Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Sabtu, 08 Mei 2010

WISATA KOTA PAREPARE

Wisata Belanja
Kota Parepare sebagai kota jasa niaga adalah sebuah kota yang tepat dijadikan sebagai tujuan wisata berbelanja. Sebuah kawasan khusus menyediakan berbagai keperluan anda, yakni Kawasan Pasar Senggol. Anda bisa mendapatkan berbagai keperluan anda, mulai dari pakaian bekas bermerek terkenal dari luar negeri sampai berbagai barang rumah tangga dapat anda temukan di sini dengan harga yang sangat murah.
Anda ingin berbelanja di tempat yang lebih nyaman? Tak jauh dari kawasan Pasar Senggol terdapat beberapa butik yang berada di Jl. Alwi Abdul Jalil Habibie di tepi pantai Mattirotasi. Butik ini menyediakan berbagai kebutuhan mulai dari dasi, sepatu, baju sampai aneka jenis topi dengan merek-merek terkenal. Harganya? Kami yakin anda tak percaya bila anda bisa mendapatkan kacamata merek Oakley seharga Rp. 1 juta ke atas hanya dengan Rp.150.000,- – Rp. 300.000. Silahkan buktikan sendiri!
Tak hanya aneka jenis pakaian, anda pun bisa berbelanja aksesoris semacam jam tangan. Juga aneka jenis elektronik seperti laptop sampai televisi dengan ukuran berbagai inchi. Butik ini juga terdapat di Jl. Bau Massepe. Barang-barang yang dijual didatangkan langsung dari Batam dan Singapura. Nikmati wisata belanja anda tanpa mengeluarkan uang banyak di sini, Parepare.
Wisata Kota / City Tour
Taman Bermain Lamario
Taman bermain ini terletak di Jalan Mattirotasi, Cappa Galung, yang dilalui oleh bus-bus pengangkutan antar kota maupun antar propinsi. Objek yang berada tepat di tepi laut ini sering dijadikan sebagai sarana peristirahatan bagi kendaraan yang melintasi kota Parepare.
Pemandangan di sekitar tempat ini sangat menarik. Berbagai jenis dan bentuk perahu nelayan terparkir di sepanjang pantai. Anda pun dapat melakukan berbagai aktivitas wisata di sini mulai dari memancing di bawah patung perahu. Bermain Bola Voli pun bisa. Anda bahkan mungkin tidak sadar jika telah menghabiskan waktu yang cukup lama di tempat ini.
Lokasi wisata ini tepat bagi yang membawa keluarga dengan anak-anak kecil karena taman ini menyediakan sarana bermain bagi si kecil seperti ayunan, perosotan dan lain-lain. Anda dapat dengan tenang meresapi suasana pantai tanpa harus mencemaskan anak-anak anda.
Pada malam hari tempat ini juga di penuhi oleh masyarakat sekitar, khususnya anak-anak remaja, yang melakukan berbagai aktivitas. Pada malam hari tempat ini juga dijejali oleh penjual jajanan berbagai makanan ringan.
Pelabuhan Cappa Ujung
Nama pelabuhan ini sendiri sudah menarik, yakni menggunakan dua kata yang bermakna sama yaitu ‘Cappa’ dan Ujung. Dalam bahasa Bugis ‘Cappa’ berarti ujung. Cappa Ujung berarti Ujungnya Ujung. Mungkin karena letaknya berada di dekat teluk yang memisahkan Tanjung Ujunglero Kab. Pinrang dengan Parepare. Masyarakat Parepare memang dikenal sering menggunakan dua bahasa bercampur dalam keseharian mereka, yakni bahasa Indonesia bercampur kosakata Bugis atau sebaliknya.
Pelabuhan ini terletak di sebelah barat Kota Parepare, di sini anda dapat melihat aktivitas para anak buah kapal penyeberangan. Rata-rata kapal itu memiliki bentuk seperti kapal pinisi. Pemandangan laut di sekitar tempat ini sangat menarik dengan jejeran kapal-kapal nelayan tradisional tertambat di tepi pantai. Juga terdapat pasar tradisional yang menjadikan tempat ini menjanjikan segudang aktivitas wisata yang dapat anda lakukan.
Alun – alun kota Lapangan Makkasau
Lapangan ini juga menjadi landmark bagi kota Parepare. Alun-alun ini dapat dijangkau dengan mudah karena berada di tengah kota. Kemudahan akses ini menjadi alasan mengapa alun-alun ini sering menjadi tempat pagelaran event-event pertunjukan seni modern dan tradisional..
Lapangan olah raga ANDI MAKKASAU ini ramai pada sore hari. Warga kota menggunakan lapangan ini sebagai tempat berbagai kegiatan. Mulai dari sekedar membawa anak – anak dan keluarga untuk bermain di taman bermain yang tersedia, ataupun berolah raga dengan jogging mengelilingi lapangan. Juga bermain sepak bola atau berbagai jenis olah raga yang menjadi kegemaran masyarakat kota Parepare.
Gedung Kantor Walikota Parepare
Terletak di Jl. Jenderal Sudirman No. 78 Parepare, dari gedung inilah roda pemerintahan Kota Parepare dijalankan. Berdiri kokoh di daerah pegunungan dengan udara yang sangat sejuk. Dari tempat ini anda dapat menikmati Kota Parepare dari atas pegunungan, melihat langsung Teluk Pare yang menyajikan panorama eksotis. Pada malam hari, anda dapat menyaksikan kota Parepare yang bermandikan cahaya lampu yang berasal dari rumah-rumah penduduk.

Pelabuhan Nusantara
Sebagai pelabuhan utama di Kota Parepare, posisi pelabuhan ini sangat mendukung mobilitas penumpang dan barang yang ingin menyeberangi pulau-pulau lain yang ada di Nusantara ini begitu pula sebaliknya. Di sekitar pelabuhan ini terdapat berbagai aktivitas masyarakat yang bisa anda saksikan ketika berkunjung. Tak hanya itu, anda juga dapat menikmati keindahan dermaga pada sore hari ketika matahari terbenam memancarkan warna merah keemasan yang menghiasi biru langit.
Letaknya yang strategis yakni berada di pusat kota akan mempermudah anda untuk mengunjungi dan menjelajahi kota Parepare.
Terminal Induk Lumpue
Berada tidak jauh dari pintu gerbang perbatasan Kota Parepare dengan Kabupaten Barru dan Objek Wisata Permandian Pantai Lumpue, terdapat terminal induk Lumpue
Terminal ini berfungsi sebagai tempat pemungutan retribusi bagi kendaraan luar kota yang melintas di Kota Parepare, dengan waktu tempuh sekitar 15 menit dari pusat kota, dan jika anda ingin bepergian keluar daerah di seluruh daratan Pulau Sulawesi ini, Terminal induk Lumpue ini adalah tempat yang tepat untuk mencari informasi tentang jalur dan kendaraan apa yang akan anda gunakan menuju daerah yang anda tuju.
Islamic Centre
Islamic Centre yang terletak di Jl. Agussalim adalah pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan agama islam. Puncak menara kompleks ini menawarkan pemandangan seluruh kota Parepare dari ketinggian.
Monumen Patung Pemuda
Monumen Patung Pemuda digambarkan dengan patung seorang pemuda yang membawa buku dan obor sebagai simbol pemuda-pemudi Kota Parepare memiliki semangat untuk terus belajar dan berkembang. Monumen ini berdiri kokoh di pertigaan Jl.Bau Massepe, Jl. Agussalim dan Jl. Pemuda.

Kawasan Pasar Senggol dan Sekitarnya
Pasar senggol, adalah ikon wisata belanja malam Kota Parepare. Siang hari, kawasan ini sangat tenang, namun akan terasa sangat berbeda jika malam tiba. Pada malam hari, kawasan ini berubah menjadi pusat keramaian warga. Di kawasan ini, ratusan pedagang menjajakan berbagai keperluan warga Parepare, juga para wisatawan dari luar kota.
Kawasan Pasar Senggol ini terkenal sebagai pusat berbagai jenis pakaian bekas yang bagi masyarakat Sulawesi Selatan disebut ‘Cakar’. Penamaan Cakar berasal dari singkatan “Cap Karung”, untuk menyebut jenis pakaian yang asalnya memang dari sebuah karung (Bal). Meski merupakan pakaian bekas atau loakan, namun jangan ragukan kualitasnya.
Berbagai merek-merek terkenal dapat anda temukan, tentunya dengan harga murah. Kaos bermerek Polo, misalnya, bisa anda beli dengan hanya mengeluarkan uang sebesar Rp. 20.000,- saja. Untuk sebuah celana jeans bermerek Levi’s atau Calvin Klein bisa anda dapatkan dengan harga Rp. 50.000,-.
Tak hanya pakaian bekas, di kawasan Pasar Senggol ini anda juga dapat mencari barang lain seperti jaket, dasi, ikat pinggang, kaos kaki, jas, blazer sepatu, tas dan dompet. Bahkan, pakaian dalam. Anda tak perlu mengeluarkan uang ratusan ribu untuk mendapatkan dompet tangan bermerek. Cukup dengan uang Rp.50.000,-, anda sudah bisa membawa pulang dompet tangan bermerek Luis Vitton. Bahkan barang untuk keperluan mempercantik rumah anda seperti tirai, bed cover atau selimut. Semuanya dijual dengan harga miring.
Selain menawarkan berbagai keperluan dengan harga miring, letaknya yang berada di pusat kota menjadi salah satu daya pikat bagi pengunjung untuk tetap memadati area ini pada malam hari. Di Kawasan ini juga tersedia restaurant dan rumah makan yang menyajikan berbagai jenis makanan. Tak akan sulit mencari restaurant dengan masakan tradisional setempat, masakan nusantara sampai chineese food dapat anda nikmati disini dengan harga yang bervariasi namun tidak memberatkan kantong anda. Berbagai sarana akomodosi juga terdapat di sekitar kawasan ini.
Monumen Adipura
Masih di sekitar kawasan pasar senggol, juga terdapat Monumen Adipura yang dibangun sebagai tanda keberhasilan kota ini meraih Piala Adipura sebagai kota terbersih. Tentunya ini bukan sekedar simbol saja, tanpa tugu Adipura pun anda tetap akan sepakat bahwa kota ini memang betul – betul bersih dan indah ketika anda berada di kawasan ini dan sekitarnya. Berbagai kafe – kafe tenda dapat menjadi pilihan bagi anda jika ingin menyantap makanan dan menikmati minuman sambil menghadap menikmati suasana pantai.
Wisata Alam dan Budaya
Desa Bacukiki
Desa ini terletak sekitar 30 menit ke arah tenggara dari pusat kota. Desa ini merupakan wilayah bekas Kerajaan Bacukiki yang berdiri sekitar abad XV. Sebuah batu yang dianggap keramat bagi penduduk sekitar menjadi simbol dari penamaan wilayah ini. Bacukiki berasal dari kosa kata Bugis’Batukiki’ yang berarti Batu Meringkik.
Konon, dari batu ini seringkali terdengar ringkikan kuda yang menandakan datangnya salah satu dari tiga hal yakni; adanya kematian di kalangan istana, akan ada wabah penyakit menyerang kampung, dan adanya musibah seperti kebakaran. Penduduk setempat menyatakan suara ringkikan kuda itu terakhir terdengar sepuluh tahun lalu dari batu yang berada persis di belakang rumah dinas kepala sebuah sekolah dasar ketika seorang menantu dari penguasa terakhir Kerajaan Bacukiki meninggal dunia Kini, rumah dinas itu dibiarkan terbengkalai tak berpenghuni karena tak seorang pun berani menempatinya.
Sisa-sisa peninggalan kerajaan kini disimpan di Museum Labangengnge’, sementara pada bekas berdirinya Saoraja (istana raja) kini berdiri sebuah mesjid yang berada tepat di depan Kantor Kelurahan Wattang Bacukiki.
Sebagai wilayah peninggalan zaman kerajaan, sebagian masyarakat desa ini masih memelihara keyakinan mereka pada Dewata Sewuae. Sebuah kepercayaan sebelum datangnya Islam ke bumi Sulawesi. Para penganut kepercayaan itu dikenal dengan nama Tau Lotang yang banyak tersebar di kabupaten lain yaitu Sidrap dan Wajo.
Tak jauh dari dari desa ini terdapat sebuah bukit yang bernama Bulu Ruangnge. Penganut Tau Lotang meyakini bahwa di bukit inilah ’To Manurung’ pertama kali menampakkan diri. To Manurung inilah yang menjadi awal adanya raja-raja yang memerintah kerajaan Bacukiki. Setiap akhir Januari kaum Tau Lotang ini berkumpul di Bulu Ruangnge mengadakan ibadah ’naik haji’. Tau Lotang ini juga berkumpul di sebuah wilayah di Kabupaten Wajo setiap awal Januari.
Obyek Wisata Sumur Jodoh
Terletak di sebelah utara Kota Parepare, berada dalam Kelurahan Watang Soreang yang berjarak kurang lebih 7 Km dari pusat kota. Objek ini dapat dijangkau oleh segala jenis kendaraan dengan waktu tempuh sekitar 20 menit.
Sumur ini dipercayai oleh penduduk setempat dapat membawa berkah bagi orang yang berkunjung. Rata – rata pengunjung datang dengan tujuan beraneka ragam, namun sebagian besar berharap berkah airnya dapat memberi pasangan hidup (jodoh) dalam waktu cepat.
Terlepas dari legendanya, sumur ini sekilas tampak tidak berbeda dengan sumur – sumur lain. Bedanya, sumur ini terletak agak menjorok ke laut di bibir pantai sehingga ketika anda melihat langsung, kemungkinan anda akan berpikir bahwa air sumurnya terasa asin seperti air laut. Namun, inilah keunikan sumur ini karena air sumur jodoh ini sama sekali tidak asin tapi tawar. Menurut penduduk sekitar, air sumur ini tak pernah kering meski di musim kemarau.
Bagi anda yang belum mendapatkan jodoh, tak ada salahnya mengunjungi sumur ini. Namun bila anda termasuk kalangan yang tak mempercayai mitos seperti ini, juga tak salah bila mengunjungi objek yang menyajikan suasana perkampungan nelayan Desa Cempae yang berada di lengkungan Teluk Pare. Anda dapat menyaksikan langsung para nelayan menyisik jaring penangkap ikan atau aktifitas keseharian mereka.
Objek Wisata Gua dan Air Terjun Tompangnge
Gua Tompangnge berada di sebelah Tenggara Kota Parepare. Dapat ditempuh dengan waktu kurang dari 45 menit dari pusat kota, gua alam ini sering juga disebut Gua Kelelawar karena dihuni oleh ribuan ekor kelelawar. Anda juga bisa menjumpai binatang-binatang melata lainnya seperti biawak dan beberapa jenis ular di sekitar gua ini.
Gua ini sangat cocok bagi anda yang menyukai wisata alam petualangan. Untuk menggapai gua ini anda harus berjalan kaki sekitar dua kilometer menyusuri perbukitan. Jangan khawatir, anda tak akan merasa lelah karena di sepanjang perjalanan anda disuguhi oleh hamparan kebun nan hijau yang berada di perbukitan.
Lokasi ini menjadi lebih menarik lagi karena di sekitar gua ini terdapat air terjun yang mana airnya mengalir dari untaian akar-akaran yang menggantung dari puncak bukit yang ada di sebelah Gua Tompangnge.
Pantai Lumpue dan Pantai Tonrangeng
Pantai Lumpue memiliki pemandangan khas pantai tropis, dengan pohon kelapa yang melambai-lambai. Di sisi kanan terdapat bukit batu yang menjulang. Di sebelah bukit batu ini, sekitar 100 meter dari Pantai Lumpue juga terdapat Pantai Tonrangeng yang tidak kalah cantik dengan pasir putihnya.
Di Pantai Tonrangeng anda juga dapat menikmati pemandangan laut lepas dan sekumpulan perahu-perahu tradisional khas suku Bugis milik melayan desa setempat yang tertambat di tepi laut.
Jika anda ingin berkunjung ke Pantai Lumpue dan Tonrangeng, caranya cukup mudah karea semua jenis kendaraan dapat menuju ke sini. Dari pusat kota anda dapat menggunakan sarana transportasi angkutan kota yang lebih dikenal dengan nama 'pete-pete' atau dengan menyewa motor ojek. Umumnya angkutan kota di kota ini berwarna kuning, carilah angkot dengan jurusan Lumpue, tarif yang dikenakan hanya Rp. 2.500/orang dengan waktu tempuh sekitar 15 menit.
Biaya masuk hanya Rp. 3.000 untuk orang dewasa dan Rp. 2.000 untuk anak-anak. Tempat ini juga menyediakan fasilitas tempat istirahat yang biasa disebut Bola Bale-Bale dengan tarif Rp. 20.000 untuk sekali pakai tanpa dibatasi jam pemakaian.khusus di Pantai Tonrangeng anda tidak dipungut biaya masuk, hanya sewa tempat istirahat saja yang tarifnya rp. 15.000 – Rp. 30.000/tenda. Bila anda ingin melewatkan malam, anda bisa menyewa pondokan dengan tarif Rp. 200.000 permalam.
Pantai Bibir
Pantai ini berada di sebelah selatan kota, tepatnya di sekitar persimpangan antara Jl.Bau Massepe dan Jl. Mattirotasi. Penduduk Parepare menyebut wilayah ini Cappa Batue. Pantai Bibir memiliki pemandangan yang sangat indah, apalagi pada sore hari ketika matahari mulai terbenam.
Sajian lanskap matahari berwarna keemasan turun perlahan di balik gugusan bukit Tanjunglero dengan latar laut dan langit biru niscaya akan memanjakan hati dan mata anda. Siluet nelayan dengan perahu-perahu tradisional di atas ombak tenang menambah pesona pantai.
Puluhan kafe berderet di sepanjang pantai siap menyuguhkan aneka jenis minuman dan makanan ringan untuk menemani anda menikmati pemandangan. Anda juga bisa memilih untuk berjalan-jalan sore dan berhenti di titik yang anda inginkan untuk menikmati matahari terbenam.
Hutan Taman Kota Jompie
Tak banyak daerah yang memiliki kawasan hutan kota. Kota Parepare adalah salah satu dari sedikit kota yang ada di Sulawesi yang menawarkan wisata hutan kota. Lebih unik lagi Hutan Kota Jompie ini berada tepat di tengah-tengah pemukiman penduduk yang lumayan padat.
Di lokasi wisata ini terdapat banyak jenis tumbuhan langka yang sudah berusia sangat tua. Pohon-pohon jati dan cenrana angsana tua dan berukuran besar dengan akar panjang teruntai dapat dijumpai di hutan ini. Begitupun dengan pohon anggrek atau nenas dapat anda temukan.
Undakan pedestrian akan menuntun anda mengitari kawasan hutan seluas sekitar 13,5 Ha. Tersedia pula fasilitas peristirahatan sepanjang pedestrian ketika anda ingin menikmati kesegaran udara atau sekadar ingin duduk di tengah rimbun hijau pepohonan hutan dan mendengarkan kicau berbagai jenis burung yang ada di hutan ini.
Hutan kota ini berada di area perbukitan dan lembah-lembah. Puncak bukit dalam kawasan wisata ini menawarkan pemandangan sebagian besar kota Parepare yang berada di pesisir teluk. Hutan Kota Jompie juga menyediakan berbagai fasilitas lain yang mendukung berbagai aktivitas wisata antara lain; tempat berkemah, pendopo atau tempat lesehan.
Bagi anda yang menyukai olahraga renang, kawasan hutan kota ini juga menyediakan fasilitas kolam renang yang airnya diambil dari mata air yang ada di tengah hutan Jompie. Kawasan hutan ini juga dapat di jadikan sebagai tempat penelitian khususnya untuk meneliti berbagai jenis flora dan fauna yang hidup dalam kawasan hutan ini.
Hampir semua jenis kendaraan darat dapat digunakan untuk mencapai tempat ini. Dari pusat kota anda naik angkot Jurusan Soreang atau menyewa jasa motor ojek dengan tarif Rp.2.500/orang dengan waktu tempuh sekitar 10 menit. Biaya masuk lokasi wisata ini hanya sebesar Rp.2000/orang.
Sungai Karajae
Sungai Karajae merupakan salah satu sungai yang ada di Kota Parepare. Sungai yang membelah Kecamatan Bacukiki ini sangat cocok bagi anda yang menyenangi aktivitas trekking. Anda tidak hanya disuguhi pemandangan alam yang indah ketika menyusuri sungai tetapi anda juga dapat menyaksikan berbagai jenis binatang seperti Biawak, Ikan Air tawar, hinga Ular-ular yang bergelantungan di pohon-pohon sepanjang pesisir sungai ini.

KOTA PAREPARE


Selamat Datang di Kota Parepare
KOTA cantik ini terletak di tepi pantai di kaki perbukitan. Suguhan pemandangan matahari terbit dan langit merah keemasan di kala matahari terbenam dengan latar laut biru, deretan rumah toko, pelabuhan di pusat kota, penduduk Parepare memulai rutinitasnya sehari-hari sungguh sebuah sajian istimewa dari kota ini. Di Provinsi Sulawesi Selatan, Parepare adalah kota terbesar kedua setelah Kota Makassar.
Perniagaan dan jasa yang ditawarkan masyarakatnya seperti menjadi ciri kota kelahiran presiden RI ke 3 B.J Habibie. Kota Bandar Madani ini identik dengan banyak toko dan warung di kawasan pusat kotanya. Sebagai kota pelabuhan, hilir mudik kapal juga menjadi tontonan sehari-hari.
Sekilas Sejarah Parepare
            Dahulu daerah ini adalah dataran tinggi yang ditumbuhi semak-semak belukar yang diselang-selingi oleh lubang-lubang tanah yang agak miring yang tumbuh secara liar tidak teratur, mulai dari utara (Cappa Ujung) hingga ke jurusan selatan kota. Kemudian, dengan melalui proses perkembangan sejarah sedemikian rupa dataran itu dinamakan Kota Parepare.
Lontara Kerajaan Suppa menyebutkan, sekitar abad XIV seorang anak Raja Suppa meninggalkan istana dan pergi ke selatan mendirikan wilayah tersendiri pada tepian pantai. Wilayah tersebut kemudian dikenal sebagai Kerajaan Soreang, kemudian satu lagi kerajaan berdiri sekitar abad XV yaitu Kerajaan Bacukiki.
Dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tonipallangga (1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan, Raja Gowa ini tertarik dengan pemandangan indah terhampar dan spontan berkata: “Bajiki Ni Pare” yang dalam bahasa Makassar berarti “Baik dibuat sebagai (pelabuhan Kawasan). Sejak itulah melekat nama Parepare Kota Pelabuhan. Parepare akhirnya ramai dikunjungi termasuk orang-orang Melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.
Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di depannya, serta keramaian karena sering dikunjungi orang-orang, maka Belanda pertama kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda bermarkas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara Sulawesi Selatan yang berpusat di Parepare untuk wilayah Ajatappareng.
Pada zaman Hindia Belanda, di Kota Parepare, berkedudukan seorang Asisten Residen dan seorang Controlur atau Gezag Hebber sebagai Pimpinan Pemerintah (Hindia Belanda), dengan status wilayah pemerintah yang dinamakan -Afdeling Parepare- yang meliputi, Onder Afdeling Barru, Onder Afdeling Sidenreng Rappang, Onder Afdeling Enrekang, Onder Afdeling Pinrang dan Onder Afdeling Parepare.
Pada setiap wilayah/Onder Afdeling berkedudukan Controlur atau Gezag Hebber. Disamping adanya aparat pemerintah Hindia Belanda tersebut, struktur Pemerintahan Hindia Belanda ini dibantu pula oleh aparat pemerintah raja-raja bugis, yaitu Arung Barru di Barru, Addatuang Sidenreng di Sidenreng Rappang, Arung Enrekang di Enrekang, Addatung Sawitto di Pinrang, sedangkan di Parepare berkedudukan Arung Mallusetasi. Struktur pemerintahan ini, berjalan hingga pecahnya Perang Dunia II yaitu pada saat terhapusnya Pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1942.
Pada zaman kemerdekaan Indonesia tahun 1945, struktur pemerintahan disesuaikan dengan undang-undang no. 1 tahun 1945 (Komite Nasional Indonesia). Dan selanjutnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1948, dimana struktur pemerintahannya juga mengalami perubahan, yaitu di Daerah hanya ada Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) dan tidak ada lagi semacam Asisten Residen atau Ken Karikan.
Pada waktu status Parepare tetap menjadi Afdeling yang wilayahnya tetap meliputi 5 Daerah seperti yang disebutkan sebelumnya. Dan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan dan pembagian Daerah-daerah tingkat II dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, maka ke empat Onder Afdeling tersebut menjadi Kabupaten Tingkat II, yaitu masing-masing Kabupaten Tingkat II Barru, Sidenreng Rappang, Enrekang dan Pinrang, sedang Parepare sendiri berstatus Kota Praja Tingkat II Parepare. Kemudian pada tahun 1963 istilah Kota Praja diganti menjadi Kotamadya dan setelah keluarnya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka status Kotamadya berganti menjadi -KOTA- sampai sekarang ini.
Parepare Ada Di Sini
Secara geografis, Kota Parepare terletak pada koordinat antara 03° 57’ 39” sampai 03° 57’ 39” Lintang Selatan dan 119° 36’ 24” sampai 119° 43’ 40” Bujur Timur. Kota ini tidak terlalu jauh dari ibu kota provinsi dan berada di titik tengah Provinsi Sulawesi Selatan sehingga cukup strategis mengingat kemudahan akses dengan kota lain seperti Toraja, Palopo, Watampone, Majene serta Makassar. Jaraknya lebih kurang 155 kilometer dari Makassar ke arah utara atau memakan waktu sekitar 3-4 jam perjalanan darat.
Posisi yang tepat di pesisir Selat Makasar yang memisahkan Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan sehingga arus lalu lintas antarpulau ini pun menjadi salah satu layanan yang memudahkan siapapun untuk menuju ke kota Bandar Madani ini.
Kota yang berpenduduk kurang lebih berjumlah 118.266 jiwa (tahun 2005) ini mempunyai luas sekitar 99,33 km², terdiri 4 kecamatan yakni Soreang, Bacukiki, Ujung dan Bacukiki Barat. Sedang wilayah kotanya sendiri diapit oleh kabupaten Pinrang, Sidenreng Rappang, Barru, selat Makassar, Enrrekang serta Majene. Istilah lain untuk wilayah-wilayah tersebut adalah Ajatappareng dengan Parepare sebagai induk pemerintahan. Kondisi alamnya sebagian besar berupa perbukitan serta pantai.
 Mengapa Anda Harus ke Parepare
 Kota ini memiki kaitan dengan sejarah Republik Indonesia, dimana B.J Habibie, Presiden RI ke 3 lahir dan menghabiskan masa kecilnya. Rumah bekas kediaman BJ Habibie terletak di Jl. Bau Massepe.
Parepare berada tepat di tengah provinsi dan diapit oleh kabupaten-kabupaten sekitarnya menjadikan kota ini begitu mudah dijangkau melalui darat, begitu pula sebaliknya. Posisi yang tepat di pesisir Selat Makasar yang memisahkan Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan sehingga arus lalu lintas antarpulau ini pun menjadi salah satu layanan yang memudahkan siapapun untuk menuju ke kota Bandar Madani ini melalui transportasi laut.
Jarak objek wisata begitu dekat, yang terjauh hanya membutuhkan sekitar 45 menit dari pusat kota. Akses transportasi ke objek wisata pun sangat beragam, mulai dari ojek, becak sampai angkutan umum dengan tarif murah. Tidak ada kesulitan bagi anda yang hendak berkunjung, pergi, atau hanya singgah di kota ini.
Berjalan-jalan di dalam kota, menikmati denyut nadi kota pelabuhan ini pun bisa menjadi pilihan wisata menarik. Rerindang pohon yang tumbuh di tepi jalan membawa suasana teduh dan nyaman menemani perjalanan menikmati struktur kota yang sangat bersih ini. Tercatat, telah dua belas kali kota ini meraih Piala Adipura, penghargaan tertinggi untuk kota-kota terbersih di Indonesia.
Bagaimana Ke Parepare?
Via darat
            Parepare dapat dijangkau melalui transportasi darat melalui Makassar. Berbagai sarana transportasi darat melayani penumpang yang ingin ke Parepare. Bagi yang berasal dari luar Sulawesi Selatan dan menggunakan jasa penerbangan, setelah tiba di Bandara Hasanuddin kami menyarankan anda menumpang angkutan antar kota yang disediakan oleh Perum Damri. Mintalah supir pete-pete (angkot) untuk mengantar anda ke Terminal Daya. Di terminal ini anda bisa memakai bus Damri. Dengan mengeluarkan uang sebesar Rp. 30.000 saja anda akan menikmati perjalanan darat dengan bus ber-ac dan tempat duduk yang lapang.
Waktu tempuh yang digunakan selama 3-4 jam perjalanan. Selama 3 jam itu anda akan disuguhi pemandangan hamparan sawah dan pegunungan, juga pesona pesisir Laut Sulawesi. Anda juga dapat menikmati wisata kuliner dengan menyinggahi beberapa pusat makanan tradisional yang berjejer di sepanjang jalur Makassar – Parepare, semisal Dange Panas di Pangkep dan Gogos di Kab. Barru.
Bila anda ingin tiba lebih cepat, anda bisa menggunakan jasa transportasi mobil jenis MVP atau AVP yang dikenal dengan istilah ‘panther’ sesuai dengan salah satu merek jenis mobil ini. Tarifnya lebih mahal sedikit yaitu Rp. 30.000,- hingga Rp.35.000,- namun hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 2 – 3 jam.
 Via laut
Parepare merupakan kota pelabuhan yang memiliki pelabuhan sebagai prasarana utama dalam transportasi laut, dimana pelabuhan yang terbesar adalah pelabuhan nusantara sebagai pelabuhan penumpang. Kapal-kapal singgah di dermaga yang berada di pusat kota. Terdapat 2 pelabuhan kota yakni pelabuhan induk Nusantara dan pelabuhan Lontangnge dan pangkalan Cappa Ujung yang dapat disinggahi berbagai jenis kapal. Selain kapal penumpang PELNI seperti Lambelu, Tidar, Agoamas juga kapal kargo, kapal milik swasta nasional maupun pengusaha setempat. Disamping kapal tradisional dan beberapa perahu nelayan Phinisi, bahkan banyak pula kapal pesiar merapat menurunkan turis mancanegara guna melanjutkan perjalanan ke Tana Toraja dan beberapa daerah tujuan wisata lainnya.
 Aktivitas
Mulailah hari anda di pagi hari dengan menikmati kesejukan semilir angin di kota Bandar Madani ini dengan menyusuri jalan-jalan kota yang rindang nan bersih. Jangan lewatkan untuk mencoba penganan tradisional khas Bugis yaitu Putu Berre’ yang dapat anda jumpai di pertigaan Jl. Bau Massepe dan Kawasan Hastom (Jalan Hasanuddin dan Jalan Patompo). Tak sulit mencari makanan khas yang terbuat dari beras ketan dan parutan halus kelapa ini, beberapa penjual menyajikannya di tepi jalan sekitar Kawasan Hastom.
            Setelah menikmati suasana pagi, tiba saatnya anda mengunjungi objek-objek wisata. Kota ini memiliki berbagai pilihan wisata bagi anda. Bila anda penyuka pantai, beberapa obyek seperti Pantai Lumpue, Pantai Tonrangeng, Pantai Bibir dan Pantai Mattirotasi dijamin akan memuaskan anda.
            Begitupun dengan pencinta wisata alam dan budaya, akan terpuaskan ketika mengunjungi Hutan Kota Jompie, Sungai Karajae, Gua Tompangeng, Kawasan Budaya Bilalangnge dan Sumur Jodoh Cempae. Kota Bandar Madani ini juga menyediakan wisata bangunan bersejarah seperti Monumen Korban 40.000 yang berdekatan dengan Masjid Agung. Berbagai tugu juga tersebar di kota ini antara lain Tugu Selamat Datang, Tugu Adipura, Tugu Lumba-Lumba, Patung Pemuda dan Patung Bau Massepe (Pahlawan nasional dari kota Parepare). Jangan lewatkan pula untuk mengunjungi Museum Labangenge di Jl. Bau Massepe
Istirahatkan tubuh anda setelah mengunjungi objek-objek wisata dengan menikmati matahari tenggelam di Teluk Pare dengan hamparan Tanjung Ujung Lero. Ada dua pilihan yaitu di Pantai Bibir dan Pantai Mattirotasi. Mulailah susuri Pantai Bibir dengan berjalan kaki sambil menanti datangnya matahari terbenam. Pilihlah salah satu kafe yang berjejeran di bibir Pantai Bibir ini, mulailah menikmati bola merah keemasan perlahan menepi di balik Tanjung Ujung Lero. Untuk menemani, anda bisa memesan minuman hangat dan makanan ringan untuk menepis dingin dan lapar yang mulai menyapa.
Ketika matahari telah benar-benar terbenam, lanjutkan perjalanan anda menuju Pantai Mattirotasi. Lokasi ini tepat dijadikan sebagai tempat untuk bersantap malam. Berbagai menu seperti Nasi Goreng, aneka jenis olahan Mie dan Gado-Gado dapat anda pesan dari salah satu warung tenda di tepi pantai ini. Harga-harga makanan ini tak lebih dari Rp. 15.000 perporsi.
Saatnya, bila perut telah cukup terisi, untuk menikmati kehidupan malam kota ini. Tak jauh dari pantai ini terdapat Tugu Adipura yang didirikan untuk mengingatkan penduduk Parepare akan keberhasilan mereka mempertahankan kebersihan kotanya. Sepemandangan mata dari tugu, baruga Kawasan Pasar Senggol akan menyapa anda. Pasar Senggol adalah trade mark dari kota pusat niaga, jasa dan pendidikan ini. Kawasan ini terkenal akan barang-barang bekas bermerek dengan harga terjangkau. Tak perlu mengeluarkan dana terlalu banyak untuk bisa puas berbelanja.
Anda juga dapat memilih menikmati gemerlap lampu-lampu yang menghiasi kota Parepare di malam hari dengan berdiri di salah satu sudut di Jalan Sudirman dekat Kantor Walikota Parepare. Bagi anda yang ingin melewatkan malam hari ketika berada di kota Parepare, anda dapat menikmati berbagai pilihan suguhan yang anda inginkan. Di kota ini terdapat beberapa Singing Hall, Café, Diskotik, hingga hiburan pemusik jalanan. Jika malam minggu tiba, jalan – jalan utama di kota ini di penuhi para pengendara baik masyarakat kota Parepare itu sendiri, juga dari daerah lain pun, tumpah ruah memenuhi tempat – tempat hiburan yang ada di kota ini. (Tim Penyusun Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Kota Parepare Tahun 2006  Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Perkotaan Wilayah (LP2PW) Makassar)

Selasa, 04 Mei 2010

Tuhan Tempat Pelarian?

Oleh: Komaruddin Hidayat


TIDAK salah jika seseorang mendekat kepada Tuhan di kala duka,ketika tertimpa musibah berat. Bukankah Tuhan Maha Pengasih, Maha Penggembira,dan Maha Penolong? Namun pantaskah seseorang ingat dan mengiba kepada Tuhan hanya di kala duka, sementara di waktu senang tidak pernah mengingat, memuji, danberterimakasih? Cobasaja bayangkan dan analogikan dengan kehidupan sehari-hari.Seorang ibu yang penuh kasih tentu selalu berlapang dada menerima anak-anaknya yang dirundung masalah. Namun sungguh anak itu tidak bermoral dan akan dinilai durhaka ketika hidupnya senang lalu melupakan cinta dan hormatnya kepada ibu.
Demikianlah, dalam kehidupan beragama banyak terjadi perilaku serupa.Mereka rajin berdoa, bersembahyang, berumrah, dan bersedekah ketika dirundung masalah. Padahal,menurut sabda Rasulullah, doa yang didengar dan dikabulkan Tuhan itu adalah doa yang selalu dipanjatkan baik di kala suka maupun duka.Jadi,jangan keburu mengeluh Tuhan tidak peduli terhadap doa seseorang jika dia berdoa hanya di waktu duka. Di situlah salah satu rahasia kekuatan doa dan sembahyang yang dianjurkan agar dilakukan setiap hari.Bahkan perintah ingat kepada Tuhan adalah agar dilakukan kapan saja, di mana saja.Tuhan tidak mengenal birokrasi, baik yang menyangkut ruang maupun waktu,sehingga siapa pun dan dalam situasi apa pun bisa menjumpai Tuhan untuk mengadukan segala persoalan hidupnya.
Siapa pun bebas menjumpai Tuhan sebagaimana mereka juga bebas untuk berpaling dari Tuhan,bahkan mengingkari Tuhan. Di sinilah keunikan beragama dan di sini pula keluhuran serta kesucian kualitas manusia akan teruji. Dalam menghayati iman dan cinta kepada Tuhan,sesungguhnya seseorang tengah mengaktualisasikan kemerdekaannya yang paling tinggi dan tengah membebaskan diri dari dominasi egonya agar diganti dengan sifat-sifat Ilahi. Proses internalisasi sifat Tuhan inilah barangkali yang tersirat dalam doa: “Datanglah Kerajaan-Mu di hati ini dan berlakulah kerajaan- Mu di muka bumi.” Mengapa menghayati iman merupakan pembebasan diri? Sebab, pilihan untuk mencinta serta pasrah kepada Tuhan sebagai sumber segala kebaikan merupakan pilihan bebas, hasil sebuah pergulatan spiritual dan akal budi yang tak seorang pun bisa memaksa ataupun melarang.
Oleh karenanya saat dialog dengan Tuhan,sesungguhnya pada waktu yang sama seseorang juga melakukan dialog dengan diri sendiri. Adakah dialog itu dijiwai rasa syukur, rasa penyesalan, penuh permintaan ataukah datar-datar saja,semuanya itu akan berpulang pada kesadaran dan situasi batin seseorang. Dengan demikian,ketika seseorang berdoa atau tengah melakukan pengakuan dosa, semestinya juga disertai keinginan kuat untuk melakukan perbaikan diri karena kehendak dan karya Tuhan hanya berlaku pada mereka yang membuka dirinya bagi kehadiran Tuhan. Maka ketika makna dan fungsi agama dipahami dan dihayati tak lebih sebagai himpunan dogma tentang surga-neraka atau ketika ritual agama diyakini hanya sebagai ritus pemutihan dosa, bisa dipastikan agama akan kehilangan etos dan spiritnya bagi pembinaan pribadi dan perilaku sosial yang mendukung bagi terwujudnya peradaban unggul.
Doa-doa lalu berubah bagaikan mantra-mantra untuk mengobati frustrasi ataupun untuk mengejar pangkat dan mengawetkan jabatan.Tuhan lalu diposisikan sebagai pesuruh manusia, bukan ekspresi cinta dan kepasrahan. Dalam kaitan ini, tidak mengherankan jika para pejabat tinggi negara senang berkonsultasi kepada dukun ketimbang kepada psikiater karena ingin cepat naik pangkat dan tanpa kerja keras.Cukup dengan mantra-mantra. Dalam bentuknya yang lain, mantramantra itu berubah menjadi suap. Sebab,dengan keberagamaan kita yang seperti itu, nilai agama tidak banyak berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.(*)


ADAPTASI DALAM KELUARGA SAKINAH

PostDateIcon Monday, 03 May 2010 04:54 | PostAuthorIcon Author: Administrator |

Alasan klasik orang berpacaran sebelum memasuki jenjang pernikahan adalah untuk mengenal lebih dekat calon pasangan. Selain untuk mencoba saling memahami karakter dan kualitas pasangan, konon pacaran dapat dijadikan sarana untuk proses adaptasi yang lebih intens sebelum menikah. Sehingga, masing-masing pasangan lebih siap secara dini atas semua kelemahan dan kelebihannya. Pertanyaannya, percayakah anda terhadap teori itu?
Bagi penulis, pacaran tidak dapat dijadikan ukuran untuk mendalami karakter dan kualitas pasangan secara mendalam. Tahukah anda, bahwa pacaran itu ternyata hanya mampu mengantarkan para pelakunya untuk mengenali informasi tentang pasangan sebatas pada level permukaan. Bagi yang sudah berpengalaman, tentu memiliki jawaban sama dengan penulis. Betapa tidak, ketika berpacaran –dalam batas yang wajar—yang diperlihatkan dari sikap, perilaku, dan karakter masing-masing pasangan mungkin hanya 20-40 persen. Sisanya, antara 60-80 persen, sikap, perilaku, dan karakter aslinya masih disimpan rapat-rapat.  
Artinya, masa-masa pacaran, sejatinya masa-masa dimana para pelakunya lebih banyak bersandiwara, penuh dengan kepura-puraan. Masing-masing berlomba untuk mengenakan topeng setebal mungkin. Dapat dikatakan, bahwa orang yang berpacaran sesungguhnya sedang memerankan sifat munafik, karena semua kelemahan diri berusaha ditutupi. Masing-masing menginginkan untuk tampil yang baik-baik, enak-enak, dan menyenangkan. Sedangkan yang aib, kelemahan, dan sikap negatif lainnya ditutup rapat-rapat.
Lain ceritanya jika mereka sudah menikah. Di masa pacaran, karakter asli masih bisa ditutupi karena intensitas pertemuan masih belum optimal. Paling-paling ketemu 1 kali sampai 3 kali dalam seminggu, plus komunikasi lewat HP, Facebook, atau email. Artinya, selama mereka berpacaran, masih banyak ruang dan waktu untuk menyimpan keburukan atau kelemahan masing-masing. Namun, ketika semua telah menjadi halal dan pertemuan yang sangat intens dalam wadah pernikahan, hidup satu rumah, bertemu setiap hari dengan emosi yang begitu dekat, menyebabkan apa-apa yang selama ini terpendam selama pacaran muncul satu persatu ke permukaan.
Ketika masa berpacaran nampak sikap-sikap lemah lembut, sayang, romantis dan royal. Namun ketika mereka telah menikah, watak aslinya keluar satu demi satu. Kenapa? Karena, lembaga pernikahan membuat suasana menjadi tidak ada tabir apapun antara suami dan isteri. Ibaratnya, masing-masing memandang di ruang etalase yang dapat dilihat dari semua sudutnya. Di sinilah kemudian muncul kejenuhan, kejengkelan, dan kebosanan yang sering menimbulkan perilaku-perilaku negatif. Yang dulunya nampak lembut, ternyata kasar, yang dulunya nampak sayang ternyata cuek, yang dulunya nampak romantis ternyata dingin, yang dulunya nampak royal ternyata pelitnya minta ampun. Apalagi kalau nikahnya sudah lama, sepertinya tidak ada hal yang menarik lagi. Cerita yang manis-manis seperti terkubur oleh ingatan-ingatan negatif. Dan dalam banyak kasus, terjadi perselingkuhan, percekcokan, bahkan perceraian. Nah!
Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena masa pernikahan adalah masa dimana setiap pasangan harus menyatu dalam ruang batin yang diikat dalam satu perjanjian. Suami isteri adalah dua sosok manusia yang berbeda. Karakter beda, sikap beda, perilaku beda, kebiasaan beda, isi kepala beda, kecenderungan hati beda, dan kualitas iman pun beda. Jadi, nyaris tidak ada persamaan apapun antara satu dengan lainnya. Mungkin yang bisa mempertemukan adalah kebiasaan atau hobby. Sehingga, ketika semua perbedaan itu dipaksa bertemu dalam satu wadah yang bernama rumah tangga, maka disinilah titik problem rumah tangga menemui hakikatnya. Karenanya, pada posisi ini, faktor komunikasi sebagai ruang adaptasi bagi setiap pasangan rumah tangga menjadi sangat penting.             
Bagi pasangan baru, dan juga pasangan lama sekalipun, faktor terpenting dalam biduk rumah tangga adalah adaptasi. Adaptasi harus dilakukan secara terus menerus, hingga pada titik tertentu masing-masing pasangan dapat menerima atas segala kelemahan dan kelebihan. Meski harus berangkat dari perbedaan yang memang benar-benar beda, namun bukan berarti adaptasi tidak dapat dilakukan. Diantara beberapa perbedaan yang memerlukan adaptasi secara kontinyu adalah karakter (watak), kepribadian (personality), latar belakang budaya (culture), status sosial (social class), tingkat pendidikan (education), kebiasaan, hobby, kecenderungan ide (cita-cita), dan lain sebagainya.
Dari semua perbedaan tersebut, dapat dibayangkan bagaimana jadinya jika kedua atau salah satu dari pasangan keluarga tidak dapat melakukan, atau gagal dalam beradaptasi antara satu dengan yang lain. Sebagai manusia biasa, tentu pada saat tertentu, pasangan suami isteri akan menemui satu masalah yang menyebabkan mereka berselisih paham, atau bahkan mereka bertengkar. Sebagai contoh, soal penyikapan terhadap kenakalan anak. Seorang isteri yang lebih intens bertemu dengan anak-anak menginnginkan mereka lebih bisa memahami ibunya. Kalau tidak bisa, anak-anak sering mendapat bentakan atau bahkan pukulan dari sang ibu. Sementara sang suami melihat, anak-anak itu masih dalam masa pertumbuhan, maka sebagai orang tua harus terus mendorong, memberikan stumulus secara terus menerus, sehingga mereka harus didekati secara lebih manusiawi dan tidak harus dimarahi. Dari perbedaan cara pandang ini, hampir pasti dapat memicu konflik dalam antara suami dan isteri, bahkan dapat menimbulkan pertengkaran.
Oleh karena itu, dari semua perbedaan menyangkut karakter (watak), kepribadian (personality), latar belakang budaya (culture), status sosial (social class), tingkat pendidikan (education), kebiasaan, hobby, kecenderungan ide (cita-cita), dan lain sebagainya perlu dicarikan titik temu yang menjadikan suami dan isteri dapat menerima. Mereka harus menyepakati pada titik mana mereka harus berdamai. Istilahnya, jika satu pihak berada pada posisi 7, sedangkan pihak lain pada posisi 5, maka yang lebih tinggi harus menurunkan 1 point, dan yang lebih rendah harus menaikkan 1 point, sehingga masing-masing bertemu pada posisi 6. Tentu ini memerlukan keseriusan. Artinya, jalan kompromi harus dilakukan. Karena kompromi adalah satu jalan ideal untuk mencapai kebersamaan. Kalau terpaksa tidak dapat berkompromi, maka satu hal yang perlu diperhatikan adalah saling memahami, tidak boleh saling meremehkan, dan saling meniadakan.

Urgensi Adaptasi Keluarga Sakinah
Orang yang pertama kali mengenalkan model konsep adaptasi adalah Suster Callista Roy (1969). Konsep ini dikembangkan dari konsep individu dan proses adaptasi dengan asumsi bahwa: manusia adalah keseluruhan dari bio-psikologi dan sosial yang terus-menerus berinteraksi dengan lingkungan; manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi perubahan-perubahan bio-psikososial; setiap orang memahami bagaimana individu mempunyai batas kemampuan untuk beradaptasi dengan memberikan respon terhadap semua rangsangan baik positif maupun negatif; dan setiap manusia memiliki kemampuan adaptasi berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan, maka ia mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik positif maupun negatif.
Dalam hubungannya dengan kehidupan rumah tangga sakinah, pastinya memerlukan proses adaptasi yang intens. Setiap pasangan memiliki tingkat keberhasilan yang berbeda-beda, tergantung bagaimana masing-masing memiliki kemampuan dalam menyesuaikan antara satu dengan lainnya. Ada yang cepat, lambat, bahkan gagal di tengah jalan karena ketidakmampuan keduanya atau salah satunya dalam menerima setiap perbedaan yang memang tidak mungkin disamakan. Pertanyaannya, sampai kapan proses adaptasi berlangsung? Yaitu, sampai ketika masing-masing telah menemukan titik temu dari setiap perbedaan dalam hubungan sosialnya. Jika masing-masing telah mengetahui peta perbedaannya, maka disinilah letak kemampuan orang diuji untuk merespon, memahami, menerima atau menolaknya. 
Oleh karena itu, urgensi adaptasi dari seorang suami dan isteri yang menduduki peran penting dalam pembinaan keluarga sakinah dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu: Pertama, bahwa adaptasi adalah proses sosial yang harus disadari oleh setiap suami dan isteri. Tidak ada istilah “barang jadi”dan langsung pakai. Artinya, setiap orang memiliki kepribadian yang unik (khas), sehingga antara satu dengan yang lain perlu kerelaan untuk saling berbagi ego agar terjadi interaksi sosial yang dinamis dan produktif. Jika keduanya, atau salah satunya kuekueh dengan ego negatifnya, maka yang akan terjadi adalah pertarungan sosial dimana antara satu dengan yang lain saling mengalahkan. Ujung dari ini semua adalah pertengkaran dan perpecahan yang sangat tidak diinginkan. Intinya, adaptasi membutuhkan sikap legowo atau mau menerima atas segala keunikan personal.      
Kedua, dalam upaya mencapainya, adaptasi tidak secara otomatis dapat terjadi tanpa ada upaya masing-masing pihak untuk berkompromi demi tujuan bersama dalam membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah. Tentu, setiap proses itu tidak selalu berjalan linier, tetapi ada dinamika dan gejolak. Meminjam istilah psikologi, ada stimulus dan respon yang memiliki kualitas berbeda-beda bagi setiap orang. Oleh karena itu, agar proses adaptasi berhasil, diperlukan kemampuan dalam menggunakan ilmu, mengoptimalkan iman, mengendalikan ego, dan memanfaatkan pengalaman hidup. Maka teruslah belajar tentang kehidupan, janganlah berhenti untuk menjadi lebih baik.
Ketiga, dengan adaptasi, kita dituntut untuk tidak memiliki perasaan sempurna dalam diri kita, karena masing-masing orang membawa kelemahan dan kelebihannya. Syukurilah kelebihan apapun, meskipun kecil. Manusia diciptakan oleh Tuhan memang disebut sebagai “penciptaan terbaik” atau ahsan al-taqwim, namun manusia memiliki beban tugas yang tidak ringan untuk memelihara harmoni dalam kehidupan di dunia. Meski fitrah manusia adalah baik, namun di dalam dirinya memiliki potensi fujur (negatif) dan taqwa (positif). Sebagai makhluk yang ditugaskan sebagai khalifah di bumi, manusia telah diberi keleluasaan menggunakan kelebihan akal dan hatinya untuk digunakan secara optimal untuk memperoleh hasil yang sempurna (liyabluwakum ayyukum ahsanu amala, QS: al-Mulk: 2). Jika ada kesalahan, maka bersegeralah meminta maaf, bagi yang merasa “disalahi” dan sudah dimintakan maafnya, maka segeralah memaafkan. Wallahu a’lam bish-shawab
(Thobib Al-Asyhar, Tim Penyusun Pidato Menag RI, Pemimpin Jurnal Psikologi Islam AN-NAFS, Pascasarjana UI, dan Kandidat Doktor Bidang Islamic Studies Konsentrasi Psikologi Islam, UIN Jakarta).

Jebakan Sebuah Sukses


PDF Cetak E-mail
oleh Komaruddin Hidayat   
Jumat, 30 April 2010 08:54

SETIAP orang pasti menginginkan sukses dalam hidupnya.Hanya saja, setiap orang memiliki keinginandan ukuran berbeda-beda mengenai sebuah sukses.

Yang sering menjadi ukuran sukses biasanya merujuk pada titel kesarjanaan,jabatan tinggi, dan kekayaan melimpah. Satu pelajaran penting yang pantas kita renungkan adalah setiap sukses itu mengandung risiko dan jebakan. Semakin tinggi jabatan seseorang dan semakin melimpah kekayaannya, derajat risikonya juga semakin besar.
Berbagai kasus mantan bupati, anggota DPR, gubernur, dan menteri yang sekarang masuk penjara setelah usai menjabat karena terbukti korupsi adalah contoh nyata risiko dan kegagalan dari sebuah sukses. Mereka sukses ketika berjuang dan merangkak menapaki tangga sukses setapak demi setapak,tapi ternyata gagal menjaga momentum dan prestasi yang telah diraih.
Banyak orang yang tahan menderita, tetapi tidak tahan ketika sudah berhasil menjadi kaya raya. Saya sering melihat beberapa orang ternama yang sewaktu mahasiswa menderita, tetapi setelah sukses secara materi lalu berubah drastis perilakunya. Mereka dendam dengan masa lalunya. Alih-alih bersyukur, mereka bertingkah dan hidup berfoya-foya untuk membalas derita masa lalunya. Sukses model seperti ini adalah sukses semu dan sifatnya hanya sesaat.
Sebuah nasihat lama mengatakan, kegagalan adalah guru yang mengajarkan kedewasaan hidup, sehingga dengan demikian secara potensial kegagalan menjanjikan sukses di hari esok. Nasihat ini sesungguhnya mempunyai pesan ganda. Pesan lainnya ialah bahwa di balik kesuksesan selalu menyimpan potensi kegagalan.Ibarat orang memanjat pohon, semakin tinggi memanjat, semakin kencang tiupan angin dan semakin tinggi jarak untuk turun atau kemungkinan jatuhnya.
Nasihat serupa datang dari kearifan China, yin-yang, bahwa gerak kehidupan itu tidak selalu bergerak maju, tapi bagaikan putaran bola yang menggulir ke berbagai penjuru. Di sini yin-yang mengajak kita untuk melihat persoalan hidup secara dialektis dan komprehensif, bukannya linier-parsialistik. Sebuah penelitian sosial di Amerika Serikat (AS) menyebutkan, kehidupan yang serbalinier, mewah, dan selalu memperoleh proteksi dari orang tua ternyata bukannya meningkatkan kualitas hidup remaja, tapi malah merusak mental dan moral mereka.
Berbeda dari generasi orang tuanya yang penuh semangat juang, generasi muda AS yang dimanjakan oleh kemewahan materi sangat rendah rasa tanggung jawab sosialnya. Jadi,implikasi sosial dari pembangunan yang terlalu memihak pada peningkatan GNP tapi kurang memperhatikan prinsip-prinsip moralitas seperti keadilan, kejujuran, demokrasi, dan hak asasi manusia sama halnya dengan mendirikan tiang bangunan yang tinggi, tapi melupakan fondasinya.
Sudah bisa diduga maka bangunan tadi sangat rawan guncangan dan tidak tahan lama. Sejarah banyak merekam cerita sukses yang bersifat sementara dan semu ini.Perasaan sukses yang ternyata mengantarkan malapetaka ini pernah juga dialami oleh para ilmuwan. Ketika awal mula bom atom ditemukan, masyarakat ilmuwan bersorak kegirangan karena sukses yang mereka raih.
Tapi kebanggaan tadi luluh lantak menjadi ratapan dan duka sejarah yang amat dalam ketika akhirnya Hiroshima dan Nagasaki hangus olehnya. Di sini kita menemukan paradoks-paradoks kebudayaan. Bisa jadi kita kagum terhadap kemegahan bangunan Taj Mahal di India. Tetapi, akal kritis akan bertanya, berapa uang rakyat dikuras hanya untuk memenuhi ambisi sang raja? Berapa ribu korban jiwa ketika bangunan piramid di Mesir itu dibangun?
Benarkah Borobudur yang megah itu dibangun secara suka rela oleh rakyat? Pertanyaan-pertanyaan senada tentu saja bisa diperpanjang.Di situ ternyata apa yang oleh penguasa disebut sebagai sukses, bagi masyarakat mungkin dilihat sebaliknya. Seorang camat, misalnya, bisa jadi merasa gembira dan sukses ketika meresmikan sebuah jalan aspal yang menghubungkan kota dan desa.
Tetapi pernahkah pak camat melakukan penelitian secara serius, adakah jalan tadi benar-benar berfungsi meningkatkan ekonomi orang desa ataukah malah sebaliknya,yaitu memperlicin dominasi tengkulak kota atas petani desa? Dengan menyimak kembali lembaran sejarah politik dan kekuasaan, apa yang disebut kemenangan dan kesuksesan rezim penguasa tidak selalu identik dengan kemenangan akal sehat dan nurani rakyat.
Bagaikan gerak dalam fisika kuantum,gerak pendulum kehidupan tidaklah selalu bersifat teleologis dan deterministis. Hanya mereka yang bisa menghindari sindrom “posisi puncak” yang tak akan pernah jatuh, sebagaimana juga mereka yang bisa mengelak dari jeratan ”posisi bawah” maka tidak akan pernah khawatir terinjak. Dalam hal ini perjalanan hidup Rasulullah Muhammad menarik sekali dijadikan teladan.
Dia pernah dalam posisi yang amat menderita, dikejar-kejar dan disayembarakan hendak dibunuh, namun pernah juga sebagai raja diraja yang amat sukses disegani kawan dan lawan. Meski pendulum hidup Nabi berayun dari kutub ekstrem yang satu ke kutub ekstrem sebaliknya, pribadi dan perilakunya tidak berubah, selalu berada di titik tengah, pada garis moderat.(Sumber UIN Jakarta)

Sabtu, 01 Mei 2010

METODE AHLI HADIS DALAM PENETAPAN KEDHABITHAN PERIWAYAT


منهج المحدثين فى إثبات ضبط الراوي

oleh: Sulaiman
I. PENDAHULUAN
Kaum muslimin memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hadis nabi saw. Mereka sangat bersemangat untuk menghafal, memindahkan dan menyampaikan sejak masa awal-awal islam. Di samping itu mereka juga bersemangat untuk menghimpun dan mengkodifikasinya. Hafalan dan tulisan sangat menunjang dalam pemeliharaan hadis, seperti halnya perhatian yang sungguh-sungguh dari kaum muslimin dan ulama khususnya dalam rangka membela dan menjaganya.
Dalam hal ini mulailah penuturan hadis meluas dan menyebar. Pandangan yang terarah dengan perhatian yang amat besar kepada para sahabat rasulullah saw. Para tabi’in sangat terdorong untuk bertemu para sahabat rasulullah dan mengutif ilmu apa saja yang ada pada mereka, begitu pula atba’ al-tabi’in dan generasi seterusmya.
Tapi kita tidak bisa pungkiri, banyak periwayat hadis yang nama mereka tercatat dalam berbagai sanad hadis, ada yang dapat dipercaya riwayat mereka, dan ada pula yang tidak dapat dipercaya berita mereka. Perbedaan kualitas para periwayat itu dapat diketahui, karena ulama hadis ada yang secara khusus telah melakukan penelitian sacara mendalam terhadap masing-masing pribadi terhadap periwayat hadis.
Dengan demikian untuk mengkaji hadis nabi dengan baik, seseorang tidak hanya dituntuk mampu memahami dan mendalami hadis nabi dari segi matannya saja tapi dituntut jujga mampu memahami dengan baik keadaan sanad dan para periwayat hadis tersebut. Dalam kaitan ini sesuai apa yang diamanahkan penulis, akan membahas tetntang ke-dhabith-an perawi (yang mana hal ini masuk dalam salah satu criteria pensyaratan hadis shahih) yang mana meliputi: pengertian dhabith, macam-macam dhabith, syarat dan tata cara periwat\yatan hadis dan diakhiri kesimpulan.

A. Pengertian dhabith
Secara etimologi, kata dhabith berasal dari bahasa Arab yaitu, dhabita-yadhbithu-dhabhtan. Yang berarti kuat, kokoh, tepat, yang hapal dengan sempurna. Kemudian menuyrut istilah telah dikemukakan oleh para ulama dalam berbagai bentuk keterangan di antaranya: menurut Subhi al-Shalih ( w.1407)
ويريدون بضبط الراوى سماعه للرواية كما يجب وفهمه لها فهما دقيقا وحفظه لها حفظا كاملا لاتردد فيه وثباته على هذا كله من وقت السماع الى وقت الأداء
“Orang yang mendengarkan riwayat yang sebagaimana seharusnya dia memahaminya dengan pemahaman yang bagus, kemudian dia hafal secara sempurna dan mempertahankannya secara utuh sehingga tidak menimbulkan keraguan-keraguan. Ia memiliki kemampuan yang demikian itu mulai dia dengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain”
Sebagian juga ulama mengatakan :
والمراد لضبط اليقظة وعدم الغفلة. وان يكون حافظا إن حدث من حفظه. ضابطا لكتابه من التبديل والتغيير ان حدث منه عالما بما يحيل المعنى ان روى بالمعنى
Menurut ajjaj khatib:
الضبط هو تيقظ الراوى حين تحمله وفهمه لما سمعه. وحفظه لذلك من وفت التحمل الى وقت الأداء, اى ان يكون حافظا عالما بما يرويه ان حدث من حفظه فاهما إن حدث على المعنى, وحافظا لكتابته من دخول التحديف او التبديل او لنقص عليه ان حدث من كتابه.
Dari definisi-definisi dhabith yang dikemukakan ulama-ulama di atas maka dapat disimpulakan bahwa yang disebut dhabith adalah :
 Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya)
 Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang tekah didengarnya
 Mampu menyampaikan riwayatnya itu dengan baik kepada orang lain kapan dan dimana saja dia kehendaki.
Ulama yang lebiih hati-hati adalah yang mendasarkan ke-dhabith-an bukan hanya pada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada kemampuan pemahaman. Masalahnya, bila pendapat yang lebiih hati-hati itu yang harus dipegangi, maka periwayat yang memiliki kemampuan hafalan\saja dan tidak memiliki kecerdasan memahami apa yang telah dihafal\nya tidak lagi termasuk sebagai periwayat yang dhabith, padahal mereka itu oleh sebagian ulama hadis dinyatakan sebagai periwayat
yang dhabith juga. Kalau begitu periwayat yang memiliki kemampuan hafalan dan pemahaman harus di hargai lebih tinggi tingkat ke-dhabith-annya dari pada periwayat yang hanya memiliki kemampuan hafalan saja.
Pada dasarnya kemampuan hafalan yang dituntut dari seorang periwayat, sehingga dia dapat dinyatakan sebagai seorang yang dhabith, adalah ketika periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain. Karena bagaimanapun, kemampuan hafalan seseorang memepunyai batas, misalnya karena pikun atau karena sebab tertentu lainnya. Nama-nama periwayat hadis yag mengalami perubahan kemampuan hapalan karena pikun atau sebab lainnya, diantaranya; Rabi’ah al-Ka’y bin Abiy Abd al- Rahman dan Sofyan bin Uyaimah.
B. Macam-macam Dhabith dan Cara Penetapan Ke-dhabith-an Periwayat
Menurut Ulama-ulama hadits, ke-dhabith-an seorang periwayat dibagi atas dua macam, yaitu:
- Dhabth al-Kitab ( ضبط الكتاب ): periwayat yang memahami dengan baik tulisan hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya, apabila ada kesalahan tulisan dalam kitab, dia mengatahui letak kesalahannya.
- Dhabth al-Shadr (ضبط الصدر ): hapal dengan sempurna hadits yang diterimanya dan mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu kepada orang lain terhadap hadits yang dihafalnya itu.
Jadi, ulama hadits berkesimpulan bahwa orang yang tahu periwayat yang dhabith al-Kitab dan dhabith al-Shadr maka ia di sebut Tamm al- Dhabith.
Adapun cara penetapan ke-dhabith-an seorang periwayat, menurut berbagai pendapat ulama dapat dinyatakan sebagai berikut:
Dengan mencocokkan atau dengan memperbandingkan hadis-hadis yang diriwayatkannya dengan hadis-hadis yang lain yang semisal yang diriwayatkan oleh rawi-rawi lain yang telah diketahui sebagai rawi yang dhabith. Apabila hadis-hadis yang diriwayatkannya itu banyak sesuai maksudnya dengan hadis-hadis yang semisal yang diriwayatkan dengan rawi-rawi yang lain, maka ia dinilai sebagai dhabith. Apabila tidak demikian, maka ia pun dinilai tidak dhabith, dan ini berarti bahwa hadis-hadis yang diriwayatkannya itu dinyatakan gugur, tidak dapat disebut sebagai hadis shahih.
Disamping itu kedhabithan juga dapat dideteksi melalui pencocokan hadis –hadis yang ia riwayatkan dengan teks-teks al-Qur’an . Apabila hadis itu sesuai maksudnya dengan al-Qur’an, maka ia diterima sebagai rawi yang dhabith. Dan begitu pula se baliknya, apabila hadis-hadis itu bertentangan maksudnya dengan al-Qur’an maka periwayatan hadis itu dinilai tidak dhabith, Namun demikian, tidak semua hadis yang – kelihatannya – berlawanan maksudnya dengan al-Qur’an itu gugur begitu saja dan tidak dapat disebut sebagai hadis shahih. Sebab , adakalanya orang yang meriwayatkan hadis-hadis itu sudah dikenal sebagai rawi yang dhabith. Maka hal seperti ini, hadis yang kontroversial dengan al-Qur’an itu tetap disebut se bagai hadis shahih, hanya saja ia masuk kedalam kategori hadis-hadis yang kontroversial (mukhtalaf al-hadits). Dan untuk ini ada pendekatan-pendekatan khusus dalam memahami hadis tersebut. Dengan demikian, untuk mengetahui kedhabithan periwayat dapat disimpulkan sebagai berikut :
 Bahwa ke-dhabith-an dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
 Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dhhabit-annya. Tingkat kesesuaian itu mungkin hanya sampai ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat harfiyah
 Apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhabith, tetapi apabila kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabith.
Dalam hal ini, yang menjadi dasar penetapan ke-dhabith-an periwayat secara implisit ialah hafalannya dan bukan tingkat pemahaman periwayat tersebut terhadap hadis yang diriwayatkannya.
Kepahaman periwayat akan hadis yang diriwayatkannya tetap sangat berguna dalam periwayatan hadis, khususnya ketika menjadi perbedaan riwayat antara sesama periwayat yang dhabith. Dalam keadaan yang demikian ini, maka periwayat yang paham dan hafal dinilai lebih kuat daripada periwayat yang sekadar hafal saja. Jadi, bagaimanapun periwayat yang paham, hafal, dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkan yaitu kepada orang lain, akan tetap mendapat tempat yang lebih tinggi daripada periwayat yang hanya hafal dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkan itu kepada orang lain.

C. Bias Dhabith Dalam Periwatan Hadis
Penerimaan hadis pada Rasulullah saw. Terjadi melalui cara mendengarkan ( al-sama’) Sedangkan orang yang menyempaikan hadis (ada’ al-hadits) terlebih dahulu harus hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis yang diterimanya itu kepada orang lain. Periwayatan yang hafal dan mampu menyampaikan dan faham dengan mendalam akan hadis yang diriwayatkannuya itu akan lebih baik. Dengan demikian ke-dhabith-an periwayat hadis sangat diperlukan di dalam menghindari kekeliruan atau kesalahan ketika menyampaikan hadis dan ketika menilai keotentikan suatu hadis.
Apabila hadis-hadis rasulullah saw. Itu sampai kepada para penulis hadis melalui para rawi itu terdiri dari manusia biasa yang tidak lepas dari sifat-sifat kekurangan seperti lupa, kelitu, dan sebagainya. Para ulama hadis, baik pada masa klasik maupun kontemporer, mengatakan bahwa sebuah hadis dapat disebut shahih apabila memenuhi pensyaratan. Pertama, ia diriwayatkan dengan sanad (transmisi) yang muttasil (berkesinambungan) dari rawi terakhir yang membukukan hadis sampai kepada Rasulullah saw. Sebagai sumber hadis. Kedua, Para rawi itu terdiri dari orang-orang yang memiliki sifat-sifat adil dan dhabith. Adil adalah seorang muslim yang dewasa (baligh) berakal, tidak pasik, dan selalu menjaga kehormatan dirinya. Dan dhabith ialah orang yang kuat ingatannya, tidak pelupa, tidak dungu, dan tidaksering melakukan kekeliruan. Ketika, hadis tersebut tidak mengandung unsur syadz ( janggal, asing) adalah sebuah hadis yang maksdnya berlawanan dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih tsiqah dan para rawi yang meriwayatkan hadis yang pertama. Keempat, hadis tersebut tidak mengandung unsur illah. Illah (penyakit) adalah suatu faktor yang sangat samar dan rumit yang dapat menurunkan kualitas hadis, sementara pada lahiriyahnya faktor tersebut tidak ada.
D. Mendeteksi ke-Dhabith-an Rawi
Dalam upaya mendeteksi ke-dhabith-an rawi dengan memperbandingkan hadis-hadis yang diriwayatkannya dengan hadis lain atau dengan al-Qur’an, maka dapat melalui enam metode perbandingan hadis sebagai berikut :
1. Memperbandingkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Rasulullah, antara satu dengan yang lain.
Metode ini sudah muncul pada masa abu Bakar al-Shiddiq, dan beliaulah orang yang pertama kali menggunakan metode ini. Misalnya ketika didatangi seorang nenek yang menuntut hak warisnya. Abu Bakar berkata, “Dalam kitab Allah saya tidak menemukan bahwa anda memperoleh hak waris. Saya juga tidak tahu apakah rasulullah pernah memperoleh hak waris””. Beliau kemudian menanyakan para sahabat yang lain tentang hak waris bagi nenek. Maka kemudian al-Mughirah menjawab, “Saya pernah melihat rasulullah memberikan bagian seperenam dari harta pusaka untuk nenek”. Apakah kamu punya saksi untuk itu?” tanya Abu Bakar kepada al-Mughirah. Tiba-tiba Muhammad bin Maslamah berdiri dan mengatakan bahwa ia menyaksikan hal itu. Akhirnya Abu Bakar memutuskan untuk memberikan bagian seperenem dari harta pusaka mayit untuk nenek.
Di sisni Abu Bakar telah membanding hadis riwayat al-Mughirah dengan hadis riwayat Muhammad bin Maslamah. Dan sebenarnya beliau bukan tidak percaya terhadap kredibilitas al-Mughirah sebagai rawi, melainkan beliau hanya ingin mengetahui hadis itu lebih tajam.
2. Memperbandingnkan Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa yang berlainan.
Seperti yang dilakukan ‘umm al-Mukminin Aisyah ra. Beliau menyuruh ponakannya ‘urwah bin al-Zubair untuk menanyakan hadis-hadis kepada Abdullah bin Amr. ‘Urwah kemudian melakukan hal itu dengan memberitahukannya kepada Aisyah. Satu tahun kemudian, Aisyah menyuruh lagi untuk melakukan hal yang sama. Dan ternyata Abullah bin Amr menyampaikan hadis-hadis yang sama seperti yang disampaikan pada tahun yang lalu. Karenanya, setelah Aisyah diberi tahu, beliau berkomentar, “dugaanku tepat”, Abdullah bin Amr benar. Ia tidak menambah atau mengurangi hadis-hadis itu.
3. Memperhatikan Hadis-hadis yang Diriwayatkan oleh rawi-rawi yang berasal dari Guru Hadis
Seperti upaya yang pernah dilakukan oleh ibn Ma’in. Beliau mencocokkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh murid-murid Hammad bin Salamah. Hadis-hadis itu dicocokkan dari satu murid ke murid yang lain, sehingga apabila terdapat kekeliruan hal itu dapat segera diketahui.
4. Memperbandingkan Suatu hadis yang sedang diajarkan oleh seorang dengan hadis semisal yang diajarkan oleh guru lain
Seperti peristiwa yang terjadi pada Sufyan al-Tsauri Ketika itu ia sedang mengajarkan hadis, ia menuturkan bahwa hadis itu dterimanya dari al-Zuhri. Tiba-tiba murid-muridnya mempertanyakan hadis itu, karena mereka megetahui bahwa Malik mengatakan bahwa ia menerima hadis itu dari al-Miswar bin Rifa’ah, bukan dari al-Zuhri. Sufyan kemudian menjawab, “saya benar-benar mendengar hadis itu dari al-Zuhri seperti yang saya ceritakan tadi’.
5. Memperbandingkan antara hadis-hadis yang tertulis dalam buku dengan yang tertulis dalam buku lain, atau dengan hafalan hadis.
Abdurrahman al-Ashbahani pernah mengajarkan suatu hadis yang –menurutnya- berasal dari Abu Huraerah. Hadis itu berbunyi, “Akhirkan Shalat Dhuhur (pada waktu panas),karena panas yang sangat itu berasal dari luapan jahannam”. Kemudian Abu Zur’ah keliru. Orang-orang yang meriwayatkan hadis itu dari Abu sa’id bukan Abu Huraerah”. Kritik Abu Zur’ah itu tampaknya mengena. Abdurrahman akhirnya melihat kembali bukunya. Dan ternyata disitu tertulis “ dari
Abu Sa’id”.
6. Memperbandingkan Hadis-hadis dengan Ayat-ayat al-Qur’an
Pencocokan hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an ini merupakan upaya kritik hadis yang sudah muncul sejak dini. Misalnya, Khalifah Umar bin al-Khattab pernah menolak hadis yang disampaikan oleh fatimah binti Qais. Ia dithalak suaminya, dan katanya, Rasulullah tidak memberikan hak nafkahnya dan tempat tinggal kepadanya. Menurut Umar, hadis yang diriwayatkan fatimah itu bertentangan dengan al-Qur’an, surah al-Thalaq ayat i. Karenanya, umar tetap memberikan hak nafaqahnya dan tempat tinggal kepada wanita seperti itu. “kami tidak akan meninggalkan kitab Allah dan sunnah rasulullah saw. Hanya karena ucapan seorang wanita yang boleh jadi ia ingat atau lupa”, begitu beliau beralasan.

Adapun syarat (baik laki-laki maupun wanita) yang harus dipenuhi oleh seorang ketika menyampaikan riwayat hadis, sehingga dinyatakan sah.
a. Islam : Keislaman merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi oleh periwayat, yakni ketika periwayat itu menyampaikan riwayat hadis dan bukan ketika menerimanya.
Mayoritas ulama memakai argumen Qur’an surah al-Hujurat (49) : 6
ياايها الذين آمنوا إن جاءكم فاسق بنبإ فتبينوا ان تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على مافعلتم نادمين
Maksud ayat tersebut memerintahkan agar berita yang dibawa oleh orang fasik diteliti terlebih dahulu. Dengan ayat tersebut kebanyakan ulama berpendapat orang fasik saja dapat diterima riwayat hadisnya apalagi orang kafir.
Kalangan ulama lainnya memakai argumen aksioma (al-badihiy) mereka menyatakan, hadis itu berkenaan dengan sumber ajaran islam. Orang yang tidak beragama islam. Bagaimana mungkin dapat diterima beritanya tentang sumber ajaran islam. Hanya orang yang beragama islam saja yang dapat diterima beritanya tentang sumber ajaran islam.
(b). Baligh / berakal
Menurut para ahli hadis, syarat balig dan berakal itu identik dengan kemampuan seseorang untuk dapat membedakan sesuatu, jadi untuk dapat menyampaikan suatu hadis seseorang harus telah memasuki usia aqil balig. Hal ini disebabkan karena anak-anak belum mampu mempertanggung jawabkan riwayatnya dan dia dianggap terlepas dari hukum sebagaimana hadis Nabi
رفع القلم عن ثلاث : عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرأ, وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم

Pada dasarnya usia akil / balig merupakan usia dimana anak mempunyai kemampuan untuk menangkap pembicaraan dan memahami hukum-hukum syariat. Dalam hal ini para ahli hadis tidak ada persepakatan mengenai batas usia yang pantas bagi seseorang untuk menyampaikan hadis. Sebagian ulama mengatakan 15 tahun, yang lain menganggap 13 tahun. Menurut jumhur ulama, di bawah usia 15 pun seseorang boleh mendengarkan dan menyampaikan hadis (ada riwayat bahwa Mahmud bin Rabi’ masih ingat ketika Rasulullah Saw menghukumnya karena suatu kesalahan dan pada waktu Rasulullah wafat Mahmud baru berusia 5 tahun)
(c). Adil
Maksud adil di sini adalah orang yang melaksanakan ketentuan agama, baik akhlaknya bebas dari kepasikan memelihara muruah serta mereka dikenal di tengah-tengah masyarakat tentang keutamaan dirinya.
(d) Dhabth.
Adalah sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, yaitu keterjagaan seorang katika menerima hadis, memahaminya ketika mendengarnya, serta menghafalnya sejak menerima sampai ia menyampaikan kepada orang lain.
Dengan demikian, suatu hadits tidak akan diterima bila perawinya tidak memenuhi ke-empat syarat yang telah disebutkan diatas, ketika ia menyampaikan hadis. Jadi, persyaratan ketika menerima hadis. Ulama memang tidak memberikan rincian tentang syarat-syarat sahnya menerima riwayat, walaupun demikian dapatlah dinyatakan, bahwa seorang penerima riwayat sedikitnya hasruslah: (a) sehat akal pikirannya dan (b) secara fisik dan mental memungkinkan mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya. Maka untuk seorang periwayat yang menerima hadis dengan cara mendengar. Pendengaran orang itu harus baik dan orang yang menerima riwayat dengan tulisan, maka orang itu harus cakap membaca dengan baik.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :
- Ke-dhabith-an pada dasarnya dinilai dari baiknya hafalan dari periwayat yang telah didengarnya, mampu memahami dan menyampaikan engan baik yang telah didengarnya (diterimanya).
- Ke-dhabith-an periwayat hadis sangat diperlukan dalam menghindari kekeliruan atau kesalahan ketika menyampaikan hadis sehingga keotentikan hadis dapat terjaga.
- Ke-dhabith-an rawi dapat dideteksi melalui :
a. memperbandingkan hadis-hadis yang telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat, antara satu dengan yang lainnya
b. memperbandingkan hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa yang berlainan
c. memperbandingkan hadis yang telah diriwayatkan oleh rawi-rawi yang berasal dari seorang guru hadis
d. memperbandingkan suatu hadis yang sedang diajarkan oleh seorang dengan hadis yang semisal yang diajarkan oleh guru lain
e. memperbandingkan antara hadis-hadis yang tertulis dalam buku dengan yang tertulis dalam buku lain, atau dengan hafalan hadis lain
f. memperbandingkan hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an.
Demikian makalah revisi ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi kita semua, dan penulis memohon maaf apabila masih terdapat kekeliruan atau kesalahan.
Allahu a’lam bi al-Shawab.




DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin Abdurrahman Ibn abu bakar al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi syahri taqrib al-Nawawi. (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah) 1417 H.
Muhammad Ajjaj Khatib, Ushul hadis ulumuh wa musthalahu. (Beirut, Dar al-Fikr) 1415 H.
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab. Beirut:Dar al-Misriyah,tth
Muhammad Shadiq al-Minsyawiy, Qamus mushtalahat al-hadis al-Nabawi. (Dar al-Fadhilah), tt.
Subhi al-Shalih, Ulum hadis wa mushthalah. (Dar al-ilmi li al-Malayin , Beirut), tth.
Ahmad Umar Hasayim, Qawaid Ushul hadist. (Dar al-fikr.) Beirut t.th.
Syuhudi Ismail, Kaedah kesahihan sanad hadis:Telaah kritis dan tinjauan dengan pendekatan ilmu sejarah (Jakarta, Bulan Bintang) cet.II. 1995
Al-Shadiq Basyir Nasir, Dawabith al- Rawiyah Inda muhadditsin. 1411