Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Durkheim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Durkheim. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Desember 2011

PANDANGAN ETIKA ISLAM TENTANG MORALITAS DURKHEIM

Manusia pada eksistensinya di dunia, sebagai khalifah untuk menjaga, memelihara dan mengelola alam beserta isinya, utamanya manusia dengan manusia lainnya. Hal inilah manusia diberikan akal budi untuk berpikir mencari kepuasan dari perbuatannya atau mencari mana yang baik dan buruk dan sekaligus menunjukkan bahwa manusia sangat erat hubungannya dengan moralitas.
Dari awal sampai sekarang dalam perkembangan ke-hidupan bumi, manusia telah banyak mengalami per-kembangan, evolusi pemikiran dan perubahan tatanan  kehidupan, sehingga timbul berbagai pergolakan baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, utamanya integrasi manusia dengan sesamanya.  Hal ini perlu dicermati dan dikaji, persoalan yang satu (individu) membantai yang lainnya, atau sebaliknya sekelompok gerakan (kolektif) membantai kelompok yang lainnya, hal ini menjadi pergolakan egoistis, yang tidak melihat kebenaran, pentingnya solidaritas dalam kehidupan, keselarasan diantara keduanya termasuk keselarasan  seluruh umat manusia.
Pada prinsipnya, manusia dalam perbuatan dan kehendaknya mengarah pada suatu titik (tujuan) yang tinggi (esensi), Aristoteles menandaskan bahwa perbuatan manusia bagaimanapun mengejar sesuatu yang baik. Baik adalah sesuatu yang menjadi arah semua hal, sesuatu yang dikejar atau dituju, dan tujuan adalah sesuatu yang untuknya sesuatu itu dikerjakan.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa ketergantungan dengan orang lain, hidup berbagai rahasia yang banyak ragam dan misteri, maka manusia perlu persatuan dan saling tolong menolong. Gabriel Marcel (1889-1973), menjelaskan dan keterikatan antara sesama manusia adalah:
“Aku hanya mungkin mencapai kesempurnaan, kalau ia mengarahkan dirinya kepada orang lain, sehingga tanpa menghayati itu hidupnya mustahil memadai bagi panggilannya yang paling inti. Aku dan Engkau saling menghidupi, sehingga pada hakikatnya mereka tidak dapat dicairkan satu dari yang lain. Mereka dapat memberi wujud kongkrit kepada saling terjalinan mereka dan kesetiaan dan cinta. Menurut Marcel, kesatuan antara Aku dan Engkau dapat menghasilkan kepenuhan hidup sebagai manusia yang merupakan penyinaran intinya yang paling dalam, yang pada gilirannya memantulkan keterjalinan Aku dan Engkau yaitu Allah ”.[1]
 Manusia (individual) hidup berkumpul dalam lingkungan masyarakat (kolektif), yang dalam sejarah dikatakan bahwa mulai dari zaman Yunani Kuno (dimana masa ini persoalan kemasyarakatan sudah menjadi perhatian, namun belum menjadi pusat perhatian sepenuhnya), sampai sekarang abad moderen, persoalan kemasyarakatan menjadi ciri khas para filusuf, utamanya persoalan moralitas yang menjadi bagian dari persoalan etika sebagai bagian yang sangat penting, mengingat kehidupan masyarakat yang serba pluralistik, membutuhkan perhatian yang serius dan perlu penyelesaian.
Emile Durkheim merupakan salah seorang dari tiga tokoh yang dikenal sebagai pendiri dan peletak dasar sosiologi bersama Karl Marx dan Max Weber dalam berbagai penelitian aspek-aspek sosial. Namun tidak perlu disangkal, dalam konseptual pemikirannya tidak banyak persamaan, bahkan Durkheim banyak menentang sosialisme yang “Revolusioner” dari Marx
Karl Marx menempatkan kerja dalam konteks keseluruhan hidup manusia, sehingga ia berpendapat bahwa pada hakikatnya manusia adalah “pekerja”, mengingat bahwa pada dasarnya segala-galanya berakar pada materi, jadi kerja tidak hanya merupakan inti dari individual, tetapi menerangkan dia dengan kolektifitas besar yaitu umat manusia beserta sejarahnya. Atau dengan kata lain, Marx cenderung melihat masyarakat sebagai wahana dan sekaligus mekanisme penyangga dari berbagai konflik.
Durkheim sangsi akan teori Marx di atas (revolusioner) sebagai cara pemecahan yang tepat dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang bergejolak. Menurutnya masyarakat memerlukan peneguhan dasar “moralitas” yang baru,[2] Konsensus yang dimaksud adalah “persepakatan” atau kesepakatan kehendak antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
Demikian halnya dalam persoalan “perilaku sosial” Max Weber memandang lain dari Durkheim, bagi Weber adalah:

“Prilaku sosial bukanlah struktur-struktur sosial yang pertama-tama menghubungkan orang atau menentukan isi corak kelakuan mereka, melainkan arti-arti yang dikenakan orang-orang kepada kelakuan mereka.”[3]
Durkheim dengan sosialismenya dalam sosiologi moderen, menjelaskan pola-pola interaksi sosial antara seseorang dengan yang lain, melainkan berdasar pada tugas-tugas, kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang dikenakan oleh kolektifitas yang berlaku pada anggotanya (individu).
Dari berbagai paparan singkat di atas, nampak kepada kita, akan perjuangan Durkheim dalam merintis moralitas, khususnya di Perancis sebagai bagian Eropa yang mengalami situasi transpormasi sosial yang juga dialaminya pada masa itu.
Dalam konsep pemikiran Durkheim ada hal yang unik untuk dicermati, persoalan-persoalan ketimpangan sosial memerlukan moralitas, yang arah pemikirannya yaitu dengan jalan Positivisme yang murni, Ilmiah Rasionalis dan Sekuler, sehingga memandang tentang “Ilmu Moralitas” sebagai:
“Ketentuan moral dan hukum, pada dasarnya me-mantulkan keperluan sosial yang hanya bisa di-masukkan oleh masyarakat itu sendiri-sesuatu yang berdasarkan pada pandangan “kolektif”, maka bukanlah tugas kita untuk mendapatkan (ketentuan) etik dari ilmu pengetahuan, melainkan membentuk suatu ilmu tentang etika”. 
Demikian pula moralitas baginya, bukanlah saja sesuatu yang deduktif, melainkan sesuatu yang berangkat dari kenyataan empiris dan ilmiah serta bercorak pasca pengalaman. 
Dengan gagasan filosofisnya ini, Ia nampak sebagai seorang yang konservatif, yang ingin ketentuan sosial berdasarkan ketentuan kolektif (kesadaran), dan tidak ingin kembali pada ketentuan sosial yan lama dan juga sebagai orang yang progresif yang mencari dasar baru dari solidaritas sosial.
Persoalan moral dalam Islam, yang lebih dikenal dengan istilah “akhlak”, dalam hal ini menganut suatu tata aturan (ajaran moral) tersendiri (moral keagamaan Islam), yang dengan pasti tidak akan lepas dari pedoman ajarannya yaitu Alqur’an dan Hadis, karena diyakini bahwa Alqur’an diturunkan kepada Nabi pilihan Tuhan Yang Maha Muliah, untuk memberikan petunjuk kehidupan bumi, termasuk persoalan prilaku kehidupan manusia (sosial), sebagaimana dalam sabdanya:
            “Telah sampai kepadaku kabar; “Bahwa sesungguhnya Rasullah saw. menyampaikan: Bahwa diutusnya beliau untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Secara teoritis dan konseptual, umat Islam yakin akan eksistensinya itu, sebagai rambu, jalur yang menuju pada hakikat manusia, yang namun tidak perlu dipungkiri dalam ajaran ini, wahyu, akaliah dan kekuatannya tetap diakui eksisitensinya serta kapasitasnya dalam melihat fakta realitas yang bergejolak sebagai fenomena kehidupan yang dinamis dialam semesta.                                                   



  [1] P. Leenhouwers, Men Zijn Een Opgave! Op Weg Mec Zichzelf, diterjemahkan oleh K,J. Veeger dengan judul “Manusia dalam lingkungannya; Refleksi Filsafat tentang manusia (Jakarata : Gramedia,1988), h. i
[2]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Edisi I (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), h. 7
[3]K.J. Veeger, Realitas Soaial; Refleksi Filsafat Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sosiologi (Cet. III; Jakarta: Gramedia, 1990), h. 175


Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya