Drs. Masdar F Mas’udi ~ Dewan Penasehat ICMI Pusat
Sampai sekarang dunia Islam belum jelas sosoknya. Mana yang akan
menjadi pemimpin dunia Islam. Kita bisa mencatat dalam percaturan global
ini pemain-pemainnya adalah blok-blok peradaban, yang dari waktu ke
waktu memang bisa diuji oleh dirinya sendiri dan jaman. Kita bisa catat
juga, blok-blok peradaban sebagai pemain global ini, yang memiliki daya
tahan hidup yang panjang, hanya blok peradaban berbasis nilai transenden
keagamaan. Kalau hanya berbasis nilai sekular apalagi ateistik bisa
saja memainkan peranan, tapi usianya pendek.
Belum Punya Negara Inti
Blok peradaban Komunisme pernah hampir merajai dunia, berusia tidak
sampai satu abad. Naziisme pernah menjadi pemenang perang dunia, lebih
pendek lagi usianya. Tidak sampai 15 tahun. Tapi peradaban yang dibangun
atas dasar nilai transenden keagamaan dan spiritualitas, usianya ribuan
tahun. Paling muda Islam. Barat dengan Kristianisme sudah lebih dari
duaribu tahunan. Cina dengan Budhisme kurang lebih 3 ribuan tahun.
Begitu juga India dengan Hinduisme. Itulah pemain dunia sekarang secara
ekonomi, politik, dsb. Tinggal ditunggu dari blok peradaban
Islam.yang belum muncul kembali. Ibarat meja dunia ini hanya ditopang tiga kaki sehingga llabilitas global sangat terasa.
Sekarang yang menjadi bulan-bulanan adalah blok dunia Islam.
Salahsatu pejelasannya karena belum ada yang disebut Huntington sebagai
‘Negara Inti’. Blok peradaban ini kuncinya: Negara. Sebelum ada negara
belum bisa menjadi pemain global. Ketika pendiri bangsa ini
mencita-citakan, salasatu muara dari kemerdekaan adalah memajukan
perdamaian dunia. Ada cita-cita yang sangat tnggi sekali. Indonesia
selayaknya bisa menjadi negara inti dari blok peradaban Islam. Memang
menurut para pengamat, dari 50 negara lebih; dari Maroko sampai
Merauke, yang paling memenuhi syarat adalah Indonesia.
Turki memang menonjol. Tapi sebagai pemimpin peradaban Islam yang
mesti setara dengan blok-blok peradaban lain, pemimpin dunia Islam harus
memiliki mentalitas yang juga setara. Turki ada persoalan psikologis
dengan Barat. Sudah 40 tahun Turki ingin menjadi bagian dari Eropa tapi
tetap ditolak karena dianggap lebih rendah martabatnya. Tapi menjadi
bagian dari Blok Timur (Islam), dia menganggap dirinya terlalu tinggi.
Ini yang membuat dia repot. Di samping itu juga secara kekayaan alam
sangat terbatas.
Bagaimana dengan Iran? Persoalan besar sebagaimana kita baca dalam
bocoran Wikileaks. Pasti Iran akan ditolak menjadi kekuatan the Leader
of Muslim World oleh Negara-negara Teluk dibawah pimpinan Arab Saudi.
Karena dalam rahasia itu diungkap yang paling getol memprovokasi Amerka
dan Israel agar menghabisi pengelolaan tenaga nuklir Iran justru Arab
Saudi.
Pun Arab Saudi, terlalu kecil dari sudut daerah juga kekayaan
alamnya terbatas. Yang tak akan habis sebagai potensi ekonomi adalah dua
kota suci
itu.Ka’bah atau
Madinah. Tap kalau wacana internasionalisasi dua kota suci terjadi, saya
kira juga habis. Jadi memang tinggal Indonesia, dan tanpa ada
the Leader-nya blok peradaban Islam tidak akan bisa menjadi pemain yang diperhitungkan.
Sesungguhnya dari berbagai aspeknya Indonesia sudah memiliki kekayaan
dan luas wilayah luar biasa. Islamnya dianggap memadai untuk ke depan
dan ada visi inklusif yang kuat meski ada godaan-godaannya. Inilah
sesungguhnya tantangan spiritualitas kita sebagai andalan dunia Islam,
dengan segala potensi yang dimiliki masih berada pada situasi seperti
ini.
Kita mencatat ada beberapa kendala yang cukup serius.
Pertama, begitu banyak kekayaan kita yang dimanfaatkan lebih banyak oleh pihak asing ketimbang untuk rakyat kita.
Kedua, persoalan korupsi dalam praktek birokrasi. Ini tantangan yang membuat kepercayaan dunia merendah.
Ketiga, unsur-unsur keislaman sebagai anutan mayoritas yang makin tidak merasa
at home
dengan Indonesia. Karena ada cita-cita yang sampai sekarang masih
ditancapkan dalam hati dan belum kunjung selesai. Yaitu kalau Indonesia
harus menjadi pemimpin dunia Islam, bagaimana negeri yang besar dengan
umat Islam paling banyak di dunia ini, tidak secara resmi men-
declare sebagai negara Islam?
Tidak Sekadar Label ‘Negara Islam”
Ini juga merupakan problem ideologis dan politis di internal umat
Islam sendiri, yang sudah membuat sikap batin kita kepada Indonesia
kadang seperti sikap orang yang menumpang hidup/
ngontrak. Kita
tidak merasa ini adalah rumah kita. Sikap setengah hati dari umat Islam
seperti ini adalah problem besar. Kalau umat Islam terus mempertahankan
sikap tersebut, hanya karena formalitas negeri ini tidak disebut
sebagai negara Islam, ini akan makin terpuruk.
Bagaimana ber-
istiqamah dan merasa
at home? Negeri
ini adalah negeri umat Islam sebagai umat yang mayoritas sekaligus janji
Tuhan rahmat bagi semesta. Apakah memang harus ditampung aspirasi
formalisme (sebutan ‘Negara Islam’)? Kalau formalisme sebutan (
labeling)
itu menjadi pertaruhan, mestinya ketika Nabi Muhammad Saw mendirikan
negar Madinah, beliau dengan penuh keyakinan menyebut Madinah sebagai
negara Islam Madinah. Tapi sebutan itu tidak ada dalam dokumen apapun.
Yang disebut hanya Negara Madinah. Seperti Negara Indonesia dikaitkan
kebangsaannya .
Memang dalam dokumen Hadis juga Fiqih dan Tarikh, ada sebutan ‘Daulah
Islamiyah’ atau ‘Darul Islamiyah’. Tapi sebutan itu sebenarnya hanya
diberi arti sosioligis: ‘Negeri yang dihuni mayoritas beragama Islam’.
Dalam pemahaman seperti inilah Indonesia menjadi anggota dari konferensi
negara-negara Islam. Kita bukan negara Islam, kenapa kita menjadi
anggota konferensi negara-negara Islam? Karena yang kita pahami dari
‘Darul Islamiyah’ ini adalah sosiologis, bahwa secara sosial penduduk
negeri ini memang penganut agama islam. Tapi pemahaman negara Islam
secara ideologis formil politis baru muncul ketika lahir negara Zionisme
Israel. Kalau ada negara Yahudi Zionis kenapa tidak ada negara Islam?
Maka sebenarnya itu barang baru. Dalam bahasa hadisnya ini
muhdasatil umur.
Kedua, kenapa Nabi Muhammad Saw tidak menyebut Negara
Madinah dengan sebutan Negara Islam? Memang kelihatannya ini persoalan
kecil. Tapi ketika agama dipakai sebagai label formil sebuah lembaga
kekuasaan, lebih-lebih yang namanya negara, yang terjadi agama yang
dilabelkan itu bukannya menginspirasi para penguasanya bertindak seagung
ajaran yang diambil sebagai label itu, justru memprovokasi penguasanya
untuk bertindak seolah dia wakil agama yang tidak dapat disalahkan.
Maka, hampir semua negara agama yang resmi menyebut dirinya negara
agama itu, lazimnya adalah negara dengan pemimpin otoriter absolut dan
tidak mau dikritik. Karena dia merasa sebagai personifikasi dari agama.
Inilah hikmahnya kenapa Nabi Muhammad tidak mengintrodusir sebutan
Negara Islam Madinah padahal tidak seorang pun bisa menghalangi itu
kalau beliau mau.
Ketiga, apakah Islam tidak punya konsep tentang negara?
Saya yakin dan seyakin-yakinnya Islam punya, karena negara adalah
sesuatu yang sangat
powerful di muka bumi setelah Tuhan. Maka kalau individu-individu dengan
power-nya
terbatas itu dibimbing ajaran moral, kenapa negara sebagai kekuatan
kemanusiaan kolektif tidak dibimbing ajaran moral yang luhur?
Konsep Islam tentang Negara
Persoalannya memang bukan sekadar kendali label tapi kendali moral.
Maka Islam juga punya konsep tentang negara. Ada dua yang pokok
Pertama,
negara harus bermuara kepada cita-cita keadilan dan keadilan, adalah
sebuah nilai moral yang inklusif, tidak memandang asal-usul, warna kulit
dll. Jangan sampai perasaan perkauman kita menodai komitmen kita untuk
menegakkan keadilan. Dalam bahasa orang pesantren keadaan itu ekspesi
dari sifat rahman Allah bukan rahim. Kepada siapapun apakah dia muslim
atau tidak, manusia atau binatang, semua mendapat rahmat Allah di dunia.
Orang beragama Islam tapi malas dan tidak jujur pasti gagal dan
dibenci orang. Tapi orang beragama apapun dia jujur bekerja keras, ulet,
santun, dia pasti dihormati orang. Itulah hukum rahman Allah. Baru
nanti rahim berbicara di akhirat berdasarkan preferennsi iman. Dunia ini
adalah ekspresi aktualisasi rahman Allah. Kita menjadi muslim kalau
tidak 100 %, 90 % karena kita terlahir dari keluarga muslim. Coba kita
lahir di Eropa, Amerika latin atau Afrika. Hampir bisa dipastikan kita
akan beragama lain. Jadi kita tidak bisa mendiskriminasi orang
berdasarkan keyakinan. Allah yang punya kuasa Inklusivitas Islam di
Indonesia sangat memadai untuk menjadi salahsatu kekuatan Indonesia
sebagai the Leader.
Kedua, prinsip yang digariskan Islam tentang negara kalau
keadilan adalah tujuannya, dalam sebuah ungkapan yang sering dikutip
juga oleh berbagai penceramah diikutip dari ibn Qayyim, ibn Taymiyah dan
Ibn Aqil mengatakan;
Allah akan meridhai negara yang adil meskipun kafir.
Mungkin kafir di sini naksudnya tidak menyebut diri sebagai negara
agama. Sebaliknya Allah bakal tidak sudi menolong negara yang zalim
meski ia menyebut diri sebagai negara Islam. Inilah rahman Allah untuk
kehidupan kita di dunia.
Prinsip yang digariskan Islam tentang negara adalah
manhaj-nya. Kalau tujuannya (
ghayah) adalah keadilan untuk semua (inklusif), maka wasilah/manhaj -nya adalah
wa amruhum syura bainahum (urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka) ‘Hum’- nya siapa? Semua
stakehodler.
Ini dua prinsip negara dalam Islam. Kita lihat dalam bangunan konsep
dan landasan filosofis kebernegaraan kita, Jelas sekali sila kelima
keadilan sosial sebagai ghayah-nya. Dan ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh
Hikmah kebijaksanaan dalam permusyawartan/ perwakilan’ ini adalah
manhaj-nya.
Jadi sangat luar biasa dari sudut konsep. Ada
‘…
syura bainahum’ (sila keempat), masih ditambah tiga sila; Persatuan Indonesia (ukhuwah wathaniyah), Kemanusian yang beradil dan beradab (
karramatul insan wal tukarrama bani adam)
dan Ketuhanan YME. Jadi sudah lebih dari yang dipersyaratkan. Memang
kita tidak menyebut pancasila dengan bahasa Arabistik. Sebagian saudara
kita mericek karena tidak dikemukakan dalam bahasa Islam.
Bapak dan ibu sekalian. Jadi tidak ada lagi alasan bagi umat Islam
untuk bersetengah hati dengan Republik ini. Tidak boleh lagi ada
keraguan Sikap ini harus dikikis agar tidak habis energi yang harusnya
kita kerahkan sepenuhnya untuk membangun negeri ini. Saya yakin negeri
ini memang diperuntukkan untuk umat Islam. Tuhan telah memberikan
negara-negara besar bagi umat agama lain.
Kalau ini bisa kita bulatkan dan ICMI menggerakkan itu, akan lebih
cepat kebangkitan negeri ini. Memang ada masalah-masalah yang kita
hadapi sekarang tapi tidak boleh membuat kita putus asa. Ini justru bisa
menjadikan kita stimulan untuk bekerja lebih keras dan membangun
komitmen yang lebih hebat lagi. Tentu saja bukan berarti syariat Islam
tidak dapat ditegakkan di sini. Ini penting bagi umat Islam agar kita
tidak ikut menambah rumitnya negara ini dengan menggugat hal-hal yang
sebetulnya bisa kita atasi. Negeri ini sudah sangat Islam. Tinggal
bagaimana kita secara formil konsep aktualisasi. Sekali lagi, kegagalan
ini salahsatu di antara kita yang masih setengah hati. Mudah-mudahan ke
depan kita akan sepenuh hati mendukung negeri ini menjadi
baldatun tayyibah warabun gafur.
Tausyah di Kediaman Wakil Utama Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat, Prof. Dr. M. Nuh (14/8/12).
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya