Oleh: Sulaiman Ibrahim
Wacana kontemporer mengenai peran
politik Islam dan aplikasinya sangat dipengaruhi oleh Barat, yang secara umum berupa
reaksi positif dan negatif terhadap cara hidup. Saat ini umat Islam dihadapkan
pada keunggulan teknologi, militer, ekonomi dan penaruh kebudayaan Barat yang
deras, sehingga membuat umat Islam merasa dipaksa untuk memfokuskan diri pada
tantangan modernitas dalam berbagai dimensinya. Sebagai akibatnya, kebutuhan
untuk menilik dan mendifinisi ulang posisi Islam telah menjadi sesuatu yang
mendesak. Dan perbincangan berkaitaan dengan masalah itu telah menimbulkan dua
arus utama pemikiran politik di antara para ulama ahli fiqih dari kalangan
intelektual.[1]
Tantangan terbesar yang dihadapi
banyak masyarakat muslim dewasa ini adalah tantangan perubahan. Bagaimana
seseorang mendamaikan ajaran-ajaran keyakinannya dengan modernitas, pluralitas,
perubahan zaman dan lingkungan.
Seringkali Islam dianggap sebagai
cara hidup dan sumber jalan keluar dari segala penyakit dan ketidakadilan yang
menimpa masyarakat. Tampaknya, orang-orang yang berpaling kembali kepada Islam
itu tidak becus mengatasi tantangan besar yang dimunculkan dan tidak berdaya
untuk membuktikan bahwa mereka mampu berkuasa dan membawa perubahan, menurut
jalan Islam.[2]
Agenda Islam di banyak negara
muslim juga dinominasi oleh wacana kelompok-kelompok Islam yang menuntut
pendirian negara Islam dan penerapan syari’ah. Dalam pandangan dunia kelompok
ini terdapat sedikit ruang bagi pendapat-pendapat yang berbeda, bahkan ruang
itu juga begitu sempit untuk menampung kelompok-kelompok Islam progresif yang
ingin melakukan perubahan dari dalam tubuh agama itu sendiri.[3]
Pencarian
konsep tentang negara oleh para ulama
politik mengandung dua maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara
(menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu mencoba menjawab pertanyaan, ”bagaimana
bentuk negara dalam Islam”. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa Islam memiliki Konsep tertentu tentang negara. Kedua,
untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses
penyelenggaraan negara (menekankan aspek praksis dan substansial), yakni
mencoba menjawab “Bagaimana Isi Negara Menurut Islam”. Pendekatan ini
didasarkan pada anggapan bahwa Islam
tidak membawa konsep tertentu tentang
negara, tetapi hanya menawarkan prinsif-prinsif dasar berupa etika dan moral.
Bentuk negara yang ada pada suatu
masyarakat Muslim dapat diterima sejauh
tidak menyimpang dari nilai-nilai dasar tadi.
Kendati kedua
maksud tersebut berbeda dalam pendekatan, namun keduanya mempunyai tujuan yang sama, yakni menemukan rekonsiliasi
antara idealitas agama dan realitas politik. Realitas antara cita-cita
agama dan realitas politik menjadi tugas utama
pemikiran politik Islam. Hal ini merupakan tuntutan, karena hubungan
antara agama dan politik pada giliran berikutnya antara agama dan negara dalam kenyataan
sejarah sering menampilkan fenomena kesenjangan dan pertentangan. Fenomena ini
bersumber pada dua sebab yaitu (a). Adanya perbedaan konseptual antara “ agama”
dan “Politik” yang menimbulkan kesukaran pemanduan dalam praktek; (b). Adanya
penyimpangan praktek politik dari etika dan moralitas agama. Solusi yang
ditawarkan para ulama politik, baik pada masa klasik maupun masa modern
terhadap kesenjangan hubungan agama dan negara tersebut sangat beragam, sejalan
dengan keragaman setting sosio-kultural dan politik yang mereka hadapi. Karenanya,
konsepsi pemikir Islam tentang negara tidak luput dari dimensi kultural dan
dimensi politik.
Malaka/Malaysia adalah salah satu
wilayah negara yang memegang peranan strategis dalam pengembangan Islam di Asia
Tenggara. Munculnya Islam di Malaysia berkat atas jasa para pedagang yang
mempunyai semangat yang tinggi dalam menyiarkan Islam dari negeri Arab melalui
Malaka.[4]
Secara historis, Islam telah
menjadi bagian dari negara-negara (pality) tradisional Melayu. Sejak
zaman kesultanan Malaka peran Islam sejak itu sudah menjadi hal yang tidak bisa
diganggu gugat, secara politik peran Islam bahkan lebih penting lagi Islam
telah menjadi faktor penyatu bagi orang-orang Melayu. Evolusi politik
negara-negara Melayu tradisional tergantung pada Islam sebagai wahana penting
bagi perubahan sosial dan stabilitas.[5]
Hanya sedikit negeri Muslim di dunia telah melangkah begitu jauh seperti Malaysia
dalam upayanya memanfaatkan kekuasaan negara untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan al-Qur'an dan Hadis dalam kehidupan kaum muslim.
Malaysia menyuguhkan
suau pengalaman islami yang unik. Malaysia adalah sebuah masyarakat
multi etnik dan multi agama tempat bangsa Melayu merupakan 45 persen dari
seluruh penduduknya, namun mempeunyai kekuatan politik dan budaya yang dominan.
Sisanya terdiri dari berbagai kelompok etnik dan keagamaan, dan yang terbesar
adalah etnik Cina (35 persen) dan India (10 persen). Islam dan
identitas Nasional serta politik Melayu telah lama saling berlindan, seperti tercermin dalam
keyakinan umum bahwa orang Melayu mestilah beragama Islam.[6]
Suatu ciri khas dalam
perkembangan politik Malaysia
adalah peran Islam dalam politik Melayu. Malaysia merupakan federasi
negara-negara bagian, sebuah pemerintahan yang secara resmi bersifat
pluralistis dengan Islam sebagai agama yang resmi, dan Islam serta kaum muslim
menikmati kedudukan istimewa. Meskipun partisipasi partai-partai Islam dalam
pemilihan umum dan kiprah mereka sebagai oposisi yang sah merupakan fenomena
yang relatif baru dikebanyakan di negeri Muslim. Selama bertahun-tahun
partai-partai politik itu telah bersaing dengan partai pemerintah UMNO, juga
bersaing satu sama lain dalam proses politik. Kebalikan dengan beberapa sistem
poltik di Timur Tengah yang tidak mengizinkan partai-partai politik Islam dan
beberapa gerakan Islam kemudian melakukan perlawanan dengan tindak kekerasan.
Dalam sistem Malaysia
terdapat sebuah partai penguasa yang
dominan yang mengakui keberadaan dan partisipasi politik dan kelompok-kelompok
Islam yang berperan sebagai pihak oposisi nonkekerasan. Pengakuan dan integrasi
kelompok-kelompok kebangkitan Islam dalam proses demokrasi yang tengah
berkembang ini terlihat tidak hanya melalui kemampuan mereka untuk beroperasi
di dalam sistem, tetapi juga lewat manuver seorang aktivis Islam yang kharismatik,
yaitu Anwar Ibrahim, dari posisinya sebagai pihak oposisi hingga menjadi pihak
pemerintah pada tahun 1980-an, dan bahkan pada tahun 1994 dia telah menjadi
menteri keuangan dan deputi perdana menteri.[7]
Pertumbuhan dan perkembangan
Islam ditunjang dengan munculnya berbagai institusi sosial Islam yang berperan
aktif dalam menyebarluaskan kesadaran beragama di Malaysia.[8]
UMNO (United Malays Nasional Organization) sekalipun partai ini berbasis
nasional namun perhatiannya terhadap Islam sangat besar, apalagi partai yang
berbasiskan Islam seperti PAS (Partai Islam Se-Malaysia), ABIM (Angkatan
Belia Islam Malaysia), PKPIM (Perhimpunan Kebangsaan Pelajar Islam
Malaysia) dan berbagai organisasi Islam yang muncul pada tahun 1980-an,
misalnya berbagai Perguruan Tinggi di Malaysia yang sangat konsisten dalam
ajaran Islam yang berpengaruh besar di kalangan generasi muda sebagai pertanda
kebangkitan Islam di Malaysia, yang dapat memberikan pengaruh terhadap
pranata-pranata sosial dalam masyarakat.
[1] Ahmed Vaezi, Agama Politik; Nalar politik Islam,
terj dari Syi’ah Political Thought oleh Ali Syahab, (Jakarta: Citra 2006), h. 1. Sebelum kita
membahas lebih jauh mengenai Paradigma Hubungan dan negara, Makna Politik Islam
adalah sebagai berikut: Politik ialah cara dan upaya
menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan
kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan
manusia.dengan demikian maka dapat kita katakan bahwa makna Politik
Islam ialah aktivitas Politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai
acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok.
Lihat Salim Ali al-Bahnasawi, Wawasan
Sistem Politik Islam, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1999), Cet. I. h. 32
[2]Ulil Abshar Abdallah (ed.) Islam dan Barat, Demokrasi dalam
Masyarakat Islam, dalam Zainah Anwar “Berebut Paling Saleh; Islam dan
Politik di Malaysia”, (Jakarta:
Penerbit Paramadina, 2002), h. 80
[3]Hal
ini dilakukan setelah melalui penafsiran kembali dan progresif terhadap
al-Qur’an, penilaian kembali teks-teks eksigesis dan hukum dari para sarjana
muslim klasik, dan pemikiran ulang tentang bagaimana prinsip-prinsip keadilan,
kesetaraan, kebebasan, dan kebijaksanaan dalam Islam dapat diperapkan dalam
masyarakat kontemporer. Lihat Ulil Abshar Abdallah (ed.) Islam
dan Barat, Demokrasi dalam Masyarakat Islam, h. 80
[4]Marshall GS. Hodson, The Venturl of Islam, (Chicagho:
University of Chicago Press, 1997), vol II, h. 548.
[5]Omar Faroek, “Pemikiran Sosial dan Kebangkitan Islam di
Malaysia” dalam Syaiful Manani Islam di Asia Tenggara (Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1993), h.
281-282. Kalau
kita surut memperhatikan sumbangan-sumbangan dan artikukasi para penulis Islam
pada teori Islam, kebanyakan karya kontemporer
yang ditulis oleh para teoritisi muslim berbentuk “Doktrin Politik” bukannya teori politik atau falsafah politik,
sehingga ada kesenjangan kelompok-kelompok Islam yang berkembang saat ini ingin mengarahkan wacana pemahaman
ke-Islamannya kepada pendekatan doktrin politik Islam dengan implikasi realitas adalah lahirnya
Islam radikal terus menerus dalam
fragmentasi politk aktual/Islam radikal. Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik
Islam State
diterjemahkan dari, State Politic, and Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 15
[6] John L. Esposito
dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, Problem dan Prospek,
diterjemahkan dari Islam and Democracy oleh Rahmani Astuti, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1999), cet I, h. 165
[7]John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim,
Problem dan Prospek, h. 166
[8]
Selanjutnya lihat Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia,
Sejarah dan Aliran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 274-278
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya