Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Lutfi Fathullah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lutfi Fathullah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 Desember 2014

KAJIAN HADIS DI INDONESIA



Oleh:  SULAIMAN IBRAHIM
 
 
I. Pendahuluan

Di samping Al-Qur’an, hadis juga merupakan sumber hukum Islam. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an.[1] Kedudukan hadis sebagai sebagai salah satu sumber hukum Islam telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam.
Amat banyak kasus-kasus hukum yang bersumber dari hadis, karena sebagaimana dipahami bahwa salah satu fungsi hadis adalah penjelas (bayān) atas Al-Qur’an, maka tentu saja untuk kasus-kasus tertentu yang penjelasan tentangnya dalam Al-Qur’an bersifat global, dapat ditemukan rinciannya dalam hadis. Hal ini tidak dapat dipungkiri, misalnya Al-Qur’an menjelaskan shalat, puasa, dan zakat, maka untuk mengetahui cara shalat dan dimensi hukumnya, juga puasa dan zakat semuanya dapat diketahui melalui hadis. Dengan demikian, hadis memiliki fungsi yang sangat strategis dalam menjelaskan kandungan Al-Qur’an.
Secara tegas dikatakan dalam Al-Qur’an bahwa Nabi saw (yang identik dengan hadisnya) diberi kewenangan dalam menjabarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya. Dimaklumi bahwa Nabi saw sebagai pemimpin masyarakat muslim, atau lebih tegas bahwa Nabi saw sebagai kepala pemerintahan, berkewajiban menerapkan hukum-hukum Tuhan, tidak hanya dalam lingkungan masyarakat muslim tetapi juga dalam masyarakat non muslim yang berada dalam lingkungan kekuasaannya.
Lebih lanjut menurut Yusuf al-Qardhawi minimal tiga fungsi hadis terhadap Al-Qur’an dalam masalah hukum yakni; (1) memperkuat hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, baik yang global maupun yang detail; (2) menjelaskan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, yakni men-qayyid-kan yang mutlaq, men-tafshil-kan yang mujmal, dan men-takhsis-kan yang ‘am; (3) menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh Al-Qur’an. Untuk fungsi yang terakhir ini, ulama berbeda pendapat.[2]
Berdasar pada uraian-uraian di atas, maka dipahami bahwa Al-Qur’an dan hadis adalah sumber hukum yang integral, tidak mungkin seorang muslim memahami hukum atau ajaran Islam hanya merujuk kepada Al-Qur’an semata tanpa melirik hadis.

A. Metode Kajian Hadis di Indonesia

II. Pembahasan

            Dalam beberapa literatur hadis yang berbahasa Indonesia, metode kajian hadis yang dilakukan oleh Kiai, Ulama, Cendekiawan maupun dunia Akademisi tidak ada perbedaan yang dilakukan oleh ulama-ulama yang ada di Timur Tengah saat ini. Walaupun ada, itupun hanya karena faktor keterbatasan bahasa dan literatur yang dimiliki. Karena ulama yang ada di Indonesia, sebagian besar pendidikannya juga berasal dari Timur Tengah, seperti Mesir, Yordan, Sudan, Syiria dan Arab Saudi. Memang diakui, walaupun mayoritas masyarakatnya beragama Islam, Indonesia tidak bisa dijadikan tolok ukur sebagai pusat ilmu atau kajian agama, apalagi ilmu mengenai al-Qur’an dan hadis. Sebagian besar kitab-kitab hadis yang ada di Indonesia hanya sebatas buku dakwah atau salinan hadis-hadis tertentu dan untuk masalah tertentu. Hal ini dimungkinkan, karena disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.

1. Hadis-hadis Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin, keutamaan Bulan   Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.

Buku ini ditulis oleh al-Ustadz Ahmad Lutfi Fathullah, yang merupakan suntingan dari disertasi Doktor beliau di Universitas Kebangsan Malaysia (UKM). Secara keseluruhan, buku ini menfokuskan pada studi sanad hadis dan mentakhrijnya serta menghukum status hadis-hadis tersebut sesuai dengan metode ahli hadis, seperti: bersambungnya sanad, parawinya adil, dhabit, tidak Syudzudz, dan tidak illat. Dalam buku tersebut sebagian besar hadis dihukumi dengan maudhu’ (palsu).
Memang beliau diakui keseriusan dan ketelitiannya dalam menulis disertasi tersebut. Tetapi menurut penulis, tidak disentuhnya matan hadis dalam kajian kitab Durratun Nashihin menyebabkan kurang komplitnya pembahasan hadis-hadis tersebut. Karena ada juga hadis yang dihukumi shahih tapi tidak adanya penjelasan menyebabkan kesimpangsiuran dalam memahami hadis tersebut. Dan ini menurut orang “awam” menjadi kelemahan suatu hadis bila hanya didekati dengan kritik sanad, Seperti dalam hadis:  لا فرع  ولاعتيرة    hadis ini dihukumi dengan hadis Shahih karena diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim,[3] tetapi tidak adanya penjelasan matan hadis sehingga kurang menyentuh dalam pemahaman pada masyarakat awam.

2. Studi Kritis Hadis Nabi Saw, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual
Buku di atas ditulis oleh Syaikh Muhammad al-Ghazali yang diterjemahkan dari kitab al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits. Berbeda dengan pembahasan sebelumnya, kitab ini justru memfokuskan pada matan hadis, sehingga terkesan ada penyampingan terhadap sanad. Muhammad al-Ghazali dalam buku tersebut banyak mengkritik hadis-hadis yang dianggap shahih tapi bertentangan dengan realitas maka dia anggap hadis tersebut “tidak” relevan. Dan Muhammad al-Ghazali menyatakan dengan tegas bahwa hadis kalau bertentangan dengan al-Qur’an harus ditolak,[4] sebagaimana Aisyah R.a. menolak hadis yang disampaikan oleh Abu Huraerah bahwa Nabi bersabda “Sesungguhnya orang mati disiksa karena tangisan keluarganya”. Dan masih banyak contoh lain yang bisa dibaca dalam kitab tersebut.

3. Koleksi hadits-hadits Hukum karya Tengku Hasbi Asshidiqiy
Buku ini berisi tentang kajian hukum Islam yang diperkuat oleh hadis-hadis Nabi. Satu tema biasanya berisi dari empat sampai lima masalah dan terdiri dari 16-100 hadis Nabi. Hasbi mengawali tulisannya dengan menyebutkan judul atau tema tertentu, kemudian mengutip suatu hadis dengan memberikan nomor urut hadis dalam buku tersebut sebelum kutipan hadis itu sendiri. Dalam mengutip hadis, Hasbi tidak menyertakan sanad secara lengkap. Dia hanya menyebutkan sumber primer hadis itu, seperti Abu Hurairah, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Anas, Tsauban dan sebagainya. Setelah mengutip beberapa hadis, barulah Hasbi menjelaskan maksud dan pengertian hadis secara singkat disusul kutipannya terhadap pendapat para ulama tentang syarah hadis tersebut, seperti Ibnu Bathal, al-Thabrani, al-Nawawi dan lain-lain. Karena Hasbi mengoreksi hadis-hadis hukum, dia juga mengutip pendapat-pendapat para Imam Mazhab agar para pembaca dapat membandingkan berbagai pendapat dan menjadi pegangan yang benar bagi mereka. Selain itu Hasbi juga menilai atau mentahkik mana pendapat-pendapat tersebut yang dianggap kuat dan layak untuk diikuti.
Jumlah bilangan hadis dalam buku Hasbi ini cukup banyak. Di dalamnya terdapat juga hadis-hadis lemah. Sayang sekali, Hasbi tidak menganalisis kedudukan hadis tersebut. Walau begitu, Hasbi berusaha mengutip hadis-hadis tersebut pada kitab-kitab hadis yang mu’tabar dan terkenal, seperti mengutip dalam kitab Muntaqa al-Ahbar karya Imam Majduddin al-Harrani, Bulugh al-Maram karya Ibn Hajar al-Asqalani dan Muharrar karya Ibn Qudamah al-Maqdisi.

4.  Himpunan Hadits-hadits Lemah dan Palsu Karya A. Yazid dan Qasim Koho
sebagaimana yang dikemukakan penulis sendiri, ini ini merupakan hasil kutipan dari beberapa kitab hadis, diantaranya: al-Maudhu’at karya al-Jauzi, al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Maudhu’at karya Nashiruddin al-Albaniy, Maqashid al-Hasanah karya al-Sakhawiy, Mushthalah al-Hadits karya Abdul Qadir Hasan dan Mizan al-I’tidal karya al-Dzahabi.
            Dalam pendahuluan penyusun mencoba menjelaskan beberapa hal, diantaranya: sebab-sebab perbedaan dalam penilaian suatu hadis, yang di mana dalam suatu kitab tergolong maudhu’, tetapi dalam kitab lain tergolong tidak. Diterangkan juga mengenai sebab-sebab timbulnya hadis maudhu’, hukum periwayatannya dan istilah-istilah yang sering dipakai para ulama pada hadis palsu.
Penulis juga memberikan nomor urut pada hadis yang dikutipnya dari angka satu dan seterusnya, yang dimulai dari hadis-hadis yang banyak bersinggungan dengan masyarakat secara luas, seperti dari bab wudhu’ sampai hadis-hadis tentang kepolisian. Sistematika yang digunakan adalah pengutipan satu atau beberapa hadis dalam satu tema, lalu memberikan hukum hadis tersebut seperti ungkapan: palsu, la ashla lahu, syadz atau dha’if jiddan, kemudian penyusun memberikan komentar dan penjelasan singkat terhadap hadis-hadis tersebut.
Walupun hanya berupa kutipan dari beberapa kitab hadis palsu, tetapi buku ini setidaknya telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu hadis di Indonesia.

5. 55 Washiyat Rasulullah yang disusun oleh M.   Shaleh Ujaj dkk.
            Buku ini berisikan kutipan-kutipan dari kitab al-Targhib wa al-Tarhib karya al-Mundziri, Riyadh al-Shalihin karya al-Nawawi dan kitab al-Taj al-Jamil li al-Ushul. Diakui oleh penyusun sendiri, bahwa washiyat itu pada dasarnya ditujukan kepada para shahabat Nabi, tetapi hal ini secara umum mencakup segenap umat Islam. Hadis-hadis dalam kitab ini sesuai dengan judulnya berjumlah 55 hadis yang berisikan antara lain bentuk keikhlasan dalam pengabdian diri kepada Allah, penjelasan tentang tahlil, bersedekah, bertasbih, akhlak dan sebagainya. Satu tema yang dikemukakan berisi satu sampai tiga buah hadis yang dikutip dalam berbagai riwayat, seperti Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan lainnya. Penyusunannyapun hanya menambahkan penjelasannya secara singkat.


[1]Lihat misalnya QS. al-Hasyr (59): 7; QS. Ali Imrān (3):32; QS. al-Nisa (4): 80
[2]Yusuf al-Qadhawi, al-Sunnat; Mashdaran lil Ma’rifat wa al-Hadrahah diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo dengan judul As-Sunnah sebagai Sumber Iptek dan Peradaban; Diskursus Kontekstualisasi dan Aktualisasi Sunnah Nabi dalam Iptek dan Peradaban (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 6
[3]Lihat, Ahmad Lutfi Fathullah, Hadits-hadits Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin, Keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2004), h. 41
[4]Lihat Muhammad al-Ghazali,  Studi Kritis Hadis Nabi Saw, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998) cet. VI, h. 29-32
 




Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya