ah diyakini bahwa nama-nama serta sifat-sifat tersebut dilabelkan juga untuk para imam-imam syi’ah. Hal ini dapat dilihat ketika al-Kulaini meriwayatkan sebuah pentafsiran daripada ayat al-Qur’an:
(ولِلَّهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا) -الآعراف، 180-.
            “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu”. (Q.S. al-A’raaf: 180). Dari Abu Abdillah, ia mengatakan: “Kami dan asma al-husna tidak akan menerima amalan seorang hamba kecuali dengan pengetahuan kami (izin kami)”[11].
Dalam kitab-kitab Syi’ah yang lain disebutkan:
"نَحْنُ وَجْهُ اللهِ نَتَقَلَّبُ فِي الأَرْضِ بَيْنَ أَظْهَرِكُمْ، وَنَحْنُ عَيْنُ اللهِ فِي خَلْقِه"
“Kami (para imam) adalah wajah Allah, kami beredar di muka bumi di antara kamu, dan kami (para imam) adalah mata Allah untuk hambaNya”[12].
Ibnu Babwaih menafsirkan firman Allah swt:
(كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ) –القصص، 88-.
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah”. (Q.S. al-Qashash: 88).
Ia mengatakan:"نَحْنُ وَجْهُ اللهِ الَّذِي لاَ يَهْلِكُ".  “Kamilah wajah Allah yang tidak akan binasa”[13]. Keyakinan seperti ini dapat ditemukan juga dalam Syi’ah Isma’iliyah[14].
Dengan demikian, dari uraian  di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa syi’ah menambahkan rukun Islam dengan Imamah (politik). Dan hal ini ditegaskan kembali oleh syekh Muhammad Husein al-Ghitah yang merupakan seorang ulama syi’ah Imamiyah kontemporer, yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya mazhab Syi’ah (imamiyah) menambahkan rukun Islam (Ahlu Sunnah), yaitu Imamah”[15].
Teks ucapan ini merupakan pengakuan bahwa syi’ah memang sengaja menambahkan rukun Islam supaya berbeda dengan rukun Islam yang diyakini oleh kalangan sunnah.
            Kemudian untuk rukun iman yang lainnnya, seperti beriman kepada malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, serta qadha dan qadar, akan penulis jelaskan satu persatu secara singkat di bawah ini.

Malaikat:
            Termasuk bagian dari rukun iman yang disepakati oleh sunnah dan syi’ah adalah beriman kepada malaikat-malaikat Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya :
(آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ).
“Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali" (QS. Al-Baqarah : 285).
Namun yang menjadi masalah di sini adalah adanya bentuk penafsiran-penafsiran atau interpretasi dan pemahaman yang berbeda antara sunnah dan syi’ah. Misalnya, dari segi asal penciptaan malaikat dan tugas malaikat. Bagi sunnah, malaikat diciptakan dari cahaya (semata), sebagaimana sabda Rasulullah saw:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ".
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: "malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala, dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk kalian" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2996].
Namun syi’ah berpendapat lain, dan menegaskan bahwa penciptaan malaikat berasal daripada cahaya imam Ali[16]. Di samping itu syi’ah mengatakan bahwa ada di antara malaikat yang kerja dan tugasnya hanya untuk menangisi kuburan imam Husain dan berbolak balik menziarahi kuburannya sehingga hari kiamat. Dan menurut mereka jumlah para malaikat adalah sebanyak 4000[17]. Sementara dalam ideologi sunnah, tidak ditemukan pemahaman bahwa terdapat segerombolan malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk menangis di atas kuburan imam Husain.
            Bagi syi’ah, malaikat Jibril di samping bertugas sebagai pembawa wahyu Ilahi, Allah juga menugaskannya sebagai pelayan bagi para imam-imam syi’ah, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam kitab “Biharul Anwar”:
          (إِنَّ جِبْرَائِيْل دَعَا أَنْ يَكُوْنَ خَادِمًا لِلْأَئِمَّةِ، قَالُوا: فَجِبْرِيْلُ خَادِمُنَا).
“Sesungguhnya malaikat Jibril meminta untuk menjadi pelayan para imam, maka para imam menjawab: Jibril adalah pelayan kami”[18].
Asumsi ini tidak diterima oleh sunnah. Sebab malaikat Jibril yang biasa disebut sebagai “ar-Ruuh” menurut aqidah sunnah tugasnya hanyalah sebagai pembawa wahyu, dan hanya melayani Nabi Muhammad saw, sesuai dengan firman Allah:
(نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ) –الشورى: 193، 194-.
“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruuh Al-Amin (Jibriil), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” )QS. Asy-Syu’raa’ : 193-194(.
Di dalam ayat lain disebutkan:
(تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ) –القدر: 4-.                  
“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ar-Ruuh (Jibriil) dengan ijin Tuhannya untuk mengatur segala urusan” )QS. Al-Qadar : 4(.

Kitab-Kitab:
            Kepercayaan kepada kitab-kitab merupakan rukun iman yang ketiga. Kesemua ajaran-ajaran agama disampaikan oleh malaikat dan dicatatkan di dalam kitab-kitab dan suhuf. Dan jumlah kitab-kitab suci tidak diketahui secara pasti berapa jumlahnya. Namun sekalipun tidak diketahui secara pasti jumlah kitab-kitab tersebut, yang jelas setiap rasul dibekalkan dengan kitab suci masing-masing.
            Silang pendapat antara sunnah dan syi’ah pada masalah ini sangat tajam. Sunnah meyakini bahwa dalam agama Islam kitab yang diturunkan Allah swt kepada ummat Islam adalah al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, dan pendapat ini disetujui oleh syi’ah. Atau dengan kata lain, sunnah dan syi’ah sepakat dan sekata bahwa pedoman ajaran agama Islam adalah kitab al-Qur’an yang dibekalkan oleh Allah untuk Nabi Muhammad saw. Namun, perselisihan tajam terjadi ketika kalangan syi’ah berasumsi bahwa al-Qur`an yang dipegang oleh sunnah, yaitu (Mushaf Utsmani) tidak originil alias palsu, sebab telah mengalami perubahan yang berupa penambahan dan pengurangan. Hal ini dijelaskan oleh ulama hadits terkemuka syi’ah Imamiyah, yaitu Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini: ”dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata:”Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril kepada Muhammad memiliki 17.000 ayat“[19].
Pada tempat lain, disebutkan juga teks berikut:
عَنْ أَبِي بَصِيْر، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى أَبِي عَبْدِ اللهِ ... : "وَإِنَّ عِنْدَنَا لَمُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَم، قُلْتُ (أَيْ قَوْلُ الرَّاوِي): وَمَا مُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَمْ؟ قَالَ: مُصْحَفٌ فِيْهِ مِثْلُ قرْآنِكُمْ هَذَا ثَلاَثُ مَرَّاتٍ مَا فِيْهِ مِنْ قُرْآنِكُمْ حَرْفٌ وَاحِدٌ".
Dari Abi Bashir, ia berkata, Abu Abdillah berkata: “Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah, Abu Bashir bertanya: apakah Mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ”yaitu Mushaf yang 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari al- Qur’an kalian”[20]. Oleh karena itu, Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi menegaskan bahwa al-Qur’an yang dimiliki oleh ahlu sunnah telah mengalami perubahan besar dan mengalami banyak penyimpangan dan penyelewengan[21].
Bahkan dalam riwayat lain disebutkan dalam kitab “Biharul Anwar”:
"مُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَم مَا فِيْهِ شَيْءٌ مِنْ كِتَابِ اللهِ، وَإِنَّمَا هُوَ شَيْءٌ أُلْقِي عَلَيْهَا"
“Sesungguhnya isi kandungan Mushaf Fathimah adalah wahyu dari Allah yang langsung disampaikan kepadanya (Fathimah) ”[22].
Kesemua teks-teks riwayat di atas tidak memerlukan penjelasan lebih dalam dan rinci, sebab sudah sangat jelas maksudnya, bahwa terdapat mushaf yang diturunkan khusus untuk Fathimah.
Dalam kitab “Dalaai`l an-Imamah” terdapat riwayat yang menggambarkan isi dan kandungan daripada mushaf Fathimah, di antaranya adalah hal-hal ghaib. Seperti pemberitaan tentang peristiwa-peristiwa apa yang sudah terjadi dan akan terjadi sampai hari kiamat kelak, bilangan jumlah malaikat, siapa saja utusan Allah, nama-nama para Imam syi’ah (dua belas imam), sifat-sifat penghuni surga dan neraka, jumlah orang yang akan berjaya masuk di dalam surga dan neraka, serta banyak lagi hal-hal lain[23].
Riwayat seperti ini sangat banyak ditemui dalam kitab-kitab syi’ah yang masuk dalam katagori autentik “al-Mu’tabarah”, seperti: “Bashaa`ir ad-Darajaat” karangan Ibnu al-Farruukh as-Shaffar, “Amaali as-Sudduuq”, karangan Ibnu Babwaih al-Qummi dll.
            Tentunya ilustrasi-ilustrasi ghaib yang tersebut dalam kitab-kitab di atas adalah sesuatu yang tidak masuk logika. Sebab Nabi Muhammad sendiri tidak mampu bercerita kepada ummatnya tentang hal-hal demikian, sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah swt;
(قُل لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ) –الأنعام:50-
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku. Katakanlah:"Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat". Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)”. (Q.S. al-An’aam: 50).
Di samping itu, syi’ah Imamiyah berasumsi bahwa masing-masing kedua belas imam mendapatkan suhuf (lembaran-lembaran) tersendiri[24], sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab “Ikmaal ad-Din”:
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ: "إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْزَلَ عَلَى اثْنَى عَشَرَ خَاتِمًا، وَاِثْنَى عَشَرَ صَحِيْفَةً، اِسْمُ كُلَّ إِمَامٍ عَلَى خَاتِمِهِ، وَصِفَتِهِ فِي صَحِيْفَتِهِ"
“Sesungguhnya Allah swt menurunkan (membagikan) cincin kepada dua belas imam, dan bagi tiap-tiap imam dua belas diberikan lembaran masing-masing, dan pada setiap cincin tersebut tertulis nama imam, sedangkan sifatnya tersebut dalam lembaran”[25].
Dengan demikian, pada dasarnya syi’ah mengakui adanya kitab suci selain al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yang dikenal sebagai “Mushaf Fatimah”. Dan Allah membagikan shuhuf (lembaran-lembaran) kepada setiap imam yang dua belas.
Bagi sunnah keotentikan mushaf dan shuhuf ini merupakan sebuah tanda tanya besar. Sebab bagi sunnah al-Qur’an dan Hadits sudah cukup untuk dijadikan pedoman hidup bagi ummat, sesuai dengan firman Allah swt:
(وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ) -النحل،89-        
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS. An-Nahl: 89).
(مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ) -الأنعام، 38-
            “Tiadalah Kami alpakan (lalaikan) sesuatu apapun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS. Al-An’aam: 38).
            Rasulullah saw juga bersabda:
(تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ، وَسُنَّةَ نَبِيَّهِ)
“Saya meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepadanya, yaitu: kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya (Hadits)”. (Muwatta’ Imam Malik, no: 2618).
            Sebagai catatan, perlu diperhatikan bahwa sebagian ulama syi’ah (minoritas) baik klasik ataupun kontemporer[26] ada yang menyanggah keyakinan bahwa al-Qur’an yang di tangan sunnah tidak orisinil. Dalam artian lain, mereka mengakui bahwa Mushaf Utsmani tidak ada penyimpangan atau penyelewangan dalam isi kandungannya. Ulama tersebut adalah, imam at-Thuusi, imam at-Tabrisi, as-Syarif al-Murtadha, Adnan al-Bahraani, Syekh al-Qummi, syekh Muhammad Ridha al-Muzaffar dan syekh Kasyif al-Ghita’[27].  Sedangkan mayoritas ulama syi’ah tetap tidak mengakui Mushaf Utsmani[28].
Sunnah menilai bahwa pengakuan sebahagian ulama syi’ah terhadap mushaf Ustmani bermotifkan “Taqiyyah”, alias bukan sikap hakiki mereka. Sikap ini mereka ambil hanya untuk meredakan pertikaian antara sunnah dan syi’ah. Namun menurut hemat penulis, sebaiknya usaha demikian dari pihak syi’ah kita tanggapi secara positif, atau dengan kata lain bersifat baik sangka “Husnu ad-Dhan” terhadap mereka. Yang artinya kita merespon baik pandangan golongan minoritas ulama syi’ah Imamiyah di atas. Alangkah baiknya kalau kita mencari persamaan dan memperkecil ruang perbedaan?
Bahkan DR. Musa al-Musawi (intelektual syi’ah) menegaskan, bahwa yang berpendapat adanya “Tahrif” atau penyelewengan dalam mushaf utsmani adalah golongan minoritas syi’ah dan bukannya mayoritas. Dan beliau sendiri meyakinkan kita bahwa imam al-Khu’i dalam kitab tafsirnya “al-Bayan” telah menafikan sendiri unsur “Tahrif” yang ditujukan pada mushaf “Utsmani” oleh ulama-ulama syi’ah lain,  dan yang berpendapat demikian sebenarnya  hanyalah orang-orang yang lemah akal pikirannya[29].
Tapi walau bagaimanapun, pihak sunnah menilai bahwa masalah “Tahrif” adalah pandangan mayoritas golongan syi’ah. Seperti yang ditegaskan oleh syekh adz-Dzahabi dalam bukunya “al-Ittijahat al-Munharifah fi Tafsir al-Qur’an”[30].
           
Rasul-Rasul
            Kepercayaan kepada para rasul adalah pilar keempat dari rukun iman, berdasarkan firman Allah swt:
(فَآمِنُوا بِاللهِ وَرُسُلِهِ) -النساء، 171-.
"Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya" (Q.S. an-Nisaa’).
Allah swt mengutus para rasul-Nya untuk menjelaskan dan membimbing umat ke jalan yang lurus dan diridhai-Nya. Di samping itu, Allah menjanjikan pahala khusus bagi siapa saja yang mempercayai para rasul Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:
            (وَالَّذِينَ آمَنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُواْ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ أُوْلَـئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً) -النساء، 152-.
            “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya dan tidak membedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Q.S. an-Nisaa’: 152).
Point ini disepakati bersama antara sunnah dan syi’ah, namun dalam sisi lain terjadi silang pendapat yang mendasar, yaitu apabila syi’ah berusaha untuk menyamakan para rasul dengan Imam-imam syi’ah. Mereka berpandangan bahwa imamah atau wilayah adalah masalah agama yang paling penting, dan setaraf dengan kenabian, dari segi kesempurnaan diri (insan kamil). Mereka memiliki mu’jizat, ma’sum (terpelihara dari dosa dan noda), dan sifat lainnya yang sebenarnya hanya layak disandang oleh seorang nabi dan rasul, namun syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah ikut melekatkan sifat-sifat tersebut pada imam-imam mereka. Bahkan mereka meyakini bahwa imam-imam syi’ah mendapatkan wahyu juga seperti halnya nabi dan rasul, seperti yang tertulis di kitab “Biharul al-Anwar”:
“إن الأئمة عليهم السلام لا يتكلمون إلا بالوحي”
“Sesungguhnya para imam tidak berbicara kecuali dengan landasan wahyu”[31].
Teks di atas sangat jelas menunjukkan bahwa para imam syi’ah mendapatkan wahyu dari Allah swt. Bahkan bagi mereka, para imam lebih tinggi derajatnya di banding para nabi. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Babwaih dalam kitabnya “I’tiqaadaat”[32], yang kemudian ditegaskan oleh al-Majlisi dengan mengatakan:
"اِعْلَمْ أَنَّ مَا ذَكَرَهُ رَحِمَهُ اللهُ مِنْ فَضْلِ نَبِيِّنَا وَأَئِمَّتِنَا صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ عَلَى جَمِيْعِ الْمَخْلُوْقَاتِ، وَكَوْنِ أَئِمَّتِنَا أَفْضَلُ مِنْ سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ ..."
"ketahuilah sesungguhnya apa yang telah disebutkan oleh dia (Ibnu Babwaih) rahimaullah, tentang kemuliaan Nabi kita dan para Imam kita (shalawatullah ‘alaihim)  melebih semua makhluk lain. Dan kedudukan para imam kita lebih mulia dibandingkan seluruh nabi, hal ini tidak dapat diragukan lagi kebenarannya bagi siapa saja yang mengetahui berita-berita para imam[33].
Begitu juga dengan perihal mu’jizat (miracle), yaitu suatu keadaan atau peristiwa luar biasa yang dialami atau dilakukan oleh nabi atau rasul atas izin Allah swt. Mukjizat ini bertujuan untuk membuktikan kebenaran agama atau berfungsi sebagai senjata untuk menghadapi musuh-musuh yang menentang dan tidak mau menerima ajaran yang dibawa oleh seorang nabi.
Yang menarik perhatian sunnah dalam masalah ini adalah, di dalam kitab-kitab syi’ah banyak disebutkan bahwa para imam-imam syi’ah dibekali juga dengan mu’jizat seperti halnya para nabi dan rasul. Bahkan ulama syi’ah mengambil perhatian besar dalam masalah mu’jizat dengan munculnya berbagai ragam kitab yang membahas dan membicarakan tentang mu’jizat-mu’jizat para imam, seperti, kitab “’Uyuun al-Mu’jizaat” karya Husain bin Abdul Wahab. Di antara mu’jizat imam yang disebutkan dalam kitab tersebut adalah, para imam mampu menghidupkan orang mati, dapat berkomunikasi dengan hewan dan mengetahui hal-hal yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi[34]. Juga kitab “Yanaabii’ al-Ma’aajiz”, yang ditulis oleh Hasyim al-Bahrani. Bahkan dia menulis dua kitab mengenai hal ini. Selain kitab di atas adalah kitab “Madinah al-Ma’aajiz”. Dalam kedua kitab tersebut disebutkan bahwa imam mengetahui apa saja keadaan dan peristiwa yang terjadi di langit maupun di bumi[35]. Dan hal inipun ditegaskan oleh salah satu ulama kontemporer imamiyah, yaitu Muhammad Husain Kasyif al-Ghita’ dalam bukunya “Ashlu as-Syi’ah wa Ushuliha”[36].
Perlu diindikasikan di sini bahwa syi’ah Zaidiyah yang merupakan salah satu golongan besar dalam syi’ah, telah berusaha maksimal mungkin menepis dan mengcounter propaganda syi’ah Imamiyah dalam masalah mu’jizat dan kenabian. Sebab menurut syi’ah Zaidiyah, adalah suatu hal yang mustahil menganalogikan imamah dengan kenabian (nubuwwah). Alasannya adalah, karena kenabian memiliki berbagai argumentasi dan bukti yang menunjukkan kenabian mereka. Sikap syi’ah Zaidiyah terhadap polemik ini layak untuk diperhitungkan, karena syi’ah Zaidiyah menolak secara mentah-mentah pendapat yang mengatakan bahwa seseorang dapat mencapai derajat kenabian. Bahkan imam Ali ra yang juga disepakati oleh syi’ah Zaidiyah sebagai pemimpin yang paling layak dibandingkan  khalifah lainnya, menurut pandangan mereka tidak sampai kepada tahap derajat kenabian[37].
          Imam Asy’ari dari pihak sunnah menilai secara objektif pandangan tentang kelebihan antara nabi dan imam. Beliau berpendapat, bahwa sebenarnya  syi’ah Imamiyah dalam masalah ini terbagi kepada tiga golongan:
1)    Sebagian berpendapat bahwa nabi lebih mulia daripada imam, dan imam  lebih mulia daripada malaikat.
2)    Ada yang berpendapat bahwa imam lebih mulia dibandingkan nabi dan malaikat.
3)    Sedangkan golongan yang ketiga ini menilai bahwa malaikat dan nabi lebih mulia daripada imam[38].
Sebenarnya, di samping ketiga pandangan di atas, terdapat lagi satu asumsi lain yang dicetuskan oleh syekh al-Mufid –seorang ulama syi’ah- bahwa imam lebih mulia dibanding dengan nabi, kecuali para nabi yang masuk dalam golongan “Ulul al-Azmi”[39].

Hari Kiamat.
            Kepercayaan kepada hari kiamat dan alam akhirat, yaitu menerima hakikat bahwa alam ini akan musnah suatu ketika nanti dengan sekelip mata. Dan pada masa itu, semua manusia yang telah mati akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggungjawabkan semua amalan-amalan yang mereka lakukan tatkala hidup di alam dunia. Kemudian Allah swt akan membalas amal-amal tersebut balasan yang seadil adilnya. Oleh karena itu kiamat dalam agama Islam dinamakan dengan berbagai sinonim, seperti: hari kiamat, hari kebangkitan, hari pembalasan, hari pengadilan, dan hari penghitungan[40].
            Perlu diperhatikan di sini, bahwa kepercayaan akan hari kiamat bukan saja ada dalam agama Islam, juga ada dalam agama lain, seperti: kristen dan yahudi, yang merupakan agama-agama langit “al-Adyan as-Samawiyah”[41]. Bahkan kepercayaan kepada kewujudan hari kiamat juga ditemukan dalam agama atau kepercayaan kuno seperti, Persia, Mesir kuno, Yunani, dan lain-lainnya yang mempercayai adanya hari kiamat. Perbedaan mereka terletak pada cara menilai kebangkitan manusia apakah dengan ruh dan jasad atau dengan ruhnya saja tanpa jasad. Jadi perkara hari kiamat ini merupakan kepercayaan umum yang diyakini oleh setiap manusia. Sehingga pada zaman modern ini para sutradara film berlomba-lomba membuat filem tentang hari kiamat, seperti filem End of Days, Stigmata, Knowing dan yang terbaru 2012. Kita menghargai nilai film-film ini mengenai kepercayaan mereka tentang akan terjadinya hari kiamat, adapun penentuan waktu dan kandungannya tentu tidak boleh kita yakini, sebab perkara ini adalah rahasia ilahi. Seperti dalam filem 2012, ramalan kiamat berlaku dibuat berdasarkan kalendar suku maya yang berdomisili di republik Guatemala (Amerika tengah).
            Sunnah ataupun syi’ah sepakat tentang hari kiamat. Namun ada beberapa hal yang tidak dapat diterima oleh pihak Sunnah, seperti: perkara hisab (penghitungan dan pembalasan amalan). Syi’ah dengan ideologinya mengatakan bahwa yang akan menghisab amal seseorang di hari kiamat adalah para imam, merekalah yang akan bertugas dan mengatur segala-segala bentuk penghitungan. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Ushul al-Kafi di bawah ini:
          (الآخِرَةُ لِلإِمَامِ يَضَعُهَا حَيْثُ يَشَاءُ، وَيَدْفَعُهَا إِلَى مَنْ يَشَاءُ جَائِزٌ لَهُ ذَلِكَ مِنَ اللهِ)
            “Perkara akhirat berada di tangan imam, ialah yang akan menguruskan segala-galanya di akhirat sesuai keinginannya, ia berbuat demikian atas lisensi Allah”[42].
            Lebih unik lagi, dalam kitab-ktab syi’ah diceriterakan bahwa sekiranya bukan karena imam, maka tidak diciptakan surga dan neraka, dan Allah menciptakan surga dari cahaya Husain[43]. Dan soal pertama yang akan ditanyakan di hari kiamat adalah tentang kecintaan seseorang dan kesetiaannya terhadap Ahlu Bait[44]. Di samping itu, penduduk Qum tidak melalui proses hisab sebagaimana orang awam, seperti melewati titian (shirat) dan timbangan (mizan). Dan penduduk Qum akan dihisab dari dalam kubur masing-masing, setelah itu dibangkitkan dan langsung dibawa menuju Surga, dan di Surga disediakan pintu khusus bagi mereka[45].
            Ini sebagian dari paparan dan rentetan ideologi-ideologi syi’ah tentang kejadian dan peristiwa yang akan berlaku di hari kiamat. Dan syi’ah meyakini bahwa urusan managemen surga dan neraka diserahkan sepenuhnya kepada para imam. Mulai dari kebangkitan dari kubur, melewati titian, menjalani proses timbangan, dan yang terakhir keputusan seseorang akan masuk surga atau neraka berada di tangan para imam. Namun dalam pandangan sunnah, perkara masuk surga dan neraka adalah berada di tangan Allah semata, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamith, ia berkata, Rasululllah saw bersabda,
(مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ الْعَمَلِ)
Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang hak disembah) selain Allah Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya; dan (bersyahadat) bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh daripada-Nya; dan (bersaksi pula bahwa) surga adalah benar adanya dan nerakapun benar adanya; maka Allah pasti memasukkannya kedalam surga betapapun amal yang telah diperbuatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim). Qadha dan Qadar (Takdir).
            Takdir merupakan rukun iman terakhir yang wajib diyakini oleh umat Islam. Dan dalam pembahasan ini terdapat dua kata yaitu qadha dan qadar. Kedua istilah ini serupa tapi tak sama, sebab keduanya mempunyai makna yang berbeda. Dari segi etimologi sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Maturidi bahwa qadha diartikan sebagai keputusan, sedangkan qadar diartikan sebagi ketentuan[46].  Sedangkan dari segi terminologi, qadar adalah takdir Allah sejak zaman azali, sedangkan qadha` adalah hukum Allah mengenai sesuatu ketika sesuatu itu terjadi . Oleh karena itu, kalau Allah menetapkan terjadinya sesuatu pada waktu yang ditentukan, maka itulah yang dinamakan qadar. Dan ketika telah datang masa waktu terjadinya sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya itu, maka itulah yang dinamakan qadha’. Dengan demikian qadar wujud lebih dulu dibanding qadha, sebab qadha menyusul di belakang setelah adanya qadar.
            Bila kita teliti dalam permasalahan takdir, syi’ah cenderung kepada pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusialah yang mewujudkan perbuatan itu. Perbuatan adalah apa yang dihasilkan oleh manusia dengan daya yang bersifat baru[47].
Di sinilah titik perbedaan antara pandangan sunni dan syi’ah dari satu sisi, dan di sini jugalah titik persamaan antara syi’ah dengan Mu’tazilah. Sunni yang diwakili oleh dua golongan besar,  yaitu: Asy’ariah dan Maturidiyah, berkeyakinan bahwa Allah menciptakan perbutan manusia, dan manusia yang melakukan perbutan yang Allah ciptakan tersebut[48].
Di samping itu perlu disebutkan di sini bahwa golongan sunni, syi’ah dan mu’tazilah sama-sama mengkritik pandangan golongan Jabariah (Fatalisme), yang berasumsi bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, tidak mempunyai daya, dan tidak  mempunyai pilihan. Punulis tidak perlum memaparkan lebih jauh tentang masalah ini, karena silang pendapat dalam masalah ini tidak begitu jauh antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Dalam artian, polemik antara sunni dan syi’ah dalam masalah ini tidak berakibat fatal, seperti halnya polemik pada rukun-rukun iman yang lain.
Ada beberapa perbedaan lain yang sangat signifikan yang diyakini oleh golongan syi’ah Imamiyah selain perkara-perkara rukun di atas, yaitu:
1)    Khalifah diwasiatkan secara nash dan bersifat turun temuran.
2)    Imam adalah terpelihara dari dosa dan noda, alias bersifat ma’shum.
3)    Meyakini adanya raj’ah (kebangkitan kembali)[49].
4)    Memaki para sahabat Nabi dan ummahatul mukminin.
5)    Menghalalkan nikah Muta'h.
6)    Menolak ijma’ & qiyas. (dalam masalah ini terjadi perdebatan intern antara sesama syi’ah sendiri. Yaitu antara dua kelompok: al-Akhbariyyun (al-Nashiyyun, al-Muhadditsun), dan kelompok al-Ushuliyyuun (Madrasah ar-Ra’yi, Madrasah at-Ta’wil).
7)    Tidak menerima hadis yang diriwayatkan oleh perawi Ahli Sunnah.
Tentunya masih banyak lagi permasalahan selain yang penulis sebutkan di atas.
          Apabila menoleh ke sejarah Islam, imamah (politik) merupakan faktor utama yang menyebabkan perselisihan di kalangan umat Islam sampai saat ini, sehingga terpecah belah ke berbagai aliran, sekte dan mazhab. Ini akibat lahirnya konflik antar sekte Islam sepeninggalnya Nabi saw ketika suksesi politik diadakan untuk merebut tampuk kepemimpinan. Dalam istilah syi’ah, politik dinamakan (al-Imamah), dan istilah yang digunakan sunni adalah (al-Khilafah). Sedangkan pada zaman modern saat ini dikenal dengan istilah (ar-Ri`asah). Dalam pandangan politik syi’ah dikatakan bahwa imamah bukanlah masalah kepentingan pribadi yang diberikan kepada pilihan publik, akan tetapi adalah salah satu pilar agama atau asal-usul dan dasar perinsip agama (Arkan ad-Din), dimana iman seseorang tidaklah sempurna kecuali percaya dengan Imamah. Oleh karena itu, mesti diyakini bahwa Imam Ali merupakan pelanjut Nabi saw yang sah dengan penunjukan langsung dari Nabi saw (bukannya Abu Bakar). Dan bagi mereka, kedudukan para Imam setara dengan kedudukan Nab saw. Oleh sebab itu, syi’ah dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik adalah mutlak dimiliki oleh kalangan Ahlul Bait.
Dengan demikian konsep imamah dijadikan sebagai rukun agama oleh seluruh penganut dan golongan syi’ah. Sementara ahlu sunnah men­jadikan imamah hanya sebatas sebuah kajian fiqh saja dan bukan sebagai rukun agama. Jadi bagi mereka, imamah itu adalah pangkat atau ja­batan yang ditentukan oleh Allah swt, oleh karena itu posisi imam itu mereka sama­kan dengan posisi Nabi. Dan kalau Nabi di­pilih langsung olehi Yang Maha Kuasa, maka imam dipilih oleh Nabi Muhammad saw. Dan pilihan beliau jatuh kepada Imam Ali, dan Imam Ali memilih penerusnya dari Ahlul Bait. Jika demikian, dapat kita katakan bahwa syi’ah se­cara tidak langsung memasukkan sistem pe­merintahan teokrasi dalam Islam dan per­adaban bangsa Arab. Dan berdasarkan konsep imamah ini, maka umat tidak berhak memilih se­orang imam, karena pemilihan imam me­rupakan ketentuan Ilahi.
            Mereka menggunakan banyak landasan. Hampir semua ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw yang berkaitan dengan kepemimpinan, perwalian, penghakiman dll mereka inter­pretasikan sebagai konsep Imamah. Seperti firman Allah swt:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً) -النساء: 59-.
"           Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (Q.S. an-Nisaa`: 59).
Ayat" Yaa ayyuhallazdina amanu ati’ullah wa ati’u ar-rasul wa ulil Amri minkum “, menurut mereka kalimat “wa ulil amri minkum“, adalah para imam-imam syi’ah dan keturunannya. Dan pendapat ini disepakati oleh seluruh golongan syi’ah yang terbesar, yaitu: syi’ah Zaidiyah, syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah[50]. Begitu juga halnya dengan Akhbar (hadits), seperti wasiat Rasulullah saw pada saat peristiwa Ghadir Kham selepas haji Wada’. Yaitu manakala Rasulullah saw mengatakan kepada umatnya ketika itu, bahwa Imam Ali adalah penerima wasiat dan sebagai khalifah sepeninggalku[51].
Namun, kalau kita renungkan dengan teliti ucapan-ucapan Rasulullah saw dalam haji Wada’, sebenarnya tidak ada dalam ucapan dan penyebutan Rasulullah saw mengenai khilafah, melainkan beliau hanya menyebutkan tentang kebaikan, keutamaan (afdaliyah) imam Ali terhadap apa-apa pengorbanan yang telah disumbangkan kepada umat Islam ketika itu. Oleh karena itu, syi’ah merasa tidak cukup puas untuk menjadikan peristiwa Ghadir Kham sebagai argumentasi mereka, sehingga mereka berusaha mencari dalil-dalil lain yang boleh menguatkan keyakinan mereka[52]. Dan untuk men­guatkan peristiwa ini, salah seorang ulama syi’ah Imamiyah bernama  Abdul Husain Ahmad al-Amini mengarang sebuah buku sebanyak 10 jilid yang berjudul (al-Ghadir fi al-Kitab wa as-Sunnah wa al-Adab). Dan pe­riwayatan hadits-hadits yang mereka gunakan dari kalangan mereka sendiri, karena bagi syi’ah Imamiyah ataupun Isma’iliyah, hadist yang shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ma’shum dalam semua tingkatan.
Setelah memaparkan bentuk-bentuk perbedaan keyakinan, kepercayaan (ideologi) dan politik yang dianut oleh masing-masing golongan sunnah dan golongan syi’ah Imamiyah, maka kita boleh menilai secara objektif serta menyawab pertanyaan pada awal artikel ini, yaitu:
Apakah kedua kelompok tersebut boleh bersatupadu, atau sekurang-kurangnya bolehkah kedua golongan tersebut didekatkan atau hidup berdampingan antara satu dengan lainnya, sehingga tidak menimbulkan konflik  agama dalam tubuh Islam sendiri?
Dalam kerangka pendekatan, nampaknya syi’ah Zaidiyah dapat didekatkan kepada golongan sunnah. Sebab dalam realitanya, syi’ah Zaidiyah memang memiliki persamaan dengan ahlu sunnah dalam bidang fiqh dan akidah[53], dan mereka tetap mengakui pe­riwayatan hadits-hadits sunni. Oleh karena itu, sy’iah Zaidiyah dalam pandangan sunni merupakan bagian sekte syi’ah yang moderat.  Sehingga sekte tersebut diakui oleh kalangan sunni sebagai sekte syi’ah yang paling dekat ke sunni. Karena sekte ini dalam banyak hal tidak sependapat dengan syi’ah pada umumnya, atau khusunya syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah. Syi’ah zaidiyah ini tidak menyetarakan posisi Imam seperti Nabi yang mempunyai sifat 'ismah (terpelihara dari dosa dan noda). Dan syi’ah Zaidiyah menganggap sama kedudukan semua manusia.  Di samping itu penilaian kedekatan zaidiyah dengan sunni disebabkan oleh karena sebahagian dari sekte syi’ah Zaidiyah seperti “Shalihiyah dan Batriyah” berpendapat bahwa kepemimpinan itu hendaklah dilakukan secara kontrak dan seleksi (pemilihan umum). Dan mereka menganggap sah kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Alasannya adalah karena imam Ali sendiri telah melepaskan jabatan tersebut dan menyerahkannya kepada mereka berdua. Dalam pandangan syi’ah Zaidiyah, tidak pernah terdengar kalau imam Ali menuntut mereka berdua. Itulah sebabnya, syi’ah Zaidiyah dianggap sebagai golongan syi’ah yang terdekat dengan ahlu sunnah, khususnya pada era awal kemunculannya. Pandangan syi’ah Zaidiyah sama seperti pandangan ulama salaf, yaitu mengamalkan seutuh-utuhnya sumber hukum asal yaitu: Qur’an dan Sunnah. Hal ini ditegaskan oleh DR. Ibrahim Madkur. Dalam pandangannya, pandangan syi’ah Zaidiyah pada masalah ketuhanan (Uluhiyah) pada era awal pendirian golongan tersebut sebenarnya sangat dekat dengan pandangan salaf, namun pada perkembangan selanjutnyanya -khususnya pengikut Zaidiyah di Yaman- mereka lebih dekat kepada pandangan golongan Mu’tazilah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa syi’ah Zaidiyah pada era awal lebih dekat kepada ahlu sunnah. Namun dalam perkembangan selanjutnya terjadi perubahan dan pergeseran, di mana syi’ah Zaidiyah lebih dekat kepada golongan Mu’tazilah.
   Perlu disebutkan di sini bahwa ada beberapa ulama syi’ah Zaidiyah yang bersikap terbuka terhadap ahlu Sunnah, bahkan mengikuti pandangan ahlu sunnah, seperti imam Muhammad bin al-Wazir al-Yamani, imam al-Hasan al-Jallal, Imam Shalih bin Mahdi al-Muqbali, imam al-Amir ash-Shan’ani, dan Imam asy-Syaukani.
            Imam Syaukani berbeda pendapat dengan aliran zaidiyah dalam beberapa masalah, di antaranya: 1) mengenai pemahaman ahlul bait. Dia berpendapat bahwa ahlul bait bersifat menyeluruh bagi semua isteri Nabi saw, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Sedangkan Zaidiyah berpendapat bahwa ahlul bait khusus hanya untuk Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. 2)  dalam syarat-syarat imamah Syaukani berpendapat sah imamah pada semua keturunan Quraisy, sedangkan Zaidiyah berpendapat hanya sah dari keturunan Ali dan Fathimah saja. 3) Dalam legalisasi mereka untuk melakukan revolusi terhadap penguasa yang zalim, Syaukani berpendapat wajib mentaati para imam,  sultan, dan para raja, serta tidak boleh melakukan revolusi terhadap mereka, selama mereka masih melaksanakan shalat, dan tidak nampak kekafiran, serta selama mereka tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. 4) Dalam pembolehan mereka membina batu nisan dan tanda di atas kubur orang-orang yang mulia dan para raja, bukannya rakyat jelata. 5) Ia menolak Zaidiyah dengan sangat keras yang telah mewajibkan dan mensunnahkan beberapa perkara berikut: A. tidak sah shalat jum’at tanpa adanya imam yang adil dari keturunan ahlul bait. B. kewajiban mereka untuk menambahkan kalimat “ hayya ‘alaa khairil ‘amal” dalam lafaz azan dan iqamat. C. menjamak shalat zuhur dengan asar, dan  shalat maghrib dengan isya, tanpa alasan. D. membasuh kemaluan sebagai bagian dari kewajiban wudlu[54].    
Dengan melihat aspek kerterbukaan syi’ah Zaidiyah seperti di atas, Syaikh Ja’far Subhani (seorang ulama imamiyah modern) sangat menyayangkan sikap tersebut dengan mengatakan: “sesungguhnya pendapat mereka dalam kebanyakan masalah adalah pendapat yang menyimpang, yang bersumber dari para fuqaha ahlu sunnah. Pada banyak hal mereka merujuk kepada sumber kitab-kitab hadits sahhah dan musnad, serta menggunakan qiyas dan istihsan, seakan-akan tidak pernah ada imam Baqir dan imam Shadiq, juga imam Kazhim ataupun imam Ridla as, mereka lupa dan melupakan maqam mereka dan ilmu mereka”[55].
Perkataan di atas jelas-jelas mengklaim bahwa aqidah syi’ah Zaidiyah menyimpang dari ajaran-ajaran syi’ah, disebabkan mereka menggunakan sumber-sumber yang berasal dari golongan sunnah.  Seperti dalam masalah hadits, syi’ah Zaidiyah merujuk kepada kitab-kitab hadits shahih dan musnad sunnah. Kemudian dalam masalah fiqh, mereka mengikuti metodologi istinbat sunnah, dengan menggunakan rujukan qiyas, istihsan, dan sumber-sumber lainnya.
Melihat fenomena keterbukaan syi’ah Zaidiyah dan sejauh penelitian penulis, sebenarnya syi’ah Zaidiyah terbagi kepada empat haluan, yaitu:
(1) Zaidiyah murni (mengikut imam Zaid sepenuhnya) dan terbuka terhadap ahlu sunnah[56].
(2) Zaidiyah yang condong kepada aliran Mu’tazilah.
(3) Zaidiyah penentang Mu’tazilah.
(4) Zaidiyah yang condong kepada pandangan Imamiyah, yaitu Zaidiyah al-Jarudiyah.
Dari keanekaragam haluan syi’ah Zaidiyah di atas membuktikan bahwa sikap toleransi yang terbentuk di dalam aliran ini berhasil membantu penyebaran aliran ini di berbagai negara islam yang berbeda. Dan berkat sikap toleransi ini, pemikiran dan akidah aliran syi’ah Zidiyah mampu tumbuh dan berkembang, dan tidak mengalami stagnansi, sebagaimana yang terjadi kepada semua aliran syi’ah yang lainnya, khususnya syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah. Untuk lebih jelasnya tentang hubungan erat dan persahabatan pemikiran antara syi’ah Zaidiyah dengan Mu’tazilah silahkan rujuk desertasi penulis [57].
Jika demikian sikap keterbukaan yang dikedepankan oleh syi’ah Zaidiyah, maka bolehlah kita tingkatkan sikap toleransi dan saling mendekatkan (Taqarub).

Urgensi Toleransi Antara Sunnah & Syi’ah Imamiyah
POLEMIK AQIDAH FILSAFAT (SYI'AH VS SYI'AH VS SUNNI) (موقف الزيدية من العقيدة الإسماعيلية وفلسفتها)
            Lain halnya dengan golongan syi’ah Imamiyah. Berbagai usaha telah dilakukan dengan maksimal untuk mendekatkan mazhab sunnah dengan mazhab syi’ah Imamiyah. Dan projek pendekatan tersebut telah ditumpukan semenjak tahun empat puluhan, dengan didirikannya pusat pendekatan antar mazhab Islam di Mesir, yang dikenal dengan nama “Darul Taqrib Baina al-Mazahib al-Islamiyah”, dengan menerbitkan majalah “Risalah al-Islam”. Para pendirinya terdiri dari perwakilan kedua mazhab sunnah & syi’ah. Aliran  sunnah diwakili oleh beberapa tokoh terkemuka ketika itu, yaitu: syekh Mustafa al-Maraghi, syekh Muhammad Syaltut, dan syekh Mustafa Abd Raziq. Sedangkan pihak syi’ah diwakili oleh tokoh-tokoh syi’ah, yaitu: Sayyid Muhammad Husain Kasyif al-Ghita’, Sayyid Jawwad Maghniah, Sayyid Syarafuddin al-Musawi dll. Kemudian disusul dengan pendirian berbagai pusat pendekatan lain, seperti di Yordania didirikan “Mu`assasah Ahlul Bait li al-Fikri al-Islami”. Dan pada tahun 1984 didirikan “Mu`assasah al-Imam al-Khuu’I li at-Taqrib Baina al-Mazahib”. Bahkan pada tahun 1991, Syi’ah di Iran merasa perlu mendirikan sebuah pusat yang orientasinya sama, yaitu pendekatan sunnah & syi’ah, dengan nama “Mua`ssasah al-Majma’ al-‘Alami li at-Taqrib Baina al-Mazahib al-Islamiah”. Di samping itu banyak lagi usaha-usaha ilmiah untuk mendekatkan kedua golongan tersebut, baik melalui seminar-seminar nasional dan internasional yang diadakan di berbagai negara-negara Islam.
Namun semua usaha di atas nampaknya tidak berpengaruh dan tidak efektif sebagaimana yang diharapkan dan diprediksikan oleh para tokoh-tokoh yang berperan langsung dalam projek “Taqrib” tersebut. Bahkan sikap caci mencaci, tuding-menuding, saling mengkafirkan antara satu dengan lainnya volumenya semakin meningkat. Tidak dapat disangsikan dalam  berbagai forum, media massa, majalah, surat kabar, dan buku-buku banyak ditemui unsur saling kecam-mengecam, bahkan menuduh golongan lain telah keluar dari Islam, dan ini adalah suatu fenomena yang sangat berbahaya.
            Mengamati fenomena ini, penulis dapat berkesimpulan bahwa langkah “Taqrib Baina al-Mazahib” sudah berhenti, tidak berfungsi, dan tidak bermakna lagi (expire). Oleh karena itu perlu dibangunkan kembali aktiviti-aktiviti lain dan pintu penyelesaian yang lain. Misalnya, dengan cara mengaktifkan sikap toleransi antar mazhab “at-Tasamuh Baina al-Mazahib”[58]. Hal ini disebabkan karena perbedaan antara sunnah dan syi’ah sangat fundamental, dengan perbedaan yang menonjol pada pokok ajaran masing-masing golongan seperti yang telah dipaparkan di atas[59].
            Dalam hal ini penulis tertarik dengan pandangan imam Hasan al-Banna dalam usahanya untuk menetralisir hubungan sunnah dan syi’ah dengan semboyangnya yang berbunyi:
"نَتَعَاوَنُ فِيْمَا اِتَّفَقْنَا عَلَيْه، وَيَعْذُرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمَا اِخْتَلَفْنَا فِيْه"
“Kita bekerjasama dalam perkara yang kita sefaham, dan saling memaafkan satu sama lain terhadap perkara yang kita perselisihkan“.
Pesan yang dapat difahami dari ucapan di atas adalah lebih kepada sikap toleransi, dan bukannya pendekatan mazhab. Oleh karena itu bagi penulis sebagai pengikut sunni, sikap di atas patut kita renungi bersama. Sebab walau bagaimanapun kedua golongan (sunnah & syi’ah) adalah Islam, keduanya serupa tapi tak sama. Maksudnya keduanya serupa dalam frame agama Islam, tapi sebagian kandungannya berbeda dan bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Barangkali ungkapan ”serupa tapi tak sama” ini tepat untuk menggambarkan hakikat Islam sunnah dan Islam syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam sunni dengan penganut Islam syi’ah. Sebab kalau sunni mengaku bahwa al-Qur’an dan Sunnah adalah pegangan hidup dan asas seorang muslim, islam syi’ah-pun demikian. Sehingga kalau ada orang luar Islam atau non muslim coba-coba untuk menghina atau menugusik kedua sumber tersebut, maka reaksi keras akan timbul dari kedua-dunya tanpa kecuali. Sebagai contoh peristiwa yang baru-baru ini, yaitu rencana hari pembakaran Al-Quran sedunia oleh sebuah gereja di Gainesville, Florida yang bernama gereja “Dove World Outreach Center”, rencana ini diprakarsai oleh pendeta Terry Jones, baik kalangan sunni maupun syi’ah sama-sama memberikan reaksi keras atas rencana tersebut, sehingga rencana tersebut digagalkan.
Namun jika ditelusuri –terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air seperti yang telah dijelaskan di atas, sehingga, sulit dan tidak mungkin didekatkan. Oleh karena itu, penulis merasa perlu pergeseran istilah pemaknaan baru, yang tadinya disebut sebagai pendekatan ”Taqrib”, seperti slogan yang selama ini dikembangkan, hendaknya diganti dengan sikap toleransi ”Tasamuh”.
Jadi yang perlu dilakukan oleh sunni dan syi’ah adalah dialog untuk toleran (Tasamuh), bukan untuk pendekatan (Taqarub). Sebab memang keduanya berjauhan, dan tidak mungkin didekatkan atau dilekatkan antara satu sama lain, dan tidak akan ketemu. Dengan sikap bertoleransi berarti tidak saling menuduh, menuding, memojokkan, menghancurkan, apatah lagi kafir mengkafirkan. Umat ini tidak perlu disibukkan dengan hal-hal di atas. Meminjam istilah Prof. Hamid Thahir[60], semua perkara tersebut adalah ”al-Musykilat az-Zaa`ifah”, yang makudnya permasalahan-permasalahan palsu (semu). Jadi permasalahan taqrib bagi penulis merupakan permasalahan semu, sebab tidak ada timbal balik. Dan dalam kenyataannya usaha  ”taqrib” tidak membuahkan hasil apa-apa pada umat. Oleh karena itu, biarkanlah keduanya berkembang dengan normal, alias tidak saling memaksakan aqidah satu pihak kepada pihak yang lain.
 Lebih heboh lagi dan berakibat fatal kalau sifat saling menjatuhkan terjadi di kalangan yang mengaku sama-sama kalangan sunnah, yaitu antara aliran Asy’ariah, Maturidiah, Salafiah, Wahabiah dan lain-lain. Semua golongan tersebut masuk dalam frame ”Ahlu Sunnah”. Atau secara umumnya diistilahkan sebagai ”salaf dan khalaf”. Dalam dunia maya seperti facebook, blog, twitter dan lainnya ditemui penamaan website dengan slogan yang mengarah kepada pencelaan antar golongan, seperti  penyantuman nama ”anti Wahabi”, ”anti Syi’ah”, ”anti Sunnah”, dll. Pelabelan-pelabelan seperti di atas sangat merugikan umat Islam, khususnya antara pengikut aliran sunnah sendiri, sebab ia akan menjadi konsumsi publik. Implikasinya, seakan-akan Islam adalah agama perpecahan, tidak menginginkan persatuan dan kedamaian antara sesama pemeluknya. Kita harus membangun bukan meruntuhkan, berdialog bukan menghujat, maju dan melangkah bersama-sama bukan mundur teratur bersama-sama. Jangan menjajah teman sendiri, golongan sendiri, cukuplah kita dijajah oleh orang luar ”non muslim” dan itupun belum kita selesaikan sampai sekarang, dikarenakan sibuk dengan pertengkaran dan perseteruan antara mazhab.
Masalah umat di Indonesia masih banyak yang perlu dipikirkan oleh masing-masing ulama mazhab (As’ariyah, Salafiah, Wahabiah, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah dll), terutama dari aspek sosial, yang kian hari dan kian lama makin tidak menentu ke mana arah perbaikan sosial. Kalau kedua golongan sunnah dan syi’ah saling bersikap ta’assub, niscaya akan menghasilkan konflik intern dalam Islam. Masing-masing golongan merasa paling benar. Yang akhirnya bukannya menghasilkan perbaikan bahkan mengeruhkan dan mempertajam perbedaan, sehingga agenda perbaikan dan peningkatan status sosial umat terlupakan. Alangkah indahnya kalau masing-masing aliran memberhentikan perbincangan yang menjurus kepada pengkafiran, sebab dikhawatirkan konflik dalam satu agama akan terjadi, dan dijadikan sebuah peristiwa biasa dengan saling membunuh sesama Islam, sehingga menjadi fenomena sosial yang sangat berbahaya. Sebagai contoh kecil dapat dilihat konflik antara sunnah dan syi’ah di Iraq yang bermula dari saling tuding menuding, lalu meningkat kepada masalah politik, kemudian berani mengkafirkan golongan lain, hasil pengkafiran adalah penghilangan nyawa, dan berhujung dengan gerakan terorisme.
Kalau kita berpikir secarah jernih dan bertanya kepada diri atau golongan masing-masing, siapakah sebenarnya yang memiliki otoritas untuk mengakafirkan golongan lain? Tentu jawabannya baik dari pihak sunnah ataupun syi’ah adalah sama, yaitu: Allah. Kalau sudah demikian jawabannya, apa salahnya kalau kita menyudahi konflik intern yang ada di dunia Islam dengan sikap toleransi saling hormat menghormati. Dan untuk penilaiannya kita serahkan semua kepada Yang Maha Kuasa.
Baru-baru ini dunia dikagetkan dengan dokumen-dokumen yang dibocorkan oleh Wikileaks yang mengklaim mempunyai sekitar 251.000 dokumen. Yang sampai sampai saat ini sudah ditayangkan kepada khalayak adalah sekitar 1.824 dokumen yang dimuat di websitenya[61]. Yang kemudian dimuat dan disebarluaskan oleh beberapa media massa lain seperti: El Pais, the Guardian, New York Times Der Spiegel, dan lain-lain. Selintas dari beberapa yang dapat dilihat dari penayangan dokumen-dokumen tersebut, memberikan indikasi yang kuat bahwa saat ini umat islam benar-benar menghadapi suatu problematika atau permasalahan yang sangat besar dan sangat serius. Di mana negara-negara Islam secara lahiriah bersahabat, dan berteman, terlihat ketika bertemu bukan hanya bersalaman bahkan saling berpelukan, mengajukan ucapan selamat, mengungkapkan rasa persahabatan, tapi di sebalik itu dan setelah berpisah, saling tohok menohok, dan menikam dari belakang. Ini pertanda satu musibah yang besar, yaitu hilangnya kepercayaan antara sesama negara Islam. Di samping itu, umat Islam saat ini berada dalam arena penjajahan modern, atau lebih dikenal dengan nama lain sebagai penjajahan pemikiran (Ghazwul Fikr), yang kandungannya adalah “Pemikiran Barat”, dan hasil produknya adalah “Leberal & Sekuler”. Pemikiran ini melanda beberapa intelektual Islam di dunia, yang kemudiannya menghasilkan produk yang dikenal di negara-negara Arab sebagai “al-‘Almaniyyun”, dan di Indonesia disebut “Islam Liberal”.  Ini persoalan dan masalah yang perlu difokuskan untuk penyelesaian, baik oleh pihak Sunnah, Syi’ah, Salafi, Wahabi, Khawarij, Mu’tazilah dll.
Penyelesaian Konflik Sunnah & Syi’ah
Untuk menyelesaikan konflik antara Sunnah & Syi’ah, setelah melihat perbedaan yang fundamental dan sangat jelas di antara keduanya, maka tidak mungkin dilakukan pendekatan ”taqrib” antara satu dengan yang lain. Namun tidak boleh ada kata ”Putus asa”. Kedua golongan hanya memerlukan sikap saling menghormati dan bukan saling mencela. Kalau bahasa al-Qur`an untuk toleransi agama adalah ”Lakum Diinukum”, maka untuk toleransi dalam hubungan Sunnah & Syi’ah adalah ungkapan ”Lakum Mazhabukum”. Untuk hidup toleransi dan berdampingan, hendaknya semua golongan bersikap jujur, tidak fanatik buta, dan jangan saling menghina. Secara realitanya pihak sunnah dari berbagai golongannya menghormati imam Ali yang diagung-agungkan oleh syi’ah, maka hendaknya begitu juga sebaliknya pihak Syi’ah, menghormati para sahabat lain, janganlah terus menerus mencela, dan mencaci para sahabat. Di samping itu, kedua belah pihak jangan ada usaha untuk menarik dan memaksa pihak lain untuk masuk ke golongannya, baik melalui usaha Syi’ahnisasi (Tasyyii’) di kalangan penduduk Sunni, ataupun sebaliknya Sunnahisasi di kalangan penduduk Syi’ah.
Di akhirat kelak, kalau Syi’ah dengan pandangannya bahwa syafa’at akan diperoleh dari Nabi Muhammad dan para imam-imamnya, bukan masalah utama, berikan mereka kebebasan untuk berkeyakinan demikian, dan Sunnah juga tetap dengan keyakinannya hanya mengharap syafa’at dari pada Nabi Muhamammad saw saja. Begitupun halnya dengan keyakinan-keyakinan lain yang berbeda secara fundamental, silahkan yakini apa yang telah diyakini, dan buang jauh-jauh apa yang tidak diyakini, dan jangan memaksakan yang lain untuk meyakini sebuah keyakinan. ”La Ikraaha fi ad-Din”.
Dalam sejarah ”Taqrib” (pendekatan sunnah & syi’ah), Syekh Mahmud Syaltut (mantan syekh al-Azhar wafat tahun 1963) pernah memfatwakan bahwa orang sunni boleh beribadah menurut mazhab ja’fari (fiqh Imamiyah)[62]. Sampai saat ini ulama masih simpang siur dalam memahami fatwa tersebut. Dalam artian, apakah syekh Syaltut betul-betul memahami perselisihan Sunnah dan Syi’ah atau tidak, sehingga beliau berani mengeluarkan fatwa di atas tanpa klarifikasi dari kitab-kitab induk Syi’ah. Atau fatwa tersebut lahir hanya sekedar usaha pribadi tulus ikhlas “Lillah Ta’aala” untuk menetralisir hubungan Sunnah dan Syi’ah ketika itu?.
Hemat penulis, fatwa tersebut sifatnya ijitihad pribadi. Beliau sangat prihatin terhadap adanya perbedaan dan silang pendapat yang tajam serta pertikaian yang berlarut-larut, yang hanya menimbulkan perpecahan umat. Oleh karena itu, syekh Syaltut terinspirasi untuk menghentikan hal-hal di atas dengan mengeluarkan fatwa yang tujuannya untuk menghormati mazhab lain, hidup berdampingan, bertoleransi, dan saling menghargai. Dan yang terpenting, sebagi I’tibar untuk semua golongan dan mazhab selain Ahlu Sunnah adalah, makna tujuan yang tersirat dari fatwa itu adalah “Pihak Sunnah sangat terbuka untuk mazhab-mazhab lain dan menginginkan persahabatan dan bukan pertengkaran dan perseteruan”.
Hal ini terbukti ketika pihak Syi’ah tidak membolehkan penganutnya beribadah menurut mazhab Sunnah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyid Muhamad Husein Fadhlullah, seorang ulama syi’ah yang disegani oleh penganut Syi’ah. Ia tegas melarang penganut syi’ah beribadah dengan cara mazhab selain mazhab Ahlulbait[63]. Ketegasan ini jelas mencerminkan bahwa tidak ada jalan dan kemungkinan bagi kedua golongan tersebut untuk saling mendekatkan mazhab apatahlagi menyatukannya. Dengan demikian, sebaiknya beribadah sesuai dengan ajaran masing-masing, tidak perlu memaksakan ritual Sunnah dipakai oleh Syi’ah, dan Syi’ah juga tidak memaksakan ritualnya digunakan oleh Sunnah, dan ini adalah penyelesaian dan solusi yang terbaik.
Dengan konsep kembali ke ajaran masing-masing dan tidak memaksakan golongan lain, penulis mengharap persaudaran dan hidup berdampingan akan teralisasi. Alangkah indahnya persaudaraan sesama Islam, tanpa menghiraukan alirannya. Kalau kita sama-sama merenungi ucapan imam at-Thahawi:
"وَلاَ نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلُّهٌ"
“Tidaklah kami kafirkan seseorang dari umat Islam (Ahli Kiblat) selama ia tidak menghalalkan perkara dosa yang ia perbuat”.
Maksudnya, antara sesama mukmin dan muslim tidak perlu saling mengkafirkan. Sebab melabelkan kafir atau muslim itu adalah urusan Allah, bukan urusan manusia. Masalah “Takfir” sangat berat, karena menyangkut urusan station terakhir yaitu, Surga atau Neraka. Di samping itu, tidak ada jaminan pada diri masing-masing atau kelompok masing-masing akan kepastiannya untuk masuk surga.
Berlandaskan kepada sikap ilmiah, penulis boleh katakan dalam artikel ini tanpa tendensius apa-apa bahwa tidak benar pendapat yang mengatakan”Perbedaan sedikit sekali dibanding dengan persamaan”. Atau ”Perbedaan bukan pada masalah ushul, tapi perbedaan lebih kepada masalah furu”. Atau dikatakan ”Perbedaan hanya masalah-masalah kecil dan bukan masalah substansial”.  Pandangan seperti ini banyak ditemui di berbagai forum-forum diskusi, baik nasional ataupun internasional. Juga dapat dibaca pada sebagian buku-buku ulama dan intelektual muslim di Timur Tengah, seperti DR. Ali Abdul Wahid Wafi dalam bukunya ”Baina as-Syi’ah wa Ahli Sunnah”, DR. Syami an-Nassyar, DR. Shabir Ta’iimah dalam bukunya ”Tahaddiyyat Amaama al-’Uruubah wa al-Islam”. Bahkan syekh Ghazali menegaskan bahwa, ”Sesungguhnya perselisihan yang terjadi antara Islam Sunnah dan Islam Syi’ah hakikatnya sama dengan perselisihan antara mazhab-mazhab fiqh Sunnah, seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i”[65].
Dalam persepsi yang sama ulama Syi’ahpun mengatakan demikian.  Sayyid Kasyif al-Ghita’ berkata: ”Sesungguhnya perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah hanyalah bersifat furu’iyah, dan hal ini biasa terjadi dalam persaudaraan”[66]. Menurut hemat penulis, pandangan di atas sebenarnya pandangan yang lebih beriorentasikan kepada rasa simpati (’Atifi) terhadap mazhab Syi’ah dan bukan daripada hasil kajian dan penyelidikan ilmiah. Sebagai bukti, kalau memang perbedaan terbatas hanya kepada hal furu’iyyah bukan asasi dan prinsip, seperti berbeda pada tata cara wudhu’, cara bertakbir dalam shalat, dan permasalahan fiqh lainnya, kalau hanya demikian, kenapa mesti saling mencela, menghina dan menjatuhkan bahkan saling mengkafirkan?
Mendekatkan pemikiran Sunnah dan Syi’ah untuk memajukan dan membela Islam sangat diharapkan. Dan memang itulah tujuan mulia dan utama demi mewujudkan kekuatan, kebangkitan dan kemakmuran di seluruh negara-negara Islam, sehingga terwujud kebaikan bagi tatanan masyarakat. Namun mendekatkan apalagi menyatukan kepercayaan tidak mungkin terwujud. Sebab perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah sudah melebihi batas penelitian ilmiah, bahkan sudah sampai kepada tahap klimaks yaitu ”Ta’assub Buta”. Sementara sifat seperti ini dalam sejarah tidak pernah menyelesaikan permasalahan, bahkan memperkeruh permasalahan yang ada. Dan sifat Ta’assub inilah yang menyebabkan kemunduran kajian-kajian teologi Islam. Sehingga muatan dan isi kitab-kitab klasik (Kutub at-Turats) dipenuhi dengan berbagai kecaman, hinaan, dan cemoohan, seperti perkataan-perkataan: Fasiq, Dhalal, Jahil, Zindiq bahkan sampai perkataan kafir. Ada baiknya kita mengingat pesan salah seorang sufi kenamaan yaitu imam Yahya bin Mu’az:
" إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَلاَ تَضُرُّه،ُ وَإِنْ لَمْ تُفْرِحْهُ فَلاَ تَغُمُّهُ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلاَ تَذُمُّهُ"
"Kalau engkau tidak sanggup membantu orang lain (memberi manfaat), maka janganlah merugikan dia. Kalau engkau tidak sanggup menghibur orang lain (memberikan rasa senang), maka janganlah membuatkan dia sedih (susah). Kalau engkau tidak sanggup memuji orang lain, maka jangalah mencelanya".
Dalam etika beragama, Islam mengajarkan kita untuk tidak memaksa orang lain. Dalam beberapa ayat dindikasikan bahwa tugas kita hanya menyampaikan saja, dan bukannya  memaksa golongan lain atau agama lain masuk ke golongan kita atau ke agama kita. Seperti firman Allah swt  berikut:
(لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ) - البقرة، 256-.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah: 256).
(وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ) -هود، 118-.
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Q.S. Huud: 118).
)وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعاً أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ( - يونس، 99-.
" Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya". (Q.S. Yuunus: 99).
Tidak ada salahnya berbeda dan bersilang pendapat, tapi jangan sampai perbedaan tersebut meningkat kepada permusuhan. Boleh menganggap salah golongan lain, tapi jangan mencela dan mencaci. Tanamkan sikap toleransi bukan ta’assub, menyambung persaudaraan sesama muslim bukannya memutuskan hubungan, berdialog bukan berseteru antara satu sama lain. Prioritaskan bendera ”agama”  bukan bendera ”mazhab” dan ”golongan”.
Wallahu A’lam.
           


(*) Tulisan ini dipertajam dengan beberapa karya penulis yang telah dipublikasikan & proses terbit:
(1) “Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha”, Terbitan Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon 2009.

Buku tersebut asalnya desertasi Ph.D, Cairo Univesity, dan saat ini dijadikan referensi kajian Syi’ah di Harvard University & Yale University, dan dapat ditemui dalam koleksi perpustakaan United Kingdom “British Library”, Call Number: YP.2010.a.4230.
(2) “al-Firaq as-Syi’iyyah wa Ushuluha as-Siyasiyah wa Mauqif Ahli Sunnah Minha”, terbitan USIM 2009.




(3) “al-Mazahib al-Aqaidiyah al-Islamiyah”, terbitan USIM, 2010.







(4) “Nasy’at al-Firaq al-Islamiyah wa Tafarruqaha”, dalam proses terbit di Darul Kutub Ilmiyah, Beirut-Lebanon.

(5) "Perseteruan Politik: Syi'ah vs Syi'ah & Tanggapan Sunni, dalam proses terbit di Dar'ami Publishing, Jakarta-Indonesia.
(6). "Mazhab-Mazhab Syi'ah", Dalam proses terbit di Dar'ami Publishing, Jakarta-Indonesia.
Dan Lihat wawancara penulis tentang "LATAR BELAKANG MENEKUNI KAJIAN SYI’AH DI CAIRO UNIVERSITY". *Diterbitkan oleh Buletin FK el-Baiquni, Cairo-Egypt 2003 & Revisi 2010.http://dr-kamaluddin-nurdin.blogspot.com/2010/07/wawancara-tentang-syiah-2003.html.    
[1] Huns Küng (lahir 19 Maret 1928 di Sursee, Canton Lucerne). ia adalah seorang pastor Katolik Roma, tetapi Vatikan telah mencabut haknya untuk mengajar teologi Katolik, disebabkan karena ia sangat vokal dalam mengkritisi sebagian ajaran dan tradisi Katolik, seperti ia tidak percaya akan keperawanan Maryam yang merupakan ideologi aliran Katolik, bahkan beliau berani mengkritik Paus Benediktus XVI (kawan lama ketika di kuliah), terutama tentang penindasan dan kekerasan sexsual yang terjadi di beberapa gereja, dan ucapan Paus bahwa Islam adalah agama kekerasan ia seorang teolog Katolik yang tidak fanatik dengan Katoliknya, sehingga terbuka dan toleran dengan penganut Kristen Protestan, bahkan selalu berusaha untuk mengadakan pendekatan dan mengakurkan aliran kristen Katolik dan kristen Protestan. Lihat:
[2] Hans kung: Projekti weltethos,p. 171, Munchen 1990.
[3] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[4] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[5] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[6] Al-Qadhi an-Nu’man, kitab Da’aaim, 1/2
[7] Amir Muhammad al-Qazawayni, as-Syi’ah fi ‘Aqaidihim wa Ahkamihim, hal: 24.
[8] Lihat usaha-usaha beliau dalam menetralisir hubungan Sunnah dan Syi’ah pada bukunya yang berjudul “as-Syi’ah wa at-Tasyayyu’”.
[9] Al-Hurru al-‘Aamili, Wasaail as-Syi’ah, 2/665. Tahziib al-Ahkam, 1/8.
[10]  Lihat beberapa tafsir mu’tabar syi’ah: al-‘Iyasyi, 1/62. Al-Burhan, 1/157. As-Shafi, 1/92.
[11] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 1/143-144.
[12] Tafsir al-‘Iyaashi, 2/42. al-Majlisi, Bihaar al-Anwaar, 94/22. an-Nuuri at-Thabrisi, Mustadrak al-Wasaail, 1/371.
[13] Ibnu Babwaih, at-Taudih, hal 149.
[14] Lihat rinciannya pada buku penulis, Mauqif az-Zaydiah wa Ahli as-Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha, hal: 185-190, Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut-Lebanon, 2009.
[15] Muhammad Husein al-Ghitah, Ashlu as-Syi’ah w aUshuluha, hala: 58.
[16]  As-Sayyid Hasyim al-Bahrani, Ma’alim az-Zulfa fi Ma’arif an-Nasy’at al-Ula, hal: 249.
[17]  Lihat. Wasaail as-Syi’ah, 10/318.
[18] Al-Majlisi, Biharul Anwar, 26/345.
[19] Al-Kulaini, Kitab Al-Kaafi, 2/634. (kitab ini sama kedudukannya dengan kitab shahih Bukhari disisi Ahlu Sunnah).
[20] Al-Kulaini, Kitab al-Kaafi, 1/239-240.
[21] Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi, kitab Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, dinukil dari Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir.
[22] Biharul Anwar, 26/42.
[23] Muhammad Ibnu Jarir bin Rustum at-Thabari, Dalaail al-Imamah, hal: 27-28.
[24] Suhuf  bentuk jama’ dari Shahiifah, artinya lembaran, memiliki beberapa sinonim dalam bahasa Arab, yaitu: Waraqah, Ruq’ah, Tirsun dan Qirthaasun. Lihat: DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, kamus “Syawarifiyyah”, Sinonim Arab-Indonesia, hal: 368.
[25] Riwayat ini disebutkan di berbagai kitab-kitab Syi’ah, lihat: al-Kulayni, al-Kaafi, 1/527-528. Ikmaal ad-Din, Ibnu Babwaih al-Qummi, hal: 301-304.
[26] al-‘Allamah As-Sayyid Ali al-Husaini al-Milani (intelektual syi’ah kontemporer) mengarang sebuah buku yang berjudul “  عدم تحريف القرآن” yang artinya: Tidak ada penyelewengan al-Qur’an. Buku ini dicetak oleh Markaz  al-Abhats al-‘Aqadiyyah. Sebuah pusat kajian syi’ah di Iran.
[27] Lihat: al-Wihdah al-Islamiah, hal: 33-34.
[28] Lihat ketegasan ulama-ulama syi’ah tentang “Tahrif” dalam tafsir “as-Shaafi”, imam al-Faidh al-Kaasyaani, tafsir “al-‘Iyasyi”  imam al-‘Iyasyi.
[29] Lihat: DR. Musa al-Musawi, as-Syi’ah wa at-Tashih, hal: 131-132.
[30] Lihat : Footnote hal: 53.
[31] Al-Majlisi, Biharul Anwar, 17/155, 54/237.
[32] Ibnu Babwaih, I’tiqaadaat, hal 106-107.
[33] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 26/297.
[34] Husain bin Abdul Wahab, ‘Uyuun al-Mu’jizaat, hal, 17- 57.
[35] Hasyim al-Bahrani, Yanaabi’ al-Ma’aajiz, hal: 35-37. Madinah al-Ma’aajiz, hal 9-16.
[36] Lihat pada buku tersebut di atas hal: 58.
[37] Untuk penjelasan rinci tentang kritikan syi’ah Zaidiyah terhadap syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah dalam masalah ini, dipersilahkan membaca buku penulis: Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuh, Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut-Lebanon, 2009.
[38] Al-Asy’ari, Maqaalaat al-Islamiyyin, 1/120.
[39] Al-Mufid, Awaail al-Maqaalat, hal 42-43.
[40] DR. Kamaluddin Nurdin,  “Syawarifiyyah”, Kamus sinonim Arab-Indonesia, hal: 622.
[41] Perlu disebutkan bahwa dalam kitab perjanjian lama hari kiamat dinafikan, sedangkan dalam perjanjian baru hari kiamat diakui. Lihat kajian: DR. Mohd Ali al-Khuli, al-Islam wa an-Nashraniyah, hal: 6, Darul Fala, Yoradania, 2000.
[42]Al-Kulayni, Ushul al-Kafi, 1/409.
[43] Lihat: Ibnu Bahwaih, al-I’tiqaad, hal: 106-107. As-Sayyid Hasyim al-Bahrani, Ma’alim az-Zulfa fi Ma’arif an-Nasy’at al-Ula, hal: 249.
[44] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 27/79.
[45] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 60/215-218.
[46] Lihat: Maturidi, kitab at-Tauhid, hal: 305-307.
[47] Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, hal: 324.
[48] Untul Lebih jelasnya: lihat buku penulis: al-Mazahib al-‘Aqaaidiyah al-Islamiyah, Universiti Sains Islam Malaysia, 2010.
[49] Hakikat Raj’ah diperselisihkan oleh syi’ah Imamiyah, lihat buku penulis, al-Aqidah al-Islamiyah Fi Dhau` ad-Dirasat al-Kalamiyah, hal: 35-60.
[50] Lihat rinciannya: DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni: al-Firaq as-Syi’iyah wa Ushuluha as-Siyasiyah wa Mauqif Ahli Sunnah Minha, hal: 63-68, Universiti Sains Islam Malaysia, 2009.
[51] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 1/324. al-Qadhi an-Nu’man, al-Azjuuza al-Mukhtarah, hal: 71.
[52] Lihat rinciannya: DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma’iliyah Wa Falsafatuha, hal: 323-397, Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 2009.
[53] Syi’ah Zaidiyah lebih dekat kepada fiqh hanafi, sedangkan dari aspek aqidah pada awalnya lebih dekat kepada Salaf, dan dalam perkembangan selanjutnya lebih dekat kepada Mu’tazilah.
[54] Sila rujuk beberapa kitab beliau: al-Badru ath-Thali’, 1/123. Fath al-Qadir, 4/78-280.      
[55] Kitab Buhuts Fi al-Milal wan-Nihal, 7/468, dari website www.imamsadeq.org.
[56] Untuk membedakan antara pengikut imam Zaid murni dengan yang tidak mengikut seratus persen atau yang pengikut aliran Mu’tazilah, silahkan membaca kajian thesis yang ditulis oleh Syarif Ahmad al-Khatib, berjudul: “al-Imam Zaid bin Ali al-Mftaraa ‘Alai”.
[57] “Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma’iliyah Wa Falsafatuha”, hal: 29-32, Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 2009.
[58] Seperti sikap keterbukaan Syi’ah Zaidiyah terhadap Ahlu Sunnah.
[59] Lebih sukar lagi dengan Syi’ah Isma’liyah yang dianggap keluar dari go­longan Islam, dalam artian mereka telah kafir. Se­bagaimana yang disepakati oleh ulama Ahlu Sunnah ataupun Ulama Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah sen­diri, statemen tersebut bisa dilihat dalam karya para ulama Zaidiyah, seperti : Ibnu Hamzah al-‘Alawi dalam bukunya “Misykat al-Anwar“’, Imam ad-Dailami dalam bukunya “Aqaid Aali Muhammad”. Dan golongan Isma’ili­yyah ini paling banyak mengadopsi filsafat Yunani khususnya Plato, dan banyak ter­pengaruh dengan agama-agama Persia kuno, seperti : Zaradist, Manie dll.
[60] Profesor filsafat Islam di Fakultas Darul Ulum dan mantan wakil rektor Universitas Kairo, Mesir. Dalam bukunya ”al-Falsafah al-Islamiyah fi al-’Ashri al-Hadits”, beliau mengulas tentang perkembangan filsafat Islam masa kini, dengan membaginya kepada dua bagian yatiu: al-Musykilat az-Zaa`ifah, yaitu permaslahan palsu atau semu, dan al-Musykilat al-Hakikah, yaitu permaslahan hakiki dan asasi.
[62] Fatwa ini tidak ditemukan dalam empat kitab besar beliau, tapi dimuat oleh majalah “Risalah al-Islam”, hal: 227-228, edisi ketiga, 6/1959. dikeluarkan oleh lembaga pendekatan mazhab-mazhab Islam, Kairo. DR. Yusuf Qardawi kurang yakin dengan fatwa tersebut bahkan beliau menafikan keaslian adanya fatwa tersebut, namun penafian ini dapat disangkal sebab dalam arsip ditemukan teks ucapan fatwa tersebut bertuliskan dalam majalah “Risalah al-Islam”, adapun Syekh Muhamad al-Ghazali dalam bukunya “Difaa’un ‘An al-‘Aqidah wa as-Syari’ah” hal: 257,  beliau mendukung sepenuhnya fatwa tersebut dan dianggap sebagai awal persatuan umat Islam.  Teks fatwa tersebut adalah:
"إن مذهب الجعفرية المعروف بمذهب الشيعة الإمامية الاثنا عشرية مذهب يجوز التعبد به شرعا كسائر مذاهب أهل السنة. فينبغي للمسلمين أن يعرفوا ذلك، وأن يتخلصوا من العصبية بغير الحق لمذاهب معينة، فما كان دين الله وما كانت شريعته بتابعة لمذهب، أو مقصورة على مذهب، فالكل مجتهدون مقبولون عند الله تعالى يجوز لمن ليس أهلا للنظر والاجتهاد تقليدهم، والعمل بما يقررونه في فقههم، ولا فرق في ذلك بين العبادات والمعاملات".
[63] Muhamad Husein Fadhlullah, Masa’il Aqadiyah, hal: 110.
[64] Syekh al-Ghazali, Kaifa Nafham al-Islam, hal: 144-145.
[65] Lihat: al-Wihdah al-Islamiah, hal: 100, Muassasah al-A’alami, Lebanon.


SUMBER: http://dr-kamaluddin-nurdin.blogspot.com/2011/09/netralisasi-hubungan-sunnah-syiah.html


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Adab pergaulan

Adab pergaulan sesama

قال الإِمَام يَحْيَى بن مُعَاذ: "لِيَكُنْ حَظ الْمُؤْمِنِ مِنْكَ ثَلاَثَة: إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَلاَ تَضُرُّهُ، وَإِنْ لَمْ تُفْرِحْهُ فَلاَ تَغُمُّهُ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلاَ تَذُمُّهُ".
Imam Yahya Bin Mu'az berpesan:"Tigaperkara dalam adab pergaulan seorang mu’min:
1) Kalau engkau tidak sanggup membantu orang lain (bagi manfaat), maka janganlah merugikan dia.
2) Dan kalau engkau tidak sanggup menghibur orang lain (bagi senang), maka janganlah membuatkan dia sedih (susah).
3)kalau engkau tidak sanggup memuji orang lain, maka janganlah mencelanya".



KUNCI KEBERHASILAN
Adalah maju ketika orang lain berhenti, terbangun ketika orang lain tertidur, serius ketika orang lain santai, siap menerima kritikan dan saran orang lain.
Rasul bersabda: (إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ) “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu sekalian, bila mengerjakan sesuatu maka hendaklah dengan penuh ketekunan”.



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Rabu, 27 Agustus 2014

BACK TO AL-QUR’AN : MOZART TERNYATA TIDAK MEMBUAT CERDAS !

BACK TO AL-QUR’AN : MOZART TERNYATA TIDAK MEMBUAT CERDAS !

Baru-baru ini kita dikagetkan oleh sebuah fakta baru penelitian bahwa ternyata musik klasik tidak memiliki pengaruh apapun terhadap kemampuan kognitif seorang anak. Itu artinya, mendengarkan musik klasik tidak mencerdaskan anak sebagaimana yang selama ini kita tahu. Selama lebih dari 15 tahun, kita terkecoh oleh publisitas yang banyak membesar-besarkan tentang musik klasik yang dapat memacu kecerdasan seorang anak. Dulu, sebelum saya mengenal banyak keajaiban Al-Qur’an, saya cenderung memegang pendapat bahwa musik klasik dapat merangsang perkembangan otak janin dan mencerdaskan anak. Tapi, beberapa tahun kemudian, saya mulai berpikir, jika mozart yang ciptaan manusia saja bisa mencerdaskan anak, maka tentu Al-Qur’an yang merupakan mukjizat yang telah Allah berikan kepada kita ini lebih dapat mencerdaskan anak.

Dan ternyata itu benar.

Beberapa orang peneliti dari University of Vienna, Austria yakni Jakob Pietschnig, Martin Voracek dan Anton K. Formann dalam riset mereka yang diberi judul “Mozart Effect” mengemukakan kesalahan besar dari hasil penelitian musik yang melegenda ini.

Pietschnig dan kawan-kawannya mengumpulkan semua pendapat dan temuan para ahli terkait dampak musik Mozart terhadap tingkat intelegensi seseorang kemudian mereka membuat riset terhadap 3000 partisipator. Hasilnya ternyata sangat mengejutkan! Berdasarkan penelitian terhadap ribuan partisipator itu, Pietschnig dan rekan-rekannya menyimpulkan bahwa tidak ada stimulus atau sesuatu yang mendorong peningkatan kemampuan spasial seseorang setelah mendengarkan musik Mozart.

Senada dengan Jacob Pietschnig dan kawan-kawannya, sebuah tim peneliti Jerman yang terdiri atas ilmuwan, psikolog, filsuf, pendidik, dan ahli musik mengumpulkan berbagai literatur dan fakta mengenai efek mozart ini. Mereka mengemukakan bahwa sangat tidak mungkin mozart dapat membuat seorang anak menjadi jenius.

Penelitian terbaru ini membantah habis-habisan hasil riset psikolog Frances Rauscher dan rekan-rekannya di University of California pada tahun 1993 yang mengemukakan bahwa musik Mozart ternyata dapat meningkatkan kemampuan mengerjakan soal-soal mengenai spasial.

Wow…padahal, selama ini kita sudah terlanjur percaya pada legenda musik klasik ini, ya?

*** Back to Al-Qur’an ***

Berbeda dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah mukjizat yang telah Allah jamin kemurniannya hingga hari kiamat kelak. Ada banyak kemuliaan dan kebaikan yang ada dalam Al-Qur’an. Salah satunya adalah Al-Qur’an dapat merangsang perkembangan otak anak dan meningkatkan intelegensinya.

Setiap suara atau sumber bunyi memiliki frekuensi dan panjang gelombang tertentu. Nah, ternyata, bacaan Al-Qur’an yang dibaca dengan tartil yang bagus dan sesuai dengan tajwid memiliki frekuensi dan panjang gelombang yang mampu mempengaruhi otak secara positif dan mengembalikan keseimbangan dalam tubuh.

Bacaan Al-Qur’an memiliki efek yang sangat baik untuk tubuh, seperti; memberikan efek menenangkan, meningkatkan kreativitas, meningkatkan kekebalan tubuh, meningkatkan kemampuan konsentrasi, menyembuhkan berbagai penyakit, menciptakan suasana damai dan meredakan ketegangan saraf otak, meredakan kegelisahan, mengatasi rasa takut, memperkuat kepribadian, meningkatkan kemampuan berbahasa, dsb.

Pada asalnya, milyaran sel saraf dalam otak manusia bergetar secara konstan. Sel ini berisi program yang rumit dimana milyar sel-sel di sekitar berinteraksi dalam sebuah koordinasi yang luar biasa yang menunjukkan kebesaran Allah.

Sebelum bayi lahir, sel-sel otaknya mulai bergetar berirama secara seimbang. Tapi setelah kelahirannya, tindakan masing-masing akan mempengaruhi sel-sel otak dan cara mereka bergetar. Jadi jika beberapa sel otak tidak siap untuk mentoleransi frekuensi tinggi, ini dapat menyebabkan gangguan dalam sistem getar otak yang pada gilirannya menyebabkan banyak penyakit fisik dan psikologis.

Seorang peneliti bernama Enrick William Duve menemukan bahwa otak bereaksi terhadap gelombang suara tertentu. Dan gelombang tersebut dapat berpengaruh secara positif dan negatif. Ketika beredar informasi bahwa musik klasik berpengaruh terhadap perkembangan otak manusia, banyak kalangan menggunakan musik klasik sebagai obat terapi.

Tapi, Al-Qur’an tetaplah obat yang terbaik. Terapi dengan Al-Qur’an terbukti mampu meningkatkan kecerdasan seorang anak, menyembuhkan berbagai penyakit, dsb. Ini dikarenakan frekuensi gelombang bacaan Al-Qur’an memiliki kemampuan untuk memprogram ulang sel-sel otak, meningkatkan kemampuan, serta menyeimbangkannya.

Satu lagi, Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, yakni bahasa yang memiliki nilai sastra yang tinggi, dan bahasa nomor satu yang paling sulit untuk dipelajari. Kita tahu, bahwa tidak ada satupun dari kita yang mampu menandingi keindahan bahasa Al-Qur’an. Namun, tahukah Anda, bahwa ternyata jika kita mampu berbahasa Arab dapat memudahkan kita untuk menguasai bahasa asing lainnya?

Anak-anak yang terbiasa membaca Al-Qur’an disertai dengan memahami maknanya, ternyata memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik daripada anak-anak lain. Bahkan meski bahasa tersebut masih asing, ia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk kemudian menguasainya, insya Allah.

Janin usia 7 bulan sudah dapat merespon suara-suara di sekitar ibunya. Nah, untuk itulah, penting bagi ibu hamil untuk banyak-banyak memperdengarkan Al-Qur’an kepada janinnya. Kita tidak mengharapkan mereka mengerti dan memahami apa yang kita baca. Namun, membiasakannya mendengarkan Al-Qur’an sejak dalam kandungan, membantunya untuk tumbuh dengan intelegensi tinggi, kemampuan berbahasa yang baik, dan kepribadian yang baik pula.

sumber : http://islampos.com/benarkah-mozart-membuat-cerdas/

Sebagian besar para ulama dan ilmuwan muslim -pd masa kejayaan Islam- hafal Al Qur’an saat usia mereka belum baligh benar2 membuktikan LUAR BIASAnya AL-QUR'AN menjadikan OTAK CERDAS! Mereka juga ulama/ilmuwan kaliber dunia baik di kalangan muslim maupun nonmuslim yg karyany byk menjadi rujukan sampai skrg. Ada yang ahli hadits,fiqh,tafsir,matematik,kedokteran dll.

contohnya:
Imam Syafi’i hafal Al Qur’an pd 7 thn,sdh menjadi mufti/ahli hukum di usia 17thn,mujtahid mutlak, n ushul fiqh (peletak dasar ilmu ushul fiqh).

Imam Ath-Thabari sorg Ahli tafsir (hafal Al Qur’an 7 thn).

Ibnu Sina-Avicena- seorg ahli kedokteran n peletak dasar ilmu-ilmu kedokteran (hafal Al Qur’an 5 tahun) yg pd saat usia 17 tahun sudah menjadi DOKTER PROFESIONAL.Bahkan orang Barat pun menggunakan ilmu/teorinya. Beliau juga merupakan ahli Fisika.

Ibnu Khaldun ahli sosiologi dan ahli konstruksi.yg hafal Al Qur’an pd usia 7 thn.

Umar bin Abdul Aziz,Kholifah di masa Bani Umayyah,-yg hafal Al Qur’an saat masih anak- Seorg ahli ekonomi yg tiada duanya di dunia. Beliau sangat terkenal dengan kemampuannya memakmurkan negara dan bangsanya dlm waktu singkat (29 bln),sampai tdk ada rakyatnya yg berhak menerima zakat.
dan byk lg muslim HEBAT lainny.

AL-QUR'AN memang SUNGGUH LUAR BIASA!
ALLAHU A'LAM...

SUBHANALLAH, Engkau sungguh Maha Mengetahui apa yang dibutuhkan manusia. 31 (tiga puluh satu) ayatMu yang mengingatkan “Fabi’ayyi ala’i rabbikuma tukazziban : MAKA NIKMAT TUHANMU YANG MANAKAH YANG KAMU DUSTAKAN?” pada Surat Ar Rahman itu belum mampu menggerakkan seluruh kemampuanku untuk mensyukuri nikmat yang Engkau berikan.
Mari dengarkan Ayat CintaNya n resapilah.. (hal yg tdk pernah dpt dirasakan ketika mndengar -lagu/musik- yg lain) http://www.ramadoni.com/video/maka-nikmat-tuhanmu-yang-manakah-yang-kau-dustakan/

“Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu tumbuh-tumbuhan yang berpandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon – pohonnya? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain?) Bahkan (sebenarnya) MEREKA ADALAH ORANG-ORANG YANG MENYIMPANG (dari kebenaran).” (QS. An-Nahl : 60)

“Apakah (mereka lalai) dan tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan SEGALA SESUATU yang DICIPTAKAN ALLAH.” (QS. Al-A’raf:185)

“Dan jika kamu hendak menghitung nikmat Allah itu,KAMU TIDAK AKAN MAMPU MENGHITUNGNYA.” (QS. An-Nahl : 18)

“Kitab (Al-Qur’an) ini TIDAK ADA KERAGUAN padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah : 2)


"Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi-Mu seorang anak yang baik. Sungguh Engkau Maha Pendengar doa." (QS. Ali Imron: 38).

"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Furqon: 74)

Ya Allah..istiqomahkanlah kami smua di jalan-Mu..
Berikanlah kami keturunan generasi terbaik penerus perjuangan dakwah Para Nabi,RasulMu -Nabi Muhammad S.A.W.-,n para pendahulu kami Ya Rahmaan...
Kuatkanlah kami utk slalu berjuang di JalanMu ...dan perkenankanlah kami bersatu menuju cintaMu yang abadi bersama dengan kekasihMu,dan para ahli syurgaMu ya Rahiiim...
Aamiiiiin Ya Rabbal 'aalamiiin...^^

Catatan Hati "Sang Mujahidah fi Sabilillah".




Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Selasa, 26 Agustus 2014

Maurice Bucaille: Ilmuwan Besar Perancis Peluk Islam Usai Bedah Mumi Firaun

Maurice bertambah terkejut dan terus bertanya-tanya, dari mana Alquran mendapatkan data, sementara mumi tidak ditemukan sampai 1898.
Dream - Maurice Bucaille lahir, besar dan sepenuhnya menimba ilmu di Perancis. Setelah menamatkan pendidikan menengah atas, ia belajar di Fakultas Kedokteran, Universitas Prancis. Kemudian menjadi dokter bedah terkenal dan terpintar yang pernah dimiliki Perancis modern. Namun, cerita keislamannya mampu mengubah hidupnya dan belakangan menginspirasi banyak orang.  Siapa sang profesor yang sangat dikagumi ini, silahkan baca profilnya di sini http://bit.ly/1sAIenf
Apa saja hasil karya sang profesor dan bagaimana cara dia menemukan Islam dan dunia keilmuan silahkan baca pada tautan ini http://bit.ly/1lTkkf3
Sebagaimana luas diketahui, Perancis terkenal sebagai negara yang tertarik dengan arkeologi dan budaya. Di akhir 80an, Perancis meminta Mesir untuk mengirimkan mumi Firaun untuk dilakukan serangkaian eksperimen dan penelitian.
Akhirnya mumi penguasa Mesir terkenal tersebut akhirnya tiba di Perancis. Mumi itu kemudian dipindahkan ke ruangan khusus di Monument Center. Para arkeolog, ahli bedah dan ahli anatomi mulai melakukan studi tentang mumi ini dalam upaya untuk menyelidiki misteri Firaun.
Dokter bedah senior dan ilmuwan yang bertanggung jawab atas studi tentang mumi Firaun adalah Profesor Maurice Bucaille. Sementara proses restorasi mumi berjalan, Maurice Bucaille sibuk dengan pikirannya. Dia mencoba untuk menemukan bagaimana Firaun ini meninggal.
Saat larut malam, ia menemukan penyebabnya. Sisa-sisa garam yang terjebak dalam tubuh mumi itu adalah bukti bahwa ia meninggal karena tenggelam dan mayatnya segera diangkat dari laut.
Terlihat jelas juga bahwa para pendeta Mesir kuno buru-buru mengawetkan tubuh Firaun tersebut. Tapi Maurice bingung dengan sebuah pertanyaan, bagaimana tubuh ini--dengan mengesampingkan tubuh mumi lainnya dari Mesir kuno-- tetap utuh hingga sekarang meskipun tubuhnya pernah tenggelam di laut.
Maurice sibuk memikirkan hal tersebut ketika seorang koleganya mengatakan tidak usah terlalu dipikirkan karena dalam Islam disebutkan bahwa Firaun ini memang tenggelam.
Pada awalnya, dia sangat tidak yakin dan menolak pernyataan tersebut. Dia mengatakan penemuan seperti itu hanya bisa diketahui melalui peralatan komputer canggih dan modern.
Maurice bertambah tercengang setelah koleganya yang lain mengatakan bahwa Alquran, kitab suci yang dipercaya muslim, menceritakan kisah tenggelamnya Firaun dan mengatakan tubuh tersebut akan tetap utuh meskipun ia telah tenggelam.
Maurice bertambah terkejut dan terus bertanya-tanya, dari mana kitab suci umat Islam ini mendapatkan data, sementara mumi tidak ditemukan sampai 1898. Selain itu Alquran juga baru diturunkan kepada umat Islam selama lebih dari 1400 tahun setelah peristiwa tenggelamnya Firaun. Mengingat juga sampai beberapa dekade lalu seluruh umat manusia termasuk muslim tidak tahu bahwa orang Mesir kuno mengawetkan firaun mereka?
Maurice Bucaille terjaga sepanjang malam menatap tubuh Firaun, berpikir mendalam soal kitab Alquran yang secara eksplisit mengatakan bahwa tubuh ini akan utuh setelah tenggelam.
"Bisakah dipercaya nabi Muhammad SAW tahu tentang ini lebih dari 1.000 tahun yang lalu ketika saya baru saja mengetahu hal itu?" pikir Maurice.
Pikiran Maurice malam itu dipenuhi berbagai pertanyaan dan keheranan tentang kitab suci umat Islam. Mumi tersebut akhirnya dikembalikan ke Mesir.
Jatuh Cinta dengan Alquran
Tapi, karena ia sudah tahu tentang kisah Firaun versi muslim, ia segera berkemas dan melakukan perjalanan ke Arab Saudi. Kebetulan saat itu di Arab Saudi diadakan konferensi medis yang dihadiri banyak ahli anatomi muslim.
Di sana, Maurice memberitahu mereka tentang penemuannya, yaitu bahwa tubuh Firaun itu tetap utuh bahkan setelah ia tenggelam. Salah satu peserta konferensi membuka Alquran dan membacakan surat Yunus ayat 92 yang menceritakan kisah bagaimana tubuh Firaun diangkat dari dasar laut dan atas izin Allah, tubuh itu akan utuh agar menjadi bahan renungan bagi orang-orang yang berpikir sesudahnya.
Dalam kegembiraannya setelah dibacakan ayat tersebut, Maurice berdiri di hadapan para peserta konferensi berkata, 'Aku telah masuk Islam dan percaya pada Alquran ini'.
Saat kembali ke Perancis, Maurice Bucaille menghabiskan 10 tahun melakukan studi tentang kesesuaian fakta-fakta ilmiah saat ini dengan yang disebutkan dalam Alquran. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa Alquran tidak pernah bertentangan dengan satupun fakta ilmiah.
Dia kemudian menulis buku tentang Alquran yang menghebohkan seluruh negara-negara Barat, dengan judul, "The Bible, The Qur’an and Science, The Holy Scriptures Examined In The Light Of Modern Knowledge."
Buku tersebut sangat laris dan bahkan ratusan ribu eksemplar telah diterjemahkan dari bahasa Perancis ke bahasa Arab, Inggris, Indonesia, Persia, Turki dan Jerman. Bahkan tersebar ke hampir semua toko buku di seluruh dunia.
"Sisi ilmiah dari Alquran telah mengejutkan saya sejak awal, karena pikiran saya belum pernah melihat begitu banyak kajian ilmu pengetahuan yang disuguhkan secara akurat. Itu semacam cermin bagi ilmu pengetahuan yang sudah ditulis dalam buku-buku ilmiah selama ini padahal ilmu tersebut sudah ada lebih dari 13 abad yang lalu," sepenggal catatan kata pengantar Maurice dalam bukunya.
(Sumber: Onislam.net)



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

R e n u n g a n....


R e n u n g a n k u:
Dulu...
Aku sangat KAGUM pada manusia cerdas, kaya & yang berhasil dalam karir. Hidup & hebat dalam dunianya.
Sekarang...
Aku memilih untuk mengganti kriteria kekagumanku.
Aku kagum dengan manusia yang hebat di mataNYA,
Sekalipun kadang penampilannya begitu biasa dan bersahaja.
Dulu...
Aku memilih MARAH кetika merasa harga diriku dijatuhkan oleh oranglain yang berlaku kasar padaku & menyakitiku dengan kalimat² sindiran.
Sekarang...
Aku memilih untuk BANYAK BERSYUKUR & BERTERIMAKASIH,
Karena aku yakin ada hikmah lain yang datang dari mereka ketika aku mampu untuk memaafkan & bersabar.
Dulu...
Aku memilih MENGEJAR dunia & menumpuknya sebisaku,
Ternyata aku sadari kebutuhanku hanyalah makan & minum untuk hari ini.
Sekarang...
Aku memilih untuk BERSYUKUR & BERSYUKUR dengan apa yang ada & memikirkan bagaimana aku bisa mengisi waktuku hari ini, dengan apa yang bisa aku lakukan/perbuat & bermanfaat untuk sesamaku.
Dulu...
Aku berpikir bahwa aku bisa. MEMBAHAGIAKAN σгαngtua, saudara & teman²ku jika aku berhasil dengan duniaku,
Ternyata yang membuat mereka bahagia bukan itu melainkan ucapan, sikap, tingkah & sapaanku kepada mereka.
Sekarang...
Aku memilih untuk membuat mereka bahagia dengan apa yang ada padaku.
Dulu...
Pusat pikiranku adαlαh membuat RENCANA² dahsyat untuk duniaku,
Ternyata aku menjumpai teman & saudara²ku begitu cepat menghadap kepadaNYA....
Sekarang...
yang menjadi pusat pikiran & rencanaku adalah bagaimana agar hidupku dapat RidhaNYA dan dpt bermanfaat utk sesama hingga jika suatu saat diriku dipanggil olehNYA aku dlm keadaan Khusnul khatimah.
••Τak ada yang dapat menjamin bahwa aku dapat menikmati teriknya matahari besok.
••Τak ada yang bisa memberikan jaminan bahwa aku masih bisa menghirup. nafas esok hari.
Kalau hari ini & esok hari aku bisa hidup, itu adalah kehendak اَللّهُ semata...


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Minggu, 24 Agustus 2014

SYEKH SYA’RAWI DAN MODERASI ISLAM

SYEKH SYA’RAWI DAN MODERASI ISLAM

             Beliau adalah seorang pakar tafsir kontemporer yang gigih menerapkan prinsip syariah dalam kehidupan sehari-hari. Beliau lahir pada tanggal 15 April 1911 M di kampung Daqadus desa Mid Ghamr, Daqhliyyah (salah satu bagian wilayah di Mesir). Beliau wafat pada tanggal 17 juni 1998 M.    Pada hari Rabu 17 Juni 1998 M, Syekh Sya’rawi wafat di usia 87 tahun dan jasadnya dimakamkan di Mesir. Ayahnya adalah seorang pedagang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan.
             Pendidikan Sya’rawi dimulai dari menghafal al-Qur’an dari seorang syaikh di kampungnya iaitu Syekh Abdul Majid Pasha. Beliau menamatkan hafalan al-Qur’an pada usia 11 tahun, kemudian Ia masuk sekolah dasar (Ibtidaa’i) di al-Azhar, Zaqaziq tahun 1926 M. Lalu, dia melanjutkan sekolah menengah pertama (I’daadi) di al-Azhar, dan tamat Tsanawiyyah pada tahun 1932 M. Syaikh Sya’rawi masuk kuliah di fakultas Bahasa Arab, Universita Al-Azhar pada tahun 1937 M, dan tamat S1 (BA) pada tahun 1941 M.
Karirnya diawali sebagai tenaga pengajar di ma’had al-Azhar Tanta, ma’had Alexandria, ma’had Zaqaziq.  Beliau juga mengabdikan ilmunya di luar negri (sebagai dosen) kurang lebih 16 tahun:

1) Universitas Malik Abdul Aziz, Makkah, Saudi Arabiah (6 tahun) dari 1944 hingga 1950.
2) Al-Jazair (4 tahun) dari 1966 hinga 1970).
3) Universitas Malik Abdul Aziz, Makkah, Saudi Arabiah (6 tahun) dari 1970 hingga 1976.

              Nama beliau mulai mencuat dan dikenal luas ketika menjadi seorang da’i pada tahun 1973 M tepatnya pada program pengajian halaqah di televisi Mesir yang dikenal dengan program “Nur ‘Ala Nur”.
Pada tahun 1976 M, beliau dipercayakan oleh presiden Anwar Sadat untuk menjadi menteri Auqaf (menteri agama) Mesir. Namun jabatan tersebut tidak sampai selesai dan hanya 2 tahun saja beliau mengundurkan diri, sebab ketika itu beliau dengan tegas menolak usulan undang-undang keluarga yang bertentangan dengan ajaran syari’at Islam.
              Beliau memang sangat unik, sebab beliau adalah seorang ulama yang tidak menulis buku tapi memiliki puluhan bahkan ratusan buku yang telah diterbitkan, beliau tidak menulis karena meyakini bahwa kalimat lisan lebih tajam dari tulisan, sebab dakwan lisan/ceramah dapat didengar langsung dari narasumber asli. Di samping itu beliau yakini bahwa tidak semua orang mampu membaca, oleh karena prinsip ini, tumpuan dakwahnya fokus kepada penyampaian ceramah dan pengajian.
              Syekh Sya’rawi menjalani kehidupan sufi sebagai bentuk kerendahan diri (tawadhu’). Dalam ruang kerjanya hanya ada sajadah dan al-Qur’an. Namun demikian, pemikiran beliau logis dan kontekstual. Kepiawaiannya mentafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, sehingga beliau mampu memahamkan al-Qur’an kepada jama’ahnya dengan muda berdasarkan realita kehidupan kontemprorer.
Tentunya tidak asing lagi bahwa kitab yang monumental dan penuh manfaat yang ditinggalkan oleh beliau untuk umat Islam pada saat ini, adalah Khawati Sya’rawi atau di kenal dengan nama “Tafsir Al-Sya’rawi”, dalam muqaddimah tafsirnya, beliau menyatakan bahwa: “Hasil renungan saya terhadap al-Qur’an bukan berarti tafsiran al-Qur’an, melainkan percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seorang mukmin saat membaca al-Qur’an. Kalau memang al-Qur’an dapat ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak menafsirkannya hanya Rasulullah Saw, karena kepada beliaulah al-Qur’an diturunkan. Beliau banyak menjelaskan kepada manusia isi ajaran al-Quran dari dimensi ibadah, karena hal itu yang diperlukan umatnya saat ini. Adapaun rahasia al-Qur’an tentang alam semesta, tidak beliau sampaikan, karena kondisi sosio intelektual saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal itu disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya akan merusak puing-puing agama, bahkan memalingkan umat dalam jalan Allah SWT.
               Salah satu pandangan moderat beliau yang merupakan hasil usaha pemikiran moderasi Islam dan bertujuan sebagai sifat “toleransi sosial” adalah ketika beliau menafsirkan sebuah ayat al-Qur’an dalam surah al-Israa’ ayat 110:
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
“Katakanlah (wahai Muhammad): Serulah nama "Allah" atau nama "Ar-Rahman", yang mana sahaja kamu serukan (dari kedua-dua nama itu adalah baik belaka); kerana Allah mempunyai banyak nama-nama yang baik serta mulia, Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya”. al-Israa’: 110.
               Beliau berkata: “Kalau sekiranya mengeraskan suara dilarang dalam shalat, maka tentunya meninggikan suara setinggi-tingginya lebih dilarang dalam agama, seperti menggunakan alat pengeras suara “Microfon”, sebab perbuatan ini akan mengganggu orang disekeliling, bukankah Allah telah nyatakan dalam al-Qur’an:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan al-Quran, maka hendaklah kamu semua mendengarnya dan diam, mudah-mudahan kamu semua beroleh rahmat”. al-A’raf: 204
               Ketika anda mengeraskan suara dalam membaca al-Qur’an menggunakan microfon, maka anda secara tidak langsung memaksakan dan mewajibkan diam bagi orang yang mendengarkan bacaanmu, sehingga anda akan membuatkan mereka terganggu, dan jika mereka tidak diam mendengarkan bacaanmu maka anda akan menyeret mereka dalam perbuatan dosa (disebabkan tidak mendengar bacaanmu), bukan itu saja, bahkan anda akan merusak aktiviti orang lain, kemungkinan mereka pada waktu yang sama sedang atau ingin membaca al-Qur’an juga, atau beristighfar, atau bertasbih ataupun shalat. Bagaimana boleh amalan anda yang hanya dianggap mandub dalam syari’at, mampu memaksa dan mengatur amalan orang lain. Sungguh perbuatan ini tidak boleh dilakukan, oleh karena itu janganlah sekali-kali mengganggu ketenangan orang lain, biarkan mereka bebas dengan urusan sendiri untuk berbuat amalan nawafil dan sebagainya, dan jangan menjadi orang yang digambarkan dalam al-Qur’an
(Merasa Baik Perbuatannya, Sementara Tidak Demikian):
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka sudah berbuat sebaik-baiknya”. Al-Kahfi :103.
Bagi pandangan beliau, amalan-amalan di atas memang tidak memiliki dasar dalam ajaran syari’at Islam, bahkan beliau nyatakan dengan contoh realita di masyarakat modern saat ini dan berkata dengan tegas: “seperti orang yang menyalakan microfon sebelum masuknya shalat subuh, ia membaca beberapa bacaan nasyid yang tiada dasar dalam agama, akibat perbuatannya, orang disekeliling menjadi terganggu, orang yang sakitpun tidak merasai ketenangan, sesungguhnya orang seperti itu sebenarnya tidak sama sekali memiliki rasa toleransi dan tidak menghiraukan keadaan sekelilingnya, sampai kapankah hal ini berlaku? Sampai kapankah ia sadar tentang hal ini, sementara perbutannya justru menganggu ketenangan manusia, nahkan dapat merusak amalan ibadah orang lain? ...
Sila rujuk:
Tafsir al-Sya’rawi jilid 14/halaman 8815 - 8816.



 Sumber: Catatan oleh Kamaluddin Nurdin Al-Bugisy di Facebook



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Rabu, 20 Agustus 2014

Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah

Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah
oleh Michael H. Hart
--------------------------------------------------------------------------------

01. NABI MUHAMMAD (570 SM - 632 SM)

Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.

Berasal-usul dari keluarga sederhana, Muhammad menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di dunia, Agama Islam. Dan pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini tiga belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar.

Sebagian besar dari orang-orang yang tercantum di dalam buku ini merupakan makhluk beruntung karena lahir dan dibesarkan di pusat-pusat peradaban manusia, berkultur tinggi dan tempat perputaran politik bangsa-bangsa. Muhammad lahir pada tahun 570 M, di kota Mekkah, di bagian agak selatan Jazirah Arabia, suatu tempat yang waktu itu merupakan daerah yang paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni maupun ilmu pengetahuan. Menjadi yatim-piatu di umur enam tahun, dibesarkan dalam situasi sekitar yang sederhana dan rendah hati. Sumber-sumber Islam menyebutkan bahwa Muhamnmad seorang buta huruf. Keadaan ekonominya baru mulai membaik di umur dua puluh lima tahun tatkala dia kawin dengan seorang janda berada. Bagaimanapun, sampai mendekati umur empat puluh tahun nyaris tak tampak petunjuk keluarbiasaannya sebagai manusia.

Umumnya, bangsa Arab saat itu tak memeluk agama tertentu kecuali penyembah berhala Di kota Mekkah ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk Agama Yahudi dan Nasrani, dan besar kemungkinan dari merekalah Muhammad untuk pertama kali mendengar perihal adanya satu Tuhan Yang Mahakuasa, yang mengatur seantero alam. Tatkala dia berusia empatpuluh tahun, Muhammad yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa ini menyampaikan sesuatu kepadanya dan memilihnya untuk jadi penyebar kepercayaan yang benar.

Selama tiga tahun Muhammad hanya menyebar agama terbatas pada kawan-kawan dekat dan kerabatnya. Baru tatkala memasuki tahun 613 dia mulai tampil di depan publik. Begitu dia sedikit demi sedikit punya pengikut, penguasa Mekkah memandangnya sebagai orang berbahaya, pembikin onar. Di tahun 622, cemas terhadap keselamatannya, Muhammad hijrah ke Madinah, kota di utara Mekkah berjarak 200 mil. Di kota itu dia ditawari posisi kekuasaan politik yang cukup meyakinkan.

Peristiwa hijrah ini merupakan titik balik penting bagi kehidupan Nabi. Di Mekkah dia susah memperoleh sejumlah kecil pengikut, dan di Medinah pengikutnya makin bertambah sehingga dalam tempo cepat dia dapat memperoleh pengaruh yang menjadikannya seorang pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Pada tahun-tahun berikutnya sementara pengikut Muhammad bertumbuhan bagai jamur, serentetan pertempuran pecah antara Mektah dan Madinah. Peperangan ini berakhir tahun 630 dengan kemenangan pada pihak Muhammad, kembali ke Mekkah selaku penakluk. Sisa dua setengah tahun dari hidupnya dia menyaksikan kemajuan luar-biasa dalam hal cepatnya suku-suku Arab memeluk Agama Islam. Dan tatkala Muhammad wafat tahun 632, dia sudah memastikan dirinya selaku penguasa efektif seantero Jazirah Arabia bagian selatan.

Suku Bedewi punya tradisi turun-temurun sebagai prajurit-prajurit yang tangguh dan berani. Tapi, jumlah mereka tidaklah banyak dan senantiasa tergoda perpecahan dan saling melabrak satu sama lain. Itu sebabnya mereka tidak bisa mengungguli tentara dari kerajaan-kerajaan yang mapan di daerah pertanian di belahan utara. Tapi, Muhammadlah orang pertama dalam sejarah, berkat dorongan kuat kepercayaan kepada keesaan Tuhan, pasukan Arab yang kecil itu sanggup melakukan serentetan penaklukan yang mencengangkan dalam sejarah manusia. Di sebelah timurlaut Arab berdiri Kekaisaran Persia Baru Sassanids yang luas. Di baratlaut Arabia berdiri Byzantine atau Kekaisaran Romawi Timur dengan Konstantinopel sebagai pusatnya.

Ditilik dari sudut jumlah dan ukuran, jelas Arab tidak bakal mampu menghadapinya. Namun, di medan pertempuran, pasukan Arab yang membara semangatnya dengan sapuan kilat dapat menaklukkan Mesopotamia, Siria, dan Palestina. Pada tahun 642 Mesir direbut dari genggaman Kekaisaran Byzantine, dan sementara itu balatentara Persia dihajar dalam pertempuran yang amat menentukan di Qadisiya tahun 637 dan di Nehavend tahun 642.

Tapi, penaklukan besar-besaran --di bawah pimpinan sahabat Nabi dan penggantinya Abu Bakr dan Umar ibn al-Khattab-- itu tidak menunjukkan tanda-tanda stop sampai di situ. Pada tahun 711, pasukan Arab telah menyapu habis Afrika Utara hingga ke tepi Samudera Atlantik. Dari situ mereka membelok ke utara dan menyeberangi Selat Gibraltar dan melabrak kerajaan Visigothic di Spanyol.

Sepintas lalu orang mesti mengira pasukan Muslim akan membabat habis semua Nasrani Eropa. Tapi pada tahun 732, dalam pertempuran yang masyhur dan dahsyat di Tours, satu pasukan Muslimin yang telah maju ke pusat negeri Perancis pada akhirnya dipukul oleh orang-orang Frank. Biarpun begitu, hanya dalam tempo secuwil abad pertempuran, orang-orang Bedewi ini -dijiwai dengan ucapan-ucapan Nabi Muhammad- telah mendirikan sebuah empirium membentang dari perbatasan India hingga pasir putih tepi pantai Samudera Atlantik, sebuah empirium terbesar yang pernah dikenal sejarah manusia. Dan di mana pun penaklukan dilakukan oleh pasukan Muslim, selalu disusul dengan berbondong-bondongnya pemeluk masuk Agama Islam.

Ternyata, tidak semua penaklukan wilayah itu bersifat permanen. Orang-orang Persia, walaupun masih tetap penganut setia Agama Islam, merebut kembali kemerdekaannya dari tangan Arab. Dan di Spanyol, sesudah melalui peperangan tujuh abad lamanya akhirnya berhasil dikuasai kembali oleh orang-orang Nasrani. Sementara itu, Mesopotamia dan Mesir dua tempat kelahiran kebudayaan purba, tetap berada di tangan Arab seperti halnya seantero pantai utara Afrika. Agama Islam, tentu saja, menyebar terus dari satu abad ke abad lain, jauh melangkah dari daerah taklukan. Umumnya jutaan penganut Islam bertebaran di Afrika, Asia Tengah, lebih-lebih Pakistan dan India sebelah utara serta Indonesia. Di Indonesia, Agama Islam yang baru itu merupakan faktor pemersatu. Di anak benua India, nyaris kebalikannya: adanya agama baru itu menjadi sebab utama terjadinya perpecahan.

Apakah pengaruh Nabi Muhammad yang paling mendasar terhadap sejarah ummat manusia? Seperti halnya lain-lain agama juga, Islam punya pengaruh luar biasa besarnya terhadap para penganutnya. Itu sebabnya mengapa penyebar-penyebar agama besar di dunia semua dapat tempat dalam buku ini. Jika diukur dari jumlah, banyaknya pemeluk Agama Nasrani dua kali lipat besarnya dari pemeluk Agama Islam, dengan sendirinya timbul tanda tanya apa alasan menempatkan urutan Nabi Muhammad lebih tinggi dari Nabi Isa dalam daftar. Ada dua alasan pokok yang jadi pegangan saya. Pertama, Muhammad memainkan peranan jauh lebih penting dalam pengembangan Islam ketimbang peranan Nabi Isa terhadap Agama Nasrani. Biarpun Nabi Isa bertanggung jawab terhadap ajaran-ajaran pokok moral dan etika Kristen (sampai batas tertentu berbeda dengan Yudaisme), St. Paul merupakan tokoh penyebar utama teologi Kristen, tokoh penyebarnya, dan penulis bagian terbesar dari Perjanjian Lama.

Sebaliknya Muhammad bukan saja bertanggung jawab terhadap teologi Islam tapi sekaligus juga terhadap pokok-pokok etika dan moralnya. Tambahan pula dia "pencatat" Kitab Suci Al-Quran, kumpulan wahyu kepada Muhammad yang diyakininya berasal langsung dari Allah. Sebagian terbesar dari wahyu ini disalin dengan penuh kesungguhan selama Muhammad masih hidup dan kemudian dihimpun dalam bentuk yang tak tergoyangkan tak lama sesudah dia wafat. Al-Quran dengan demikian berkaitan erat dengan pandangan-pandangan Muhammad serta ajaran-ajarannya karena dia bersandar pada wahyu Tuhan. Sebaliknya, tak ada satu pun kumpulan yang begitu terperinci dari ajaran-ajaran Isa yang masih dapat dijumpai di masa sekarang. Karena Al-Quran bagi kaum Muslimin sedikit banyak sama pentingnya dengan Injil bagi kaum Nasrani, pengaruh Muhammad dengan perantaraan Al-Quran teramatlah besarnya. Kemungkinan pengaruh Muhammad dalam Islam lebih besar dari pengaruh Isa dan St. Paul dalam dunia Kristen digabung jadi satu. Diukur dari semata mata sudut agama, tampaknya pengaruh Muhammad setara dengan Isa dalam sejarah kemanusiaan.

Lebih jauh dari itu (berbeda dengan Isa) Muhammad bukan semata pemimpin agama tapi juga pemimpin duniawi. Fakta menunjukkan, selaku kekuatan pendorong terhadap gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab, pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu.

Dari pelbagai peristiwa sejarah, orang bisa saja berkata hal itu bisa terjadi tanpa kepemimpinan khusus dari seseorang yang mengepalai mereka. Misalnya, koloni-koloni di Amerika Selatan mungkin saja bisa membebaskan diri dari kolonialisme Spanyol walau Simon Bolivar tak pernah ada di dunia. Tapi, misal ini tidak berlaku pada gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab. Tak ada kejadian serupa sebelum Muhammad dan tak ada alasan untuk menyangkal bahwa penaklukan bisa terjadi dan berhasil tanpa Muhammad. Satu-satunya kemiripan dalam hal penaklukan dalam sejarah manusia di abad ke-13 yang sebagian terpokok berkat pengaruh Jengis Khan. Penaklukan ini, walau lebih luas jangkauannya ketimbang apa yang dilakukan bangsa Arab, tidaklah bisa membuktikan kemapanan, dan kini satu-satunya daerah yang diduduki oleh bangsa Mongol hanyalah wilayah yang sama dengan sebelum masa Jengis Khan

Ini jelas menunjukkan beda besar dengan penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Arab. Membentang dari Irak hingga Maroko, terbentang rantai bangsa Arab yang bersatu, bukan semata berkat anutan Agama Islam tapi juga dari jurusan bahasa Arabnya, sejarah dan kebudayaan. Posisi sentral Al-Quran di kalangan kaum Muslimin dan tertulisnya dalam bahasa Arab, besar kemungkinan merupakan sebab mengapa bahasa Arab tidak terpecah-pecah ke dalam dialek-dialek yang berantarakan. Jika tidak, boleh jadi sudah akan terjadi di abad ke l3. Perbedaan dan pembagian Arab ke dalam beberapa negara tentu terjadi -tentu saja- dan nyatanya memang begitu, tapi perpecahan yang bersifat sebagian-sebagian itu jangan lantas membuat kita alpa bahwa persatuan mereka masih berwujud. Tapi, baik Iran maupun Indonesia yang kedua-duanya negeri berpenduduk Muslimin dan keduanya penghasil minyak, tidak ikut bergabung dalam sikap embargo minyak pada musim dingin tahun 1973 - 1974. Sebaliknya bukanlah barang kebetulan jika semua negara Arab, semata-mata negara Arab, yang mengambil langkah embargo minyak.

Jadi, dapatlah kita saksikan, penaklukan yang dilakukan bangsa Arab di abad ke-7 terus memainkan peranan penting dalam sejarah ummat manusia hingga saat ini. Dari segi inilah saya menilai adanya kombinasi tak terbandingkan antara segi agama dan segi duniawi yang melekat pada pengaruh diri Muhammad sehingga saya menganggap Muhammad dalam arti pribadi adalah manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia.

02. Isaac Newton
03. Nabi Isa
04. Buddha
05. Kong Hu Cu
06. St. Paul
07. Ts'ai Lun
08. Johann Gutenberg
09. Christopher Columbus
10. Albert Einstein
11. Karl Marx
12. Louis Pasteur
13. Galileo Galilei
14. Aristoteles
15. Lenin
16. Nabi Musa
17. Charles Darwin
18. Shih Huang Ti
19. Augustus Caesar
20. Mao Tse-Tung
21. Jengis Khan
22. Euclid
23. Martin Luther
24. Nicolaus Copernicus
25. James Watt
26. Constantine Yang Agung
27. George Washington
28. Michael Faraday
29. James Clerk Maxwell
30. Orville Wright & Wilbur Wright
31. Antone Laurent Lavoisier
32. Sigmund Freud
33. Alexander Yang Agung
34. Napoleon Bonaparte
35. Adolf Hitler
36. William Shakespeare
37. Adam Smith
38. Thomas Edison
39. Antony Van Leeuwenhoek
40. Plato
41. Guglielmo Marconi
42. Ludwig Van Beethoven
43. Werner Heisenberg
44. Alexander Graham Bell
45. Alexander Fleming
46. Simon Bolivar
47. Oliver Cromwell
48. John Locke
49. Michelangelo
50. Pope Urban II
51. Umar Ibn Al-Khattab
52. Asoka
53. St. Augustine
54. Max Planck
55. John Calvin
56. William T.G.Morton
57. William Harvey
58. Antoine Henri Becquerel
59. Gregor Mendel
60. Joseph Lister
61. Nikolaus August Otto
62. Louis Daguerre
63. Joseph Stalin
64. Rene Descartes
65. Julius Caesar
66. Francisco Pizarro
67. Hernando Cortes
68. Ratu Isabella I
69. William Sang Penakluk
70. Thomas Jefferson
71. Jean-Jacques Rousseau
72. Edward Jenner
73. Wilhelm Conrad Rontgen
74. Johann Sebastian Bach
75. Lao Tse
76. Enrico Fermi
77. Thomas Malthus
78. Francis Bacon
79. Voltaire
80. John F. Kennedy
81. Gregory Pincus
82. Sui Wen Ti
83. Mani
84. Vasco Da Gama
85. Charlemagne
86. Cyrus Yang Agung
87. Leonhard Euler
88. Niccolo Machiavelli
89. Zoroaster
90. Menes
91. Peter Yang Agung
92. Meng-Tse (Mencius)
93. John Dalton
94. Homer
95. Ratu Elizabeth I
96. Justinian I
97. Johannes Kepler
98. Pablo Picasso
99. Mahavira
100. Neils Bohr

--------------------------------------------------------------------------------
Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah
Michael H. Hart, 1978
Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982
PT. Dunia Pustaka Jaya
Jln. Kramat II, No. 31A
Jakarta Pusat



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Senin, 18 Agustus 2014

Peradaban Islam Bangkit Dari Indonesia

Peradaban Islam Bangkit Dari Indonesia


Drs. Masdar F Mas’udi ~ Dewan Penasehat ICMI Pusat
Sampai sekarang dunia Islam belum jelas sosoknya. Mana yang akan menjadi pemimpin dunia Islam. Kita bisa mencatat dalam percaturan global ini pemain-pemainnya adalah blok-blok peradaban, yang dari waktu ke waktu memang bisa diuji oleh dirinya sendiri dan jaman. Kita bisa catat juga, blok-blok peradaban sebagai pemain global ini, yang memiliki daya tahan hidup yang panjang, hanya blok peradaban berbasis nilai transenden keagamaan. Kalau hanya berbasis nilai sekular apalagi ateistik bisa saja memainkan peranan, tapi usianya pendek.

Belum Punya Negara Inti
Blok peradaban Komunisme pernah hampir merajai dunia, berusia tidak sampai satu abad. Naziisme pernah menjadi pemenang perang dunia, lebih pendek lagi usianya. Tidak sampai 15 tahun. Tapi peradaban yang dibangun atas dasar nilai transenden keagamaan dan spiritualitas, usianya ribuan tahun. Paling muda Islam.  Barat dengan Kristianisme  sudah lebih dari duaribu tahunan. Cina dengan Budhisme kurang lebih 3 ribuan tahun. Begitu juga India dengan Hinduisme. Itulah pemain dunia sekarang secara ekonomi, politik, dsb. Tinggal ditunggu dari blok peradaban Islam.yang belum muncul kembali. Ibarat meja dunia ini hanya ditopang tiga kaki sehingga llabilitas global sangat terasa.
Sekarang yang menjadi bulan-bulanan adalah blok dunia Islam. Salahsatu pejelasannya karena belum ada yang disebut Huntington sebagai ‘Negara Inti’.  Blok peradaban ini kuncinya: Negara. Sebelum ada negara belum bisa menjadi pemain global. Ketika pendiri bangsa ini mencita-citakan, salasatu muara dari kemerdekaan adalah memajukan perdamaian dunia. Ada cita-cita yang sangat tnggi sekali. Indonesia selayaknya bisa menjadi negara inti dari blok peradaban Islam. Memang menurut para pengamat, dari  50 negara lebih; dari Maroko sampai Merauke, yang paling memenuhi syarat adalah Indonesia.
Turki memang menonjol. Tapi sebagai pemimpin peradaban Islam yang mesti setara dengan blok-blok peradaban lain, pemimpin dunia Islam harus memiliki mentalitas yang juga setara. Turki ada persoalan psikologis dengan Barat. Sudah 40 tahun Turki ingin menjadi bagian dari Eropa tapi tetap ditolak karena dianggap lebih rendah martabatnya. Tapi menjadi bagian dari Blok Timur (Islam), dia menganggap dirinya terlalu tinggi. Ini yang membuat dia repot. Di samping itu juga secara kekayaan alam sangat terbatas.
Bagaimana dengan Iran? Persoalan besar sebagaimana kita baca dalam bocoran Wikileaks. Pasti Iran akan ditolak menjadi kekuatan the Leader of Muslim World oleh Negara-negara Teluk dibawah pimpinan Arab Saudi. Karena dalam rahasia itu diungkap yang paling getol memprovokasi Amerka dan Israel agar menghabisi pengelolaan tenaga nuklir Iran justru Arab Saudi.
Pun Arab Saudi, terlalu  kecil dari sudut daerah juga kekayaan alamnya terbatas. Yang tak akan habis sebagai potensi ekonomi adalah dua kota suci itu.Ka’bah atau Madinah. Tap kalau wacana internasionalisasi dua kota suci terjadi, saya kira juga habis. Jadi  memang tinggal Indonesia, dan tanpa ada the Leader-nya blok peradaban Islam  tidak akan bisa menjadi pemain yang diperhitungkan.
Sesungguhnya dari berbagai aspeknya Indonesia sudah memiliki kekayaan dan luas wilayah luar biasa. Islamnya dianggap memadai untuk ke depan dan ada visi  inklusif yang kuat meski ada godaan-godaannya. Inilah sesungguhnya tantangan spiritualitas kita sebagai andalan dunia Islam, dengan segala potensi yang dimiliki masih berada pada situasi seperti ini.
Kita mencatat ada beberapa kendala yang cukup serius. Pertama, begitu banyak kekayaan kita yang dimanfaatkan lebih banyak oleh pihak asing ketimbang untuk rakyat kita.  Kedua, persoalan korupsi dalam praktek birokrasi. Ini tantangan yang membuat kepercayaan dunia merendah. Ketiga, unsur-unsur keislaman sebagai anutan mayoritas yang makin tidak merasa at home dengan Indonesia. Karena ada cita-cita yang sampai sekarang masih ditancapkan dalam hati dan belum kunjung selesai. Yaitu kalau Indonesia harus menjadi pemimpin dunia Islam, bagaimana negeri yang besar dengan umat Islam paling banyak di dunia ini,  tidak secara resmi men-declare sebagai negara Islam?

Tidak Sekadar Label ‘Negara Islam”
Ini juga merupakan problem ideologis dan politis di internal umat Islam sendiri, yang sudah membuat sikap batin kita kepada Indonesia kadang seperti sikap orang yang menumpang hidup/ ngontrak. Kita tidak merasa ini adalah rumah kita. Sikap setengah hati dari umat Islam seperti ini adalah problem besar. Kalau umat Islam terus mempertahankan sikap tersebut, hanya karena formalitas negeri ini tidak disebut sebagai negara Islam, ini akan makin terpuruk.
Bagaimana ber-istiqamah dan merasa at home? Negeri ini adalah negeri umat Islam sebagai umat yang mayoritas sekaligus janji Tuhan rahmat bagi semesta. Apakah memang harus ditampung aspirasi formalisme (sebutan ‘Negara Islam’)? Kalau formalisme sebutan (labeling) itu menjadi pertaruhan, mestinya ketika Nabi Muhammad Saw mendirikan negar Madinah,  beliau dengan penuh keyakinan menyebut Madinah sebagai negara Islam Madinah. Tapi sebutan itu tidak ada dalam dokumen apapun. Yang disebut hanya Negara Madinah. Seperti Negara Indonesia dikaitkan  kebangsaannya .
Memang dalam dokumen Hadis juga Fiqih dan Tarikh, ada sebutan ‘Daulah Islamiyah’ atau ‘Darul Islamiyah’. Tapi sebutan itu sebenarnya hanya diberi arti sosioligis: ‘Negeri yang dihuni mayoritas beragama Islam’. Dalam pemahaman seperti inilah Indonesia menjadi anggota dari konferensi negara-negara Islam. Kita bukan negara Islam, kenapa kita menjadi anggota konferensi negara-negara Islam? Karena yang kita pahami dari ‘Darul Islamiyah’ ini adalah sosiologis, bahwa secara sosial penduduk negeri ini memang  penganut agama islam. Tapi pemahaman negara Islam secara ideologis formil politis baru muncul ketika lahir negara Zionisme Israel. Kalau ada negara Yahudi Zionis kenapa tidak ada negara Islam? Maka sebenarnya itu barang baru. Dalam bahasa hadisnya ini muhdasatil umur.
Kedua, kenapa Nabi Muhammad Saw tidak menyebut Negara Madinah dengan sebutan Negara Islam? Memang kelihatannya ini persoalan kecil. Tapi ketika agama dipakai sebagai label formil sebuah lembaga kekuasaan, lebih-lebih yang namanya negara, yang terjadi agama yang dilabelkan itu bukannya menginspirasi para penguasanya bertindak seagung ajaran yang diambil sebagai label itu, justru memprovokasi penguasanya untuk bertindak seolah dia wakil agama yang tidak dapat disalahkan.
Maka, hampir semua negara agama yang resmi menyebut dirinya negara agama itu, lazimnya adalah negara dengan pemimpin otoriter absolut dan tidak mau dikritik. Karena dia merasa sebagai personifikasi dari agama. Inilah hikmahnya kenapa Nabi Muhammad tidak mengintrodusir sebutan Negara Islam Madinah padahal tidak  seorang pun bisa menghalangi itu kalau beliau mau.
Ketiga, apakah Islam tidak punya konsep tentang negara?  Saya yakin dan seyakin-yakinnya Islam punya, karena negara adalah sesuatu yang sangat  powerful di muka bumi setelah Tuhan. Maka kalau individu-individu dengan power-nya terbatas itu dibimbing ajaran moral, kenapa negara sebagai kekuatan kemanusiaan kolektif tidak dibimbing ajaran moral yang luhur?

Konsep Islam tentang Negara
Persoalannya memang bukan sekadar kendali label tapi kendali moral. Maka Islam juga punya konsep tentang negara. Ada dua yang pokok Pertama, negara harus bermuara kepada cita-cita keadilan dan keadilan, adalah sebuah nilai moral yang inklusif, tidak memandang asal-usul, warna kulit dll. Jangan sampai perasaan perkauman kita menodai komitmen kita untuk menegakkan keadilan. Dalam bahasa orang pesantren keadaan itu ekspesi dari sifat rahman Allah bukan rahim. Kepada siapapun apakah dia muslim atau tidak, manusia atau binatang, semua mendapat rahmat Allah di dunia.
Orang beragama Islam tapi malas dan tidak jujur pasti gagal dan dibenci orang. Tapi orang beragama apapun dia jujur bekerja keras, ulet, santun, dia pasti dihormati orang. Itulah hukum rahman Allah. Baru nanti rahim berbicara di akhirat berdasarkan preferennsi iman. Dunia ini adalah ekspresi aktualisasi rahman Allah. Kita menjadi muslim kalau tidak 100 %, 90 % karena kita terlahir dari keluarga muslim. Coba kita lahir di Eropa, Amerika latin atau Afrika. Hampir bisa dipastikan kita akan beragama lain. Jadi kita tidak bisa mendiskriminasi orang berdasarkan keyakinan. Allah yang punya kuasa Inklusivitas Islam di Indonesia sangat memadai untuk menjadi salahsatu kekuatan  Indonesia sebagai the Leader.
Kedua, prinsip yang digariskan Islam tentang negara kalau keadilan adalah tujuannya, dalam sebuah ungkapan yang sering dikutip juga oleh berbagai penceramah diikutip dari ibn Qayyim, ibn Taymiyah dan Ibn Aqil mengatakan; Allah akan meridhai negara yang adil meskipun kafir. Mungkin kafir di sini naksudnya tidak menyebut diri sebagai negara agama. Sebaliknya Allah bakal tidak sudi menolong negara yang zalim meski ia menyebut diri sebagai negara Islam. Inilah rahman Allah untuk kehidupan kita di dunia.
Prinsip yang digariskan Islam tentang negara adalah manhaj-nya. Kalau tujuannya (ghayah) adalah keadilan untuk semua (inklusif), maka wasilah/manhaj -nya adalah wa amruhum syura bainahum (urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka)  ‘Hum’- nya siapa? Semua stakehodler. Ini dua prinsip negara dalam Islam. Kita lihat dalam bangunan konsep dan landasan filosofis kebernegaraan kita, Jelas sekali sila kelima keadilan sosial sebagai ghayah-nya. Dan ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah kebijaksanaan dalam permusyawartan/ perwakilan’ ini adalah manhaj-nya.
Jadi sangat luar biasa dari sudut konsep. Ada  ‘… syura bainahum’ (sila keempat), masih ditambah tiga sila; Persatuan Indonesia (ukhuwah wathaniyah), Kemanusian yang beradil dan beradab (karramatul insan wal tukarrama bani adam) dan Ketuhanan YME. Jadi sudah lebih dari yang dipersyaratkan. Memang kita tidak menyebut pancasila dengan bahasa Arabistik. Sebagian saudara kita mericek karena tidak dikemukakan dalam bahasa Islam.
Bapak dan ibu sekalian. Jadi tidak ada lagi alasan bagi umat Islam untuk bersetengah hati dengan Republik ini. Tidak boleh lagi ada keraguan Sikap ini harus dikikis agar tidak habis energi yang harusnya kita kerahkan sepenuhnya untuk membangun negeri  ini. Saya yakin negeri ini memang diperuntukkan untuk umat Islam. Tuhan telah memberikan negara-negara besar bagi umat agama lain.
Kalau ini bisa kita bulatkan dan ICMI menggerakkan itu, akan lebih cepat kebangkitan negeri ini. Memang ada masalah-masalah yang kita hadapi sekarang tapi tidak boleh membuat kita putus asa. Ini justru bisa menjadikan kita stimulan untuk bekerja lebih keras dan membangun komitmen yang lebih hebat lagi.  Tentu saja bukan berarti syariat Islam tidak dapat ditegakkan di sini. Ini penting bagi umat Islam agar kita tidak ikut menambah rumitnya negara ini dengan menggugat hal-hal yang sebetulnya bisa kita atasi. Negeri ini sudah sangat Islam. Tinggal bagaimana kita secara formil konsep aktualisasi. Sekali lagi, kegagalan ini salahsatu di antara kita yang masih setengah hati. Mudah-mudahan ke depan kita akan sepenuh hati mendukung negeri ini menjadi baldatun tayyibah warabun gafur.  
Tausyah di Kediaman Wakil Utama Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat, Prof. Dr. M. Nuh (14/8/12).




Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya