Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Jumat, 28 Oktober 2022

HUKUM DOMESTIKASI DAN KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA

Perempuan sepanjang zaman telah memperoleh perhatian dari para cendekiawan dan para peneliti sesuai dengan kecenderungan dan bidang mereka masing-masing. Hanya saja kajian dan penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan yang berbeda, sehingga berbeda pula dalam menjabarkan hak dan kewajibannya. Sebahagian kajian mengakui hak perempuan sama dengan hak laki-laki tetapi kajian lainnya menjatuhkan perempuan dengan suatu kesimpulan bahwa perempuan diciptakan untuk kemaslahatan laki-laki. Ketika sebagian undang-undang memberikan hak kepada perempuan maka undang-undang lainnya menghalangi hak perempuan, sehingga nasib perempuan seolah-olah tergadaikan oleh kekuasaan laki-laki dan terabaikan dengan kehendak laki-laki.[1]



Islam[2] juga menegaskan bahwa manusia secara keseluruhan, laki-laki maupun perempuan diciptakan dari jiwa yang satu, (QS. al-Nisa’/4: 1). Laki-laki dan perempuan dalam pandangan al-Qur’an adalah sama dalam esensi kemanusiannya. Maka dilihat dari aspek ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kedua jenis manusia itu sama mendapatkan kemuliaan yang Allah berikan kepada seluruh umat manusia tanpa ada pembedaan[3]. Karena itu laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam segala bidang. Etin Anwar mengatakan bahwa perempuan mempunyai hak untuk memenuhi keinginannya, baik yang bersifat individu, keluarga maupun masyarakat.[4]

Perempuan adalah kelompok manusia yang selalu tertindas. Pernyataan ini adalah gambaran tentang pengalaman kelam sekaligus potret buram kondisi perempuan di sepanjang sejarah. Tidak pernah dalam satu masyarakat, kapan dan di manapun, perempuan dihargai layaknya laki-laki, terutama yang berkaitan dengan seksualitas dan produktifitas ekonomi.[5] Ironisnya, ketertindasan ini dialami oleh perempuan di dalam rumah tangganya dan oleh orang-orang dekatnya sendiri (ayah atau suaminya).

Perubahan tatanan dan pola hidup masyarakat dari masa ke masa, mulai dari kehidupan primitif sampai pada masyarakat industri, telah mengakibatkan perkembangan taraf kehidupan perempuan. Akan tetapi, bukan berarti segala bentuk penindasan terhadap mereka telah terhapus. Era industri yang mengantar manusia ke peradaban modern masih mewarisi nilai-nilai yang ada sebelumnya. Perbedaan antara peran laki-laki dan perempuan masih sangat kental dalam berbagai aspek kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi, dan lainnya. Pendeknya, status quo perempuan sebagai mahluk yang tertindas masih tetap bertahan sampai sekarang.[6]

Bahwa perempuan adalah kelompok manusia yang selalu tertindas, dapat dibuktikan dengan konsep kepemimpinan dalam keluarga. Pandangan yang mengakar di dalam masyarakat bahwa suami/ayah adalah kepala rumah tangga. Hal ini, disadari atau tidak, menggambarkan hubungan yang hierarkis, di mana perempuan selalu berada di bawah bayang-bayang laki-laki, atau selalu tunduk dan patuh terhadap kebijakan laki-laki. Ketika masih berstatus gadis, perempuan harus tunduk sepenuhnya kepada kebijakan dan keputusan sang ayah, dan setelah berumah tangga hal yang sama harus ditunjukkan kepada sang suami. Ini artinya pandangan tersebut menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kelas dua (the second sex). Bukan hanya masalah hirarki, tetapi dari pandangan tersebut lahir banyak masalah turunan, seperti dikotomi peran publik-domestik, tindakan pemaksaan dan sewenang-wenang terhadap isteri dan anak gadis, beban ganda (double burden), dan lain-lain.

Masalah-masalah di atas secara akumulatif semakin memperburuk nasib perempuan. Dikotomi peran mengakibatkan perempuan terdomestikasi. Mereka (isteri) harus terkungkung oleh keempat dinding rumahnya sendiri, dan pada saat yang sama laki-laki (suami) bebas berkiprah seluas akses yang dapat dijangkaunya. Celakanya, diamnya mereka di rumah dengan aneka urusan kerumahtanggaan dipandang sebagai kewajiban, sehingga tidak pernah dinilai sebagai kerja produktif secara ekonomis yang membutuhkan perhitungan jam kerja dengan imbalan yang sesuai. Kemudian, dengan dalih sebagai pemimpin, tidak kurang suami berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya, bahkan sampai pada tindakan yang dapat dimasukkan dalam kotak “tindak pidana kekerasan”.

Posisi tawar yang tidak berimbang antara laki-laki dan perempuan ini mengakibatkan ketergantungan perempuan yang mengantar pada kondisi kepasrahan dan ketakberdayaan. Karenanya, posisi sebagai isteri tidak selamanya mendapatkan jaminan keamanan dan pengayoman yang memadai. Dengan dalih sebagai pemimpin, tidak sedikit suami memaksa isterinya untuk meninggalkan pekerjaan dan menanggung tekanan-tekanan, baik psikis maupun fisik.


Dewasa ini sudah banyak perempuan yang bekerja di wilayah publik, wilayah yang pada mulanya hanya dapat diakses oleh laki-laki. Hal ini terjadi, selain karena kemajuan industri yang tidak meletakkan kriteria jenis kelamin secara ketat, juga karena dorongan dan motivasi untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Namun kemudian, masalah lain pun muncul, seorang isteri harus menanggung beban ganda (double burden). Di samping mereka membongkar “laci dunia” dengan tangan kirinya, ia juga harus tetap menggoyang ayunan dengan tangan kanannya. Di samping ia tertuntut untuk ikut serta meringankan beban ekonomi keluarga, ia juga tetap dipandang wajib memberikan ASI untuk bayinya dan mengerjakan tugas-tugas kerumahtanggaan lainnya.

Dikotomi peran publik-domestik tidak langgeng dengan sendirinya. Ia diperkuat oleh argumen-argumen pembenaran, seperti distingsi struktur biologis antara laki-laki dan perempuan, interpretasi dalil-dalil agama, dan rekonstruksi berbagai disiplin ilmu yang terkait. Akan tetapi, seperti yang dikemukakan oleh banyak pakar dan pemerhati hak-hak perempuan, di antara beberapa faktor yang ada, interpretasi dalil agama atau doktrin teologislah sebagai penyebab utama (primacausa) semua ini. Faktor ini memberikan pengaruh yang luar biasa, sampai-sampai relasi jender yang hirarki dalam rumah tangga telah mengendap di alam bawah sadar baik laki-laki maupun perempuan. Usaha klarifikasi bukan hanya berhadapan dengan kaum laki-laki, tetapi tidak jarang harus berhadapan dengan tantangan kaum perempuan sendiri. Tentu saja tantangan ini bukan karena kecurigaan atau sikap apriori semata. Kesadaran seksis[7] yang memunculkan upaya penegakan kesetaraan dan keadilan jender –termasuk melepaskan keluarga dari relasi jender yang hierarkis– dianggap menghancurkan nilai-nilai agama dan merusak tatanan masyarakat yang Islami. Yang dimaksud interpretasi dalil agama di sini harus ditegaskan, karena dalil-dalil agama sesungguhnya tidak mungkin menuntun manusia pada tindak ketidakadian dan kekerasan. Artinya, antara dalil agama dan interpretasinya harus dipisahkan, karena keduanya memang sangat berbeda. Dalil agama bersumber dari Tuhan Yang Maha Benar dan Maha Adil, sedangkan interpretasi adalah proses kerja akal manusia yang kebenarannya bersifat relatif.

            Lalu bagaimana keadilan jender kususnya yang terkait dengan peran laki-laki dan perempuan berdasarkan dalil-dalil agama tersebut. Paragraf-paragraf berikut menuangkan interpretasi yang lebih selaras dengan semangat qur’ani. Namun sebelumnya, dirasakan ada desakan untuk memaparkan secara singkat fluktuasi posisi dan peran perempuan dari masa ke masa.



       [1]Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2009), Cet. IV, 200.

       [2]Ketika Islam pertama kali datang di Jazirah Arabia, perempuan berada dalam posisi yang sangat memperihatinkan. Hak-Hak mereka diabaikan, suara merekapun tak pernah didengar. Islam kemudian datang merombak total kondisi yang tak menguntungkan bagi perempuan ini. Kedudukan mereka kemudian diakui dan diangkat. Ketidakadilan yang mereka alami pun dihilangkan, dan hak-hak mereka mendapat pembelaan dan jaminan dalam Islam. Sejak itu, perempuan menemukan kembali jati diri kemanusiaan mereka yang hilang. Mereka sadar  bahwa mereka adalah manusia sebagaimana halnya laki-laki. Lihat Mahmud  Hamdi Zaqzuq, Haqȃ’iq Islâmiyah fi Muwajahat Hamalat al- Tashkik (Kairo: Wizarat al-Awqaf al-Majlis al-A’la li al-Shu’un al-Islamiyah, Cet. V, 2005), h. 92. Sri Suhandjati Sukri menjelaskan bahwa setelah Islam datang terjadi perubahan besar dalam cara pandang sikap terhadap perempuan. Semasa jahiliyah kedudukan perempuan dipandang rendah bahkan disamakan dengan benda mati yang dapat diwariskan Islam datang mengakat harkat dan martabat perempuan  menjadi terhormat. Ajaran Islam memberikan hak dan kewajiban sebagaimana laki-laki, mereka diberikan hak hidup, hak mendapat warisan, hak menuntut ilmu hak berjihad, hak berpendapat dan hak-hak lainnya. Sri Suhandjati, Perempuan menggugat :Kasus dalam al-Qur’an & Realitas Masa Kini (Semarang: Pustaka Adnan, 2002), xii. Baca Musdah Mulia, Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender (Yogyakarta: Kibar Press, Cet. III, 2009), h. v-vi.

       [3]Lihat Mahmud Hamdi Zaqzuq, Haqâiq Islâmiyah fi Muwajahât Hamalat al-Tasykik, h. 93.

       [4]Etin Anwar, Gender and Self in Islam, (London and New York: Routledge, 2006), h. 133.

[5]Lihat Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan; Mewujudkan Idealisme Jender sesuai Tuntunan Islam, Terjemahan Oleh Burhan Wirasubrata & Kundan D. Nuryakien, dari Women in Islam; A Discourse in Rights and Obligations, (Jakarta: CV. Cendikia Sentra 2001). h. 19-57; Sanderson, Sosiologi Makro; Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Terjemahan oleh Farid Wajdi dan S. Meno, (Jakarta: Rajawali Press), 1993, h. 399.; M. Kay Martin and Barbara Voorhies, Female of The Species, (New York: Columbia University, 1975), h.; Heidi Hartman, Capitalism, Patriarchy and Job Segregation, dalam Nona Glazer dan Helen Y. Waehrer (eds), Women in Man-Made World, (Chicago: Rand Mc. Nally College Publishing Comp, 1977), h. 72.; Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Qur'an, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 80-83.

[6]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 83.

[7]Yang dimaksud kesadaran seksis di sini adalah seperti yang didefinisikan oleh Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, yakni seseorang yang mengenali adanya diskriminasi atas dasar jenis kelamin (seksisme) seperti dominasi laki-laki atas perempuan, pelaksanaan sistem patriarkhi; dan ia melakukan tindakan untuk menentang itu. Lihat  Budhy Munawar Rachman at. all, Penafsiran Islam Liberal atas Isu-Isu Gender dan Feminisme di Indonesia, Dalam Rekonstrusksi Metodologis dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h. 32.

 Sumber: https://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/au/article/view/189/167

 

 



 

Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Minggu, 15 Agustus 2021

Dampak Pembelajaran Online di Tengah Pandemi Covid-19

Proses pembelejaran dapat dikatakan berhasil jikalau tujuan pembelajaran itu telah tercapai. Berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pembelajaran tergantung pada proses pembelajaran yang dijalani oleh siswa. Menurut Asmani ada dua indikator yang dapat dijadikan sebagai acuan keberhasilan proses belajar yaitu daya serap terhadap pelajaran dan perubahan dari perilaku siswa. 

Pembelajaran merupakan sebuah proses interaksi edukatif antara peserta didik, guru dan lingkungan yang telah melibatkan berbagai komponen pembelajaran dengan tujuan untuk mencapai pembelajaran yang telah di konsep sedemikian rupa. Menurut Unang Wahidin dan Ahmad Syaefuddin, bahwa proses pembelajaran merupakan sebuah sistem yang disebut sistem pembelajaran. Adapun komponen sistem pembelajaran yang dimaksud yaitu: (a) Tujuan pendidikan dan pembelajaran; (b) Perencanaan pembelajaran; (c) Peserta didik; (d) Guru; (e) Metode pembelajaran; (f) Media pembelajaran; dan (g) Evaluasi pembelajaran. Dalam interaksi edukatif setiap guru dituntut untuk dapat mengelola komponen-komponen sistem pembelajaran tersebut.
Dalam masa pandemi Covid-19 ini jika kegiatan belajar mengajar secara langsung atau tatap muka tetap dilaksanakan maka akan banyak menimbulkan kemudharatan. Jadi untuk mencegah penularan virus ini sekolah-sekolah harus tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan cara daring atau online. Sebagaimana dalam Undang- Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pembelajaran Nasional (Sisdiknas), yang diartikan dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PPJ) merupakan pembelajaran yang peserta didiknya terpisah dari pendidik serta pembelajarannya memakai bermacam sumber belajar lewat teknologi komunikasi, data, serta media yang lain. Organisasi PBB yang mengurusi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan UNESCO menyebutkan, lebih dari 1,5 miliar pelajar di dunia tidak bisa belajar di sekolah akibat virus ini.
Beberapa persyaratan yang dibutuhkan bagi peserta didik dalam melaksanakan pembelajaran dengan sistem online, yakni (1) literasi teknologi informasi dan komunikasi, dalam artian peserta didik harus memiliki kemampuan dalam memahami teknologi informasi dan komunikasi yang digunakan dalam mendukung keberlangsungan pembelajaran online, baik teknologi informasi dan komunikasi yang digunakan untuk mencari dan menemukan informasi yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran online, (2) Indevendency, dengan artian bahwa dalam sistem pembelajaran online sangat ditentukan oleh kemandirian peserta didik terutama dalam mencari berbagai macam sumber informasi yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran online tersebut, (3) Creativity dan critical thinking, dalam artian peserta didik dituntut untuk bertindak kreatif supaya tidak hanya mengandalkan sumber informasi yang disediakan oleh guru, namun peserta didik juga perlu mencari dan menemukan sumber-sumber infomasi lain yang relevan dengan tema yang berkaitan dengan pembelajaran.

Mencari sesuatu yang ideal di tengah pandemi seperti saat ini boleh jadi adalah hal yang tidak mudah. Dalam dunia pendidikan misalnya, sebagian dari kita mungkin bertanya, adakah sistem pembelajaran online yang ideal saat ini?


Nyatanya, meski tidak mudah. Namun inilah yang diharapkan oleh para orang tua siswa. Jadi, walaupun sudah ada Surat Keputusan Bersama 4 Menteri yang diumumkan pada akhir November tahun lalu, yang memperbolehkan atau memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk memutuskan boleh tidaknya dilakukan pembelajaran tatap muka, tetap saja orang tua orang tua memiliki hak penuh untuk menentukan. Apakah akan membiarkan anaknya datang ke sekolah, atau tidak.
Sayangnya, dengan tidak adanya pembelajaran tatap muka ini banyak pihak yang mengkhawatirkan dampak negatifnya. Pemerintah sendiri melihat ada tiga kategori dampak negatif dari pembelajaran jarak jauh atau belajar online ini.
Kategori pertama adalah ada ancaman anak putus sekolah. Dimana anak terpaksa bekerja membantu orang tuanya yang terdampak pandemi. Lalu ada juga orang tua yang tidak melihat peran guru kalau tidak ada pembelajaran tatap muka.
Kategori kedua adalah kendala tumbuh kembang anak. Mulai dari adanya kesenjangan capaian belajar anak, ketidakoptimalan pertumbuhan terutama di usia-usia emas seperti PAUD, sampai kekhawatiran adanya resiko learning loss.
Pada kategori ketiga, pembelajaran jarak jauh ini berdampak pada tekanan psikososial dan kekerasan dalam rumah tangga. Terjadinya anak stress karena tidak dapat berinteraksi dengan guru, teman dan lingkungannya. Lalu, tanpa sekolah, banyak anak yang terjebak kekerasan dalam rumah tangga yang tidak diketahui oleh guru.




Sumber: 
DOI: 10.37542/iq.v3i02.124
https://www.kelaspintar.id/blog/edutech/mencari-sistem-pembelajaran-online-paling-ideal-di-tengah-pandemi-9597/

Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Sabtu, 19 Desember 2020

DINASTI BANI UMAYYAH; Kemajuan, Kemunduran dan Kehancuran

Ketika khalifah Usman (24-36 H / 644-656 M) terbunuh dalam suatu kudeta berdarah yang dilakukan oleh pemberontak dari Mesir, Kufah, dan Basrah, terjadilah kerawanan situasi dalam pemerinatahan Islam, dimana suhu perpolitikan semakin krusial. Sebagai akibatnya, maka pengangkatan Ali bin Abu Thalib  sebagai khalifah (35-40 H / 656-661 M), tidak semulus sebagaimana dua khalifah sebelumnya.[1] Hal ini dikarenakan para sahabat di daerah saling berbeda dalam menentukan sikap dan penilaian terhadap pribadi Ali, yakni ada yang menilainya positif dan ada pula menilainya negatif. Oposisi terhadap Ali semakin meningkat, selain Thalhah dan Zubair berkongsi dengan Aisyah untuk menentang Ali yang melahirkan perang Jamal (36 H), juga pasukan Syiria di bawah pimpinan Mu’awiyah memberontak dengan dalih kegagalan Ali membalas darah Usman terhadap pembunuhnya. Karena itu, mereka enggan membaiat Ali sebagai khalifah (pengganti Usman). Bahkan Muawiyah memproklamirkan dirinya sebagai penguasa tandingan di wilayah Syam.


Dari latar belakang kronologis di atas, melahirkan kontak senjata kedua yang disebut dengan perang Shiffin (37 H). Pasukan Ali tampaknya semula mulai mengungguli lawannya di bidang militer, tetapi ia rupanya lebih mengutamakan kesatuan umat, karena menerima usul konpromi dari Mu’awiyah. Akibatnya kekalahan diplomatik dari pihak Ali, dan akibat lebih fatal, Ali kehilangan legitimasi politiknya dan legitimasi itu beralih ke pihak Mu’awiyah. Kejadian ini terkenal dengan istilah Arbitrase (tahkim), yang menyebabkan sebagian pendukung Ali, melancarkan protes, kemudian membentuk kelompok tandingan yang dikenal dengan kaum Khawarij.[2]

Seusai perang siffin kedudukan Ali semakin menurun, karena selain tekanan dari pihak Mu’awiyah juga dari kelompok Khawarij dan pengikutnya. Sementara itu, Mu’awiyah sangat ditaati perintahnya dan ditambah lagi ketinggian gengsinya dalam bidang politik. Sehingga, meskipun Ali masih hidup dan berkuasa, Mu’awiyah telah diproklamirkan sebagai khalifah di wilayah Khurusan (40 H).[3] Dengan begitu, maka Mu’awiyah telah mengawali suatu episode baru dalam sejarah Islam dan dia lah tercatat dalam sejarah sebagai pendiri Dinasti Umayyah.

Dinasti Bani Umayyah berkuasa hampir satu abad (90 tahun), yakni dalam rentang waktu tahun 41-132 H atau 661-750 M, dengan 14 orang khalifah. Khalifah-khalifah yang dimaksud adalah :

Mu’awiyah I (Ibn Abi Sufyan)       41 H / 661 M

Yazid I (Ibn Mu’awiyah)                60 H / 680 M

Mu’awiyah II (Ibn Yazid)               64 H / 683 M

Abd. Malik Ibn Marwan                  65 H / 685 M

Al-Walid I (Ibn Abd. Malik            86 H / 705 M

Sulaiman Ibn Abd, Malik               96 H / 715 M

Umar Ibn Abd. Aziz                        99 H / 717 M

Yazid II (Ibn Abd. Malik)                101H / 720 M

Hisyam Abd. Malik                          105H / 724 M

Al-Walid II (Ibn Yazid II)                125H / 743 M

Yazid III (Ibn Walid)                        126H / 744 M

Ibrahim ibn al-Walid                        126H / 745 M

Marwan II (Ibn Muhammad)           127H / 746 M[4]

KEMAJUAN

Antara lain kemajuan utama yang terwujud dalam masa Dinasti Umayyah adalah terciptanya suasana yang kondusip dalam negara dan bersatunya kembali seluruh umat Islam dalam arti berhentinya perang antara rakyat dalam negeri. Karena itulah, pada tahun 41 H dikenal dengan istilah ‘Am al-Jama’ah (tahun persatuan seluruh umat).[5] Hal tersebut tercapai dikarenakan Mu’awiyah (pada awal kepemimpinannya) mampu men-jalankan roda pemerintahan dengan baik, dengan cara menguasai dirinya secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, serta memberikan solusi yang terbaik atas segala permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sikapnya seperti ini, sebagaimana yang ia ucapkan  sendiri yakni :

Aku tidak cukup menggunakan pedangku kalau cambuk saja sudah cukup, dan tiada pula kupergunakan cambukku kalau perkataan saja sudah memadai. Andaikata aku dengan orang lain memperebutkan rambut tiadalah akan putus rambut itu. Karena apabila mereka mengencangkanya akan kukendorkan, dan apabila mereka meng-kendorkannya kukencangkannya.[6]

Dengan demikian, daerah-daerah yang dikuasai oleh kaum muslimin pada masa Bani Ummayah adalah Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina Semenanjung Arabia, Irak, sebagian Asia kecil Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbet, Dan Kirgis (di Asia Tengah).

Di samping itu, kemajuan lain yang  dicapai oleh Dinasti Umayyah secara garis besarnya ada empat, yakni :

Perkembangan Sastra

Pada umumnya, pemimpin Dinasti Umayyah sangat mencintai syair dan pujaan serta kemegahan, sehingga kesusastraan berkembang pesat pada saat itu. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa aspek sebagai berikut

1.    Pertentangan Kabilah, yakni masing-masing kabilah merasa megah dengan unsur sukunya sehingga muncullah para pujangga (penyair) utama untuk membela dan meninggikan kabilahnya masing-masing.

2.    Penghamburan uang, yakni para khalifah dan pembesarnya memelihara para penyair khusus dengan gaji / hadiah yang besar. Di samping memberi hadiah yang berganda kepada para pujangga yang mau memuja dan membela rezim mereka.

3.    Fanatik Arab, yakni menghidupkan dan mengembangkan nilai-nilai kesusastraan yang terdapat dalam bahasa Arab.

4.    Gerakan Adab, yakni adanya hubungan antara orang-orang Muslim dengan bangsa-bangsa yang telah maju, sehingga bagi kaum Muslimin giat menyusun dan membina riwayat Arab, seni bahasa dan hikmah.[7]

Dari keempat hal di atas, menyebabkan bidang kesusastraan pada masa Dinasti Umayyah memeliki keistimewaan tersendiri, yakni terpeliharanya dari bahasa kasar. Dengan kata lain, mereka meng-gunakan bahasa berdasarkan kaidah-kaidah balaghah yang tinggi. Bahkan dalam melantungkan syair-syair tentang khamar pun di-lukiskannya dengan indah dan salah satu judulnya adalah “خمر لزيز”, yang mengungkap keindahan dan kelezatan khamar. Adapun penyair tentang Khamar yang pertama adalah al-Walid bin Yazid.[8]

Di antara penyair yang termasyhur dalam masa ini adalah Nukman bin Basyir al-Anshari (w. 65 H), Ibn Mafragh al-Hamiri (w. 69 H), Abu Aswad al-Duwali (w. 69), Miskin al-Darimiy (w. 90).[9]

Ilmu Pengetahuan

Pemerintahan Dinasti Umayyah yang dibina atas dasar kekerasan dan mata pedang, serta jiwanya yang sangat kental dengan kefilsafatan membuatnya sangat menghormati para cendekiawan sebagai tempat mengadu, bahkan mereka menyediakan dana khsusus untuk para ulama dan filosof.[10] Penghormatan kepada ulama, karena didorong oleh semangat keagamaan mereka, sedangkan penghormatannya kepada filosof karena didorong oleh keinginan mereka untuk menggunakan filsafat guna melawan Yahudi dan Nasrani.

Kota-kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan di masa ini adalah Damaskus, Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Kairawan,, Kordova, Granada. Di kota-kota ini, terdapat beberapa cendekiawan yang mendalami ilmu-ilmu keislaman dan melahirkan karya-karya ilmiah.

Ekonomi

Dalam upaya membiayai roda pemerintahan, maka dibentuklah Bait al-Mal sebagai kas pembendaharaan negara. Semua hasil bumi dan pajak lainnya dimasukkan ke Bait al-Mal tersebut yang dikoordinir oleh Diwan al-Kharaj. Hasil bumi yang digarap oleh masyarakat disetor 5 % ke pemerintah, sedangkan pajak untuk setiap transaksi disetor sebasar 10%. Khusus barang dagangan yang nilainya kurang dari 200 dirham tidak dikenakan pajak.[11]

Sumber dana lain untuk pengisian Bait al-Mal ialah pajak kekayaan yang khusus ditujukan kepada non Muslim yang daerahnya dikuasai oleh pemerintahan Islam. Jumlah pajak yang harus dibayar berpariasi, yakni untuk orang kaya (komlomerat) pajaknya 48 dirham pertahun, untuk kelas menengah pajaknya 24 dieham pertahun, sedangkan untuk orang msikin pajaknya 12 dirham pertahun.[12]

Dana-dana tersebut, digunakan untuk pembangunan pada sektor-sektor penting, yakni jalan raya dan sumur umur di sepanjang jalan, pembangunan pabrik-pabrik. Pemerataan pembangunan bukan hanya pada satu daerah, akan tetapi dilakukan upaya-upaya distribusi ke daerah-daerah secara adil.

Administrasi Negara

Sistem administrasi pemerintahan Dinasti Ummayah terbentuk dalam empat departemen  pokok (diwan) atau lebih tepatnya empat kementrian, yakni :

1.   Kementerian Pajak Tanah (Diwan al-Kharraj), petugasnya adalah pegawai resmi (Shahib al-Kharraj) dengan tugas mengawasi Departemen Keuangan.

2.   Kementerian al-Khatam (Diwan al-Khatam) yang bertugas me-rancang peraturan pemerintah, mengesahkan dan mengecap/ menyegel. Dalam hal ini, Mu’awiyah adalah orang pertama yang memperkenalkan materai untuk mengirimkan memorandum dari khalifah. Setiap duplikat memorandum itu dibuat, ditembus dengan benang dan disegel dengan lilin dan dipress dengan segel kantor.

3.   Kementerian Surat Menyurat (Diwan al-Rasa’il) yang bertugas mengontrol permasalahan di daerah-daerah dan semua komunikasi dari gubernur-gubernur.

4.   Kementrian Urusan Pajak (Diwan al-Mustaghalat).

Disamping keempat kementrian ini, ada pula badan yang tidak kalah pentingnya dibanding kementrian-kementrian yang ada, yaitu badan yang bertugas mencatat setiap peraturan yang dikelola oleh khalifah dengan satu register. Barangkali bisa disamakan dengan kesekretariatan negara di Indonesia dewasa ini.

KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN

Mundurnya suatu dinasti merupakan gejala alamiah sejarah. Usia efektif imperium dinasti adalah tidak lebih dari usia manusia. Masa 100 tahun pada umumnya merupakan waktu yang paling lama untuk dapat diharapkan bagi usia seseorang. Khusus Dinasti Umayyah, rupanya cukup eksis kira-kira hampir 100 tahun hingga dan pada gilirannya ia mengalami kemunduran disebabkan beberapa faktor, sebagaimana uraian berikut ;

1.         Sejak berdirinya Dinasti Umayyah, memang telah menghadapi tantangan dan kaum Khawarij yang tidak setuju dengan penyelesaian masalah dengan cara tahkim yang menurut tanggapan mereka tidak berdasarkan atas Alquran. Dengan demikian, sejak berdirinya Dinasti memang sekolompok masyarakat tidak memberikan respon. Bahkan dalam tragedi Karbala, cucu Nabi saw (Husain) ditebas lehernya oleh khalifah Yazid, yang secara otomatis semakin banyak masyarakat kurang simpatik kepada penguasa Umayyah.[13] Dengan begitu, tentu tanda-tanda kemunduran sudah muncul ke permukaan.

2.         Seusai Mu’awiyah meninggal, Hijaz berdiri sendiri dipimpin oleh Abdullah ibn Zubair. Yazid ibn Mu’awiyah kahlifah Bani Ummayah pada waktu itu mengirim tentara ke Madinah dan ke Mekkah. Ketika itu, Ka’bah dibakar dan Hajar al-Aswad pecah menjadi tiga puing.[14] Dengan begitu maka umat Islam  secara keseluruhan merasa terhina akibat diporak-porandakan kota suci itu. Sehingga, bertambah menurunlah wibawah kepemimpinan Dinasti Umayyah.

3.         Pertentangan tradisional antara suku Arab Utara dan suku Arab Selatan. Dalam hal ini kalau pemerintah memihak kepada suku Arab Utara, tentunya Suku Arab Selatan akan berkberatan, begitu pula sebaliknya. Sedangkan kedua suku ini tidak bisa didamaikan, terbukti sampai akhir masa pemerintahan Dinasti Umayyah antara keduanya selalu kontak senjata.[15] Dengan begitu, maka kondisi dalam negara semakin memburuk.

4.         Persaingan di kalangan Dinasti Umayyah sendiri dalam menentukan putera mahkota, karena tidak ada kepastian, apakah turun kepada anak atau saudara kandung yang masih hidup, ditambah lagi dengan kebiasaan hidup mewah di Istana membuat putra mahkota tidak mampu menghadapi beban pemerintahan negara yang besar.[16] Dengan begitu, maka perhatian terhadap negara dinomorduakan.

Data-data di atas, tentu saja menyebabkan Diansti Umayyah mengalami problematika yang sangat besar dan bermuara pada hasil yang sangat negatif. Inilah celah-celah yang mengakibatkan kemundurannya yang berujung pada kehancurannya.

Proses kehancuran Dinasti Umayyah bermula sejak pemerintahan di tangan Yazid, yang diombang ambing oleh gejolak politik yang sangat tidak stabil, yakni sang khalifah bagaikan boneka yang tidak punya wibawa, sehingga mulailah keturunan Bani Abbas melancarkan propoganda dan mengambil kuda-kuda untuk meruntuhkannya. Hal tersebut berlanjut sampai masa pemerintahan Marwan II (Bani Umayyah terkahir). Dalam situasi demikian, maka keturunan Bani Abbas yang memang kelompok oposisi dari keturunan Bani Umayyah, senantiasa mengadakan aksi-aksi dan kerusuhan-kerusahan.

Sebagai akibat dari kerusuhan-kerusuhan ini, Hims dan Palestina mula-mula memberontak di Irak, yang diikuti dengan pemberontakan-pemberontakan dan perlawanan-perlawanan di berbagai bagian imperium. Pusat kerusahan utama adalah di Khurasa, tempat Bani Abbas memusatkan kegiatannya.


Abu Muslim pemimpin Bani Abbas, memancangkan panji-panji Abbasiyah dan berhasil merebut kota di sebelah Timur. Akhirnya, pada tanggal 25 Ramdahan 129 H / Mei 747 M) tentara Bani Umayyah dipukul mundul dari Herat dan tempat-tempat lainnya di Timur Jauh. Dengan begitu maka titik kehancuran Dinasti Umayyah semakin nampak. Tidak lama kemudian pada bulan Oktober 749 M Abdul Abbas dinyatakan di Mesjid Kufah sebagai khalifah seluruh imperium Muslim.[17] Dari tragedi inilah, Dinasti Abbasiyah mewarisi imperium besar Dinasti Umayyah.

PENUTUP

Dinasti Umayyah merupakan bentuk baru pemerintahan dalam Islam yang menganut paham kerajaan (monarchi). Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan yang telah dicapainya adalah melebarkan sayap kekuasaan Islam ke berbagai wilayah, yakni meliputi benua Asia, Afrika, dan Eropa.

 

Mengenai kemajuannya, dapat terlihat dari obsesi para pemimpin Dinasti Umayyah dalam mewujudkan pegembangkan kesusastraan, penguasaan terhadap ilmu pengetahuan, memapankan perekonomian rakyat dan menertibkan sistem administrasi pemerintahan.

Disamping kemajuan yang telah dipersembahkan, maka dalam sisi lain Dinasti Umayyah memperlihatkan kekurangan, khusunya aspek moral sehingga menyebabkan kemerosotan, yang pada gilirannya bermuara pada kemunduran yang berujung pada kehancuran.

Memang sudah menjadi sunnatullah, bahwa roda kehidupan selalu berputar, suatu saat berada dipuncak kejayaan, namun saat yang lain seiring dengan perjalanan waktu, cepat atau lambat akan mengalami kemunduran dan bahkan tergiring kepada kehancuran, seperti yang dialami oleh Dinasti Bani Ummayah.


DAFTAR PUSTAKA

Bosworth, C.E. The Islamic Dynasties, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan, 1993.

al-Harwy, Abd. Al-Sami Salim. Lughah al-Idarah. t.tp.: al-Haiah al-Misrishriyah, 1986.

Hasan, Ibrahim Hasan. Islamic History and Culture, diterjemahkan oleh Djahdan Human dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.

Hasjmy,  A. Sejarah Kebudayaan Islam. Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Ismail, M. Syhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Cet. I; Bandung: Angkasa, 1988.

al-Maududi, Abu al-A’la. al-Khilafah wa al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Mizan, 1984.

Nasir, Syekh Mahmudun. Its Concepts dan History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dengan judul, Islam; Konsepsi dan Sejarahnya. Cet. IV; Bandung: Roskarya, 1994.

Saile, Abd. Kadir. Khawarij, Murj’ah, Jabariah dan Qadariyah, “Makalah SPPDI”.  Makassar: PPS IAIN Alauddin, 2002.

Syalabi, Ahmad. Tarikh al-Islam, diterjemahkan oleh H. Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latif dengan judul,  Sejarah Kebudayaan Islam 2. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.

al-Syaraf, Muhammad Jalal dan Ali Abdul Muthy. Al-Fikr al-Siyasi fiy al-Islam. Iskandariah: Dar al-Jama’ah al-Mishriyah, 1978.

 

 



[1]Yakni, khalifah Abu Bakar (11-13 H / 632-634 M) dan khalifah Umar bin Khattab (13-25 H / 634-644 M)

[2]Uraian lebih lanjut lihat Abd. Kadir Saile, Khawarij, Murj’ah, Jabariah dan Qadariyah, “Makalah SPPDI”  (Makassar: PPS IAIN Alauddin, 2002), h. 3.

[3]C.E. Bosworth, The Islamic Dynasties, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Dinasti-Dinasti Islam (Bandung: Mizan, 1993), h. 24.

[4]Ibid., h.

[5]Abu al-A’la al-Maududi, al-Khilafah wa al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1984), h. 202.

[6]Pernyataan Mu’awiyah di atas dikutip dari Ahmad Syalabi, Tarikh al-Islam, diterjemahkan oleh H. Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latif dengan judul,  Sejarah Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), h. 113.

[7]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 196.

[8]al-Walid bin Yazid adalah salah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah.

[9]A. Hasjmi, loc. cit.

[10]Ibid., h. 180.

[11]Muhammad Jalal al-Syaraf dan Ali Abdul Muthy, Al-Fikr al-Siyasi fiy al-Islam (Iskandariah: Dar al-Jama’ah al-Mishriyah, 1978), h. 148.

[12]Abd. Al-Sami Salim al-Harwy, Lughah al-Idarah  (t.tp.: al-Haiah al-Misrishriyah, 1986), h. 256.

[13]Uraian lebih lengkap lihat Syekh Mahmudun Nasir,  Its Concepts dan History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dengan judul, Islam; Konsepsi dan Sejarahnya (Cet. IV; Bandung: Roskarya, 1994), h. 209.

[14]Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, diterjemahkan oleh Djahdan Human dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 75.

[15]Ibid., 80.

[16]Ibid., 83.

[17]Disadur dari Mahmudun Nasir, op. cit., h. 238-239.