Oleh: K.H. Aqil Sirajd
Tema radikalisme Islam kembali mencuat. Sebutannya pun bisa beragam, seperti ekstrem kanan, fundamentalis, dan militan. Ada juga yang menyebut radikal dengan sebutan Neo-Khawarij dan Khawarij abad ke-20.
Radikalisme sekelompok Muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai biang keladi radikalisme. Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi bahaya besar bagi masa depan peradaban manusia.
Gerakan radikalisme bukan sebuah gerakan spontan, tetapi memiliki faktor pendorong. Gejala kekerasan ”agama” bisa didudukkan sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Akar masalahnya bisa ditelusuri dari sudut sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia.
Faktor lain adalah sentimen keagamaan dan solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Namun, hal ini lebih tepat disebut faktor emosi keagamaan, bukan faktor agama an sich, meski gerakan radikalisme selalu mengibarkan simbol agama seperti jihad dan mati syahid. Emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas, bersifat. Jadi, sifatnya nisbi dan subyektif.
Faktor kultural juga memiliki andil besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Secara kultural, di masyarakat selalu ditemukan usaha untuk melepaskan diri dari jerat jaring-jaring kebudayaan yang dianggap tidak sesuai. Faktor kultural adalah sebagai antitesa terhadap budaya sekularisme Barat yang dicap sebagai musuh besar.
Islam Indonesia
Islam adalah agama ”pendatang” karena berasal dari Timur Tengah. Namun, berkat proses transformasi yang berjalan damai, Islam menjadi bagian tak terpisahkan kehidupan bangsa Indonesia. Sesuai makna dasar Islam, dari kata aslama, bermakna ”damai”, ternyata para pembawa panji-panji Islam tempo dulu mampu menyebarkan agama Islam dengan damai.Penyebaran Islam di Indonesia berjalan lancar dan tidak menimbulkan konfrontasi dengan pemeluk agama sebelumnya. Masuk melalui pantai Aceh, Islam dibawa para perantau dari berbagai penjuru, seperti Arab Saudi dan sebagian dari mereka ada yang berasal dari Gujarat.
Penyebab proses Islamisasi berjalan damai karena kepiawaian para mubalig dalam memilih media dakwah, seperti sosial budaya, ekonomi, dan politik. Dalam penggunaan media budaya, sebagian mubalig memanfaatkan wayang sebagai salah satu media dakwah. Sunan Kalijaga, misalnya, mampu menarik simpati rakyat Jawa yang amat akrab dengan budaya dan tradisi Hindu-Buddha.
Para pembawa panji Islam juga memanfaatkan aspek ekonomi untuk mengembangkan nilai-nilai dan ajaran Islam. Dari berbagai literatur terungkap, aspek itu menempati posisi strategis dalam upaya Islamisasi di Nusantara. Salah satu faktor yang mendorong minat masyarakat Nusantara mengikuti agama para pedagang itu karena tata cara dagang serta perilaku sehari-hari lainnya dianggap menarik sanubari masyarakat setempat.
Setelah kokoh menancapkan pengaruhnya di Indonesia, peran Islam lambat laun meningkat ke wilayah politik melalui upaya mendirikan kerajaan Islam, antara lain Kerajaan Pasai, Demak, Mataram, dan Pajang. Lalu, semua itu mengalami keruntuhan karena adanya berbagai faktor, baik konflik internal di antara anggota keluarga kerajaan maupun faktor eksternal seperti serbuan kolonialis Portugis dan Belanda. Namun, posisi Islam tetap kukuh dan kian menyatu dengan kehidupan masyarakat dan hampir selalu memperlihatkan wajahnya yang ramah dan santun. Gejolak yang sifatnya radikal nyaris tak terdengar.
Dakwah santun
Memahami Islam secara tekstualistik akan mendatangkan sikap ekstrem. Padahal, Al Quran tidak melegitimasi sedikit pun perilaku dan sikap yang melampaui batas. Dalam konteks ini, ada tiga sikap yang dikategorikan ”melampaui batas”.Pertama, ghuluw, bentuk ekspresi berlebihan manusia dalam merespons persoalan hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan.
Kedua, tatharruf, sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi kepada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat.
Ketiga, irhab, yang mengundang kekhawatiran karena bisa membenarkan kekerasan atas nama agama. Irhab adalah sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi.
Idealnya, seorang Muslim harus memahami ajaran Islam secara utuh, hingga berdampak sosial yang positif bagi dirinya. Alangkah kering dan gersangnya agama jika aspek eksoterik dalam Islam hanya sebatas legal-formal dan tekstualistik. Sebuah ayat tentang jihad akan terasa gersang jika pemahamannya dimonopoli tafsir ”perang mengangkat senjata”. Padahal, jihad pada masa Rasulullah merupakan wujud pembebasan rakyat untuk menghapus diskriminasi dan melindungi hak-hak rakyat demi terbangunnya tatanan masyarakat yang beradab.
Puncak keberagamaan seseorang terletak pada sikap arif dan bijaksana (al-hikmah). Di sinilah perlunya mengedepankan aspek esoteris Islam. Sisi ini merupakan pemahaman keislaman yang moderat, serta bentuk dakwah yang mengedepankan qaulan karima (perkataan yang mulia), qaulan ma’rufa (perkataan yang baik), qaulan maisura (perkataan yang pantas), qaulan layyinan (perkataan yang lemah lembut), qaulan baligha (perkataan yang berbekas pada jiwa), dan qaulan tsaqila (perkataan yang berat). Semua sikap itu telah diamanatkan dalam Al Quran.
Said Aqiel Siradj
Ketua PBNU
Dimuat HU Kompas, Jumat, 4 September 2009