Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Rabu, 12 Maret 2014

IAIN SULTAN AMAI GORONTALO DALAM LINTAS SEJARAH



Pendekatan historis-institusional, cikal bakal IAIN Sultan Amai Gorontalo tidak dapat dipisahkan dari Universitas Islam Indonesia (UII) cabang Yogyakarta dan Universitas Islam Gorontalo (UIG). Kedua Universitas ini merupakan perguruan tinggi swasta pertama yang eksis di daerah Gorontalo.
Berdasarkan hasil penelusuran dari Tim yang dibentuk oleh IAIN Sultan Amai Gorontalo yang ditugaskan untuk mendapatkan data dan informasi  tentang sejarah lahirnya IAIN Sultan Amai Gorontalo, ditemukanlah salah seorang pelaku sejarah yakni Drs. Edy Bakari yang menuturkan bahwa kelahiran IAIN Sultan Amai Gorontalo dilatar belakangi oleh adanya dorongan dan keinginan luhur para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan Pemerintah Daerah Gorontalo yang memiliki komitmen keislaman yang tinggi dan bersepakat untuk mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di daerah ini, hal ini terjadi pada tahun 1969.
Keinginan tersebut terwujud dengan adanya dua fakultas, yakni fakultas Tarbiyah dan Sospol bekerjasama dengan UII Yogyakarta. Namun setelah lama berjalan, terlihat adanya gejala yang tidak menggembirakan dimana UII Yogya tampak lebih dikenal dibanding Universitas Islam Gorontalo. Akhirnya, melalui badan wakaf selaku Pembina yang pengurusnya antara lain: Nani Wartabone (Ketua Umum); Taki Niode (Ketua Harian-Walikota pertama Gorontalo); Hj. Sun Bone (Ketua 1); Drs. Edy Bakari (Ketua 4); dan Sabrun Harun, SM.HK (anggota) serta beberapa pengurus lainnya sepakat mengirim dua orang utusan untuk mengurus izin Perguruan Tinggi Islam dimaksud. Utusan tersebut masing-masing adalah Drs. Edy Bakari untuk urusan Fakultas Tarbiyah di Departemen Agama RI dan Drs. Ina Moo untuk urusan Fakultas Sospol di Depdikbud (saat ini adalah Dikpora).
Tepatnya, 4 Januari 1969 M./8 Syawal 1388 H., H. Mukti Ali selaku Direktur Jenderal PTAI atas nama Menteri Agama RI. menandatangani Surat Keputusan penetapan Fakultas Tarbiyah UIG Status Terdaftar dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor: 118 Tahun 1969. Oleh karena izin pendirian Perguruan Tinggi Islam dituntut harus berada/di bawah bimbingan perguruan tinggi Islam yang sudah mapan, maka ditunjuklah IAIN Alauddin Ujung Pandang sebagai pembina Fakultas Tarbiyah di Gorontalo. Atas dasar itu, maka Rapat Senat IAIN Sultan Amai pada Jum’at, 12 Desember 2008/14 Zul-Hijjah 1429 menyetujui dan menetapkan 4 Januari 1969 sebagai tanggal/hari lahir IAIN Sultan Amai Gorontalo.
                Pada tahun 1970 terjadi pemisahan antara UIG dan UII seiring dengan perkembangan politik saat itu. UIG menempati SKOPMA yang sekarang menjadi gedung SMU Prasetya dan UII menempati gedung yang sekarang menjadi Mall Karsa Utama.
                Pada tahun 1972, terjadi perubahan dimana kedua universitas tersebut diintegrasikan dan berubah nama menjadi Universitas 23 Januari Gorontalo. Pada tahun itu juga (1972), sejumlah tokoh Islam dan tokoh masyarakat Gorontalo bersepakat untuk mengupayakan Fakultas Tarbiyah UIG diusulkan kepada Rektor IAIN Alauddin Ujung Pandang agar dijadikan Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Filial Gorontalo.
                Usul direspon dengan keluarnya Surat Keputusan Rektor IAIN Alauddin Ujung Pandang Nomor: B-II/SK/68/1972 tanggal 3 Agustus 1972 yang berlaku tanggal 2 Januari 1972 tentang Pengukuhan Berdirinya Fakultas Tarbiyah menjadi Filial Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Ujung Pandang. Selanjutnya pada tahun 1984 bertambah dua fakultas lagi, yaitu Fakultas Syari'ah, dan Ushuluddin IAIN Alauddin Ujung Pandang Filial Gorontalo berdasarkan Surat Keputusan Rektor IAIN Alauddin Ujung Pandang Nomor: B-II/SK/1441/1984 tanggal 1 September 1984.
                Seiring dengan semakin berkembangnya ketiga fakultas tersebut, maka Pemerintah Daerah, Rektor IAIN Alauddin bersama Yayasan dan tokoh-tokoh masyarakat, baik dalam maupun luar daerah Gorontalo mengusahakan/ mengusulkan peningkatan status dari filial menjadi IAIN berdiri sendiri.
                Respon terhadap keinginan sekaligus tuntutan ini ternyata sangat positif, usulan tersebut beroleh tanggapan dari Menteri Agama RI., dengan lahirnya Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1983 dan Keputusan Presiden RI. Nomor: 9 Tahun 1987/KPTC tentang Fakultas Madya (Negeri) dengan nama Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin di Gorontalo pada tanggal 22 April 1987 dan diresmikan pada tanggal 17 September 1988 oleh Dirjen Perguruan Tinggi Agama Islam atas nama Menteri Agama RI.
                Dalam perkembangannya kemudian, Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin di Gorontalo beralih status secara kelembagaan menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sultan Amai Gorontalo berdasarkan Kepres RI. Nomor 11 tahun 1997 tanggal 21 Maret 1997.
                Seiring dengan perkembangannya, guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta upaya keras dari civitas akademika, STAIN Sultan Amai Gorontalo telah beralih status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo berdasarkan Keputusan Presiden RI. Nomor 91 tanggal 18 Oktober 2004 bertepatan dengan 10 Ramadhan 1425 dan diperkuat dengan Keputusan Menteri Agama RI. Nomor 04 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja IAIN Sultan Amai Gorontalo.
                Untuk itu, secara yuridis IAIN Sultan Amai Gorontalo di dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi berlandaskan pada:
  1. Instruksi Menteri Agama RI. No. 4 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama RI. No. 146 Tahun 1991 tentang Organisasi Kemahasiswaan di PTAI.
  2. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi;
  3. UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional;
  4. Keputusan Presiden RI. No. 91 Tahun 2004 tentang Alih Status STAIN Sultan Amai Gorontalo menjadi IAIN Sultan Amai Gorontalo;
  5. Keputusan Menteri Agama RI. No. 4 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja IAIN Sultan Amai Gorontalo;
6.       Keputusan Menteri Agama RI Nomor 33 Tahun 2008 tentang STATUTA IAIN Sultan Amai Gorontalo;
7.       Keputusan Menteri Agama Nomor B.II/3/03386 tentang Pengangkatan Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo;
Sepanjang sejarahnya, tokoh-tokoh yang pernah memimpin IAIN Sultan Amai Gorontalo antara lain adalah:
1.       Drs. Mohamad Banani Kuasa Dekan Fak. Tarbiyah  IAIN Alauddin di Gorontalo.
2.       Drs. Abdurrahman Getteng Kuasa Dekan Fak. TarbiyahIAIN Alauddin di Gorontalo
3.       Drs. Muhammad N. Tuli, M. Ag. Kuasa Dekan Fak. Tarbiyah IAIN Alauddin di Gorontalo
4.       Drs. H. Djafar Massa Dekan Fak. Tarbiyah IAIN Alauddin di Gorontalo
5.       Drs. Muhammad N. Tuli, M. Ag. Dekan Fak. Tarbiyah IAIN Alauddin di Gorontalo
6.       Drs. Muhammad N. Tuli, M. Ag. Ketua STAIN Sultan Amai Gorontalo (1997 s/d 2004)
7.       Drs. Muhammad N. Tuli, M. Ag. Pjs. Rektor IAIN Sultan Gorontalo (2004 s/d 2006)
8.       Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M.Ag.      Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo (2006 s/d 2010)
9.       Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M.Ag. Rektor IAIN Sultan Amai   Gorontalo (2010 s/d 2013)
10.   Dr. H. Kasim Yahiji, M.Ag. Rektor IAIN Sultan Amai   Gorontalo (2013 s/d 2017)
11.  Dr. Lahaji, M.Ag Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo (2017 sampai sekarang)
               
Saat ini IAIN Sultan Amai Gorontalo memiliki 4 fakultas yaitu:
1.       Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
2.       Fakultas Syari'ah 
3.       Fakultas Ushuluddin dan Dakwah
4.    Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Selasa, 10 Desember 2013

Islam dan Permasalahan Kontekstual



ISLAM DAN PERMASALAHAN KONTEKSTUAL

Islam kontekstual berasal dari dua kata yaitu Islam dan Kontekstual. Kontekstual berasal dari bahasa Inggris, context yang berarti istilah yang berhubungan dengan kata-kata, konteks, suasana, dan keadaan. lalu menjadi contextual yang berhubungan dengan konteks, atau dengan pengertian lain yakni keadaan atau situasi dimana suatu kalimat atau perkataan itu dikatakan. Dengan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa Islam kontekstual adalah Islam yang dipahami sesuai dengan situasi dan kondisi di mana Islam itu dikembangkan.
Adanya Islam kontekstual didasarkan pada latar belakang sejarah ketika  Islam diturunkan, sebagaimana diturunkannya al-Qur’an. al-Qur’an yang diturunkan selama tiga belas tahun di Makkah (Surat Makkiyyah) misalnya, berbeda dengan al-Qur’an yang diturunkan selama sepuluh tahun di Madinah (Surat Madaniyah). terjadinya perbedaan corak dan isi tersebut disebabkan antara lain karena perbedaan sasaran, tantangan, dan masalah yang dihadapi di dua daerah tersebut.
Dengan mengambil pelajaran terhadap perbedaan respon yang diberikan oleh al-Qur’an tersebut di atas, maka para peneliti tentang Islam memandang bahwa untuk dapat memahami Islam secara benar harus melihat konteks situasi dan kondisi dimana Islam tersebut dikembangkan. Hal ini dianggap perlu dipertimbangkan agar Islam tidak asing dengan berbagai masalah yang dihadapi. Inilah antara lain yang melatarbelakangi timbulnya Islam Kontekstual. Bentuk Paham Islam Kontekstual yaitu dengan memahami konteks sosial dalam memahami ajaran Islam atau dalam mengajarkan ajaran Islam. Memahami konteks sosial dalam memahami ajaran Islam  dapat menyebabkan akan terhindar dari pemahaman yang sesat tentang Islam.  Sedangkan memahami koteks sosial dalam mengajarkan ajaran Islam akan menyebabkan dipilihnya metode dan pendekatan yang tepat dalam menyampaikannya.
Pendekatan Islam Kontekstual dlam memahami Islam memiliki berbagai keuntungan. Pertama, dapat menghindari dari pemahaman Isalam yangsesat atau sekehendak ornag yang memahaminya. Kedua, membawa orang untuk mengikuti kehendak agama, bukan sebaliknya. ketiga, memungkinkan ajaran Islam berlaku sepanjang zaman. Keempat, memungkinkan ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh lapisan sosial. kelima, memungkinkan Islam memberikan respons yang tepat terhadap berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat.



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Selasa, 03 Desember 2013

Prof Machasin Jelaskan Pudarnya Semangat Ngaji “Kitab Kuning”

Kitab kuning (kutub al-turats) merupakan salah satu elemen penting dari sebuah pesantren. Kitab kuning telah menjadi bahan ajar pesantren dalam waktu yang lama sehingga kitab kuning memiliki posisi dan peran yang signifikan di pesantren.
Hal ini dikatakan Kepala Balitbang Kemenag RI Prof Machasin dalam sambutannya pada pembukaan temu tokoh agama (Halaqah Ulama) di hotel Singgasana, Surabaya (1/12), malam.
Dahulu, kata dia, sebuah pesantren dikenal dengan kitab kuning yang diajarkannnya. Pernah dikenal pesantren fiqih, pesantren hadits, pesantren ilmu alat dan sebagainya.
Menurut Machasin, hasil survei yang dilakukan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan terhadap 327 kitab di sejumlah pesantren yang tersebar di 15 provinsi pada Mei-Juni 2011 ditemukan sebanyak 321 (98%) kitab diajarkan dan 6 (2%) kitab tidak diajarkan.
Meskipun demikian, sebanyak 279 (87,2%) kitab keterpilihannya rendah; 9 kitab keterpilihannya tinggi (2,8%), dan sisanya 33 kitab keterpilihannya sedang (10,1%). Tingkat keterpilihan kitab-kitab yang diajarkan berdasarkan bidang kitab juga memiliki keterpilihannya rendah.
Selain rendahnya keterpilihan terhadap kitab-kitab yang diajarkan, lanjutnya, pengajaran kitab kuning juga dipengaruhi oleh beberapa fenomena.
Dia merinci fenomena itu, yaitu munculnya terjemahan kitab kuning, keterbatasan waktu pembelajaran, pergeseran metode pembelajaran, kurangnya minat masyarakat, kurangnya spesifikasi keilmuan yang dikembangkan pondok pesantren, keterbatasan keilmuan kiai/ulama pondok pesantren,
Dan yang terakhir, kata dia, munculnya “kiai pop” yang tidak berbasis penguasaan kitab (baik kutub al-tsuras maupun kutub al-ashry).
“Terkait dengan beberapa masalah pengajaran kitab kuning tersebut, muncul kebutuhan terhadap perlunya standarisasi kurikulum pondok pesantren. Dalam konteks itulah perlu dilakukan kegiatan halaqah ulama yang mengangkat tema tentang penguatan pengajaran kitab kuning di pesantren,” ujar Rais Syuriah PBNU ini. (Ali Musthofa Asrori/Abdullah Alawi)
 Sumber:  www.nu.or.id


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Senin, 14 Oktober 2013

Haji dan Kurban: Refleksi Idul Adha 1434 H.


Oleh:  Sulaiman Ibrahim

Sejak sebulan terakhir ini, berbagai peristiwa yang memprihatinkan hampir setiap hari terjadi di hadapan mata kepala kita, Mulai dari korupsi di MK, pembunuhan di Apartement, oknum polisi salah tembak, pesta miras yang merenguk enam jiwa, sampai tawuran pelajar menggunakan air keras untuk melukai orang lain. Sementara itu, benak kita pun telah dipadati oleh berbagai masalah-masalah kehidupan, dan berbagai produk industri yang ditawarkan semakin gencar merangsang kebutuhan. Akibatnya hampir semua orang berusaha keras untuk mencapai citra tertentu di hadapan masyarakat apakah itu kedudukan, kekayaan,  popularitas dan sebagainya. Adapun informasi Allah berupa al-Qur’an sudah tidak lagi menjadi perhatian utama dalam hidup, karena telah begitu berdamai dengan kehidupan dunia ini.

Di balik segala peristiwa yang terjadi ini, kita sesungguhnya sedang ditanya oleh Allah tentang hubungan kita kepada-Nya. Apakah orientasi atau motivasi hidup kita betul-betul tertuju hanya kepada Allah semata, sebagai suatu komitmen insan beriman yang telah memilih hidup dan mati hanya untuk Allah.
   Menghayati kenyataan ini mengingatkan kita kepada Baitullah yang merupakan kiblat umat Islam seluruh dunia yang menjadi arah shalat. Kita shalat bukan menyembah ka’bah, melainkan beribadah kepada Allah dengan arah dan tujuan yang sama. Kita berhaji bukan sekedar untuk rekreasi atau melancong, tetapi bagaimana kita mendekatkan diri kepada Allah Sang Khalik.
Sebenarnya haji merupakan gladeresik atau latihan untuk kembali kepada Allah. Haji adalah latihan kematian kita karena kita meninggalkan tanah air, meninggalkan keluarga, meninggalkan tetangga, dengan niat yang satu, yaitu ingin memenuhi undangan Allah Swt. Simbolisme haji ditandai oleh kesediaan seseorang untuk berkurban. Bentuk simbolis itu diwujudkan dengan menyembelih seekor binatang kurban yang dagingnya dibagikan dan disedekahkan kepada orang-orang miskin. Penyembelihan binatang kurban secara simbolik melambangkan kesungguhan hati manusia untuk menyembelih nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri, karena kalau nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia tidak disembelih dan dikorbankan, maka akibatnya akan merusak, baik merusak dirinya sendiri maupun akan merusak orang lain yang ada disekitarnya.
Ibadah haji yang sedang dilaksanakan umat Islam saat ini adalah juga suatu bimbingan moral dan etika Islam bagi orang-orang beriman. Ibadah haji adalah juga suatu institusi keimanan, untuk kita memperbaiki keadaan diri kita, yang juga berarti demi kebaikan masyarakat Islam agar tidak terperangkap dalam budaya tanpa norma (anomik)
Pakaian ihram mengajarkan kepada kita bahwa nilai kehidupan ini hendaknya semata-mata diukur dan bertujuan kepada Allah, bukan untuk berbagai atribut jabatan, kemasyhuran, kebanggaan dan perhiasan dunia. Wuquf di Padang Arafah melambangkan agar kita merenungi diri untuk apa kita hidup dan kemana kita akan pergi setelah kematian.   Dengan demikian, kita tidak akan cinta terhadap dunia secara berlebihan karena telah menyadari bahwa kita diciptakan oleh Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Melempar Jumrah akan mendidik kita bermental anti dosa, anti syaitan dan begundalnya, serta membuang segala prilaku buruk yang pernah kita lakukan, serta tidak mudah terpegaruh oleh tipu daya duniawi yang menyesatkan. Dari sini akan terbina sifat ikhlash, jujur, dan suka kepada kebaikan. Begitupun thawaf di Ka’bah, akan membimbing kita agar segala usaha dan upaya kita, segala langkah dan perbuatan dalam hidup kita adalah dalam rangka mengabdi kepada Allah, sebagai jaminan harkat diri kita kelak di hadapan-Nya.
Ibadah haji adalah juga refleksi aqidah yang telah teruji kemampuannya atau juga suatu komitmen pengabdian diri kepada Allah, bukan rekreasi ritual atau sekedar mencari keamanan semu di hadapan Allah. Ibadah ini mengandung pengertian yang dalam dan suci. Karena itu, mabrur tidaknya seseorang dalam melaksanakan ibadah haji akan diuji prilakunya dalam usaha kemaslahatan umat.
Oleh karena itu, siapapun di antara kita yang sudah melakukan ibadah ini hendaknya merenungi ulang keadaan dirinya dan melakukan evaluasi hubungan hidupnya dengan Allah, agar tidak menjadi pendusta di hadapan-Nya, yang menjadikan predikat haji di depan namanya sebagai selubung kebobrokan dan keburukan prilaku yang dilaknat oleh Allah.
            Dalam hal ini, semangat berkurban dengan menyembelih nafsu kebinatangan dalam diri kita masing-masing, menjadi suatu yang amat penting untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara menuju masa depan yang lebih baik. Karena hanya dengan kesediaan mengorbankan egoisme kekuasaan, kepentingan kelompok, dan fanatisme kesukuan dan keagamaan, maka pluralisme dalam berbagai aspeknya, baik dalam segi sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, maupun agama, akan dapat terjaga dan akan memperkaya kehidupan spritualitas bangsa. Semoga Idul Adha tahun ini memberikan kita pencerahan menuju masa depan yang lebih baik. Amin. Selamat Hari Raya Idul Adha 1434 H.[]



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Sabtu, 05 Oktober 2013

Pemikiran Hadits H. M. Syuhudi Ismail

Salah Satu Buku beliau adalah "Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah" sebagai disertasi beliau, buku ini banyak memberi pengaruh bagi generasi berikutnya dalam kajian kritik matan hadis di Indonesia, dan buku "Metodologi Penelitian Hadis", Beliau salah satu tokoh Intelektual Indonesia yang banyak menulis karya Tentang Hadis, Beliau seorang ulama dan intelektual yang cukup besar pengaruhnya di Indonesia di bidang Hadis dan Ulumul Hadis.

Salah satu pemikirannya yaitu tentang metode pemahaman terhadap matan hadis dalam bukunya yang berjudul “Hadis nabi yang tekstual dan kontekstual : telaah ma’ani al hadis tentang ajaran Islam yang universal, temporal dan local “. Menurut beliau bahwa ada matan hadis yang harus dipahami secara tekstual, kontekstual dan ada pula yang harus dipahami secara tekstual dan kontekstual sekaligus. Ini menunjukan bahwa kandungan hadis Nabi itu ada yang bersifat universal,temporal dan local. Bagaimana sebenarnya pemikiran hadis beliau secara lengkap?
anda bisa baca karya-karya beliau.

Sebuah Artikel tetang pemikiran beliau : Pendahuluan : Semenjak Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia, dan banyak orang berbondong-bondong memeluk Islam dan mempelajari ajarannya, saat itu tidak dapat dibendung lagi dan tidak terdeteksi lagi dimana tempat dan kapan waktu umat Islam mempelajari berbagai Ilmu. Karena hal itulah para ulama mulai membakukan suatu metode yang sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi dan para sahabat.

Ilmu hadis merupakan satu ilmu yang sangat penting menjadi perhatian para ulama, karena selain ia sebagai pedoman Islam kedua setelah al-Quran, ia juga sebagai proteks jika suatu saat ada pihak yang ingin menghancurkan Islam. Wajar banyak para pakar keilmuan mengatakan kalau ilmu hadis lah yang susah dimanipulasi metodenya yang terlengkap dan terbaik.
Maka karena itulah, banyak umat Islam berbondong-bondong belajar, meneliti, dan kemudian mengajarkannya kepada generasi ke generasi. Namun, karena ilmu hadis adalah ilmu yang susah dan rumit dipahami bagi khalayak umum, timbulah inisiatif para ulama atau para peneliti khususnya dibidang hadis untuk memberikan metode-metode yang mungkin dapat memudahkan memahami hadis Nabi secara jelas. Mulai dari Ilmu ini berasal sampai keseluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Di Indonesia penelitian hadis dimulai pada abad ke 17 dengan ditulisnya kitab-kitab hadis oleh Nur al-Din al-Raniri dan ‘Abd al-Rauf al-Sinkili.(Penulisan hadis di Indonesia, net). Hingga akhirnya sampai abad ke 20. Pada abad ke 20 ini ilmu hadis dan penelitian-penelitian hadis sudah masuk ke perguruan tinggi, mulai dari sarjana sampai doctoral.

Dr. Muhammad Syuhudi Ismail merupakan salah satu mahasiswa yang belajar dan meneliti hadis dari perguruan tinggi (IAIN) Indonesia. Ia mulai dikenal khalayak umum, khususnya pecinta ilmu hadis setelah desertasinya yang berjudul “Kaedah keshahihan sanad Hadis, telaah kritis dan tinjauan dengan pendekatan ilmu sejarah” diterbitkan oleh penerbit Bulan Bintang yang direkomendasikan langsung oleh Dr. Quraisy syihab, penguji desertasi beliau. Selain juga buku-buku terkait ilmu hadis yang beliau terbitkan.
Melihat dari beberapa hasil karya beliau yang sudah dibukukan, yang kemudian mendapat respon yang baik oleh beberapa senior beliau dan banyak dari mahasiswa Tafsir Hadis di seluruh perguruan tinggi Islam di Indonesia, yang kemudian juga menjadi referensi bagi mereka dalam belajar ilmu hadis, layaklah hasil dari karya beliau tersebut dipahami dan dipelajari lebih lanjut. Apakah itu metode yang beliau gunakan dalam karyanya, atau beberapa pemikiran yang beliau tawarkan dalam karyanya tersebut.
Maka dari itu, khususnya dalam makalah ini akan dibahas terkait hasil karya dan pemikiran beliau dengan judul “Pemikiran Hadis Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail”.
Dalam makalah ini akan diuraikan biografi singkat Prof. Dr. H.M. Syuhudi Ismail, karya-karya beliau yang sudah dibukukan, serta pemikiran-pemikiran beliau tentang ilmu hadis dalam karya beliau tersebut.

II. Biografi Singkat Prof. Dr. H.M. Syuhudi Ismail
Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail dilahirkan di Lumajang, Jawa Timur, pada tanggal 23 April 1943. Setelah menamatkan Sekolah Rakyat Negeri di Sidorejo, Lumajang, Jawa Timur (1955), ia meneruskan pendidikannya ke Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 4 tahun di Malang (tamat 1959); Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogyakarta (tamat 1961); Fakultas Syari'ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) "Sunan Kalijaga" Yogyakarta, Cabang Makassar (kemudian menjadi IAIN "Alauddin" Makassar), berijazah Sarjana Muda (1965); Fakultas Syari'ah IAIN "Alauddin" Ujungpandang (tamat 1973); Studi Purna Sarjana (SPS) di Yogyakarta (Tahun Akademi 1978/1979), dan Program Studi S2 pada Fakultas Pascasarjana IAIN "Syarif Hidayatullah" Jakarta (tamat 1985).
Mengenai riwayat pekerjaannya, ia pernah menjadi pegawai Pengadilan Agama Tinggi (Mahkamah Syar'iyyah Propinsi) di Ujungpandang (1962-1970); Kepala Bagian Kemahasiswaan dan Alumni IAIN "Alauddin" Ujungpandang (1973-1978); Sekretaris KOPERTAIS Wilayah VIII Sulawesi (1974-1982), dan Sekretaris Al-Jami'ah IAIN "Alauddin" Ujungpandang (1979-1982). Dalam pada itu, ia aktif pula berkecimpung di bidang pendidikan, terutama dalam kegiatannya sebagai staf pengajar di berbagai perguruan tinggi Islam di Ujungpandang, antara lain pada Fakultas Syari' ah IAIN "Alauddin" Ujungpandang (sejak 1967); Fakultas Tarbiyah UNISMUH Makassar di Ujungpandang dan Enrekang (1974-1979); Fakultas Ushuluddin dan Syari'ah, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Ujungpandang (1976-1982), dan pada Pesantren IMMIM Tamalanrea, Ujungpandang (1973-1978).
Di samping tugas-tugasnya sebagai pegawai dan pengajar, beliau giat pula dalam membuat karya-karya tulis dalam bentuk makalah, penelitian, bahan pidato, artikel, maupun diktat, baik untuk kepentingan kalangan IAIN "Alauddin" sendiri, atau untuk forum ilmiah lainnya, juga untuk dimuat dalam majalah atau suratkabar yang terbit di Ujungpandang atau di Jakarta. Bahkan telah ada pula karya tulisnya yang telah diterbitkan sebagai buku teks, seperti Pengantar Ilmu Hadis dan Menentukan Arah Kiblat dan Waktu Salat (keduanya diterbitkan di Bandung, 1987). Buku Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan llmu Sejarah berasal dari disertasi beliau untuk meraih gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hadis pada Fakultas Pascasarjana IAIN "Syarif Hidayatullah" Jakarta (Program Studi S3, tamat 1987).
Sementara itu, banyak pula makalah-makalah yang telah beliau susun, baik yang ditulis selama ia mengikuti Studi Purna Sarjana di Yogyakarta maupun ketika ia mengikuti program-program S2 dan S3 di Jakarta. Ia juga turut menyumbangkan 13 judul entry untuk Ensiklopedi Islam (Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, Jakarta, 1987/1988).
Tugas formal terakhir beliau adalah sebagai staf pengajar (Pembina/Lektor) pada Fakultas Syari'ah IAIN "Alauddin" Ujungpandang. (Kaedah kesahihan.; 250)

III. Karya-karya Prof. Dr. H.M. Syuhudi Ismail

1. Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah
2. Metodologi Penelitian Hadis Nabi
3. Hadits Nabi menurut pembela, pengingkar dan pemalsunya
4. Ikhtisar Mushthalah Hadits
5. Hadis Nabi yang tekstual dan kontekstual : telaah ma’ani al hadis tentang ajaran Islam yang universal,temporal dan lokal.

IV. Pemikiran Hadis Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail

Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail adalah seorang ulama dan intelektual yang cukup besar pengaruhnya di Indonesia di bidang Hadis dan Ulumul Hadis. Salah satu pemikirannya yaitu tentang metode pemahaman terhadap matan hadis dalam bukunya yang berjudul “Hadis nabi yang tekstual dan kontekstual : telaah ma’ani al hadis tentang ajaran Islam yang universal,temporal dan local “. Menurut beliau bahwa ada matan hadis yang harus dipahami secara tekstual, kontekstual dan ada pula yang harus dipahami secara tekstual dan kontekstual sekaligus. Ini menunjukan bahwa kandungan hadis Nabi itu ada yang bersifat universal,temporal dan local.

Adanya pemahaman hadis yang tekstual dan kontekstual menurut M. Syuhudi memungkinkan suatu hadis yang sanadnya sahih atau hasan tidak dapat serta merta matannya dinyatakan daif atau palsu hanya karena teks hadis tersebut tampak bertentangan. Metode yang ditawarkan oleh M. Syuhudi ini cukup berperan dalam mengantisipasi perkembangan zaman dengan memanfaatkan teori berbagai disiplin ilmu pengetahuan, misalnya sosiologi,psikologi, bahasa dan sejarah. Hal ini dapat dipahami bahwa usaha yang dilakukan oleh M. Syuhudi adalah sebagai upaya membumikan hadis Nabi sebagai sumber pokok ajaran Islam.

Karya M. Syuhudi Ismail yang berjudul Metodologi Penelitian Hadis Nabi, merupakan contoh literatur hadis tingkat lanjutan dan memiliki kualifikasi ilmiah yang sejajar dengan para penulis literatur hadis yang berasal dari Arab dan negeri yang lain.

Muhammad Syuhudi Ismail lebih fokus untuk mendalami hadis–secara umum konsentrasi beliau dalam bidang hadits boleh dikata otodidak, karena pada awalnya beliau hanya memenuhi tugas akademik–baik ulum al-Hadis maupun matan hadis sendiri. Fatchur Rahman lebih mirip dengan Syuhudi Ismail yakni lebih konsentrasi pada hadis saja. Karyanya yang berjudul Ikhtisar Musthalah al-Hadits menggambarkan kecenderungannya mendalami ilmu hadits. Begitupun yang dilakukan oleh Utang Ranuwijaya. Sementara ahli hadis yang muncul setelah pertengahan abad ke-20 mulai konsentrasi pada hadis wa ulumuh yang diawali oleh Syuhudi Ismail. Di bidang penelitian hadis, literatur yang digunakan juga telah memadai untuk digunakan sebagai dasar untuk melakukan penelitian secara mandiri terhadap sanad dan matan hadis. Karya Mahmud Tahhan, Nur al-Din ‘Itr dan Salah al-Din al-Adlibi merupakan literatur tingkat lanjutan dalam kajian hadis.

IV. Hasil analisa terhadap pemikiran Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail

Inilah beberapa pemikiran Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail yang penulis simpulkan dari buku karya beliau, terutama dalam buku Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah:

Menggunakan Istilah kaedah mayor untuk menyebut semua syarat, kriteria, atau unsur yang berstatus umum. Dan Kaedah minor untuk status khusus.(h. 10)
Mengkritisi kaedah kesahihan sanad hadits yang sudah dibuat oleh ulama muhaddisin dengan menggunakan pendekatan ilmu sejarah.(h. 10)
Dalam kesimpulan tulisannya, M. syuhudi Ismail menyatakan bahwa kaedah kesahihan sanad hadis yang sudah dibuat ulama untuk menentukan atau menetapkan kesahihan sanad hadis juga tidak jauh beda hasilnya dengan menggunakan pendekatan ilmu sejarah. Yakni, keduanya sama-sama bertujuan untuk memperoleh berita atau fakta yang shahih.(h. 230)
Jika sanad shahih otomatis matannya shahih. (228)
Kalau ada yang mengatakan “Tidak semua hadis yang sanadnya shahih matannya juga shahih”. Bukanlah disebabkan oleh kaedah keshahihan sanad hadis, tetapi disebabkan oleh factor-faktor lain. Alternatif penyebabnya adalah:

Kaedah keshahihan sanad hadis tidak dilaksanakan secara konsekuen. Bentuk ketidak konsekuen ini dapat berupa, misalnya:
Diterapkannya pendapat yang menyatakan bahwa seluruh sahabat Nabi bersifat adil. Kemudian dalam praktek , terdapat kecenderungan dari ulama hadis pada umumnya bahwa sahabat Nabi bukan hanya bersifat adil semata melainkan juga bersifat dhabit.
Diterapkannya pendapat yang menyatakan bahwa hadis mursal sahaby merupakan hadis yang sanadnya bersambung dari sahabat bukan periwayat pertama kepada Nabi.
Telah terjadi kesalahan penilaian terhadap periwayatan tertentu. Hal ini mungkin disebabkan karena ketentuan al-jarh wa ta’dil tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, atau mungkin terjadi kekeliruan pribadi periwayat yang dinilainya.
Telah terjadi kekeliruan penafsiran kata-kata, atau singkatannya, atau harf, yang menghubungkan periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya yang terdapat dalam sanad.

6. Karena terjadi perbedaan pendapat tentang unsur-unsur kaedah keshahihan sanad hadis itu sendiri.
7. Karena terjadi perbedaan sikap ulama hadis dalam menilai kualitas periwayat hadis tertentu. Mereka ada yang bersikap ketat (mutasyaddid), longgar (mutasahil) dan pertengahan (mutawassith). Periwayat yang dinyatakan bersifat siqat oleh ulama yang mutahasil belum tentu dinyatakan siqat juga oleh ulama yang mutasyaddid.
8. Karena telah terjadi periwayatan hadis secara makna.
9. Karena matan hadis yang bersangkutan berkaitan dengan masalah nasikh-mansukh, atau ‘amm-khashsh, atau muthlaq-muqayyad, atau mujmal- mufashshal.
9. Karena kaedah keshahihan matn hadis yang digunakan masih belum akurat. (h. 228-229)
10. Dilihat dari beberapa teori sejarah yang digunakan M. Syuhudi Ismail dalam mengkritisi sanad hadis, ini mungkin terinspirasi dari pemikiran beberapa peneliti hadis seperti Ahmad Amin dan Fazlur Rahman yang sudah sebelumnya pernah mengkritisi sanad, yang dalam hal ini sahabat Nabi. Mereka menggunakan fakta sejarah dalam bantahannya bahwa tidak semua sahabat Nabi bersifat adil karena banyak dari sahabat nabi yang dalam kehidupannya diliputi berbagai permasalahan yang hal itu menjadikan periwayatan sahabat tersebut tidak bisa diterima. Hanya saja mereka lebih mencari kesalahan sahabat untuk membenarkan atau membatalkan nash yang menghalangi argumennya. Sedang M. Syuhudi Ismail hanya menggunakan teori sejarah (sosial, geografis dll) untuk menghubungkannya atau mensingkronkannya dengan kaedah kesahihan sanad hadis yang digunakan oleh para ulama muhaddisin. Dan ternyata dua teori itu mempunyai kesejalanan tujuan. Sama-sama mencari fakta.

7. Menggunakan istilah sumber primer untuk periwayat pertama (sanad terakhir) dari Nabi (sumber saksi mata), dan sumber sekunder untuk periwayat berikutnya (sumber yang bukan saksi mata).

8. Menggunakan istilah kritik ekstern untuk menyebut kritik terhadap sanad dan menyebut kritik intern untuk menyebut kritik matan. Istilah ini sebenarnya adalah istilah yang digunakan dalam ilmu sejarah.

9. Yang disebut periwayatan adalah kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis, kegiatan menyampaikan hadis itu kepada orang lain, dan ketika hadis itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatannya disebutkan. Jadi, jika ketiga unsur tersebut tidak dilaksanakan salah satunya, maka belum dikatakan periwayatan dan tentunya yang disampaikan tidak bisa diterima (h. 23-24).
10. Cara Nabi menyampaikan hadisnya melalui; cara lisan di muka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki., pengajian rutin di kalangan laki-laki., dan pengajian diadakan juga di kalangan kaum wanita, setelah kaum wanita memintanya (h. 30)
11. Nabi menyampaikan hadisnya melalui lisan dan perbuatan, di hadapan orang banyak, di masjid, pada waktu malam dan subuh. Beliau juga menyampaikannya di hadapan seorang petugas beliau dulu baru sesudah itu di hadapan orang ramai. Hadis yang disampaikan di sini adalah hadis teguran Nabi kepada petugas tersebut atas perbuatannya, tetapi Nabi tidak menyebutkan nama petugasnya itu ketika menyampaikannya di tempat ramai. Kadang Nabi juga menyampaikan teknis pelaksanaan suatu perbuatan (seperti hadis tata cara membersihkan darah haidh) (h. 32-33)
12. Kadang Nabi juga menyampaikan hadisnya melalui tulisan (surat), kadang juga hanya diam tanda sepakat atas suatu perbuatan sahabat. (h. 33)
13. Keragaman cara nabi menyampaikan hadis tersebut membawa beberapa akibat; hadis yang berkembang dalam masyarakat, jumlahnya banyak., perbendaharaan dan pengetahuan para sahabat tentang hadis nabi tidak sama, dalam arti ada sahabat yang banyak mengetahui langsung terjadinya hadis dan ada yang sebaliknya. Jadi, kalangan sahabat Nabi dalam periwayatan hadis ada yang berstatus sebagai saksi primer dan ada yang berstatus saksi sekunder. (h. 35)
14. Penyampaian hadis oleh Nabi yang beliau simpulkan merupakan pengambilan dari teks hadis yang beliau utarakan. Dalam artikata M. Syuhudi Ismail menyimpulkan kronologis dari berita hadis, yang kemudian beliau sebut begitulah cara Nabi menyampaikan hadis tersebut.
15. Hadis dapat dipahami secara tekstual, kontekstual, dan kadang dapat dipahami dengan cara keduanya.

V. Kesimpulan



Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail adalah salah seorang pecinta ilmu hadis. Karya-karyanya banyak memberikan kontribusi pada khazanah keilmuan di Indonesia, terutama dalam ilmu Hadis.



Dalam karya-karyanya, beliau memberikan pandangan bahwa hadis adalah benar-benar sebagai pedoman kedua bagi umat Islam dan ia harus dipahami dengan sepaham-pahamnya, agar tidak ada kesalahan dalam mengambil pelajaran dan hukum kepadanya. Karena ilmu hadis, apalagi banyak pihak yang tidak menginginkan ia membumi, harus terus dijaga dengan apik dan baik dengan memahaminya dengan pemahaman yang jelas dan tidak melanggar norma keilmuan itu sendiri. Ia mesti dipahami dari berbagai aspek dan sudut pandang yang tidak melanggar syariat yang suci.



Maka dari itu, beliau berpendapat bahwa hadis tidak hanya dipahami secara tekstual saja, melainkan ia juga harus dipahami secara kontekstual bahkan secara keduanya. Karena bisa jadi apa yang Nabi sampaikan dalam hadis-hadisnya ada yang kita tidak paham, padahal dulu para sahabat sudah dapat memahaminya. Atau hadis yang disampaikan itu memang sudah jelas harus dipahami dan diterima adanya sesuai dengan apa yang disampaikan. Namun, tentu cara memahaminya sesuai dengan apa yang mestinya dipahami oleh para sahabat juga. Hal ini agar tidak terjadi kesalahpahaman nantinya dalam pengamalannya.


Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail sudah “berani” mengambil langkah. Ia mencoba menganalisa yang kemudian mecari “jalan lain” dalam memahami hadis Nabi. Bagaimana ia menjadikan pendekatan sejarah atau kita sebut dengan historycal method untuk membuktikan apakah metode dengan pendekatan ini akan sama hasilnya dengan metode kesahihah sanad hadis yang sudah lama digunakan oleh muhaddisin untuk membuktikan diterima atau tidaknya suatu hadis ditinjau dari sanadnya.


Dilihat secara kasat mata, Prof. Dr. H. M. syuhudi Ismail sebenarnya tidak membuat metode atau teori baru dalam memahami hadis Nabi. Ia hanya menghubung-hubungkan satu metode dengan metode lainnya, yang kemudian ia buktikan kesingkronan kedua metode tersebut. Yang akhirnya ia menyimpulkan bahwa metode yang satu dengan metode satu lainnya adalah sama atau tidak sama. Dalam hal ini, metode kesahihan sanad hadis yang sering digunakan ulama muhaddisin dengan metode pendekatan sejarah sangat mirip syarat dan segala metode yang dugunakannya. Selebihnya ia hanya merubah sebutan istilah yang mungkin dimaksudkan untuk kekhasan diri beliau.


VI. Daftar Pustaka


Ismail, M. Syuhudi. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Cet. II, PT. Bulan Bintang, Jakarta.

http://thkhusus.wordpress.com/2010/01/03/teknik-penyajian-dan-penulisan-hadis/www.webmii.es

http://digilib.uin-suka.ac.id
http://makalahtafsirhadits.blogspot.com/2011/01/dr-muhammad-syuhudi-ismail.html

http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--nuraninim9-4476


Oleh: Jumardi
http://ushuluddin-uinsuska.blogspot.com/2011/11/pemikiran-hadis-prof-dr-hm-syuhudi.html
Sumber:  http://pesantrenonlinenusantara.blogspot.com/2012/04/pemikiran-hadits-prof-drh-m-syuhudi.html#more

Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Selasa, 17 September 2013

Kembali Kepada al-Qur'an


“Kembali kepada Al-Qur’an” adalah prinsip yang indah nan ideal. Kembali kepada Al-Qur’an, secara sederhana dapat dimaknai sebagai kembali kepada “hukum Tuhan”. Dan umat manakah yang tidak ingin berpegang pada Kitab Sucinya, kepada hukum Tuhannya?

Sayangnya banyak Muslim yang tidak mengerti batas-batas prinsip ideal ini. Lebih tragis lagi, sebagian kalangan justru menyelewengkan slogan “Kembali kepada Al-Qur’an” untuk mengeroposkan legitimasi umat terhadap para ulama. Ada diantara mereka yang enggan mengikuti imam empat dan menganggap para imam itu sebagai kompetitor bagi syari’at Rasulullah SAW (hal.18). Dengan “kembali kepada Al-Qur’an” mereka mengajak orang-orang awam melepaskan diri dari madzhab, untuk dengan “nekat” menggali hukum-hukum sendiri. Dengan slogan menggiurkan itu, mereka mencaci orang yang taklid sebagai “orang yang tidak mengikuti salafu shalih”, sebagai “ahli bid’ah”, bahkan sebagai “orang yang tidak berada di jalan orang-orang beriman”.

Buku ini berhasil membongkar kerancuan argumen para penganjur anti-madzhab yang dipelopori kalangan wahabi. Bahwa fenomena taklid yang mereka caci adalah sesuatu yang natural, yang sudah muncul sejak generasi pertama umat ini. Bahwa bermadzhab adalah diperbolehkan, bahkan merupakan sebuah keniscayaan. Dan bahwa “kembali kepada Al-Qur’an” yang mereka gemborkan tidak lain hanyalah propaganda yang dibaliknya tersembunyi maksud dan tujuan tertentu.

Dalam buku ini, Dr Said Ramadhan Al-Buthi memaparkan ringkasan isi “buku propaganda al-Kurras” berjudul “Hal al-Muslim Mulzam bit-Tiba’i Madzhab Mu’ayyan (Apakah Seorang Muslim Wajib Mengikuti Madzhab Tertentu)” karangan Muhammad Sulthan al-Ma’shumi al-Khajnadi dan 7 argumen penyanggahnya. Pertama mengenai pernyataan dalam buku kurras yang menyatakan bahwa hukum Islam sedikit jumlahnya. Al-Buthi menyanggah hal tersebut dengan fenomena banyaknya kitab hadist semisal Shahih Bukhari tidak akan membeberkan ribuan hadist yang membahas berbagai hukum terkait kehidupan seorang Muslim. Dan Rasulullah pun tidak akan duduk berjam-jam hingga kelelahan untuk mengajari utusan Tsaqif tentang hukum-hukum Islam dan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepada mereka setiap hari.

Kedua tentang Al-Qur’an yang ma’shum sementara Imam Madzhab tidak ma’shum. Ketiga, Al-kurras mengatakan bahwa di dalam kubur, seseorang tidak akan ditanya tentang madzhabnya. Keempat, sanggahan terhadap statemen dari ad-Dahlawi dalam kitab al-Inshaf. Kelima, Nukilan dari ‘Izzudin, Ibn al-Qayyim, dan Kamaluddin ibn al-Hamam. Keenam, kemunculan madzhab empat disebabkan intrik politik. Ketujuh, penjelasan mengenai cara bertaqlid orang-orang dahulu. Ketujuh argumen sanggahan tersebut disampaikan oleh al-Buthi dengan bahasa yang komunikatif.

Dalam bab selanjutnya, Ramadhan Al-Buthi memberikan pemahaman yang komprehenship tentang maksud dari taklid. Ia menghawatirkan jikalau semua orang terjerumus ke dalam paham anti madzhab. “Jika kita berpaling dari khazanah fikih yang ada kepada segolongan orang yang sombong dan berpendapat bahwa ijtihad berlaku untuk semua orang, bangunan fikih yang tadinya sudah berdiri akan dihancurkan oleh angin ribut; menjadi puing-puing yang berserakan di sana-sini. Itulah imbas dari kepongahan-kepongahan (mereka yang membawa) metode syari’at yang aneh” katanya.

Sebagai pelengkap, Al-Buthi juga mencantumkan ringkasan debatnya dengan tokoh penganjur anti-madzhab dalam halaman akhir. Lebih lengkapnya, Al-Buthi juga memberikan tanggapan terhadap buku yang mengkritisi buku beliau ini, yaitu buku karangan Sayyid Muhammad ‘Id ‘Abbasi dengan judul al-Madzhabiyyah al-Muta’ashshibah Hiya al-Bid’ah (bermadzhab secara fanatik adalah bid’ah).

Penulis sendiri (Ramadhan Al-Buthi) telah menulis 40 lebih karya tulis. Ia dikenal sebagai salah seorang pemikir Islam yang mempertahankan manhaj Ahlusunnah wal Jama’ah (madzhab empat dan akidah asy-ariyyah). Karena kegigihannya membela Ahlussunnah wal jama’ah, beliau mendapat tantangan keras dari aliran-aliran Islam lainnya, termasuk juga yang paling keras adalah dari kaum Salafi. Dua karya pertamanya, as-Salafiyyah dan al-Lamadzhabiyyah, melambungkan namanya sebagai salah satu ulama garda depan pembela Ahlussunnah (hal. 219-220).

Walhasil, buku ini sangat cocok untuk memahami perdebatan seputar taklid dan paham anti madzhab sebagai wacana dasar orang beragama Islam. Dan juga cocok untuk menjadi pijakan argumen bagi mereka yang memegang paham bermadzhab.

Judul buku: Menampar Propaganda “Kembali Kepada Al-Qur’an”; Keruntuhan Argumentasi Paham Anti Madzhab Dan Anti Taqlid
Pengarang: Dr M Sa’id Ramadhan al-Buthi
Penerbit: Pustaka Pesantren
Cetakan: I, 2013
Tebal: 220 hal.
ISBN: 979-98452-1-1
Peresensi: M Ihtirozun Ni’am, Mahasiswa Program Beasiswa Santri Berprestasi Kementrian Agama RI di IAIN Walisongo Semarang, Anggota Farabi Institut




Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Rabu, 28 Agustus 2013

Peradaban...


Menurut Ibn Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu 1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup.[1] Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu peradaban. Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah mencapai tingkat kemapuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya. Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang berasal dari pandangan hidup. Untuk menjelaskan bagaimana pemikiran dalam peradaban Islam merupakan faktor terpenting bagi tumbuh berkembangnya peradaban Islam, kita rujuk tradisi intelektual Islam.
Tanda wujudnya peradaban, menurut Ibn Khaldun adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optic, kedokteran dsb. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban atau suatu umrÉn harus dimulai dari suatu “komunitas kecil” dan ketika komunitas itu membesar maka akan lahir umrÉn besar. Komunitas itu biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang daripadanya timbul suatu sistem kemasyarakat dan akhirnya lahirlah suatu Negara. Kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara, kota Cairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan Negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu umrÉn bagi Ibn Khaldun di antaranya adalah berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan papan / arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik, sastra dsb). Di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.
Namun di balik faktor aktivitas dan kreativitas masyarakat masih terdapat faktor lain yaitu agama, spiritualitas atau kepercayaan. Para sarjana Muslim kontemporer umumnya menerima pendapat bahwa agama adalah asas peradaban, menolak agama adalah kebiadaban. Sayyid Qutb menyatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Meskipun dalam paradaban Islam struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanent. Prinsip-prinsip itu adalah ketaqwaan kepada Tuhan (taqwa), keyakinan kepada keesaan Tuhan (tawÍÊd), supremasi kemanusiaan di atas segala sesuatu yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, menyadari fungsinya sebagai khalifah Allah di Bumi berdasarkan petunjuk dan perintahNya (syariat).[1]


[1] Seperti dikutip oleh Muhammad Abdul Jabbar Beg, dalam The Muslim World League Journal, edisi November-Desember, 1983, hal. 38-42.





[1] Ibn KhaldËn, 'Abd al-RaÍmÉn Ibn MuÍammad, The Muqaddimah: an Introduction to history, Penerjemah Franz Rosenthal, 3 jilid, editor N.J. Dawood. (London, Routledge & Kegan Paul, 1978), hal. 54-57.



Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Kamis, 04 Juli 2013

Menyambut Suci Bulan Ramadan

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang dinanti-nantikan kedatangannya oleh umat Islam di seluruh dunia. Bulan penuh dengan berkah, bulan yang sangat diistimewakan oleh Allah SWT, di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan, di dalamnya penuh dengan rahmah, ampunan dan pembebasan dari api neraka, bulan yang dirindukan kedatangannya dan ditangisi kepergiannya oleh orang- orang yang shalih. Pada bulan Ramadhan inilah kaum muslimin seharusnya melakukan pengembaraan ruhani dengan mengekang nafsu syahwat dan mengisi dengan amal-amal yang mulia. Semua itu merupakan momen dan sekaligus sarana yang baik untuk mencapai puncak ketaqwaan. Dosa dan kekhilafan juga merupakan sasaran yang akan kita hapuskan dalam bulan Ramadhan ini.

Untuk mendekatkan sasaran tersebut, kiranya perlu menyambut tamu Allah SWT yang agung ini dengan mengadakan pembekalan ruhani dan pengetahuan tentang bulan Ramadhan dengan sebaik-baiknya.
Untuk itu Penulis memberikan E-book supaya dapat di baca. download disini https://docs.google.com/file/d/0BwVoiykMrJtFdHAyeUFWaVFYT0k/edit?usp=sharing


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya