Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Selasa, 29 November 2011

Belajar Kesederhanaan dari Kiai Rasimin

Oleh: Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA

Kiai Ahmad Muhammad Rasimin tinggal di Kampung Jaha, empat kilometer selatan Anyer. Beliau memimpin pesantren salaf. Kehidupannya sangat sederhana. Rumahnya tidak lebih indah dari bilik-bilik para santri. Tak terlihat ada kendaraan bermotor di rumahnya, apalagi mobil.

Para santrinya tinggal di gubuk-gubuk bambu. Antara santri laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Para santri laki-laki mandi di kolam yang dialiri oleh sungai tadi, sedangkan para santri perempuan mandi di kamar mandi milik masjid kampung.

Beberapa tahun silam, saya diminta berkhotbah di masjid kampung itu. Setelah itu, kami makan siang di rumah Kiai Rasimin. Sebelum berkhotbah, saya diminta untuk berceramah selama 20 menit dengan menggunakan pengeras suara. Kemudian, saat berkhotbah, saya diminta untuk membaca teks khotbah yang hanya berbahasa Arab dan pengeras suara dimatikan. Teks khotbah kami baca kurang lebih lima menit, sesudah itu kami melaksanakan shalat Jumat.

Kiai Rasimin sangat tawadu. Suatu hari, beliau diminta oleh wali kota Cilegon untuk menunaikan ibadah haji karena belum berhaji. Waktu itu, biaya untuk beribadah haji sebesar tujuh juta rupiah. Namun, tawaran itu ditolak dengan alasan beliau belum wajib berhaji karena belum mampu.

Beliau memberikan solusi agar uang untuk berhaji itu digunakan untuk membangun jembatan yang menghubungkan antara kampung bagian timur dan barat. Sehingga, manfaatnya lebih besar dan pahalanya akan terus melimpah karena ekonomi kampung itu menjadi semarak. Sedangkan jika berhaji untuk beliau, pahalanya kecil. Saran itu pun diterima oleh wali kota Cilegon.

Ketika berkunjung ke Kampung Jaha beberapa waktu lalu, jembatan itu sudah lama dibangun. Dan, Kiai Rasimin masih tetap belum berhaji. Kami sungguh sangat mengagumi sikap dan perilaku Kiai Rasimin. Beliau lebih mendahulukan kepentingan umat daripada kepentingannya sendiri. Barangkali perilaku di negeri kita yang seperti Kiai Rasimin ini jarang dijumpai. Kebanyakan oknumoknum kiai di Indonesia justru bersikap sebaliknya, mereka merengekrengek kepada penguasa untuk dapat diberangkatkan ke Makkah.

Beberapa tahun lalu, saat diselenggarakannya Seminar Zakat di Padang, Sekretaris Dewan Fatwa Suriah, Prof Dr Ala al-Din al-Za'tari, menceritakan kehidupan seorang syekh. Suatu hari, syekh ini kedatangan tamu yang bermaksud meminta restu untuk berhaji yang kedua kali. Syekh memberikan saran agar biaya berhaji kedua itu digunakan untuk membantu anak yatim. Sang tamu pun menuruti nasihatnya.

Tahun berikutnya, sang tamu datang lagi, dan syekh memberikan saran agar keinginannya untuk berhaji yang kedua diberikan untuk membantu janda-janda miskin di kampungnya. Ia pun kembali ke kampungnya dan menyerahkan uangnya untuk janda-janda miskin, sebagaimana saran syekh.

Setahun kemudian, sang tamu datang lagi dan menyampaikan keinginan yang sama untuk berhaji. Lagi-lagi, syekh ini memberikan saran agar uangnya diberikan kepada orang fakir yang tak punya rumah di kampungnya. Karena menurut syekh, membantu orang yang membutuhkan (miskin), jauh lebih bermanfaat dibandingkan berhaji berulang-ulang.
Tulisan ini dimuat di Republika cetak dengan judul Kesederhanaan Kiai Rasimin

 (Sumber Tulisan: republika.co.id)

Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Jumat, 11 November 2011

Kisah Sahabat Nabi: Mu'adz bin Jabal, Pelita Ilmu dan Amal

Tatkala Rasulullah mengambil baiat dari orang-orang Anshar pada perjanjian Aqabah yang kedua, diantara para utusan yang terdiri atas 70 orang itu terdapat seorang anak muda dengan wajah berseri, pandangan menarik dan gigi putih berkilat serta memikat.  Perhatian dengan sikap dan ketenangannya. Dan jika bicara maka orang yang melihat akan tambah terpesona karenanya. Nah, itulah dia Mu'adz bin Jabal RA.

Dengan demikian, ia adalah seorang tokoh dari kalangan Anshar yang ikut baiat pada Perjanjian Aqabah kedua, hingga termasuk Ash-Shabiqul Awwalun—golongan yang pertama masuk Islam. Dan orang yang lebih dulu masuk Islam dengan keimanan serta keyakinannya seperti demikian, mustahil tidak akan turut bersama Rasulullah dalam setiap perjuangan.

Maka demikianlah halnya Mu'adz. Tetapi kelebihannya yang paling menonjol dan keitstimewaannnya yang utama ialah fiqih atau keahliannya dalam soal hukum. Keahliannya dalam fiqih dan ilmu pengetahuan ini mencapai taraf yang menyebabkannya berhak menerima pujian dari Rasulullah SAW dengan sabdanya: "Umatku yang paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu'adz bin Jabal."

Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu'adz hampir sama dengan Umar bin Khathab. Ketika Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, "Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu'adz?"

"Kitabullah," jawab Mu'adz.

"Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?", tanya Rasulullah pula.

"Saya putuskan dengan Sunnah Rasul."

"Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?"

"Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia," jawab Muadz.

Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah," sabda beliau.

Dan mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu'adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh Rasulullah sebagai "orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram".

Suatu hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar, A'idzullah bin Abdillah masuk masjid bersama beberapa orang sahabat. Maka ia pun duduk pada suatu majelis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih. Masing-masing menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah SAW.

Pada halaqah atau lingkaran itu ada seorang anak muda yang amat tampan, hitam manis warna kulitnya, bersih, baik tutur katanya dan termuda usianya di antara mereka. Jika pada mereka terdapat keraguan tentang suatu hadits, mereka tanyakan kepada anak muda itu yang segera memberikan fatwanya.

"Dan ia tak berbicara kecuali bila diminta. Dan tatkala majelis itu berakhir, saya dekati anak muda itu dan saya tanyakan siapa namanya, ia menjawab, saya adalah Mu'adz bin Jabal," tutur A'idzullah.

Shahar bin Hausyab tidak ketinggalan memberikan ulasan, katanya, "Bila para sahabat berbicara, sedang di antara mereka hadir Mu'adz bin Jabal, tentulah mereka akan sama-sama meminta pendapatnya karena kewibawaannya."

Dan Amirul Mukminin Umar bin Khatab RA sendiri sering meminta pendapat dan buah pikirannya. Bahkan dalam salah satu peristiwa di mana ia memanfaatkan pendapat dan keahliannya dalam hukum, Umar pernah berkata, "Kalau tidaklah berkat Mu'adz bin Jabal, akan celakalah Umar!"

Ia seorang pendiam, tak hendak bicara kecuali atas permintaan hadirin. Dan jika mereka berbeda pendapat dalam suatu hal, mereka pulangkan kepada Mu'adz untuk memutuskannya. Maka jika ia telah buka suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan oleh salah seorang yang mengenalnya: "Seolah-olah dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara."

Dan kedudukan yang tinggi di bidang pengetahuan ini, serta penghormatan kaum Muslimin kepadanya, baik selagi Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, dicapai Mu'adz sewaktu ia masih muda. Ia meninggal dunia di masa pemerintahan Umar, sedang usianya belum 33 tahun!

Mu'adz adalah seorang yang murah tangan, lapang hati dan tinggi budi. Tidak sesuatu pun yang diminta kepadanya, kecuali akan diberinya secara berlimpah dan dengan hati yang ikhlas. Sungguh kemurahan Mu'adz telah menghabiskan semua hartanya.

Ketika Rasulullah SAW wafat, Mu'adz masih berada di Yaman, yakni semenjak ia dikirim Nabi ke sana untuk membimbing kaum Muslimin dan mengajari mereka tentang seluk-seluk Agama.

Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu'adz kembali ke Yaman. Umar tahu bahwa Mu'adz telah menjadi seorang yang kaya raya, maka ia mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar kekayaan Mu'adz itu dibagi dua. Tanpa menunggu jawaban Abu Bakar, Umar segera pergi ke rumah Mu'adz dan mengemukakan masalah tersebut.

Mu'adz adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati. Dan seandainya sekarang ia telah menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak pernah diperolehnya dengan berbuat dosa. Bahkan juga tak hendak menerima barang yang syubhat.

Oleh sebab itu, usul Umar ditolaknya dan alasan yang dikemukakannya dipatahkannya dengan alasan pula. Umar berpaling meninggalkannya. Pagi-pagi keesokan harinya Mu'adz pergi ke rumah Umar. Ketika sampai di sana, Mu'adz merangkul dan memeluk Umar, sementara air mata mengalir mendahului kata-katanya. "Malam tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang, hai Umar, dan menyelamatkan saya!"

Kemudian bersama-sama mereka datang kepada Abu Bakar, dan Mu'adz meminta kepada khalifah untuk mengambil seperdua hartanya. "Tidak satu pun yang akan kuambil darimu," ujar Abu Bakar.

"Sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang baik," kata Umar menghadapkan pembicaraannya kepada Mu'adz.

Andai diketahuinya bahwa Mu'adz memperoleh harta itu dari jalan yang tidak sah, maka tidak satu dirham pun Abu Bakar yang saleh itu akan menyisakan baginya. Namun Umar tidak pula berbuat salah dengan melemparkan tuduhan atau menaruh dugaan yang bukan-bukan terhadap Mu'adz.

Hanya saja masa itu adalah masa gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak ubah bagi burung yang terbang berputar-putar, ada yang berlari cepat, dan ada pula yang berlari lambat, namun semua berada dalam kafilah yang sama menuju kepada kebaikan.

Mu'adz pindah ke Syria (Suriah), di mana ia tinggal bersama penduduk dan orang yang berkunjung ke sana sebagi guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu Ubaidah bin Jarrah—amir atau gubernur militer di sana serta shahabat karib Mu'adz—meninggal dunia, ia diangkat oleh Amirul Mukminin Umar sebagai penggantinya di Syria.

Tetapi hanya beberapa bulan saja ia memegang jabatan itu, Mu'adz dipanggil Allah untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk dan menyerahkan diri.

Pada suatu hari Rasulullah SAW bersabda, "Hai Mu'adz! Demi Allah, aku sungguh sayang kepadamu. Maka jangan lupa setiap habis shalat mengucapkan: 'Ya Allah, bantulah aku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadat dengan ikhlas kepada-Mu."

Mu'adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya secara tepat.

Pada suatu pagi Rasulullah bertemu dengan Mu'adz, maka beliau bertanya, "Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu'adz?"

"Di pagi hari ini aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah," jawabnya.

"Setiap kebenaran ada hakikatnya," kata Nabi pula, "maka apakah hakikat keimananmu?"

"Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi. Dan tiada satu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi dengan langkah lainnya. Dan seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh berlutut, dipanggil melihat buku catatannya. Dan seolah-olah kusaksikan penduduk surga menikmati kesenangan surga. Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam neraka."

Maka sabda Rasulullah SAW, "Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang teguhlah jangan dilepaskan!"

Menjelang akhir hayatnya, Mu'adz berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan, tetapi hanyalah untuk menutup haus di kala panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan dan ketaatan."

Lalu diulurkanlah tangannya seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya ke alam gaib, ia masih sempat berujar, "Selamat datang wahai maut. Kekasih tiba di saat diperlukan..." Dan nyawa Mu'adz pun melayanglah menghadap Allah.
 
(Sumber republika.co.id)

Minggu, 06 November 2011

Hermeneutika Haji dan Kurban

Oleh: Sulaiman Ibrahim
Ibadah haji merupakan gladi resik atau latihan untuk kembali kepada Allah. Haji adalah latihan kematian karena meninggalkan tanah air, meninggalkan keluarga, meninggalkan tetangga, dengan niat yang satu, yaitu ingin memenuhi undangan Allah Swt. Simbolisme haji ditandai oleh kesediaan seseorang untuk berkurban. Bentuk simbolis itu diwujudkan dengan menyembelih seekor binatang kurban yang dagingnya dibagikan dan disedekahkan kepada orang-orang miskin. Penyembelihan binatang kurban secara simbolik melambangkan kesungguhan hati manusia untuk menyembelih nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri, karena kalau nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia tidak disembelih dan dikorbankan, maka akibatnya akan merusak, baik merusak dirinya sendiri maupun akan merusak orang lain yang ada disekitarnya.
Ibadah haji yang sedang dilaksanakan umat Islam saat ini juga suatu bimbingan moral dan etika Islam bagi orang-orang beriman. Ibadah haji suatu institusi keimanan, untuk kita memperbaiki keadaan diri kita, yang juga berarti demi kebaikan masyarakat Islam agar tidak terperangkap dalam budaya tanpa norma (anomik)
Pakaian ihram mengajarkan kepada kita bahwa nilai kehidupan ini hendaknya semata-mata diukur dan bertujuan kepada Allah, bukan untuk berbagai atribut jabatan, kepopuleran, kebanggaan dan perhiasan dunia. Wuquf di Padang Arafah melambangkan agar kita merenungi diri untuk apa kita hidup dan kemana kita akan pergi setelah kematian. Dengan demikian, kita tidak akan cinta terhadap dunia secara berlebihan karena telah menyadari bahwa kita diciptakan oleh Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Melempar jumrah akan mendidik kita bermental anti dosa, anti setan dan begundalnya, serta membuang segala prilaku buruk yang pernah kita lakukan, tidak mudah terpegaruh oleh tipu daya duniawi yang menyesatkan. Dari sini akan terbina sifat ikhlas, jujur, dan suka kepada kebaikan. Begitupun thawaf, akan membimbing kita agar segala usaha dan upaya kita, segala langkah dan perbuatan dalam hidup kita adalah dalam rangka mengabdi kepada Allah, sebagai jaminan harkat diri kita kelak di hadapan-Nya.
Ibadah haji adalah refleksi aqidah yang telah teruji kemampuannya atau suatu komitmen pengabdian diri kepada Allah, bukan rekreasi ritual atau sekedar mencari keamanan semu di hadapan Allah. Ibadah ini mengandung pengertian yang dalam dan suci. Karena itu, mabrur tidaknya seseorang dalam melaksanakan ibadah haji akan diuji prilakunya dalam usaha kemaslahatan umat.
Dalam hal ini, semangat berkurban dengan menyembelih nafsu kebinatangan, menjadi suatu yang amat penting untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara menuju masa depan yang lebih baik. Karena hanya dengan kesediaan mengorbankan egoisme kekuasaan, kepentingan kelompok, partai, dan fanatisme kesukuan dan keagamaan, maka pluralisme dalam berbagai aspeknya, baik dalam segi sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, maupun agama, akan dapat terjaga dan akan memperkaya kehidupan spritualitas bangsa. Semoga Idul Adha tahun ini memberikan kita pencerahan menuju masa depan yang lebih baik. Selamat Hari Raya Idul Adha 1432 H.[]


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Sabtu, 05 November 2011

PLURALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Oleh: Sulaiman Ibrahim
Salah satu fakta yang tidak dapat kita pungkiri dalam kehidupan sosial adalah adanya keragaman agama yang dipeluk oleh masyarakat. Keragaman itu disatu sisi memang memperkaya dan menjadikan kehidupan sosial masyarakat penuh dinamika, namun disii lain ternyata keragaman ini membawa potensi konflik yang cukup serius, yakni konflik antar umat beragama. Orang mejadi tega membunuh, menyakiti bahkan memperkosa hanya karena alasan beda agama. Kasus di Ambon menjadi contoh yang baik bagi kita bagimana agama ternyata tidak hanya menjadi pengkontrol moral dan mengarahkan manusia menjadi lebih beradab, tetapi agama dapat dengan mudah dimanipulasi sedemikian rupa untuk menjustifikasi kekerasan atas nama klaim kebenaran agama. Suatu kelompok merasa bahwa hanya dirinyalah yang paling benar sedangkan yang lain salah, tersesat ahli bid’ah dan seterusnya yang membuat mereka mengahalalkan perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi terhadap kelompok lain. Hal ini memang nampaknya menjadi sebuah paradoks dari kehadiran agama didunia ini, tidak ada satu agama pun yang mengajarkan dan menganjurkan dehumanisasi tetapi mengapa banyak kekerasan justru disebabkan karena agama atau lebih tepatnya agama ketika berhadapan dengan pruralitas keberagamaan masyarakat.
Bagaiman pruralitas ini dalam pandangan Islam ?. Dalam Al qur’an disebutkan bahwa Allah telah menciptaan manusia dengan beragam suku dan bangsa supaya dapat saling mengenal (wahai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal QS. Al Hujurat ayat 12), dan salah satu keragaman tersebut adalah keragaman umat beragama ( bagi tiap umat di antara kai, Kami (Allah) telah buatkan peraturan dan jalan, kalau sekiranya tuhan menghendaki maka tentu kami menjadikannya umat yang tunggalm tetapi Dia hendak menguji kamu berkenaan dengan hal-hal yang diberikan kepadamu QS. Al maidah ayat 48) jadi dapat dikatan bahwa walaupun asalnya manusia itu dulunya bersatu ( manusia dahulu adalah umat yang satu kemudian mereka saling berselisih pendapat QS. Yunus ayat 19) tetapi tuhan dengan kebijaksanannya sengaja membuatnya beraga dengan hikmah-hikmah terterntu. . Maka dapat dikatakan bahwa keragaman ini merupakan merupakan salah satu dari sunnatullah yang tetap dan tidak berubah-ubah (Tidakkah mereka memperhatikan sunnah pada orang-orang terdahulu ? maka engkau tidak akan menemukan dalam sunnatullah suatu perubahan, dan engkau tidak kan menemkan dalam sunnatullah suatu peralihan QS. Ayat fathir 43). Karena sifatnya yang prinsipil ini maka tugas kita bukanlah untuk menyatukan keragaman tersebut, tetapi bagaimana menyikapinya dengan tindakan-tindakan positif.
Masalahnya adalah manusia cenderung membanggakan apa yang ia yakini dan percayai sebagai yang paling baik. Hal ini disinggung oleh Allah dalam surat ayat (dan tiap-tiap mereka merasa bangga terhadap apa yang mereka yakini). Diayat lain Allah mencontohan sikap bangga dan saling menafikan tersebut dalam klaim agama Yahudi atas orang Nasrani dan sebaliknya, klaim yang sebenarnya sangat potensial sekali dimiliki oleh setiap kaum beragama apapun (Dan orang-orang yahudi berkata orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai pegangan dan orang-orang Nasrani mengatakan bahwa orang-orang Yahudi tidak mempunyai pegangan , padahal mereka sama-sama memilki pegangan (kitab) demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui mengatakan seperti ucapan mereka (kaum yahudi dan nasrani) itu QS. Al Baqoroh ayat 113).
Sebagai agama yang secara prinsipil menyatakan diri sebagai bagian integral dari agama-agama sebelumnya (Sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya dan (sebagaimana) telah kami wahyukan keada Ibrahim, ismail, ishaq, ya’qub dan anak cucunya, serta kepada isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman, QS. Al Baqoroh ayat 163). Islam memberikan beberapa prinsip dasar dalam menyikapi dan memahami pruralisme ini. Pertama prinsip keberagamaan yang lapang (Al Hanifiyah Al Samhah /inklusfisme relatif). Salah satu masaah yang serius dalam menyikapi keberagamaan adalah masalah klaim kebenaran. Islam sangat tidak membenarkan adanya kefantikan buta yang membelenggu umat islam dalam mencari kebenaran dan terlepas dari ikatan ketuhanan ( Dan janganah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pandangan, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya QS. Al Isra’ ayat 17). Padahal untuk mencapai kepasrahan yang tulus kepada tuhan (makna generik dari kata islam) diperlukan suatu pemahaman yang sadar dan bukan hanya ikut-ikutan. Oleh sebab itu sikap kelapangan dalam mencapai kebenaran ini bisa dikatakan sebagai makna terdalam keislaman itu sendiri. Diceritakan dalam hadist nabi bersabda kepada sahabat Utsman bin Mazhun “ Dan sesungguhnya sebaik-baik agama disisi Allah adalah semangat pencarian kebenaran yang lapang (Al Hanifiyah Al Samhah) “. Dengan memiliki sikap inklusif ini kita juga akan dapat menghargai pruralitas keberagaman dengan elegan, kita tidak jatuh pada kalim-klaim kebenaran yang sebenanya merupakan kesombongan intelektual kita dihadapan manusia yang kita anggap tidak mampu mencapai kebenaran dari tuhan.
Prinsip kedua adalah keadilan yang obyektif. Kata keadilan banyak sekali disebutan oleh Allah dalam Al Qur’an sebagai sikap yang harus dimiliki oleh umat islam. Dalam konteks pruralisme, Keadilan mencakup pandangan maupun tindakan kita terhadap pemeluk agama lain. Seringkali kita membuat generalisasi terhadap suatu pemeluk agama, hanya karena kita melihat dan menyaksikan bebrapa orang melukaksn hal-hal yang tidak pantas kemudian kita menggeneralisasikan dan menyimpulkan bahwa semua pemeluk agama tersebut berbuat demikian. Padahal Allah sendiri menyaakan bahwa mereka (pemeluk agama lain) sama seperti kita ada yang shaleh ada juga tidak, ada yang ahli ibadah ada juga yang ahli bid’ah (Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harta yang sedikit mereka memperoleh pahala disisi tuhannya QS. Ali imran ayat 199).
Kedangkalan dalam tindakan seringkali kita karena tidak suka dan mengangap orang lain sebagai bukan bagian dari kelompok kita (outsider) maka kita bisa berbuat tidak adil terhadap mereka dalam memutuskan hukum, interkasi sosial maupun hal-hal lain. Seperti meniadakan kesempatan bagi mereka untuk duduk pemerintahan di negara Indonesia yang jelas-jelas dibangun secara bersama-sama. Islam mengajarkan bahwa kita harus menegakkan keadilan dalam sikap dan pandangan ini dengan obyektif terlepas dari rasa suka atau tidak suka (like and dislike) dan tentunya terbebas dari kepentingan untuk membela kelompok kita sendiri (hai rag-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kbencianmu pada suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena adil itu lebih dekat kepada taqwa QS. Al Maidah ayat 8 )
Prinsip ketiga adalah menjauhi kekerasan dalam berinteraksi dengan pemeluk agama lain termasuk ketika melakukan dakwah. Dalam islam kekerasan hanya ditolerir ketika kita harus mengahadapi kemungkaran atau didlolimi terlebih dahulu ituun harus dengan pertimbangan bahwa hanya jalan inilah yang dapt kita lakukan untuk menghilangkan kemungkaran dan kedloliman tersebut, tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin menggunakan (kekerasan baik fisik maupun psikologis) untuk berdakwah dan memaksa pemeluk agama lain untuk masuk agama islam. Hal ini sebagaimana firman Allah ( Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat QS. Al Baqoroh ayat 256). Oleh sebab itu dalam berdawah kita harus mengutamakan dialog, kebijaksanaan dan cara รข€” cara argumentatif lainnya (interfaith dialogue). Firman Allah ( Serah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan jalan bijaksana dan pelajaran yang baik dan bantahlahlah mereka dengan lebih baik QS. An Nahl ayat 125). Ada beberapa point penting yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin dalam dialog ini pertama bahwa tiap agama mempunyai logikanya sendiri dalm memahami tuhan dan firmannya, kedua bahwa dialog bukanlah dimaksudkan untuk saling menyerang tetapi adalah upaya untuk mencapai kesepahaman, dan mempertahankan keyakinan kita (tentunya dalam kerangka al hanifiyah al samhah sebagimana diatas) ( Katakanlah olehmu (wahai Muhammad) ‘ wahai Ahli kitab marilah menuju ketitik pertemuan antara kami dan kamu QS. Ali Imran ayat 64).
Prinsip keempat adalah menjadikan keragaman agama (religious pruralism) tersebut sebagai kompetisi positif dalam kebaikan ( fastabiqul khairat). Salah satu hikmah diciptakannya manusia berbeda-beda disamping supaya bisa saling mengenal adalah agar keragaman tersebut memacu manusia untuk saling bersaing, memacu diri menjadi yang terbaik diantara umat-umat agama lain dalam hal berbuat kebajikan. ( Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya yang mereka menghadap kepadanya, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan QS. Al Baqarah ayat 148). Dalam kerangka inilah seharusnya hubungan antar agama diletakkan , konsekwensinya ketika ada pemeluk agama lain berbuat amal sosial dengan semisal melakukan advokasi terhadap masyrakat tertindas seperti kaum buruh, pelecehan seksual dan sebagainya maka kita tidak boleh begitu mencurigainya sebagai gerakan pemurtadan atau bahkan berusaha menggagalkannya tetapi hal tersebut haruslah menjadi pemacu bagi kita kaum muslimin untuk berusaha menjadi lebih baik dari mereka dalam hal amal sosial.
Kalau keempat prinsip ini bisa kita pegang Insya Allah akan tercipta hubungan yang lebih harrmonis antar umat beragama, hubungan yang dilandasi oleh sikap saling menghargai, menghormati dan saling membantu dalam kehidupan sosial. Sehingga kehadiran agama (khususnya islam) tidak lagi menjadi momok bagi kemanusiaan tetapi malah menjadi rahmat bagi keberadaan tidak hanya manusia tetapi sekaligus alam semsta ini. ( Wallahu A’lam Bishawab).


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya