Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 Desember 2014

KAJIAN HADIS DI INDONESIA



Oleh:  SULAIMAN IBRAHIM
 
 
I. Pendahuluan

Di samping Al-Qur’an, hadis juga merupakan sumber hukum Islam. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an.[1] Kedudukan hadis sebagai sebagai salah satu sumber hukum Islam telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam.
Amat banyak kasus-kasus hukum yang bersumber dari hadis, karena sebagaimana dipahami bahwa salah satu fungsi hadis adalah penjelas (bayān) atas Al-Qur’an, maka tentu saja untuk kasus-kasus tertentu yang penjelasan tentangnya dalam Al-Qur’an bersifat global, dapat ditemukan rinciannya dalam hadis. Hal ini tidak dapat dipungkiri, misalnya Al-Qur’an menjelaskan shalat, puasa, dan zakat, maka untuk mengetahui cara shalat dan dimensi hukumnya, juga puasa dan zakat semuanya dapat diketahui melalui hadis. Dengan demikian, hadis memiliki fungsi yang sangat strategis dalam menjelaskan kandungan Al-Qur’an.
Secara tegas dikatakan dalam Al-Qur’an bahwa Nabi saw (yang identik dengan hadisnya) diberi kewenangan dalam menjabarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya. Dimaklumi bahwa Nabi saw sebagai pemimpin masyarakat muslim, atau lebih tegas bahwa Nabi saw sebagai kepala pemerintahan, berkewajiban menerapkan hukum-hukum Tuhan, tidak hanya dalam lingkungan masyarakat muslim tetapi juga dalam masyarakat non muslim yang berada dalam lingkungan kekuasaannya.
Lebih lanjut menurut Yusuf al-Qardhawi minimal tiga fungsi hadis terhadap Al-Qur’an dalam masalah hukum yakni; (1) memperkuat hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, baik yang global maupun yang detail; (2) menjelaskan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, yakni men-qayyid-kan yang mutlaq, men-tafshil-kan yang mujmal, dan men-takhsis-kan yang ‘am; (3) menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh Al-Qur’an. Untuk fungsi yang terakhir ini, ulama berbeda pendapat.[2]
Berdasar pada uraian-uraian di atas, maka dipahami bahwa Al-Qur’an dan hadis adalah sumber hukum yang integral, tidak mungkin seorang muslim memahami hukum atau ajaran Islam hanya merujuk kepada Al-Qur’an semata tanpa melirik hadis.

A. Metode Kajian Hadis di Indonesia

II. Pembahasan

            Dalam beberapa literatur hadis yang berbahasa Indonesia, metode kajian hadis yang dilakukan oleh Kiai, Ulama, Cendekiawan maupun dunia Akademisi tidak ada perbedaan yang dilakukan oleh ulama-ulama yang ada di Timur Tengah saat ini. Walaupun ada, itupun hanya karena faktor keterbatasan bahasa dan literatur yang dimiliki. Karena ulama yang ada di Indonesia, sebagian besar pendidikannya juga berasal dari Timur Tengah, seperti Mesir, Yordan, Sudan, Syiria dan Arab Saudi. Memang diakui, walaupun mayoritas masyarakatnya beragama Islam, Indonesia tidak bisa dijadikan tolok ukur sebagai pusat ilmu atau kajian agama, apalagi ilmu mengenai al-Qur’an dan hadis. Sebagian besar kitab-kitab hadis yang ada di Indonesia hanya sebatas buku dakwah atau salinan hadis-hadis tertentu dan untuk masalah tertentu. Hal ini dimungkinkan, karena disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.

1. Hadis-hadis Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin, keutamaan Bulan   Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.

Buku ini ditulis oleh al-Ustadz Ahmad Lutfi Fathullah, yang merupakan suntingan dari disertasi Doktor beliau di Universitas Kebangsan Malaysia (UKM). Secara keseluruhan, buku ini menfokuskan pada studi sanad hadis dan mentakhrijnya serta menghukum status hadis-hadis tersebut sesuai dengan metode ahli hadis, seperti: bersambungnya sanad, parawinya adil, dhabit, tidak Syudzudz, dan tidak illat. Dalam buku tersebut sebagian besar hadis dihukumi dengan maudhu’ (palsu).
Memang beliau diakui keseriusan dan ketelitiannya dalam menulis disertasi tersebut. Tetapi menurut penulis, tidak disentuhnya matan hadis dalam kajian kitab Durratun Nashihin menyebabkan kurang komplitnya pembahasan hadis-hadis tersebut. Karena ada juga hadis yang dihukumi shahih tapi tidak adanya penjelasan menyebabkan kesimpangsiuran dalam memahami hadis tersebut. Dan ini menurut orang “awam” menjadi kelemahan suatu hadis bila hanya didekati dengan kritik sanad, Seperti dalam hadis:  لا فرع  ولاعتيرة    hadis ini dihukumi dengan hadis Shahih karena diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim,[3] tetapi tidak adanya penjelasan matan hadis sehingga kurang menyentuh dalam pemahaman pada masyarakat awam.

2. Studi Kritis Hadis Nabi Saw, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual
Buku di atas ditulis oleh Syaikh Muhammad al-Ghazali yang diterjemahkan dari kitab al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits. Berbeda dengan pembahasan sebelumnya, kitab ini justru memfokuskan pada matan hadis, sehingga terkesan ada penyampingan terhadap sanad. Muhammad al-Ghazali dalam buku tersebut banyak mengkritik hadis-hadis yang dianggap shahih tapi bertentangan dengan realitas maka dia anggap hadis tersebut “tidak” relevan. Dan Muhammad al-Ghazali menyatakan dengan tegas bahwa hadis kalau bertentangan dengan al-Qur’an harus ditolak,[4] sebagaimana Aisyah R.a. menolak hadis yang disampaikan oleh Abu Huraerah bahwa Nabi bersabda “Sesungguhnya orang mati disiksa karena tangisan keluarganya”. Dan masih banyak contoh lain yang bisa dibaca dalam kitab tersebut.

3. Koleksi hadits-hadits Hukum karya Tengku Hasbi Asshidiqiy
Buku ini berisi tentang kajian hukum Islam yang diperkuat oleh hadis-hadis Nabi. Satu tema biasanya berisi dari empat sampai lima masalah dan terdiri dari 16-100 hadis Nabi. Hasbi mengawali tulisannya dengan menyebutkan judul atau tema tertentu, kemudian mengutip suatu hadis dengan memberikan nomor urut hadis dalam buku tersebut sebelum kutipan hadis itu sendiri. Dalam mengutip hadis, Hasbi tidak menyertakan sanad secara lengkap. Dia hanya menyebutkan sumber primer hadis itu, seperti Abu Hurairah, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Anas, Tsauban dan sebagainya. Setelah mengutip beberapa hadis, barulah Hasbi menjelaskan maksud dan pengertian hadis secara singkat disusul kutipannya terhadap pendapat para ulama tentang syarah hadis tersebut, seperti Ibnu Bathal, al-Thabrani, al-Nawawi dan lain-lain. Karena Hasbi mengoreksi hadis-hadis hukum, dia juga mengutip pendapat-pendapat para Imam Mazhab agar para pembaca dapat membandingkan berbagai pendapat dan menjadi pegangan yang benar bagi mereka. Selain itu Hasbi juga menilai atau mentahkik mana pendapat-pendapat tersebut yang dianggap kuat dan layak untuk diikuti.
Jumlah bilangan hadis dalam buku Hasbi ini cukup banyak. Di dalamnya terdapat juga hadis-hadis lemah. Sayang sekali, Hasbi tidak menganalisis kedudukan hadis tersebut. Walau begitu, Hasbi berusaha mengutip hadis-hadis tersebut pada kitab-kitab hadis yang mu’tabar dan terkenal, seperti mengutip dalam kitab Muntaqa al-Ahbar karya Imam Majduddin al-Harrani, Bulugh al-Maram karya Ibn Hajar al-Asqalani dan Muharrar karya Ibn Qudamah al-Maqdisi.

4.  Himpunan Hadits-hadits Lemah dan Palsu Karya A. Yazid dan Qasim Koho
sebagaimana yang dikemukakan penulis sendiri, ini ini merupakan hasil kutipan dari beberapa kitab hadis, diantaranya: al-Maudhu’at karya al-Jauzi, al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Maudhu’at karya Nashiruddin al-Albaniy, Maqashid al-Hasanah karya al-Sakhawiy, Mushthalah al-Hadits karya Abdul Qadir Hasan dan Mizan al-I’tidal karya al-Dzahabi.
            Dalam pendahuluan penyusun mencoba menjelaskan beberapa hal, diantaranya: sebab-sebab perbedaan dalam penilaian suatu hadis, yang di mana dalam suatu kitab tergolong maudhu’, tetapi dalam kitab lain tergolong tidak. Diterangkan juga mengenai sebab-sebab timbulnya hadis maudhu’, hukum periwayatannya dan istilah-istilah yang sering dipakai para ulama pada hadis palsu.
Penulis juga memberikan nomor urut pada hadis yang dikutipnya dari angka satu dan seterusnya, yang dimulai dari hadis-hadis yang banyak bersinggungan dengan masyarakat secara luas, seperti dari bab wudhu’ sampai hadis-hadis tentang kepolisian. Sistematika yang digunakan adalah pengutipan satu atau beberapa hadis dalam satu tema, lalu memberikan hukum hadis tersebut seperti ungkapan: palsu, la ashla lahu, syadz atau dha’if jiddan, kemudian penyusun memberikan komentar dan penjelasan singkat terhadap hadis-hadis tersebut.
Walupun hanya berupa kutipan dari beberapa kitab hadis palsu, tetapi buku ini setidaknya telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu hadis di Indonesia.

5. 55 Washiyat Rasulullah yang disusun oleh M.   Shaleh Ujaj dkk.
            Buku ini berisikan kutipan-kutipan dari kitab al-Targhib wa al-Tarhib karya al-Mundziri, Riyadh al-Shalihin karya al-Nawawi dan kitab al-Taj al-Jamil li al-Ushul. Diakui oleh penyusun sendiri, bahwa washiyat itu pada dasarnya ditujukan kepada para shahabat Nabi, tetapi hal ini secara umum mencakup segenap umat Islam. Hadis-hadis dalam kitab ini sesuai dengan judulnya berjumlah 55 hadis yang berisikan antara lain bentuk keikhlasan dalam pengabdian diri kepada Allah, penjelasan tentang tahlil, bersedekah, bertasbih, akhlak dan sebagainya. Satu tema yang dikemukakan berisi satu sampai tiga buah hadis yang dikutip dalam berbagai riwayat, seperti Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan lainnya. Penyusunannyapun hanya menambahkan penjelasannya secara singkat.


[1]Lihat misalnya QS. al-Hasyr (59): 7; QS. Ali Imrān (3):32; QS. al-Nisa (4): 80
[2]Yusuf al-Qadhawi, al-Sunnat; Mashdaran lil Ma’rifat wa al-Hadrahah diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo dengan judul As-Sunnah sebagai Sumber Iptek dan Peradaban; Diskursus Kontekstualisasi dan Aktualisasi Sunnah Nabi dalam Iptek dan Peradaban (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 6
[3]Lihat, Ahmad Lutfi Fathullah, Hadits-hadits Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin, Keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2004), h. 41
[4]Lihat Muhammad al-Ghazali,  Studi Kritis Hadis Nabi Saw, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998) cet. VI, h. 29-32
 




Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Senin, 18 Agustus 2014

Peradaban Islam Bangkit Dari Indonesia

Peradaban Islam Bangkit Dari Indonesia


Drs. Masdar F Mas’udi ~ Dewan Penasehat ICMI Pusat
Sampai sekarang dunia Islam belum jelas sosoknya. Mana yang akan menjadi pemimpin dunia Islam. Kita bisa mencatat dalam percaturan global ini pemain-pemainnya adalah blok-blok peradaban, yang dari waktu ke waktu memang bisa diuji oleh dirinya sendiri dan jaman. Kita bisa catat juga, blok-blok peradaban sebagai pemain global ini, yang memiliki daya tahan hidup yang panjang, hanya blok peradaban berbasis nilai transenden keagamaan. Kalau hanya berbasis nilai sekular apalagi ateistik bisa saja memainkan peranan, tapi usianya pendek.

Belum Punya Negara Inti
Blok peradaban Komunisme pernah hampir merajai dunia, berusia tidak sampai satu abad. Naziisme pernah menjadi pemenang perang dunia, lebih pendek lagi usianya. Tidak sampai 15 tahun. Tapi peradaban yang dibangun atas dasar nilai transenden keagamaan dan spiritualitas, usianya ribuan tahun. Paling muda Islam.  Barat dengan Kristianisme  sudah lebih dari duaribu tahunan. Cina dengan Budhisme kurang lebih 3 ribuan tahun. Begitu juga India dengan Hinduisme. Itulah pemain dunia sekarang secara ekonomi, politik, dsb. Tinggal ditunggu dari blok peradaban Islam.yang belum muncul kembali. Ibarat meja dunia ini hanya ditopang tiga kaki sehingga llabilitas global sangat terasa.
Sekarang yang menjadi bulan-bulanan adalah blok dunia Islam. Salahsatu pejelasannya karena belum ada yang disebut Huntington sebagai ‘Negara Inti’.  Blok peradaban ini kuncinya: Negara. Sebelum ada negara belum bisa menjadi pemain global. Ketika pendiri bangsa ini mencita-citakan, salasatu muara dari kemerdekaan adalah memajukan perdamaian dunia. Ada cita-cita yang sangat tnggi sekali. Indonesia selayaknya bisa menjadi negara inti dari blok peradaban Islam. Memang menurut para pengamat, dari  50 negara lebih; dari Maroko sampai Merauke, yang paling memenuhi syarat adalah Indonesia.
Turki memang menonjol. Tapi sebagai pemimpin peradaban Islam yang mesti setara dengan blok-blok peradaban lain, pemimpin dunia Islam harus memiliki mentalitas yang juga setara. Turki ada persoalan psikologis dengan Barat. Sudah 40 tahun Turki ingin menjadi bagian dari Eropa tapi tetap ditolak karena dianggap lebih rendah martabatnya. Tapi menjadi bagian dari Blok Timur (Islam), dia menganggap dirinya terlalu tinggi. Ini yang membuat dia repot. Di samping itu juga secara kekayaan alam sangat terbatas.
Bagaimana dengan Iran? Persoalan besar sebagaimana kita baca dalam bocoran Wikileaks. Pasti Iran akan ditolak menjadi kekuatan the Leader of Muslim World oleh Negara-negara Teluk dibawah pimpinan Arab Saudi. Karena dalam rahasia itu diungkap yang paling getol memprovokasi Amerka dan Israel agar menghabisi pengelolaan tenaga nuklir Iran justru Arab Saudi.
Pun Arab Saudi, terlalu  kecil dari sudut daerah juga kekayaan alamnya terbatas. Yang tak akan habis sebagai potensi ekonomi adalah dua kota suci itu.Ka’bah atau Madinah. Tap kalau wacana internasionalisasi dua kota suci terjadi, saya kira juga habis. Jadi  memang tinggal Indonesia, dan tanpa ada the Leader-nya blok peradaban Islam  tidak akan bisa menjadi pemain yang diperhitungkan.
Sesungguhnya dari berbagai aspeknya Indonesia sudah memiliki kekayaan dan luas wilayah luar biasa. Islamnya dianggap memadai untuk ke depan dan ada visi  inklusif yang kuat meski ada godaan-godaannya. Inilah sesungguhnya tantangan spiritualitas kita sebagai andalan dunia Islam, dengan segala potensi yang dimiliki masih berada pada situasi seperti ini.
Kita mencatat ada beberapa kendala yang cukup serius. Pertama, begitu banyak kekayaan kita yang dimanfaatkan lebih banyak oleh pihak asing ketimbang untuk rakyat kita.  Kedua, persoalan korupsi dalam praktek birokrasi. Ini tantangan yang membuat kepercayaan dunia merendah. Ketiga, unsur-unsur keislaman sebagai anutan mayoritas yang makin tidak merasa at home dengan Indonesia. Karena ada cita-cita yang sampai sekarang masih ditancapkan dalam hati dan belum kunjung selesai. Yaitu kalau Indonesia harus menjadi pemimpin dunia Islam, bagaimana negeri yang besar dengan umat Islam paling banyak di dunia ini,  tidak secara resmi men-declare sebagai negara Islam?

Tidak Sekadar Label ‘Negara Islam”
Ini juga merupakan problem ideologis dan politis di internal umat Islam sendiri, yang sudah membuat sikap batin kita kepada Indonesia kadang seperti sikap orang yang menumpang hidup/ ngontrak. Kita tidak merasa ini adalah rumah kita. Sikap setengah hati dari umat Islam seperti ini adalah problem besar. Kalau umat Islam terus mempertahankan sikap tersebut, hanya karena formalitas negeri ini tidak disebut sebagai negara Islam, ini akan makin terpuruk.
Bagaimana ber-istiqamah dan merasa at home? Negeri ini adalah negeri umat Islam sebagai umat yang mayoritas sekaligus janji Tuhan rahmat bagi semesta. Apakah memang harus ditampung aspirasi formalisme (sebutan ‘Negara Islam’)? Kalau formalisme sebutan (labeling) itu menjadi pertaruhan, mestinya ketika Nabi Muhammad Saw mendirikan negar Madinah,  beliau dengan penuh keyakinan menyebut Madinah sebagai negara Islam Madinah. Tapi sebutan itu tidak ada dalam dokumen apapun. Yang disebut hanya Negara Madinah. Seperti Negara Indonesia dikaitkan  kebangsaannya .
Memang dalam dokumen Hadis juga Fiqih dan Tarikh, ada sebutan ‘Daulah Islamiyah’ atau ‘Darul Islamiyah’. Tapi sebutan itu sebenarnya hanya diberi arti sosioligis: ‘Negeri yang dihuni mayoritas beragama Islam’. Dalam pemahaman seperti inilah Indonesia menjadi anggota dari konferensi negara-negara Islam. Kita bukan negara Islam, kenapa kita menjadi anggota konferensi negara-negara Islam? Karena yang kita pahami dari ‘Darul Islamiyah’ ini adalah sosiologis, bahwa secara sosial penduduk negeri ini memang  penganut agama islam. Tapi pemahaman negara Islam secara ideologis formil politis baru muncul ketika lahir negara Zionisme Israel. Kalau ada negara Yahudi Zionis kenapa tidak ada negara Islam? Maka sebenarnya itu barang baru. Dalam bahasa hadisnya ini muhdasatil umur.
Kedua, kenapa Nabi Muhammad Saw tidak menyebut Negara Madinah dengan sebutan Negara Islam? Memang kelihatannya ini persoalan kecil. Tapi ketika agama dipakai sebagai label formil sebuah lembaga kekuasaan, lebih-lebih yang namanya negara, yang terjadi agama yang dilabelkan itu bukannya menginspirasi para penguasanya bertindak seagung ajaran yang diambil sebagai label itu, justru memprovokasi penguasanya untuk bertindak seolah dia wakil agama yang tidak dapat disalahkan.
Maka, hampir semua negara agama yang resmi menyebut dirinya negara agama itu, lazimnya adalah negara dengan pemimpin otoriter absolut dan tidak mau dikritik. Karena dia merasa sebagai personifikasi dari agama. Inilah hikmahnya kenapa Nabi Muhammad tidak mengintrodusir sebutan Negara Islam Madinah padahal tidak  seorang pun bisa menghalangi itu kalau beliau mau.
Ketiga, apakah Islam tidak punya konsep tentang negara?  Saya yakin dan seyakin-yakinnya Islam punya, karena negara adalah sesuatu yang sangat  powerful di muka bumi setelah Tuhan. Maka kalau individu-individu dengan power-nya terbatas itu dibimbing ajaran moral, kenapa negara sebagai kekuatan kemanusiaan kolektif tidak dibimbing ajaran moral yang luhur?

Konsep Islam tentang Negara
Persoalannya memang bukan sekadar kendali label tapi kendali moral. Maka Islam juga punya konsep tentang negara. Ada dua yang pokok Pertama, negara harus bermuara kepada cita-cita keadilan dan keadilan, adalah sebuah nilai moral yang inklusif, tidak memandang asal-usul, warna kulit dll. Jangan sampai perasaan perkauman kita menodai komitmen kita untuk menegakkan keadilan. Dalam bahasa orang pesantren keadaan itu ekspesi dari sifat rahman Allah bukan rahim. Kepada siapapun apakah dia muslim atau tidak, manusia atau binatang, semua mendapat rahmat Allah di dunia.
Orang beragama Islam tapi malas dan tidak jujur pasti gagal dan dibenci orang. Tapi orang beragama apapun dia jujur bekerja keras, ulet, santun, dia pasti dihormati orang. Itulah hukum rahman Allah. Baru nanti rahim berbicara di akhirat berdasarkan preferennsi iman. Dunia ini adalah ekspresi aktualisasi rahman Allah. Kita menjadi muslim kalau tidak 100 %, 90 % karena kita terlahir dari keluarga muslim. Coba kita lahir di Eropa, Amerika latin atau Afrika. Hampir bisa dipastikan kita akan beragama lain. Jadi kita tidak bisa mendiskriminasi orang berdasarkan keyakinan. Allah yang punya kuasa Inklusivitas Islam di Indonesia sangat memadai untuk menjadi salahsatu kekuatan  Indonesia sebagai the Leader.
Kedua, prinsip yang digariskan Islam tentang negara kalau keadilan adalah tujuannya, dalam sebuah ungkapan yang sering dikutip juga oleh berbagai penceramah diikutip dari ibn Qayyim, ibn Taymiyah dan Ibn Aqil mengatakan; Allah akan meridhai negara yang adil meskipun kafir. Mungkin kafir di sini naksudnya tidak menyebut diri sebagai negara agama. Sebaliknya Allah bakal tidak sudi menolong negara yang zalim meski ia menyebut diri sebagai negara Islam. Inilah rahman Allah untuk kehidupan kita di dunia.
Prinsip yang digariskan Islam tentang negara adalah manhaj-nya. Kalau tujuannya (ghayah) adalah keadilan untuk semua (inklusif), maka wasilah/manhaj -nya adalah wa amruhum syura bainahum (urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka)  ‘Hum’- nya siapa? Semua stakehodler. Ini dua prinsip negara dalam Islam. Kita lihat dalam bangunan konsep dan landasan filosofis kebernegaraan kita, Jelas sekali sila kelima keadilan sosial sebagai ghayah-nya. Dan ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah kebijaksanaan dalam permusyawartan/ perwakilan’ ini adalah manhaj-nya.
Jadi sangat luar biasa dari sudut konsep. Ada  ‘… syura bainahum’ (sila keempat), masih ditambah tiga sila; Persatuan Indonesia (ukhuwah wathaniyah), Kemanusian yang beradil dan beradab (karramatul insan wal tukarrama bani adam) dan Ketuhanan YME. Jadi sudah lebih dari yang dipersyaratkan. Memang kita tidak menyebut pancasila dengan bahasa Arabistik. Sebagian saudara kita mericek karena tidak dikemukakan dalam bahasa Islam.
Bapak dan ibu sekalian. Jadi tidak ada lagi alasan bagi umat Islam untuk bersetengah hati dengan Republik ini. Tidak boleh lagi ada keraguan Sikap ini harus dikikis agar tidak habis energi yang harusnya kita kerahkan sepenuhnya untuk membangun negeri  ini. Saya yakin negeri ini memang diperuntukkan untuk umat Islam. Tuhan telah memberikan negara-negara besar bagi umat agama lain.
Kalau ini bisa kita bulatkan dan ICMI menggerakkan itu, akan lebih cepat kebangkitan negeri ini. Memang ada masalah-masalah yang kita hadapi sekarang tapi tidak boleh membuat kita putus asa. Ini justru bisa menjadikan kita stimulan untuk bekerja lebih keras dan membangun komitmen yang lebih hebat lagi.  Tentu saja bukan berarti syariat Islam tidak dapat ditegakkan di sini. Ini penting bagi umat Islam agar kita tidak ikut menambah rumitnya negara ini dengan menggugat hal-hal yang sebetulnya bisa kita atasi. Negeri ini sudah sangat Islam. Tinggal bagaimana kita secara formil konsep aktualisasi. Sekali lagi, kegagalan ini salahsatu di antara kita yang masih setengah hati. Mudah-mudahan ke depan kita akan sepenuh hati mendukung negeri ini menjadi baldatun tayyibah warabun gafur.  
Tausyah di Kediaman Wakil Utama Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat, Prof. Dr. M. Nuh (14/8/12).




Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya