Oleh: M. Quraish Shihab
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama --seperti definisi
Al-Sunnah-- sebagai "
Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya." Ulama
ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "
ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan
taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai
Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama
ushul
tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang
tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan
hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa
perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah
Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah
Athi'u Allah wa athi'u al-rasul.
Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal
yang sejalan dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut
mencukupkan sekali saja penggunaan kata
athi'u.
Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam
hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam
Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus
dilakukan terlebih dahulu --dalam kondisi tertentu-- walaupun ketika
sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh
kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw.
Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata
athi'u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata
athi'u
karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat
dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan
Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan
Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa
enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun
setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah
bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang
menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara
penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu
Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar
menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung
menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi
generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak
mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan
dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara
tawatur oleh sejumlah orang yang --menurut adat-- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi
qath'iy al-wurud.
Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per
orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan
redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh
ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis
teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan
kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para
sahabat dan
tabi’iyn. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otentisitasnya adalah
zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap
keabsahan hadis karena sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi
maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu,
yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa
tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
Fungsi Hadis terhadap Al-Quran
Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau
bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.
'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya
Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa
Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum
syara'. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam
Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi
Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan
bayan ta'kid dan
bayan tafsir.
Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang
terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci,
bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau
Sunnah
dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam
Al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada
'ishmah
(keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang
syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang
kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya
berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah,
Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas,
maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi
Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai
bayan murad Allah
(penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan
penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan,
kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang
suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri,
yang pada
zhahir-nya berbeda dengan nash ayat
Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah
penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat
qath’iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat
zhanniy al-wurud. Di sini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya
Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits,
menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad
yang luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila
mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan
Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka
menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih.
Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan
pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan
satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan
oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh
Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa
al-hadits dapat
saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat
indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan
penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau
adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan
mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram
hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat
24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar
Nashir Al-Sunnah (
Pembela Al-Sunnah),
bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi
juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya,
Al-Sunnah,
dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam
bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran.
Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti
perintah Nabi-Nya?
Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih,
tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah
menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga
ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan
wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang
tidak meyakinkan (hadis).
Pemahaman atas Makna Hadis
Seperti dikemukakan di atas, hadis, dalam arti ucapan-ucapan yang
dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima berdasarkan
riwayat dengan makna, dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya
persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw. Walaupun diakui
bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan oleh para perawi
hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan dengan makna; namun
demikian, problem menyangkut teks sebuah hadis masih dapat saja muncul.
Apakah pemahaman makna sebuah hadis harus dikaitkan dengan konteksnya
atau tidak? Apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya
saja, atau mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika
diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian persoalan yang dapat muncul
dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadis.
Al-Qarafiy, misalnya, memilah
Al-Sunnah dalam kaitannya
dengan pribadi Muhammad saw. Dalam hal ini, manusia teladan tersebut
suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali lain sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi
(hakim penetap hukum) atau pemimpin satu masyarakat atau bahkan sebagai
pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan manusiawi atau kenabian yang
membedakannya dengan manusia lainnya. Setiap hadis dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks tersebut.
Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya,
Al-Muwafaqat, tentang perintah dan larangan pada masalah ketujuh, menguraikan tentang perintah dan larangan
syara'.
Menurutnya, perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang tidak jelas.
Sikap para sahabat menyangkut perintah Nabi yang jelas pun berbeda. Ada
yang memahaminya secara tekstual dan ada pula yang secara kontekstual.
Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid, mendengar Nabi saw. bersabda, "
Ijlisu
(duduklah kalian)," dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan. Melihat
hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya, "
Zadaka Allah tha'atan." Di sini, Ubay memahami hadis tersebut secara tekstual.
Dalam peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda, "Jangan ada yang shalat Ashar
kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Sebagian memahami teks hadis
tersebut secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya
telah berlalu --kecuali di tempat itu. Sebagian lainnya memahaminya
secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar, sebelum
tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam kasus terakhir ini, tidak
mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang menggunakan pendekatan
berbeda dalam memahami teks hadis.
Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks hadis, tidak terkecuali dalam bidang
mu’amalah.
Dalam hal ini, Al-Syafi'i berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat
Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw., harus dipertahankan bunyi teksnya,
walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi
teks-teksnya adalah
ta'abbudiy, sehingga tidak boleh diubah. Maksud syariat sebagai
maslahat harus dipahami secara terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.
Kajian
'illat, dalam pandangan Al-Syafi'i, dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks, tetapi untuk pengembangan hukum. Karena itu, kaidah
al-hukm yaduru ma'a illatih wujud wa 'adam,[115] hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil
qiyas,
bukan terhadap bunyi teks Al-Quran dan hadis. Itu sebabnya Al-Syafi'i
berpendapat bahwa lafal yang mengesahkan hubungan dua jenis kelamin,
hanya lafal nikah dan
zawaj, karena bunyi hadis Nabi saw. menyatakan, "
Istahlaltum furujahunna bi kalimat Allah (Kalian
memperoleh kehalalan melakukan hubungan seksual dengan wanita-wanita
karena menggunakan kalimat Allah)", sedangkan kalimat (lafal) yang
digunakan oleh Allah dalam Al-Quran untuk keabsahan hubungan tersebut
hanya lafal
zawaj dan nikah.
Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat dengan
ulama-ulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan dalam bidang
ibadah harus dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat, tidak
demikian. Bidang ini menurutnya adalah
ma'qul al-ma'na,
dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat
Al-Quran yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat
ta'abbudiy
juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena
akal tidak dapat memastikan mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi
juga karena teks tersebut diterima atas dasar
qath'iy al-wurud.
Dengan alasan terakhir ini, sikapnya terhadap teks-teks hadis menjadi
longgar. Karena, seperti dikemukakan di atas, periwayatan lafalnya
dengan makna dan penerimaannya bersifat
zhanniy.
Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu Hanifah tidak segan-segan
mengubah ketentuan yang tersurat dalam teks hadis, dengan alasan
kemaslahatan. Fatwanya yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan
nilai, atau membenarkan keabsahan hubungan perkawinan dengan lafal hibah
atau jual beli, adalah penjabaran dari pandangan di atas. Walaupun
demikian, beliau tidak membenarkan pembayaran
dam tamattu' dalam haji, atau
qurban dengan nilai (uang) karena kedua hal tersebut bernilai
ta'abudiy, yakni pada penyembelihannya.
Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat dikemukakan tentang hadis.
Catatan kaki
115 Ketetapan hukum selalu berkaitan dengan
'illat (motifnya). Bila motifnya ada, hukumnya bertahan; dan bila motifnya gugur, hukumnya pun gugur.Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya