Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Kamis, 14 Januari 2010

HERMENEUTIKA TEKS

HERMENEUTIKA TEKS;

Sebuah Tawaran Metode Tafsir al-Qur’an

Oleh: Sulaiman Ibrahim

Abstrak

Hermeneutika al-Qur’an adalah suatu penafsiran rasional “bebas terkendali” dalam rangka memahami al-Qur’an dengan kontekstual. Walaupun Hermeneutika sebuah metode dari Barat, tetapi bukan berarti tidak bisa dipakai untuk manafsirkan sebuah teks al-Qur’an. justru hal ini membuahkan sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional

Kebutuhan Sebuah Penafsiran

Sepanjang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, tidak ada teks yang sakral. Sebab ilmu pengetahuan berkembang dengan cara mengkritik yang lama dan melahirkan yang baru. Sakralisasi teks mungkin diperlukan oleh orang awam supaya tidak bingung, sebagaimana mereka perlu pemimpin, apabila tidak ada pemimpin mungkin pemandu, yaitu teks-teks. Tapi ketika sudah dewasa, orang harus tahu bahwa sakralisasi bisa mempersempit Islam itu sendiri.[1]

Modernisme Islam atau pembaharuan dalam Islam selama ini dipahami sebagai upaya untuk menyesuaikan paham-pahaDm keagamaan Islam dengan dinamika dan perkembangan baru yang timbul atau ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Atau, yang dimaksud dengan modernisme Islam adalah upaya memperbarui penafsiran, penjabaran dan cara-cara pelaksanaan ajaran-ajaran dasar dan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis sesuai dan sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi masalah yang dihadapi.[2]

Dalam sejarah perkembangan modernisme Islam terdapat suatu gagasan utama yang selalu dicetuskan oleh oleh para tokoh pembaru, modernis, yaitu kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Muhammad Abduh, misalnya, dengan serius mengajak untuk kembali kepada al-Qur’an dan berpegang teguh dengannya, dan perlunya penafsiran/interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, sesuai dan sejalan dengan tuntunan dan perkembangan zaman.[3]3 Sehubungan dengan gagasan utama modernisme Islam, semua pihak, terutama tokoh-tokoh modernis, sepakat dan antusias untuk mengoperasionalisasikan dan melaksanakannya. Mengingat perlunya penafsiran atau interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, khususnya al-Qur’an, maka mau atau tidak mau terlibatlah apa yang disebut tafsir.

Al-Qur’an, sebagaimana diyakini umat Islam, adalah kalam Tuhan yang menyimpan segala petunjuk dan ajaran-Nya, yang meliputi segala aspek kehidupan manusia yang umumnya diungkap dalam bentuk dasar-dasarnya. Dan tafsir dipandang dari segi eksistensinya yang sangat melekat dengan al-Qur’an sungguh amat penting dan utama. Kepentingan dan keutamaan tafsir amat terasa apabila dihubungkan dengan keharusan umat Islam untuk memahami kandungan atau makna ajaran-ajaran al-Qur’an. Memahami segala kandungan al-Qur’an merupakan perintah Allah Swt. (QS. 38: 29) dan (QS. 4: 82).

Demikian penting upaya memahami dan merenungkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an, demi mendapatkan pelajaran-pelajaran berharga darinya. Untuk sampai pada tingkat pengamalan dan pelaksanaan segala petunjuk, ajaran dan aturan serta norma al-Qur’an tidaklah mudah, kecuali setelah memahami dengan sebaik-baiknya segala nasehat dan petunjuk al-Qur’an, serta menghayati prinsip-prinsip ajarannya, karena semua itu termuat dalam kemasan bahasa Arab yang beruslub tinggi. Hal ini menurut al-Zarqani, jelas diperlukan tafsir. Tanpa tafsir, tidak akan diperoleh apa-apa yang terkandung dalam khazanah al-Qur’an.[4]

Dalam rangka penafsiran baru al-Qur’an sesuai dengan konteks kekinian dan kemoderenan zaman, tafsir yang lebih diperlukan ialah tafsir yang bercorak rasional, yaitu tafsir yang disebut dengan istilah tafsir al-Qur’an bi al-ra’y (dengan menggunakan akal) atau tafsîr al-Ijtihâd.[5] Di samping itu diperlukannya perpaduan antara pemikiran-pemikiran yang memberi interpretasi pada wahyu (tafsir bi al-Ma’tsur)[6], dengan interpretasi rasional “liberal” dalam hal ini “hermeneutik”.[7]

Hermeneutik dalam Penafsiran Teks (al-Qur’an)

Kehadiran hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada awalnya hermeneutik banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dalam kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia, model ini dikenal dengan Ilmu Tafsir Kitab Suci. Namun, hermeneutik tidak mutlak hanya milik kaum penafsir kitab suci saja, ia berkembang pesat dalam berbagai disiplin ilmu yang luas. Bentuk hermeneutik dalam suatu kajian mulai berkembang pada abad ke-17 dan ke-18.[8]

Kajian hermeneutik sebagai suatu bidang keilmuan mulai marak pada abad ke-20. Diskursus kajian hermeneutik semakin berkembang, ia tidak hanya mencakup pada bidang kajian kitab suci (teks keagamaan) dan teks-teks klasik belaka, melainkan telah berkembang jauh pada ilmu-ilmu lain. Adapun ilmu-ilmu yang berkaitan erat dengan hermeneutik adalah sejarah, hukum. Filsafat, kesusasteraan dan lain sebagainya, yang tercakup dalam ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan.[9]

Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari kata Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneueia secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi.[10] Istilah hermeneutik merujuk pada mitos Hermes (Dewa Yunani) yang bertugas menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa kepada manusia.menurut Hossein Nasr sebagaimana yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat, Hermes tak lain adalah Nabi Idris a.s. yang disebut dalam al-Qur’an.[11] Sementara menurut cerita yang beredar di kalangan pesantren, pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukan tenun. Jika propesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang Dewa Hermes, di sana terdapat korelasi positif. Kata kerja “menenung” atau “memintal” yang dalam bahasa latin adalah tegere, sedangkan produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika yang dinisbahkan pada Hermes.[12] Jadi, kata hermeneutika adalah sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional dan imajinatif dari bahan baku berupa teks. Bagi Nabi Idris atau Dewa Hermes, ketika persoalan pertama yang dihadapi adalah bagaimana menyampaikan pesan-pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar bisa dipahami manusia yang berbicara dengan bahasa “bumi”.[13]


(Ingin memiliki tulisan ini dengan lengkap hubungi kami)

[1]Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, Doktrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2003) h. 118

[2]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002) cet I, h. 5

[3]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002) cet I, h. 5

[4]Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi al-‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: Musthafa al- Babi al-Halabi, tth.) jilid II, h. 6

[5]Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi al-‘Ulûm al-Qur’ân, h. 11

[6] Menurut al-Dzahabi al-tafsîr bi al-ma’tsûr adalah penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan: (a) ayat-ayat al-Qur’an, (b) riwayat yang berasal dari Rasulullah Saw. (c) riwayat dari sahabat, dan (d) riwayat dari para tabi’in. Lihat Al-Dzahabi, I, h. 152.

[7]Hermeneutika adalah ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi kita sekarang. Ini melibatkan aturan metodologis yang diterapkan dalam penafsiran maupun asumsi-asumsi epistimologis tentang pemahaman. Hermeneutika mengasumsikan bahwa setiap orang mendatangi teks dengan membawa persoalan dan harapan sendiri, dan adalah masuk akal untuk menuntut penafsir menyisihkan subjektivitas dirinya dan menafsirkan suatu teks tanpa pemahaman dan pertanyaan awal yang dimunculkannya. Lihat Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme. Terjemahan dari: Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Penerjemah: Watung A. Budiman. (Bandung: Mizan Media Utama, 2000), h. 83.

[8]E.Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Masalah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 26. Lihat juga M.Alfatih S. “Metode Hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis” (IAIN Yogyakarta, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, vol. I, no. 2, 2001) h.36.

[9]M.Alfatih S. “Metode Hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis”, h. 39.

[10] E.Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, h. 23. ditambahkan bahwa untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun keadaan “lebih dahulu mengerti” ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab menurut kenyataannya, bila seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi inilah menimbulkan “lingkaran hermeneutik”.

[11]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2004) cet. II, h. 137.

[12]Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2004) cet. II, h. 137.

[13]Lihat Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, h. 138. Menurut Van A. Harvay, kaitan antara kata “hermeneutika” dengan “Hermes” merefleksikan sebuah struktur triadik dari profesi penafsiran, yaitu: sebuah tanda, pesan atau teks dari beberapa sumber yang memerlukan seorang mediator atau penafsir (Hermes) untuk menyampaikannya kepada audiens.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar