Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Rabu, 17 Februari 2010

KONSEP SUFI; FANA’, BAQA’, ITTIHAD DAN HULUL (suatu jalan menuju Tuhan)


Fana’ dan Baqa’
Segolongan penganut tasawuf menyebutkan, bahwa tujuan utama yang menjadi inti ajaran tasawuf adalah sampai pada zat al-Haqq dan bahkan bersatu dengan tuhan. Jadi semua aktifitas ketasawufan langsung atau tidak langsung pasti berkaitan dengan penghayatan fana’ dan ma’rifat pada zat Allah. Jadi ma’rifat itu bukan tanggapan atau pengalaman kejiwaan (mystical experience) yakni suatu tanggapan atau pangalaman kejiwaan sewaktu mengalami fana’ . Dengan sampainya seseorang sufi ketingkat ma’rifat, ia pada hakekatnya telah dengat benar dengan Tuhan, sehingga akhirnya ia bersatu dengan Tuhan yang disebut dengan istilah Ittihad. Tetapi sebelum seorang sufi bersatu dengan Tuuhan, ia harus terlebih dahulu menghancurkan dirinya, dalam tasawuf disebut dengan istilah fana’.

Pengertian Fana’ dan Baqa’
Fana berasal dari kata fana-yafna-fana yang berarti hilang, hancur, (disappear, perish, annihilate) Yang dimaksud dengan al-fana’ ialah penghancuran perasaan atau kesadaran seseorang tentang dirinya dan tentang makhluk lain de sekitarnya. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian juga makhluik lain tetap ada, tetapi ia tidak sadar lagi tentang wujud mereka, bahkan juga tentang wujud dirinya sendiri. Disini pulalah tercapainya al-ittihad. Jadi al-Baqa’ berarti tetap, terus hidup; to remain, persevere) merupakan kelanjutan wujud yang merupakan satu mata rantai dengan al-fana’ yang senantiasa diikuti oleh al-baqa’, hal ini dapat dilihat dari faham-faham sufi : “Para sufi mensyaratkan dengan kata al-fana’ sebagai hilangnya sifat-sifat tercela dan kata al-baqa’ adalah terbinanya sifat-sifat terpuji.

Ajaran Sufi Tentang al-Fana’ dan al-Baqa’
Bagi Sufi fana’ adalah tidak dikenalinya siifat-sifat seseorang oleh yang bersangkutan sendiri. Dan baqa’ adalah pengenalan hal serupa dengan sifat Tuhan. Di dalam al-fana’ abdi tidak memiliki kesadaran tentang dirinya, artinya bagi dirinya sendiri yang bersangkutan tidak merasa ada, tetapi ia hanya menyadari sekedar sebagai yang mewujudkan, yang diwujudkan dan perwujudan. Dalam fana’, esensi sifat dan tindakan abdi akan menjadi esensi sifat, dan tindakan Tuhan, dan bukan melarut bagaikan gula di dalam air terhadaap esensi, sifat, tindakan tuhan. Abdi tidak memililki kesadaran tentang “sesuatu selain tuhan” (ma siwallah)
“Pada awalnya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah, lantaran telah mulai meyaksikan keindahan zat Allah, kemudian akhirnya lenyap kesadaran akan ke-fana’-annya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam wujud Allah”.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa fana’ itu ada tiga tingkatan yaitu :
a. Perubahan moral, yaitu suatu peralihan moral dari sifat-sifat tercela dengan jalanmengendalikan nafsu-nafsu dan dengan segala keinginannya.
b. Penghayatan kejiwaan, Yaitu lenyapnya kesadaran terhadap segala yang ada di alam sekelilingnya, baik pikiran,perbuatan dan perasaan,lantaran kesadaran telah berpusat dengan pwenghayatan pada Tuhan. Dalam hal ini penghayatan telah tertuju pada sifat-sifat Allah.
c. Lenyapnya kesadaran dirinya lantaran terhisap kepada kesadaran serba tuhan, yaitu lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya. Puncak tertinggi pada fana’ ini terrcapai ketika kesadaran akan ke-fana’-annya itu sendiri telah lenyap.
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w.505 H/1111 M.) membatasi sampai kefana’ tingkat kedua, masih mempertahankan adanya perbedaan yang fundamental antara hamba yang melihat, dengan tuhan yang dilihatnya. Sebaliknya Husain bin mansur al-Hallaj yang menekankan tercapainya fana’ tingkat tiga (puncak penghayatan fana’), cenderung ke faham (lenyapnya kesadaran akan kebenaran diirinya lantaran telah terhisap dan luluh dengan kesatuan dengan Tuhannya). Dalam penghayatan ini manusia merasa mengalami sama seperti tuhan itu sendiri.
Kalau seorang sufi telah mencapai fana’ an al-Nafs, yaitu kalau wujud jasmaninya tidak ada lagi (dalam arti tidak disadari lagi) maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu denga tuhan. Dan kelihatannya persatuan dengan tuhan ini terjadi langsung setelah teracapainya fana’ an al-Nafs, tak ubahnya dengan fana’ yang terjadi tentang kejahilan maksiat-maksiat dan kelakuan buruk. Dengan hancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik.
Dalam sejarah tasawuf, Abu yasid al-Bustami (w.261 H/874 M.) yang dipandang sebagai sufi yang pertama yang memunculkan fana’ dan baqa’ ini. Faham ini tersimpul dalam kata-katanya : “Aku tahu pada tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu padaNya melalui dirinya, maka akupun hidup”.
Adapun salah satu jalan untuk mencapai fana’ fillah, di samping mendalamnya cinta rindu adalah dengan meditasi (pemusatan kesadaraan) dengan perantaraan zikir.

Ittihad
Dengan tercapainya orang pada fana’ dan baqa’ maka sampailah ia kepada al-Ittihad. Al-Ittihad berasal dari kata ittahada-yattahidu-ittihad, yaitu penyatuan. Dalam bahasa tasawuf ittihad diartikan sebagai suatu tingkatan dimana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang cintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata “ ya ana” (wahai aku).
Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang terpisah satu dari yang lain,karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi yang bersangkutan, karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan nama Tuhan.
Abu Yasid al-Bustami sebagai tokoh yang memperkenalkan faham al-ittihad (kesatuam antara manusia dengan Tuhan), Mengapa Abu Yasid dinilai mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan, Hal ini lantaran beliau mengungkapkan syatahat yang menunjukkan bahwa Abu Yasid mengalami atau menghayati hal al- wahdah.
Diceritakan, sejak kecil Abu Yasid mempelajari Al-Quran, ketika sampai pada surah Luqman ayat 14 ia segera minta izin ke gurunya dan ibunya untuk mengembara, Ibunya mengizinkannya dan menjawab “pergilah nak, dan jadilah kamu milik Allah” setelah itu Al-Bustami pergi mengembara untuk berguru dan mengalami kehidupan sufi, ia mengunjungi kurang lebih 113 guru dalam masa 30 tahun. Pada suatu waktu dalam pengembaraannya, setelah shalat Subuh Abu Yasid berkata pada orang-orang yang mengikutinya,
Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang menyertainya mengatakan bahwa Abu Yasid telah gila. Menurut pandangan para sufi, ketika mengucapkan kata-kata itu Abu Yasid sedang berada dalam keadaan ittihad.
Abu Yasid mengatakan “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu yasid, tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena Abu Yasid telah bersatu dengan diri Tuhan, Dalam kata lain Abu Yasid dalam Ittihad berbicara dengan nama Tuhan, atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yasid. Oleh karena itu ia mengucapkan kata-kata yang kelihatannya mengandung pengakuan bahwa Abu Yasid adalah Tuhan. Diriwayatkan bahwa “seseorang telah lewat didepan rumah Abu Yasid dan mengetuk pintu, Abu Yasid bertanya:”siapa yang engkau cari ? jawab (orang yang mengetuk pintu itu) “Abu Yasid” lalu Abu Yasid mengatakan “pergilah”, di rumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Tinggi.
Kata-kata seperti di atas, bukan diucapkan oleh Abu Yasid sebagai kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yamnng dicapainya dengan Tuhan, dengan kata lain Abu Yasid tidaklah mengakui dirinya sebagaiTuhan.
Al-Hulul
Sejarah ringkas al-Hallaj
Faham al-hulul dibawa oleh Husain ibn Mansur al-Hallaj yang dikenal dengan nama al-Hallaj, lahir di kota al-Baida’ di Iran selatan (Persia) pada tahun 858 M , ia menerima pendidikan dibawah asuhan gurunya ‘Alim Sahal ibn Abdullah. Setelah menguasai berbagai cabang ilmu agama, ia mengembalikan perhatiannya kepada sufisme dan menimba ilmu pada guru sufinya yaitu Hazrat Abu Husain Nuri, Junaid Baghdadi dan Uamar ibn Utsman. Dari gurunya itu al-Hallaj semakin kuat dalam dirinya, sehingga ia mulai mengudcapkan hal-hal yang bertentangan dengnan syariat-syariat, Gurunya sering kali melarangnya mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan syariat itu, sehingga al-Hallaj akhirnya diperintahkan meninggalkan perguruan itu. Kemudian al-Hallaj memutuskan pindah ke Baghdad , dan menjadi murid-murid dari sufi kenamaan di Baghdad, ia banyak mengadakan perjalanan diantaranya,di mekkah, India, ia dituduh mempunyai hubungan dengan golongan Syi’ah ekstrim, kaum Qaramitah, yang banyak menentang pemerintahan Bani Abbasiyah. Oleh karena itu, hukuman mati atas al-Hallaj bukan semata karena ucapan ana al-Haqq, tapi juga karena soal politik.
Pada suatu hari al-Hallaj benar-benar mencapai api cinta ilahiyah dan mengucapkan ana al-haqq, Gurunya Junaid dan teman-temannya Shibli menasehati al-Hallaj supaya menahan hati, namun tetap tidak mampan, dan dia terus saja mengucapkan ana al-haqq. Lalu bangkitlah kaum syyariat melawan al-Hallaj dengan mendapat dukungan dari Hamid ibn Abbas-perdana menteri wilayah Baghdad pada waktu itu dan akhirnya mengeluarkan fatwa kufur, menyatakan bahwa al-Hallaj secara hukum dapat dihukum mati. Dan pada akhiirnya tanggal 24 Zulqa’dah 309 H. hukuman mati al-Hallaj dilaksanakan.
Konsep Hulul al-Hallaj
Konsep hulul yaitu immanensi roh Tuhan dalam diri manusia. Timbul masalah bagaimana roh tuhan tadi menempati dalam diri manusia dan alam semesta. Hulul berasal dari bahasa Arab yang berarti menempati. Hulul adalah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia itu betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya. Menurut al-Hallaj Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat ketuhanan) dan al-Nasut (sifat kemanusiaan) Manusia juga mempunyai sifat yang sama. Oleh karena itu antara tuhan dengan manusia terdapat kesamaan sifat pandangan bahwa Tuhan dan manusia mempunyai sifat dasar yang sama, ini diambil dari sebuah hadis yang berarti “sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuknya” (HR.Bukhari, Muslim dan Ahmad ibn Hambali) hadis ini mengandung arti bahwa di dalam diri Adam as. Terdapat bentuk tuhan yang disebut al-Lahut, sebaliknya, di dalam diri Tuhan terdapat bentuk manusia disebut al-Nasut. Berdasarkan adanya faham kesamaan sifat antara Tuhan dan manusia, maka persatuan antara Tuhan dan manusia itu mungkin terjadi, persatuan tersebut terjadi dalam bentuk hulul. Untuk melenyapkan al-nasut, seorang hamba harus memperbanyak ibadah. Bila usahanya melenyapkaan sifat ini berhasil maka tinggallah dalam dirinyahanya sifat al-lahut, pada saat itulah sifat al-nasut Tuhanturun dan masuk dalam tubuh seorang sufi hingga terjadi hulul, peristiwa ini hanya terjadi sesaat. Penyatuan roh Tuhan dan Roh manusia dilukiskan oleh al-Hallaj: “JiwaMu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur dicampur dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam setiap keadaan Engkau adalah aku”.
Ketika peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat (kata-kata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi ana al-Haqq, Kata al-Haqq dalam istilah tasawwuf adalah Tuhan. Sebagian orang menganggap al-Hallaj kafir karena ia mengaku dirinya Tuhan, al-Hallaj tidaklah mengaku demikian dan ini terlihat dalam syairnya:
“Aku adalah rahasia yang Maha Benar, dan bukanlah yang maha Benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami”.
Dalam ajaran al-Hallaj dasar pikiran falsafi telah diletakkan yaitu penghayatan kesamaan dan kesatuan antara manusia dengan Tuhan dijadikan titik pangkal untuk mengembangkan pikiran dan pandangan tasawuf tentang dunia dan penciptaan dunia dan manusia. Dasar pemikiran immanensi Tuhan dalam alam semesta dan teori penciptaan secara emanasi tentu mengubah secara fundamental pemikiran Islam tentang tauhid serta kaedah moral tentang baik dan buruk semua jadi relatif. Kalau dihubungkan dengan filsafat serba Tuhan, baik dan buruknya hanya diibaratkan peralihan dari gelap keterang, antara hubungan siang dan malam segalanya jadi relatif, tidak ada yang mutlak, lebih celaka lagi faham serba Tuhan dan ilmu gaib yang telah melekat pada esensi tasawuf menimbulkan logika paradoksal, manusia bisa merasa berkuasa sebagai Tuhan atau pengapung disamudera Ilahi.
Konsep lain yang diperkenalkan oleh al-Hallaj adalah kesatuan segala agama (wahdah al-adyan) diterangkan bahwa al-Hallaj adalah orang yang pertama memperkenalkan konsep kesatuan segala agama dalam kalangan para sufi muslim. Dia memandang bahwa semua agama-agama itu, walaupun beda-beda ungkapan lahiriyahnya (syariatnya) namun sama dalam esensinya, lantaran semua menuju ketujuan (hakekat) Yang sama (Tuhan). Adapun terjadinya perbedaan-perbedaan ini adalah dikehendaki Allah swt. agar ada kelompok- kelompok tertentu dalam agama untuk menyibukkan diri dengan masalah mereka . Jadi macam-macam agama itu, asal (sumbernya) adalah satu (sama) namun budaya umat terrbilang banyak.

Kecaman Ulama Salaf terhadap Aliran Ittihad dan Hulul
Sejak dahulu, para kaum salaf dan Sufi telah mengecam aliran al-Ittihad dan Hulul ini, karena dikhawatirkan akan menghancurkan kekuatan iman kaum muslimin dari dalam tanpa disadari. Namun, bila seorang mengetakan bahwa Ibn Taimiyahlah orang yang pertama mengecam faham ini adalah tidak benar, karena sebelu masa hidupnya, sudah banyak sekali ulama salaf yang berusaha membentengi keimanan umat islam. Ibnu Taimiyah berkata, “Al-Junaid adalah seorang ulama bijaksana yang meladeni jejak para pendahunya yang shaleh. Dia menyayangkan adanya sebagian sufi yang terpengaruh dengan faham ini. Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa kaum sufi itu hanya bermazhab pada ajaran sunnah Nabi, bukan faham al-Ittihad dan al-hulul, ia berkata: bahwa kaum sufi adalah sekelompok manusia yang disucikan dari pengaruh ajaran mazhab saat itu, mereka pula kelompok yang sangat menjauhinya, dan selalu memerangi gerakannya. Syaikh Abdur Qadir jailani ditanya oleh seseorang,”apakah ada aliran yang tetap diridhai oleh Allah selain mazhab imam Ahmad ibn Hambal ? Dia menjawab”Tidak” itu tidak ada.
Ini buktinya yang menyatakan kesamaan aqidah kaum sufi dan ahli salaf yang berdasarkan kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Abu Na’im berkata,”apabila kefasikan telah mencapai kelisan kita dan menghiasi pembicaraan ulama Fiqh, serta para pengikut jejak salaf, maka kekufuran aliran al-Hululiyah yang penuh dusta itupun sudah menembusi dinding segala kebajikan kaum muslimin. Kata-kata ini menunjukksn kebencian Abu Na’im yang amat mendalam terhadap kelompok al-Hululiyah yang tidak mau meladeni jejak ahli salaf sebagaimana yang ditiru oleh kaum sufi dari kitab al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Dia berkata bahwa kecaman yang diarahkan kekelompok sesat ini, bukan hanya dilakukan oleh kaum sufi saja, akan tetapi turut pula didukung oleh ulama-ulama fiqh, ulama hadis dan pemuka umat islam, karena kelompok hululiyah ini telah menjalani jalan mereka dan meninggalkan jejak salaf yang shaleh.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Khalik,syeikh Abdurrahman, Penyimpangan-penyimpangan Tasawuf (terj Jakarta; Robbani Press, 1421 H.)
Al-Kalabadzi, Abu Bakar Muhammad, Al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf (Kairo; Dar al-Nahdhah;tth)
Ensiklopedi Islam (Jakarta;Ichtiar van Hauve, 1977, cet.iv, jilid.ii)
Syeikh Ibrahim, Gazur I-ilahi, Mengungkap misteri sufi besar al-Hallaj ana al-Haqq (terj.Jakarta; Rajawali Press, 1986)
Hilal, Ibrahim, Al-Tasawwuf al-Islam bain al-din wa al-Falsafah (kairo; Al-Nahdhah al-Arabiyah, 1979)
Masignon, Louis, al-Hallaj sang sufi Syahid (terj.Yogyakarta; Pustaka Baru,2000)
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1977)
-----------, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta; Universitas Indonesia Press, 1986) jilid.II. cet.V
Simuh, Tasawwuf dan perkembangannya dalam Islam (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1997

1 komentar: