HUBUNGAN SUNNI SYI’AH
(Renungan Masa Depan Umat Islam)
Satu
lagi isu yang sangat sensitif dan krusial dalam Islam adalah perbedaan
prinsip-prinsip antara sunnah dan syi’ah yang terjadi sejak berabad-abad
silam. Isu ini sebenarnya isu klasik, namun tidak pernah berakhir
sampai saat ini, sehingga menjadi sebuah teka-teki. Selain bertentangan
secara politik, sunnah dan syiah juga kemudian bertentangan secara
teologis yang merupakan jurang pemisah antar agama.
Perpecahan Teologi Islam (نشأة الفرق وتفرقها) |
Sekalipun
masalah teologi dianggap sebagai pemisah antar agama, namun bukan
berarti tidak ada hubungan dan tidak ada interaksi antara pemeluk agama
yang berbeda. Bahkan diharapkan antara pemeluk agama yang berbeda dapat
hidup damai dan berdampingan dengan cara berdialog antara satu sama
lain. Oleh karena itu, salah seorang Profesor di bidang teologi Kristen
di Universitas Eberhard Karls, Tübingen, Jerman, Yang dikenal dengan nama “Hans Kung”[1]
mengatakan: “tidak mungkin kedamaian diwujudkan di atas dunia, kecuali
dengan perdamaian antar agama, dan tidak ada kedamaian antar agama
kecuali dengan dialog antar agama”[2].
Yang sangat menarik dari perkataan di atas adalah “dialog antar agama”.
Kalau dilihat secara sepintas, ternyata pihak agama lain menginginkan
dialog dengan muslim. Bahkan Prof. Huns Kung mengeluarkan buku baru yang
bercerita seputar toleransi Islam yang ideal terhadap agama lain.
Secara tersirat ini merupakan satu bukti bahwa mengenal, melihat, serta
meneliti pihak lain sangat diperlukan. Gunanya adalah untuk menilai
letak kesamaan dan perbedaan, serta kelebihan dan kekurangan, agar di
kemudian hari tercipta kesefahaman antar agama, yang konsekwensinya
adalah masing-masing agama tidak mengganggu keyakinan dan kepercayaan
agama lain, sehingga terwujud kedamian.
Kalau orang luar Islam ingin hidup damai dan berdampingan dengan Islam,
kenapa orang Islam sendiri saling menjatuhkan, saling menjauhi, saling
menuding, dan saling mencaci. Seperti fenomena yang terjadi di antara
pengikut aliran sunnah dan pengikut aliran syi’ah. Dari sini timbul
pertanyaan yang mendasar, apakah kedua kelompok tersebut boleh
bersatupadu atas dasar persamaan agama, yaitu “Islam”? Atau minimal
didekatkan dan disandingkan antara satu sama lain, sehingga tidak
menimbulkan konflik agama dalam tubuh Islam sendiri. Di samping itu,
perlukah kita adakan konfrensi, pertemuan, seminar, dan diskusi terus
menerus untuk membicarakan masalah ini?. Kalau antar agama yang berbeda
saja boleh hidup rukun dan damai, mengapa antara sesama Islam sendiri
tidak bisa?.
Penulis
sengaja memberikan judul artikel ini dengan kalimat Netralisasi
(Neutralisation), yang dalam bahasa Arab disebut “Mu’aadalah”, dan
memberikan arti “Penyetaraan”, berdasarkan nilai-nilai keislaman yang
terkandung pada dua golongan tersebut, sehingga diharapkan tercipta
sikap “I’tidaal” atau “Moderat”, dan bukannya sikap “Mutatharrif” atau
radikal dan ekstrim.
Netralisasi
di sini merupakan proses penetralan nominal hubungan antara sunnah dan
syi’ah. Yang bertujuan untuk melihat hubungan antara golongan sunnah dan
syi’ah dengan semangat kemoderatan, agar tidak saling merugikan dan
dirugikan. Dan kalau memungkinkan, menciptakan hubungan yang saling
menguntungkan antara satu sama lain dengan mengukur derajat kesamaan
masing-masing golongan. Sebab tanpa hubungan yang baik antara keduanya,
maka yang rugi adalah umat Islam secara keseluruhannya.
Sebagai
bentuk keprihatinan penulis terhadap adanya pertikaian dan persesteruan
yang berlarut-larut antara sunnah dan syi’ah, yang hanya menimbulkan
perpecahan umat sampai masa sekarang, maka penulis akan mencoba untuk
menjawab pertanyaan di atas. Dan ada baiknya kalau dilihat lebih dahulu
sudut pandangan masing-masing golongan tentang dasar, prinsip, atau
rukun agama dan iman yang dipegang dan dijadikan sebagai pedoman hidup
oleh masing-masing golongan, baik golongan sunnah ataupun syi’ah.
Setelah itu kita akan menilai dan menanggapi pertanyaan di atas.
Sebagai perbandingan pertama, kita memulai dengan membahas masalah rukun Islam antara sunnah & syi’ah:
Rukun Islam:
Sunnah dan syi’ah berbeda tentang pilar agama Islam. Kalau menurut
pandangan Ahlu Sunnah, Islam memiliki beberapa pokok ajaran atau dasar
agama yang biasa disebut sebagai rukun agama "Arkaan ad-Din”. Dan rukun
ini memiliki konsekwensi yang fatal kalau ditinggal atau tidak
dilaksanakan, yang menyebabkan suatu perkara yang dilakukan menjadi
tidak sah. Sebab makna rukun itu sendiri adalah, sesuatu yang merupakan
sebagian daripada suatu perkara yang karena kewujudannya maka wujudlah
perkara itu, manakala sekiranya ia tidak wujud, maka tidak wujudlah
perkara itu”. Contohnya perkara niat dalam shalat, niat merupakan rukun
wujudnya shalat, jika seorang shalat tanpa disertai dengan niat maka
shalatnya tidak sah.
Dalam
agama Islam ada dua rukun yang mesti dilaksanakan oleh setiap orang
yang mengaku dirinya beragama Islam, rukun tersebut adalah rukun Islam
dan rukun Iman. Rinciannya adalah sebagaimana berikut:
Golongan
sunnah berpendapat bahwa rukun Islam setelah mengucapkan dua kalimat
syahadat ada 4 perkara, yaitu: (1) Shalat, (2) Puasa, (3) Zakat, (4)
Haji. Landasan bagi pendapat Sunni ini adalah hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي
عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ :
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ
الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ.
“Dari
Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab r.a berkata : Saya
mendengar Rasulullah saw bersabda : Islam dibangun di atas lima perkara;
bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa
Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
melaksanakan haji dan berpuasa di bulan ramadhan”. (Riwayat Turmuzi dan
Muslim).
Dari
hadits di atas dapat dipahami bahwa seseorang yang ingin memeluk agama
Islam diwajibkan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dahulu,
sebab syahadah adalah asas ajaran Islam. Syahadat diibaratkan sebagai
kunci dan pilar utama untuk menjadi seorang muslim. Syahadat pertama
menuntut orang tersebut bertauhid atau meng-esa-kan Allah swt, dan
syahadat yang kedua merupakan pengakuan bahwa Nabi Muhammad saw adalah
utusan Allah swt. Pilar yang kedua adalah, bagi seseorang yang mengaku
beragama Islam diwajibkan menunaikan shalat lima waktu dalam sehari
semalam, yaitu: shalat dzuhur, ashar , maghrib , isya, dan subuh. Pilar
yang ketiga menuntut seseorang muslim mengeluarkan zakat dalam jumlah
yang telah ditentukan kadarnya. Pilar yang keempat adalah, bagi seorang
muslim diwajibkan melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan, dengan
menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, dimulai dari sejak
terbitnya fajar sehingga terbenamnya matahari. Dan pilar terakhir
adalah, kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji di Mekkah al-Mukarramah
sekali dalam seumur hidup.
Inilah tiang agama yang mesti dilakukan oleh setiap umat Islam menurut pandangan golongan sunni.
Sedangkan
bagi masalah keimanan yang merupakan suatu keyakinan yang dipercayai
dengan sepenuh jiwa dan hati oleh pemeluk agama Islam, maka bagi
golongan sunni, seorang muslim diwajibkan mempercayai enam rukun iman,
yang terdiri dari: (1) Iman kepada Allah, (2) para malaikat, (3)
kitab-kitab, (4) para rasul, (5) hari kiamat, serta (6) qadha &
qadar. Dalil yang diajukan oleh sunni mengenai keenam rukun iman ini
adalah sebagi berikut:
(أَنْ
تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ
الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ) (رواه مسلم والبخاري).
“Bahwa
engkau beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul, dan
hari akhirat, dan engkau beriman mengenai Qadar (takdir), baik dan
buruknya".
(آمَنَ
الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ
آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ
أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ
رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ) (البقرة، 285).
“Rasul telah beriman kepada al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman, semuanya beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan
rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan):"Kami tidak membeda-bedakan antara
seserangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka
mengatakan:"Kami dengar dan kami ta'at". (Mereka berdoa):"Ampunilah kami
ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (Q.S. al-baqarah:
285).
Sedangkan
golongan syi’ah berbeda dengan sunnah mengenai pembagian rukun Islam.
Bahkan antara aliran-aliran syi’ah sendiri saling berbeda pandangan
dalam hal ini. syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa rukun agama ada 5,
yaitu: (1) Shalat, (2) Zakat, (3) Hajji, (4) Puasa, (5) Wilayah.
Sebagaimana beberapa riwayat yang disebutkan oleh al-Kulaini dalam
kitabnya "Ushul al-Kafi":
عَنْ أَبِي
جَعْفَر قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: عَلَى الصلاَةِ
وَالزَّكَاةِ وَالصَّوْمِ وَالْحَجِّ وَالْوِلاَيَةِ، وَلَمْ يُنَادَ
بِشَيْءٍ كَمَا نُوْدِيَ بِالْوِلاَيَةِ".
“Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas lima perkara; yaitu
mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan haji,
dan wilayah, dan tidak ada satu pun daripada rukun-rukun yang tersebut yang diseru (keras) sebagaimana seruan yang diberikan kepada wilayah”[3].
وعَنْ
أَبِي جَعْفَر قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةٍ، عَلَى
الصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَالصَّوْمِ وَالْوِلاَيَةِ، قَالَ
زَرَارَة: فَقُلْتُ: وَأَىُّ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ أَفْضَل، فَقَالَ:
اَلْوِلاَيَةُ أَفْضَل لِأَنَّهَا مِفْتَاحُهُنَّ، وَالْوَلِيُّ هُوَ
الدَّلِيْلُ عَلَيْهِنَّ".
“Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas lima perkara;
mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, puasa ramadhan,
dan wilayah. Zararah bertanya kepada Abu Ja’far: manakah rukun yangh
terbaik di antara rukun-rukun tersebut?. Abu Ja’far menjawab: Wilayah
adalah rukun yang terbaik, sebab wilayah merupakan kunci dari semua
rukun agama, dan Wali (Imam) adalah penunjuk atas kesemua rukun
tersebut”[4].
عَنْ
عُجْلاَن أَبِي صَالِحْ قَالَ: قُلْتُ لِاَبِي عَبْدِ اللهِ عَلَيْهِ
السَّلاَم: “أَوْقِفْنِي عَلَى حُدُوْدِ الاِيْمَانِ، فَقَالَ: شَهَادَةُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
وَالِإقْرَارُ بِمَا جَاءَ بِهِ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَصَلاةُ الْخَمْسِ
وَأَدَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ شَهْرِ رَمَضَان وَحَجُّ الْبَيْتِ
وَوِلاَيَةُ وَلِيِّنَا وَعَدَاوَةُ عَدُوِّنَا وَالدُّخُوْلُ مَعَ
الصَّادِقِيْنَ”.
“Dari
‘Ujlan Abu Shalih, ia bekata: Saya meminta penjelasan dari Abu Abdillah
tentang batasan-batasan iman, ia menjawab bahwa iman adalah :“Bersaksi
bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan Allah, dan Beriqrar (mengakui) segala yang
datangnya dari Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa
ramadhan, melaksanakan haji, percaya kepada Wilayah, dan memerangi
musuh-musuh, dan berhimpun bersama orang-orang yang benar (jujur)”[5].
Bila diperhatikan riwayat terakhir di atas, syi’ah Imamiyah menjadikan
ucapan dua kalimat syahadat sebagai bahagian dari rukun iman, sementara
sunnah menjadikannya sebagai rukun Islam.
Adapun bagi syi’ah Isma'iliyah Bathiniyah, rukun Islam ada 7. Hal ini
dinyatakan dengan tegas oleh salah seorang ulama Syi’ah Isma’iliyah,
yaitu al-Qadhi an-Nu'man dalam kitabnya "Da'aa`im al-Islam". Kitab
tersebut mensinyalir bahwa rukun Islam ada 7 perkara, yaitu:
(1) Wilayah, (2) Kesucian, (3) Shalat, (4) Zakat, (5) Puasa, (6) Hajji,
(7) Jihad. Adapun teksnya adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي
جَعْفَر أَنَّهُ قَالَ: "بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى سَبْعِ دَعَائِمٍ :
اَلْوِلاَيَةُ، وَهِيَ أَفْضَلُهَا، وَبِهَا وَبِالْوَلِيِّ يُوْصِلُ إِلَى
مَعْرِفَتِهَا، وَالطَّهَارَةُ، وَالصَّلاَةُ، وَالزَّكَاةُ، وَالصَّوْمُ،
وَالْحَجُّ، وَالْجِهَادُ".
“Dari Abu Ja’far, ia berkata: Islam dibangun di atas tujuh perkara;
Wilayah, dan wilayah adalah rukun terbaik dari rukun lainnya, sebab
dengan wali (imam) seseorang dapat mengenal rukun-rukun Islam, kemudian
Thahara (kesucian), mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan,
melaksanakan haji, dan berjihad”[6].
Jadi,
syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma'iliyah sepakat bahwa wilayah
(imamah) adalah rukun yang paling utama dari rukun yang lainnya.
Dari
beberapa riwayat yang diketengahkan oleh syi’ah Imamiyah dan syi’ah
Isma’iliyah dapat dilihat bahwa dua kalimat syahadat tidak dimasukkan
dalam rukun Islam mereka. Sedangkan sunnah menjadikannya sebagai rukun
Islam pertama dan yang paling utama. Sementara bagi syi’ah wilayah
(imamah) adalah salah satu rukun agama dan rukun Iman yang paling
mendasar dan paling utama dibanding rukun-rukun lainnya. Sehingga salah
seorang ulama syi’ah Imamiyah kontemporer yang bernama syekh Amir
Muhammad al-Qazawayni menyatakan dengan tegas bahwa: “barang siapa yang
mengingkari kepemimpinan imam Ali, maka sungguh telah gugur keimanannya”[7].
Di
samping itu berkaitan dengan kalimat syahadat, terkadang syi’ah
menambahkan sebutan imam Ali sebagai wali Allah, sehingga teks syahadat
versi mereka berbunyi:
"أَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَه وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ عَلِيًّا وَلِيُّ اللَهِ"
“Saya
bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa
Nabi Muhammad utusan Allah, dan Ali adalah wali Allah”.
Namun perlu
disebutkan, bahwa as-Sayyid al-Murtadha, yang merupakan salah seorang
ulama terkemuka Syi’ah pada abad ke lima Hijriah mengharamkan penyebutan
azan yang ditambahkan dengan kalimat "Ali adalah wali Allah", yaitu yang berbunyi “أَشْهَدُ أَنَّ عَلِيًّا وَلِيَّ الله ”. Seorang
cendikiawan Syi’ah Imamiyah yang netral dan moderat bernama DR. Musa
al-Musawi menilai bahwa sebenarnya penambahan ini tidak mendasar dan
keliru. Ia muncul setelah Ghibah al-Kubrah pada tahun 329 Hijriah.
Bahkan menurutnya, seandainya imam Ali masih hidup saat ini, dan
mendengarkan penambahan nama beliau dalam azan, maka niscaya beliau akan
memberikan hukuman “Had” kepada pelantun azan tersebut[8].
Tentunya pernyataan ini merupakan suatu usaha untuk menuju penetralan
dan penjernihan aqidah yang dilakukan oleh sebagian intelektual modern
dari kalangan Syi’ah.
Bahkan terkadang lafadz Nabi Muhammad-pun dihilangkan dari kalimat syahadat. Seperti riwayat di bawah ini:
عَنْ أَبِي جَعْفَرْ قَالَ: "لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ عِنْدَ الْمَوْتِ شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَالْوِلاَيَة".
“Ketika Talqin, bacakanlah kepada mayat-mayat kalimat syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan wilayah (Ali wali Allah)”[9].
Di tempat lain, syi’ah menafsirkan ayat dalam surah al-Baqarah ayat 132, 137, yang berbunyi:
(قُولُواْ
آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا
أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ
نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ. فَإِنْ
آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ
فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ) –البقرة: 136، 137-.
“Katakanlah
(hai orang-orang mu'min):"Kami beriman kepada Allah dan apa yang
diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il,
Ishaq, Ya'kub dan anak cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada
Musa dan 'Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan-nya.
Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya
tunduk patuh kepada-Nya. Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu
telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan
jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan
(dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Bagi syi’ah, lafadz (فَإِنْ آمَنُواْ), bermaksud, mereka umat manusia, sedangkan lafadz (بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ),
adalah imam Ali, Fatimah, Hasan, Husain, dan para imam-imam lainnya.
Jadi maksud ayat ini adalah keimanan seorang mu’min harus melalui dan
mengikuti serta sesuai dengan keimanan para imam-imam syi’ah[10].
Inilah gambaran tentang konsep keimanan kepada Allah swt yang diyakini oleh golongan syi’ah.
Tentang Nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang pada asalnya
sifat-sifat tersebut hanya dimilki Allah semata-mata, oleh Syi’ah
diyakini bahwa nama-nama serta sifat-sifat tersebut dilabelkan juga
untuk para imam-imam syi’ah. Hal ini dapat dilihat ketika al-Kulaini
meriwayatkan sebuah pentafsiran daripada ayat al-Qur’an:
(ولِلَّهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا) -الآعراف، 180-.
“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asma-ul husna itu”. (Q.S. al-A’raaf: 180). Dari Abu Abdillah,
ia mengatakan: “Kami dan asma al-husna tidak akan menerima amalan
seorang hamba kecuali dengan pengetahuan kami (izin kami)”[11].
Dalam kitab-kitab Syi’ah yang lain disebutkan:
"نَحْنُ وَجْهُ اللهِ نَتَقَلَّبُ فِي الأَرْضِ بَيْنَ أَظْهَرِكُمْ، وَنَحْنُ عَيْنُ اللهِ فِي خَلْقِه"
“Kami
(para imam) adalah wajah Allah, kami beredar di muka bumi di antara
kamu, dan kami (para imam) adalah mata Allah untuk hambaNya”[12].
Ibnu Babwaih menafsirkan firman Allah swt:
(كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ) –القصص، 88-.
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah”. (Q.S. al-Qashash: 88).
Ia mengatakan:"نَحْنُ وَجْهُ اللهِ الَّذِي لاَ يَهْلِكُ". “Kamilah wajah Allah yang tidak akan binasa”[13]. Keyakinan seperti ini dapat ditemukan juga dalam Syi’ah Isma’iliyah[14].
Dengan
demikian, dari uraian di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa syi’ah
menambahkan rukun Islam dengan Imamah (politik). Dan hal ini ditegaskan
kembali oleh syekh Muhammad Husein al-Ghitah yang merupakan seorang
ulama syi’ah
Imamiyah kontemporer, yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya mazhab Syi’ah
(imamiyah) menambahkan rukun Islam (Ahlu Sunnah), yaitu Imamah”[15].
Teks
ucapan ini merupakan pengakuan bahwa syi’ah memang sengaja menambahkan
rukun Islam supaya berbeda dengan rukun Islam yang diyakini oleh
kalangan sunnah.
Kemudian untuk rukun iman yang lainnnya, seperti beriman kepada
malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, serta qadha dan qadar,
akan penulis jelaskan satu persatu secara singkat di bawah ini.
Malaikat:
Termasuk bagian dari rukun iman yang disepakati oleh sunnah dan syi’ah
adalah beriman kepada malaikat-malaikat Allah ta’ala, sebagaimana
firman-Nya :
(آمَنَ
الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ
آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ
أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ
رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ).
“Rasul
telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan
yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar
dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan
kepada Engkaulah tempat kembali" (QS. Al-Baqarah : 285).
Namun yang
menjadi masalah di sini adalah adanya bentuk penafsiran-penafsiran atau
interpretasi dan pemahaman yang berbeda antara sunnah dan syi’ah.
Misalnya, dari segi asal penciptaan malaikat dan tugas malaikat. Bagi
sunnah, malaikat diciptakan dari cahaya (semata), sebagaimana sabda
Rasulullah saw:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ
مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ".
Dari
‘Aisyah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: "malaikat
diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala, dan
Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk
kalian" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2996].
Namun syi’ah berpendapat lain, dan menegaskan bahwa penciptaan malaikat berasal daripada cahaya imam Ali[16].
Di samping itu syi’ah mengatakan bahwa ada di antara malaikat yang
kerja dan tugasnya hanya untuk menangisi kuburan imam Husain dan
berbolak balik menziarahi kuburannya sehingga hari kiamat. Dan menurut
mereka jumlah para malaikat adalah sebanyak 4000[17].
Sementara dalam ideologi sunnah, tidak ditemukan pemahaman bahwa
terdapat segerombolan malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk menangis
di atas kuburan imam Husain.
Bagi syi’ah, malaikat Jibril di samping bertugas sebagai pembawa wahyu
Ilahi, Allah juga menugaskannya sebagai pelayan bagi para imam-imam
syi’ah, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam kitab “Biharul Anwar”:
(إِنَّ جِبْرَائِيْل دَعَا أَنْ يَكُوْنَ خَادِمًا لِلْأَئِمَّةِ، قَالُوا: فَجِبْرِيْلُ خَادِمُنَا).
“Sesungguhnya malaikat Jibril meminta untuk menjadi pelayan para imam, maka para imam menjawab: Jibril adalah pelayan kami”[18].
Asumsi
ini tidak diterima oleh sunnah. Sebab malaikat Jibril yang biasa
disebut sebagai “ar-Ruuh” menurut aqidah sunnah tugasnya hanyalah
sebagai pembawa wahyu, dan hanya melayani Nabi Muhammad saw, sesuai
dengan firman Allah:
(نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ) –الشورى: 193، 194-.
“Dia
dibawa turun oleh Ar-Ruuh Al-Amin (Jibriil), ke dalam hatimu (Muhammad)
agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan” )QS. Asy-Syu’raa’ : 193-194(.
Di dalam ayat lain disebutkan:
(تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ) –القدر: 4-.
“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ar-Ruuh (Jibriil) dengan ijin Tuhannya untuk mengatur segala urusan” )QS. Al-Qadar : 4(.
Kitab-Kitab:
Kepercayaan kepada kitab-kitab merupakan rukun iman yang ketiga.
Kesemua ajaran-ajaran agama disampaikan oleh malaikat dan dicatatkan di
dalam kitab-kitab dan suhuf. Dan jumlah kitab-kitab suci tidak diketahui
secara pasti berapa jumlahnya. Namun sekalipun tidak diketahui secara
pasti jumlah kitab-kitab tersebut, yang jelas setiap rasul dibekalkan
dengan kitab suci masing-masing.
Silang pendapat antara sunnah dan syi’ah pada masalah ini sangat tajam.
Sunnah meyakini bahwa dalam agama Islam kitab yang diturunkan Allah swt
kepada ummat Islam adalah al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw,
dan pendapat ini disetujui oleh syi’ah. Atau dengan kata lain, sunnah
dan syi’ah sepakat dan sekata bahwa pedoman ajaran agama Islam adalah
kitab al-Qur’an yang dibekalkan oleh Allah untuk Nabi Muhammad saw.
Namun, perselisihan tajam terjadi ketika kalangan syi’ah berasumsi bahwa
al-Qur`an yang dipegang oleh sunnah, yaitu (Mushaf Utsmani) tidak
originil alias palsu, sebab telah mengalami perubahan yang berupa
penambahan dan pengurangan. Hal ini dijelaskan oleh ulama hadits
terkemuka syi’ah Imamiyah, yaitu Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub
Al-Kulaini: ”dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia
berkata:”Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril kepada Muhammad
memiliki 17.000 ayat“[19].
Pada tempat lain, disebutkan juga teks berikut:
عَنْ
أَبِي بَصِيْر، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى أَبِي عَبْدِ اللهِ ... : "وَإِنَّ
عِنْدَنَا لَمُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَم، قُلْتُ (أَيْ قَوْلُ
الرَّاوِي): وَمَا مُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَمْ؟ قَالَ:
مُصْحَفٌ فِيْهِ مِثْلُ قرْآنِكُمْ هَذَا ثَلاَثُ مَرَّاتٍ مَا فِيْهِ مِنْ
قُرْآنِكُمْ حَرْفٌ وَاحِدٌ".
Dari
Abi Bashir, ia berkata, Abu Abdillah berkata: “Sesungguhnya di sisi
kami ada mushaf Fathimah, Abu Bashir bertanya: apakah Mushaf Fathimah
itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ”yaitu Mushaf yang 3 kali lipat dari
apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya
satu huruf pun dari al- Qur’an kalian”[20].
Oleh karena itu, Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi
menegaskan bahwa al-Qur’an yang dimiliki oleh ahlu sunnah telah
mengalami perubahan besar dan mengalami banyak penyimpangan dan
penyelewengan[21].
Bahkan dalam riwayat lain disebutkan dalam kitab “Biharul Anwar”:
"مُصْحَفُ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَم مَا فِيْهِ شَيْءٌ مِنْ كِتَابِ اللهِ، وَإِنَّمَا هُوَ شَيْءٌ أُلْقِي عَلَيْهَا"
“Sesungguhnya isi kandungan Mushaf Fathimah adalah wahyu dari Allah yang langsung disampaikan kepadanya (Fathimah) ”[22].
Kesemua
teks-teks riwayat di atas tidak memerlukan penjelasan lebih dalam dan
rinci, sebab sudah sangat jelas maksudnya, bahwa terdapat mushaf yang
diturunkan khusus untuk Fathimah.
Dalam
kitab “Dalaai`l an-Imamah” terdapat riwayat yang menggambarkan isi dan
kandungan daripada mushaf Fathimah, di antaranya adalah hal-hal ghaib.
Seperti pemberitaan tentang peristiwa-peristiwa apa yang sudah terjadi
dan akan terjadi sampai hari kiamat kelak, bilangan jumlah malaikat,
siapa saja utusan Allah, nama-nama para Imam syi’ah (dua belas imam),
sifat-sifat penghuni surga dan neraka, jumlah orang yang akan berjaya
masuk di dalam surga dan neraka, serta banyak lagi hal-hal lain[23].
Riwayat
seperti ini sangat banyak ditemui dalam kitab-kitab syi’ah yang masuk
dalam katagori autentik “al-Mu’tabarah”, seperti: “Bashaa`ir
ad-Darajaat” karangan Ibnu al-Farruukh as-Shaffar, “Amaali as-Sudduuq”,
karangan Ibnu Babwaih al-Qummi dll.
Tentunya ilustrasi-ilustrasi ghaib yang tersebut dalam kitab-kitab di
atas adalah sesuatu yang tidak masuk logika. Sebab Nabi Muhammad sendiri
tidak mampu bercerita kepada ummatnya tentang hal-hal demikian,
sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah swt;
(قُل
لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ
وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى
إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ
تَتَفَكَّرُونَ) –الأنعام:50-
“Katakanlah:
Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku,
dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku
mengatakan kepadamu bahwa aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali
apa yang telah diwahyukan kepadaku. Katakanlah:"Apakah sama orang yang
buta dengan orang yang melihat". Maka apakah kamu tidak
memikirkan(nya)”. (Q.S. al-An’aam: 50).
Di samping itu, syi’ah Imamiyah berasumsi bahwa masing-masing kedua belas imam mendapatkan suhuf (lembaran-lembaran) tersendiri[24], sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab “Ikmaal ad-Din”:
عَنْ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ: "إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى أَنْزَلَ عَلَى اثْنَى عَشَرَ خَاتِمًا، وَاِثْنَى عَشَرَ
صَحِيْفَةً، اِسْمُ كُلَّ إِمَامٍ عَلَى خَاتِمِهِ، وَصِفَتِهِ فِي
صَحِيْفَتِهِ"
“Sesungguhnya
Allah swt menurunkan (membagikan) cincin kepada dua belas imam, dan
bagi tiap-tiap imam dua belas diberikan lembaran masing-masing, dan pada
setiap cincin tersebut tertulis nama imam, sedangkan sifatnya tersebut
dalam lembaran”[25].
Dengan
demikian, pada dasarnya syi’ah mengakui adanya kitab suci selain
al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yang dikenal sebagai “Mushaf
Fatimah”. Dan Allah membagikan shuhuf (lembaran-lembaran) kepada setiap
imam yang dua belas.
Bagi
sunnah keotentikan mushaf dan shuhuf ini merupakan sebuah tanda tanya
besar. Sebab bagi sunnah al-Qur’an dan Hadits sudah cukup untuk
dijadikan pedoman hidup bagi ummat, sesuai dengan firman Allah swt:
(وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ) -النحل،89-
“Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri”.
(QS. An-Nahl: 89).
(مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ) -الأنعام، 38-
“Tiadalah Kami alpakan (lalaikan) sesuatu apapun di dalam Al-Kitab,
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS. Al-An’aam: 38).
Rasulullah saw juga bersabda:
(تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ، وَسُنَّةَ نَبِيَّهِ)
“Saya
meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, kamu tidak akan tersesat
selama berpegang teguh kepadanya, yaitu: kitab Allah (al-Qur’an) dan
Sunnah Nabi-Nya (Hadits)”. (Muwatta’ Imam Malik, no: 2618).
Sebagai catatan, perlu diperhatikan bahwa sebagian ulama syi’ah (minoritas) baik klasik ataupun kontemporer[26] ada
yang menyanggah keyakinan bahwa al-Qur’an yang di tangan sunnah tidak
orisinil. Dalam artian lain, mereka mengakui bahwa Mushaf Utsmani tidak
ada penyimpangan atau penyelewangan dalam isi kandungannya. Ulama
tersebut adalah, imam at-Thuusi, imam at-Tabrisi, as-Syarif al-Murtadha,
Adnan al-Bahraani, Syekh al-Qummi, syekh Muhammad Ridha al-Muzaffar dan
syekh Kasyif al-Ghita’[27]. Sedangkan mayoritas ulama syi’ah tetap tidak mengakui Mushaf Utsmani[28].
Sunnah
menilai bahwa pengakuan sebahagian ulama syi’ah terhadap mushaf Ustmani
bermotifkan “Taqiyyah”, alias bukan sikap hakiki mereka. Sikap ini
mereka ambil hanya untuk meredakan pertikaian antara sunnah dan syi’ah.
Namun menurut hemat penulis, sebaiknya usaha demikian dari pihak syi’ah
kita tanggapi secara positif, atau dengan kata lain bersifat baik sangka
“Husnu ad-Dhan” terhadap mereka. Yang artinya kita merespon baik
pandangan golongan minoritas ulama syi’ah Imamiyah di atas. Alangkah
baiknya kalau kita mencari persamaan dan memperkecil ruang perbedaan?
Bahkan
DR. Musa al-Musawi (intelektual syi’ah) menegaskan, bahwa yang
berpendapat adanya “Tahrif” atau penyelewengan dalam mushaf utsmani
adalah golongan minoritas syi’ah dan bukannya mayoritas. Dan beliau
sendiri meyakinkan kita bahwa imam al-Khu’i dalam kitab tafsirnya
“al-Bayan” telah menafikan sendiri unsur “Tahrif” yang ditujukan pada
mushaf “Utsmani” oleh ulama-ulama syi’ah lain, dan yang berpendapat
demikian sebenarnya hanyalah orang-orang yang lemah akal pikirannya[29].
Tapi
walau bagaimanapun, pihak sunnah menilai bahwa masalah “Tahrif” adalah
pandangan mayoritas golongan syi’ah. Seperti yang ditegaskan oleh syekh
adz-Dzahabi dalam bukunya “al-Ittijahat al-Munharifah fi Tafsir
al-Qur’an”[30].
Rasul-Rasul
Kepercayaan kepada para rasul adalah pilar keempat dari rukun iman, berdasarkan firman Allah swt:
(فَآمِنُوا بِاللهِ وَرُسُلِهِ) -النساء، 171-.
"Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya" (Q.S. an-Nisaa’).
Allah swt mengutus para rasul-Nya untuk
menjelaskan dan membimbing umat ke jalan yang lurus dan diridhai-Nya.
Di samping itu, Allah menjanjikan pahala khusus bagi siapa saja yang
mempercayai para rasul Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:
(وَالَّذِينَ آمَنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُواْ بَيْنَ
أَحَدٍ مِّنْهُمْ أُوْلَـئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ وَكَانَ
اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً) -النساء، 152-.
“Orang-orang
yang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya dan tidak membedakan
seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka
pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Q.S. an-Nisaa’: 152).
Point
ini disepakati bersama antara sunnah dan syi’ah, namun dalam sisi lain
terjadi silang pendapat yang mendasar, yaitu apabila syi’ah berusaha
untuk menyamakan para rasul dengan Imam-imam syi’ah. Mereka berpandangan
bahwa imamah atau wilayah adalah masalah agama yang paling penting, dan
setaraf dengan kenabian, dari segi kesempurnaan diri (insan kamil).
Mereka memiliki mu’jizat, ma’sum (terpelihara dari dosa dan noda), dan
sifat lainnya yang sebenarnya hanya layak disandang oleh seorang nabi
dan rasul, namun syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah ikut melekatkan
sifat-sifat tersebut pada imam-imam mereka. Bahkan mereka meyakini bahwa
imam-imam syi’ah mendapatkan wahyu juga seperti halnya nabi dan rasul,
seperti yang tertulis di kitab “Biharul al-Anwar”:
“إن الأئمة عليهم السلام لا يتكلمون إلا بالوحي”
“Sesungguhnya para imam tidak berbicara kecuali dengan landasan wahyu”[31].
Teks
di atas sangat jelas menunjukkan bahwa para imam syi’ah mendapatkan
wahyu dari Allah swt. Bahkan bagi mereka, para imam lebih tinggi
derajatnya di banding para nabi. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Babwaih
dalam kitabnya “I’tiqaadaat”[32], yang kemudian ditegaskan oleh al-Majlisi dengan mengatakan:
"اِعْلَمْ
أَنَّ مَا ذَكَرَهُ رَحِمَهُ اللهُ مِنْ فَضْلِ نَبِيِّنَا وَأَئِمَّتِنَا
صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ عَلَى جَمِيْعِ الْمَخْلُوْقَاتِ، وَكَوْنِ
أَئِمَّتِنَا أَفْضَلُ مِنْ سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ ..."
"ketahuilah
sesungguhnya apa yang telah disebutkan oleh dia (Ibnu Babwaih)
rahimaullah, tentang kemuliaan Nabi kita dan para Imam kita
(shalawatullah ‘alaihim) melebih semua makhluk lain. Dan kedudukan para
imam kita lebih mulia dibandingkan seluruh nabi, hal ini tidak dapat
diragukan lagi kebenarannya bagi siapa saja yang mengetahui
berita-berita para imam[33].
Begitu
juga dengan perihal mu’jizat (miracle), yaitu suatu keadaan atau
peristiwa luar biasa yang dialami atau dilakukan oleh nabi atau rasul
atas izin Allah swt. Mukjizat ini bertujuan untuk membuktikan kebenaran
agama atau berfungsi sebagai senjata untuk menghadapi musuh-musuh yang
menentang dan tidak mau menerima ajaran yang dibawa oleh seorang nabi.
Yang
menarik perhatian sunnah dalam masalah ini adalah, di dalam kitab-kitab
syi’ah banyak disebutkan bahwa para imam-imam syi’ah dibekali juga
dengan mu’jizat seperti halnya para nabi dan rasul. Bahkan ulama syi’ah
mengambil perhatian besar dalam masalah mu’jizat dengan munculnya
berbagai ragam kitab yang membahas dan membicarakan tentang
mu’jizat-mu’jizat para imam, seperti, kitab “’Uyuun al-Mu’jizaat” karya
Husain bin Abdul Wahab. Di antara mu’jizat imam yang disebutkan dalam
kitab tersebut adalah, para imam mampu menghidupkan orang mati, dapat
berkomunikasi dengan hewan dan mengetahui hal-hal yang telah terjadi dan
apa yang akan terjadi[34].
Juga kitab “Yanaabii’ al-Ma’aajiz”, yang ditulis oleh Hasyim
al-Bahrani. Bahkan dia menulis dua kitab mengenai hal ini. Selain kitab
di atas adalah kitab “Madinah al-Ma’aajiz”. Dalam kedua kitab tersebut
disebutkan bahwa imam mengetahui apa saja keadaan dan peristiwa yang
terjadi di langit maupun di bumi[35].
Dan hal inipun ditegaskan oleh salah satu ulama kontemporer imamiyah,
yaitu Muhammad Husain Kasyif al-Ghita’ dalam bukunya “Ashlu as-Syi’ah wa
Ushuliha”[36].
Perlu
diindikasikan di sini bahwa syi’ah Zaidiyah yang merupakan salah satu
golongan besar dalam syi’ah, telah berusaha maksimal mungkin menepis dan
mengcounter propaganda syi’ah Imamiyah dalam masalah mu’jizat dan
kenabian. Sebab menurut syi’ah Zaidiyah, adalah suatu hal yang mustahil
menganalogikan imamah dengan kenabian (nubuwwah). Alasannya adalah,
karena kenabian memiliki berbagai argumentasi dan bukti yang menunjukkan
kenabian mereka. Sikap syi’ah Zaidiyah terhadap polemik ini layak untuk
diperhitungkan, karena syi’ah Zaidiyah menolak secara mentah-mentah
pendapat yang mengatakan bahwa seseorang dapat mencapai derajat
kenabian. Bahkan imam Ali ra yang juga disepakati oleh syi’ah Zaidiyah
sebagai pemimpin yang paling layak dibandingkan khalifah lainnya,
menurut pandangan mereka tidak sampai kepada tahap derajat kenabian[37].
Imam
Asy’ari dari pihak sunnah menilai secara objektif pandangan tentang
kelebihan antara nabi dan imam. Beliau berpendapat, bahwa sebenarnya
syi’ah Imamiyah dalam masalah ini terbagi kepada tiga golongan:
1) Sebagian berpendapat bahwa nabi lebih mulia daripada imam, dan imam lebih mulia daripada malaikat.
2) Ada yang berpendapat bahwa imam lebih mulia dibandingkan nabi dan malaikat.
3) Sedangkan golongan yang ketiga ini menilai bahwa malaikat dan nabi lebih mulia daripada imam[38].
Sebenarnya,
di samping ketiga pandangan di atas, terdapat lagi satu asumsi lain
yang dicetuskan oleh syekh al-Mufid –seorang ulama syi’ah- bahwa imam
lebih mulia dibanding dengan nabi, kecuali para nabi yang masuk dalam
golongan “Ulul al-Azmi”[39].
Hari Kiamat.
Kepercayaan
kepada hari kiamat dan alam akhirat, yaitu menerima hakikat bahwa alam
ini akan musnah suatu ketika nanti dengan sekelip mata. Dan pada masa
itu, semua manusia yang telah mati akan dibangkitkan kembali untuk
mempertanggungjawabkan semua amalan-amalan yang mereka lakukan tatkala
hidup di alam dunia. Kemudian Allah swt akan membalas amal-amal tersebut
balasan yang seadil adilnya. Oleh karena itu kiamat dalam agama Islam
dinamakan dengan berbagai sinonim, seperti: hari kiamat, hari
kebangkitan, hari pembalasan, hari pengadilan, dan hari penghitungan[40].
Perlu diperhatikan di sini, bahwa kepercayaan akan hari kiamat bukan
saja ada dalam agama Islam, juga ada dalam agama lain, seperti: kristen
dan yahudi, yang merupakan agama-agama langit “al-Adyan as-Samawiyah”[41].
Bahkan kepercayaan kepada kewujudan hari kiamat juga ditemukan dalam
agama atau kepercayaan kuno seperti, Persia, Mesir kuno, Yunani, dan
lain-lainnya yang mempercayai adanya hari kiamat. Perbedaan mereka
terletak pada cara menilai kebangkitan manusia apakah dengan ruh dan
jasad atau dengan ruhnya saja tanpa jasad. Jadi perkara hari kiamat ini
merupakan kepercayaan umum yang diyakini oleh setiap manusia. Sehingga
pada zaman modern ini para sutradara film berlomba-lomba membuat filem
tentang hari kiamat, seperti filem End of Days, Stigmata, Knowing dan
yang terbaru 2012. Kita menghargai nilai film-film ini mengenai
kepercayaan mereka tentang akan terjadinya hari kiamat, adapun penentuan
waktu dan kandungannya tentu tidak boleh kita yakini, sebab perkara ini
adalah rahasia ilahi. Seperti dalam filem 2012, ramalan kiamat berlaku
dibuat berdasarkan kalendar suku maya yang berdomisili di republik
Guatemala (Amerika tengah).
Sunnah ataupun syi’ah sepakat tentang hari kiamat. Namun ada beberapa
hal yang tidak dapat diterima oleh pihak Sunnah, seperti: perkara hisab
(penghitungan dan pembalasan amalan). Syi’ah dengan ideologinya
mengatakan bahwa yang akan menghisab amal seseorang di hari kiamat
adalah para imam, merekalah yang akan bertugas dan mengatur
segala-segala bentuk penghitungan. Seperti yang disebutkan di dalam
kitab Ushul al-Kafi di bawah ini:
(الآخِرَةُ لِلإِمَامِ يَضَعُهَا حَيْثُ يَشَاءُ، وَيَدْفَعُهَا إِلَى مَنْ يَشَاءُ جَائِزٌ لَهُ ذَلِكَ مِنَ اللهِ)
“Perkara akhirat berada di tangan imam, ialah yang akan menguruskan
segala-galanya di akhirat sesuai keinginannya, ia berbuat demikian atas
lisensi Allah”[42].
Lebih unik lagi, dalam kitab-ktab syi’ah diceriterakan bahwa sekiranya
bukan karena imam, maka tidak diciptakan surga dan neraka, dan Allah
menciptakan surga dari cahaya Husain[43]. Dan soal pertama yang akan ditanyakan di hari kiamat adalah tentang kecintaan seseorang dan kesetiaannya terhadap Ahlu Bait[44].
Di samping itu, penduduk Qum tidak melalui proses hisab sebagaimana
orang awam, seperti melewati titian (shirat) dan timbangan (mizan). Dan
penduduk Qum akan dihisab dari dalam kubur masing-masing, setelah itu
dibangkitkan dan langsung dibawa menuju Surga, dan di Surga disediakan
pintu khusus bagi mereka[45].
Ini sebagian dari paparan dan rentetan ideologi-ideologi syi’ah tentang
kejadian dan peristiwa yang akan berlaku di hari kiamat. Dan syi’ah
meyakini bahwa urusan managemen surga dan neraka diserahkan sepenuhnya
kepada para imam. Mulai dari kebangkitan dari kubur, melewati titian,
menjalani proses timbangan, dan yang terakhir keputusan seseorang akan
masuk surga atau neraka berada di tangan para imam. Namun dalam
pandangan sunnah, perkara masuk surga dan neraka adalah berada di tangan
Allah semata, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin
Shamith, ia berkata, Rasululllah saw bersabda,
(مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ الْعَمَلِ)
“Barangsiapa
yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang hak disembah) selain Allah
Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya; dan
(bersyahadat) bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, dan kalimat-Nya
yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh daripada-Nya; dan (bersaksi
pula bahwa) surga adalah benar adanya dan nerakapun benar adanya; maka
Allah pasti memasukkannya kedalam surga betapapun amal yang telah
diperbuatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim). Qadha dan Qadar (Takdir).
Takdir merupakan rukun iman terakhir yang wajib diyakini oleh umat
Islam. Dan dalam pembahasan ini terdapat dua kata yaitu qadha dan qadar.
Kedua istilah ini serupa tapi tak sama, sebab keduanya mempunyai makna
yang berbeda. Dari segi etimologi sebagaimana yang dijelaskan oleh imam
Maturidi bahwa qadha diartikan sebagai keputusan, sedangkan qadar
diartikan sebagi ketentuan[46].
Sedangkan dari segi terminologi, qadar adalah takdir Allah sejak zaman
azali, sedangkan qadha` adalah hukum Allah mengenai sesuatu ketika
sesuatu itu terjadi . Oleh karena itu, kalau Allah menetapkan terjadinya
sesuatu pada waktu yang ditentukan, maka itulah yang dinamakan qadar.
Dan ketika telah datang masa waktu terjadinya sesuatu yang telah
ditetapkan sebelumnya itu, maka itulah yang dinamakan qadha’. Dengan
demikian qadar wujud lebih dulu dibanding qadha, sebab qadha menyusul di belakang setelah adanya qadar.
Bila kita teliti dalam permasalahan takdir, syi’ah cenderung kepada
pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Tuhan tidak menciptakan
perbuatan manusia, tetapi manusialah yang mewujudkan perbuatan itu.
Perbuatan adalah apa yang dihasilkan oleh manusia dengan daya yang
bersifat baru[47].
Di sinilah
titik perbedaan antara pandangan sunni dan syi’ah dari satu sisi, dan
di sini jugalah titik persamaan antara syi’ah dengan Mu’tazilah. Sunni
yang diwakili oleh dua golongan besar, yaitu: Asy’ariah dan
Maturidiyah, berkeyakinan bahwa Allah menciptakan perbutan manusia, dan
manusia yang melakukan perbutan yang Allah ciptakan tersebut[48].
Di
samping itu perlu disebutkan di sini bahwa golongan sunni, syi’ah dan
mu’tazilah sama-sama mengkritik pandangan golongan Jabariah (Fatalisme),
yang berasumsi bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, tidak mempunyai daya, dan tidak mempunyai
pilihan. Punulis tidak perlum memaparkan lebih jauh tentang masalah
ini, karena silang pendapat dalam masalah ini tidak begitu jauh antara
satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Dalam artian, polemik antara
sunni dan syi’ah dalam masalah ini tidak berakibat fatal, seperti
halnya polemik pada rukun-rukun iman yang lain.
Ada beberapa perbedaan lain yang sangat signifikan yang diyakini oleh golongan syi’ah Imamiyah selain perkara-perkara rukun di atas, yaitu:
1) Khalifah diwasiatkan secara nash dan bersifat turun temuran.
2) Imam adalah terpelihara dari dosa dan noda, alias bersifat ma’shum.
3) Meyakini adanya raj’ah (kebangkitan kembali)[49].
4) Memaki para sahabat Nabi dan ummahatul mukminin.
5) Menghalalkan nikah Muta'h.
6) Menolak
ijma’ & qiyas. (dalam masalah ini terjadi perdebatan intern antara
sesama syi’ah sendiri. Yaitu antara dua kelompok: al-Akhbariyyun (al-Nashiyyun, al-Muhadditsun), dan kelompok al-Ushuliyyuun (Madrasah ar-Ra’yi, Madrasah at-Ta’wil).
7) Tidak menerima hadis yang diriwayatkan oleh perawi Ahli Sunnah.
Tentunya masih banyak lagi permasalahan selain yang penulis sebutkan di atas.
Apabila
menoleh ke sejarah Islam, imamah (politik) merupakan faktor utama yang
menyebabkan perselisihan di kalangan umat Islam sampai saat ini,
sehingga terpecah belah ke berbagai aliran, sekte dan mazhab. Ini akibat
lahirnya konflik antar sekte Islam sepeninggalnya Nabi saw ketika
suksesi politik diadakan untuk merebut tampuk kepemimpinan. Dalam
istilah syi’ah, politik dinamakan (al-Imamah), dan istilah yang
digunakan sunni adalah (al-Khilafah). Sedangkan pada zaman modern saat
ini dikenal dengan istilah (ar-Ri`asah). Dalam pandangan politik syi’ah
dikatakan bahwa imamah bukanlah masalah kepentingan pribadi yang
diberikan kepada pilihan publik, akan tetapi adalah salah satu pilar
agama atau asal-usul dan dasar perinsip agama (Arkan ad-Din), dimana
iman seseorang tidaklah sempurna kecuali percaya dengan Imamah. Oleh
karena itu, mesti diyakini bahwa Imam Ali merupakan pelanjut Nabi saw
yang sah dengan penunjukan langsung dari Nabi saw (bukannya Abu Bakar).
Dan bagi mereka, kedudukan para Imam setara dengan kedudukan Nab saw.
Oleh sebab itu, syi’ah dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik
adalah mutlak dimiliki oleh kalangan Ahlul Bait.
Dengan
demikian konsep imamah dijadikan sebagai rukun agama oleh seluruh
penganut dan golongan syi’ah. Sementara ahlu sunnah menjadikan imamah
hanya sebatas sebuah kajian fiqh saja dan bukan sebagai rukun agama.
Jadi bagi mereka, imamah itu adalah pangkat atau jabatan yang
ditentukan oleh Allah swt, oleh karena itu posisi imam itu mereka
samakan dengan posisi Nabi. Dan kalau Nabi dipilih langsung olehi Yang
Maha Kuasa, maka imam dipilih oleh Nabi Muhammad saw. Dan pilihan
beliau jatuh kepada Imam Ali, dan Imam Ali memilih penerusnya dari Ahlul
Bait. Jika demikian, dapat kita katakan bahwa syi’ah secara tidak
langsung memasukkan sistem pemerintahan teokrasi dalam Islam dan
peradaban bangsa Arab. Dan berdasarkan konsep imamah ini, maka umat
tidak berhak memilih seorang imam, karena pemilihan imam merupakan
ketentuan Ilahi.
Mereka menggunakan banyak landasan. Hampir semua ayat-ayat
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw yang berkaitan dengan kepemimpinan,
perwalian, penghakiman dll mereka interpretasikan sebagai konsep
Imamah. Seperti firman Allah swt:
(يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي
الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ
وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً) -النساء: 59-.
" Hai
orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul-Nya, dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya". (Q.S. an-Nisaa`: 59).
Ayat" Yaa
ayyuhallazdina amanu ati’ullah wa ati’u ar-rasul wa ulil Amri minkum “,
menurut mereka kalimat “wa ulil amri minkum“, adalah para imam-imam
syi’ah dan keturunannya. Dan pendapat ini disepakati oleh seluruh
golongan syi’ah yang terbesar, yaitu: syi’ah Zaidiyah, syi’ah Imamiyah
dan syi’ah Isma’iliyah[50].
Begitu juga halnya dengan Akhbar (hadits), seperti wasiat Rasulullah
saw pada saat peristiwa Ghadir Kham selepas haji Wada’. Yaitu manakala
Rasulullah saw mengatakan kepada umatnya ketika itu, bahwa Imam Ali
adalah penerima wasiat dan sebagai khalifah sepeninggalku[51].
Namun,
kalau kita renungkan dengan teliti ucapan-ucapan Rasulullah saw dalam
haji Wada’, sebenarnya tidak ada dalam ucapan dan penyebutan Rasulullah
saw mengenai khilafah, melainkan beliau hanya menyebutkan tentang
kebaikan, keutamaan (afdaliyah) imam Ali terhadap apa-apa pengorbanan
yang telah disumbangkan kepada umat Islam ketika itu. Oleh karena itu,
syi’ah merasa tidak cukup puas untuk menjadikan peristiwa Ghadir Kham
sebagai argumentasi mereka, sehingga mereka berusaha mencari dalil-dalil
lain yang boleh menguatkan keyakinan mereka[52].
Dan untuk menguatkan peristiwa ini, salah seorang ulama syi’ah
Imamiyah bernama Abdul Husain Ahmad al-Amini mengarang sebuah buku
sebanyak 10 jilid yang berjudul (al-Ghadir fi al-Kitab wa as-Sunnah wa
al-Adab). Dan periwayatan hadits-hadits yang mereka gunakan dari
kalangan mereka sendiri, karena bagi syi’ah Imamiyah ataupun
Isma’iliyah, hadist yang shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ma’shum dalam semua tingkatan.
Setelah
memaparkan bentuk-bentuk perbedaan keyakinan, kepercayaan (ideologi)
dan politik yang dianut oleh masing-masing golongan sunnah dan golongan
syi’ah Imamiyah, maka kita boleh menilai secara objektif serta menyawab
pertanyaan pada awal artikel ini, yaitu:
Apakah
kedua kelompok tersebut boleh bersatupadu, atau sekurang-kurangnya
bolehkah kedua golongan tersebut didekatkan atau hidup berdampingan
antara satu dengan lainnya, sehingga tidak menimbulkan konflik agama
dalam tubuh Islam sendiri?
Dalam
kerangka pendekatan, nampaknya syi’ah Zaidiyah dapat didekatkan kepada
golongan sunnah. Sebab dalam realitanya, syi’ah Zaidiyah memang memiliki
persamaan dengan ahlu sunnah dalam bidang fiqh dan akidah[53], dan mereka tetap mengakui periwayatan hadits-hadits sunni. Oleh
karena itu, sy’iah Zaidiyah dalam pandangan sunni merupakan bagian
sekte syi’ah yang moderat. Sehingga sekte tersebut diakui oleh kalangan
sunni sebagai sekte syi’ah yang paling dekat ke sunni. Karena sekte ini
dalam banyak hal tidak sependapat dengan syi’ah pada umumnya, atau
khusunya syi’ah Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah. Syi’ah zaidiyah ini
tidak menyetarakan posisi Imam seperti Nabi yang mempunyai sifat 'ismah
(terpelihara dari dosa dan noda). Dan syi’ah Zaidiyah menganggap sama
kedudukan semua manusia. Di samping itu penilaian kedekatan zaidiyah
dengan sunni disebabkan oleh karena sebahagian dari sekte syi’ah
Zaidiyah seperti “Shalihiyah dan Batriyah” berpendapat bahwa
kepemimpinan itu hendaklah dilakukan secara kontrak dan seleksi
(pemilihan umum). Dan mereka menganggap sah kepemimpinan Abu Bakar dan
Umar. Alasannya adalah karena imam Ali sendiri telah melepaskan jabatan
tersebut dan menyerahkannya kepada mereka berdua. Dalam pandangan syi’ah
Zaidiyah, tidak pernah terdengar kalau imam Ali menuntut mereka berdua.
Itulah sebabnya, syi’ah Zaidiyah dianggap sebagai golongan syi’ah yang
terdekat dengan ahlu sunnah, khususnya pada era awal kemunculannya.
Pandangan syi’ah Zaidiyah sama seperti pandangan ulama salaf, yaitu
mengamalkan seutuh-utuhnya sumber hukum asal yaitu: Qur’an dan Sunnah.
Hal ini ditegaskan oleh DR. Ibrahim Madkur. Dalam pandangannya,
pandangan syi’ah Zaidiyah pada masalah ketuhanan (Uluhiyah) pada era
awal pendirian golongan tersebut sebenarnya sangat dekat dengan
pandangan salaf, namun pada perkembangan selanjutnyanya -khususnya
pengikut Zaidiyah di Yaman- mereka lebih dekat kepada pandangan golongan
Mu’tazilah.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa syi’ah Zaidiyah pada era awal lebih dekat
kepada ahlu sunnah. Namun dalam perkembangan selanjutnya terjadi
perubahan dan pergeseran, di mana syi’ah Zaidiyah lebih dekat kepada
golongan Mu’tazilah.
Perlu disebutkan di sini bahwa ada beberapa ulama syi’ah Zaidiyah yang
bersikap terbuka terhadap ahlu Sunnah, bahkan mengikuti pandangan ahlu
sunnah, seperti imam Muhammad bin al-Wazir al-Yamani, imam al-Hasan
al-Jallal, Imam Shalih bin Mahdi al-Muqbali, imam al-Amir ash-Shan’ani,
dan Imam asy-Syaukani.
Imam Syaukani berbeda pendapat dengan aliran zaidiyah dalam beberapa
masalah, di antaranya: 1) mengenai pemahaman ahlul bait. Dia berpendapat
bahwa ahlul bait bersifat menyeluruh bagi semua isteri Nabi saw, Ali,
Fathimah, Hasan dan Husain. Sedangkan Zaidiyah berpendapat bahwa ahlul
bait khusus hanya untuk Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. 2) dalam
syarat-syarat imamah Syaukani berpendapat sah imamah pada semua
keturunan Quraisy, sedangkan Zaidiyah berpendapat hanya sah dari
keturunan Ali dan Fathimah saja. 3) Dalam legalisasi mereka untuk
melakukan revolusi terhadap penguasa yang zalim, Syaukani berpendapat
wajib mentaati para imam, sultan, dan para raja, serta tidak boleh
melakukan revolusi terhadap mereka, selama mereka masih melaksanakan
shalat, dan tidak nampak kekafiran, serta selama mereka tidak
memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. 4) Dalam pembolehan mereka
membina batu nisan dan tanda di atas kubur orang-orang yang mulia dan
para raja, bukannya rakyat jelata. 5) Ia menolak Zaidiyah dengan sangat
keras yang telah mewajibkan dan mensunnahkan beberapa perkara berikut:
A. tidak sah shalat jum’at tanpa adanya imam yang adil dari keturunan
ahlul bait. B. kewajiban mereka untuk menambahkan kalimat “ hayya ‘alaa
khairil ‘amal” dalam lafaz azan dan iqamat. C. menjamak shalat zuhur
dengan asar, dan shalat maghrib dengan isya, tanpa alasan. D. membasuh
kemaluan sebagai bagian dari kewajiban wudlu[54].
Dengan
melihat aspek kerterbukaan syi’ah Zaidiyah seperti di atas, Syaikh
Ja’far Subhani (seorang ulama imamiyah modern) sangat menyayangkan sikap
tersebut dengan mengatakan: “sesungguhnya pendapat mereka dalam
kebanyakan masalah adalah pendapat yang menyimpang, yang bersumber dari
para fuqaha ahlu sunnah. Pada banyak hal mereka merujuk kepada sumber
kitab-kitab hadits sahhah dan musnad, serta menggunakan qiyas dan
istihsan, seakan-akan tidak pernah ada imam Baqir dan imam Shadiq, juga
imam Kazhim ataupun imam Ridla as, mereka lupa dan melupakan maqam
mereka dan ilmu mereka”[55].
Perkataan
di atas jelas-jelas mengklaim bahwa aqidah syi’ah Zaidiyah menyimpang
dari ajaran-ajaran syi’ah, disebabkan mereka menggunakan sumber-sumber
yang berasal dari golongan sunnah. Seperti dalam masalah hadits, syi’ah
Zaidiyah merujuk kepada kitab-kitab hadits shahih dan musnad sunnah.
Kemudian dalam masalah fiqh, mereka mengikuti metodologi istinbat
sunnah, dengan menggunakan rujukan qiyas, istihsan, dan sumber-sumber
lainnya.
Melihat
fenomena keterbukaan syi’ah Zaidiyah dan sejauh penelitian penulis,
sebenarnya syi’ah Zaidiyah terbagi kepada empat haluan, yaitu:
(1) Zaidiyah murni (mengikut imam Zaid sepenuhnya) dan terbuka terhadap ahlu sunnah[56].
(2) Zaidiyah yang condong kepada aliran Mu’tazilah.
(3) Zaidiyah penentang Mu’tazilah.
(4) Zaidiyah yang condong kepada pandangan Imamiyah, yaitu Zaidiyah al-Jarudiyah.
Dari
keanekaragam haluan syi’ah Zaidiyah di atas membuktikan bahwa sikap
toleransi yang terbentuk di dalam aliran ini berhasil membantu
penyebaran aliran ini di berbagai negara islam yang berbeda. Dan berkat
sikap toleransi ini, pemikiran dan akidah aliran syi’ah Zidiyah mampu
tumbuh dan berkembang, dan tidak mengalami stagnansi, sebagaimana yang
terjadi kepada semua aliran syi’ah yang lainnya, khususnya syi’ah
Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah. Untuk lebih jelasnya tentang hubungan
erat dan persahabatan pemikiran antara syi’ah Zaidiyah dengan Mu’tazilah
silahkan rujuk desertasi penulis [57].
Jika
demikian sikap keterbukaan yang dikedepankan oleh syi’ah Zaidiyah, maka
bolehlah kita tingkatkan sikap toleransi dan saling mendekatkan
(Taqarub).
Urgensi Toleransi Antara Sunnah & Syi’ah Imamiyah
Lain halnya dengan golongan syi’ah Imamiyah. Berbagai
usaha telah dilakukan dengan maksimal untuk mendekatkan mazhab sunnah
dengan mazhab syi’ah Imamiyah. Dan projek pendekatan tersebut telah
ditumpukan semenjak tahun empat puluhan, dengan didirikannya pusat
pendekatan antar mazhab Islam di Mesir, yang dikenal dengan nama “Darul
Taqrib Baina al-Mazahib al-Islamiyah”, dengan menerbitkan majalah
“Risalah al-Islam”. Para pendirinya terdiri dari perwakilan kedua mazhab
sunnah & syi’ah. Aliran sunnah diwakili oleh beberapa tokoh
terkemuka ketika itu, yaitu: syekh Mustafa al-Maraghi, syekh Muhammad
Syaltut, dan syekh Mustafa Abd Raziq. Sedangkan pihak syi’ah diwakili
oleh tokoh-tokoh syi’ah, yaitu: Sayyid Muhammad Husain Kasyif al-Ghita’,
Sayyid Jawwad Maghniah, Sayyid Syarafuddin al-Musawi dll. Kemudian
disusul dengan pendirian berbagai pusat pendekatan lain, seperti di
Yordania didirikan “Mu`assasah Ahlul Bait li al-Fikri al-Islami”. Dan
pada tahun 1984 didirikan “Mu`assasah al-Imam al-Khuu’I li at-Taqrib
Baina al-Mazahib”. Bahkan pada tahun 1991, Syi’ah di Iran merasa perlu
mendirikan sebuah pusat yang orientasinya sama, yaitu pendekatan sunnah
& syi’ah, dengan nama “Mua`ssasah al-Majma’ al-‘Alami li at-Taqrib
Baina al-Mazahib al-Islamiah”. Di samping itu banyak lagi usaha-usaha
ilmiah untuk mendekatkan kedua golongan tersebut, baik melalui
seminar-seminar nasional dan internasional yang diadakan di berbagai
negara-negara Islam.
POLEMIK AQIDAH FILSAFAT (SYI'AH VS SYI'AH VS SUNNI) (موقف الزيدية من العقيدة الإسماعيلية وفلسفتها) |
Namun
semua usaha di atas nampaknya tidak berpengaruh dan tidak efektif
sebagaimana yang diharapkan dan diprediksikan oleh para tokoh-tokoh yang
berperan langsung dalam projek “Taqrib” tersebut. Bahkan sikap caci
mencaci, tuding-menuding, saling mengkafirkan antara satu dengan lainnya
volumenya semakin meningkat. Tidak dapat disangsikan dalam berbagai
forum, media massa, majalah, surat kabar, dan buku-buku banyak ditemui
unsur saling kecam-mengecam, bahkan menuduh golongan lain telah keluar
dari Islam, dan ini adalah suatu fenomena yang sangat berbahaya.
Mengamati fenomena ini, penulis dapat berkesimpulan bahwa langkah
“Taqrib Baina al-Mazahib” sudah berhenti, tidak berfungsi, dan tidak
bermakna lagi (expire). Oleh karena itu perlu dibangunkan kembali
aktiviti-aktiviti lain dan pintu penyelesaian yang lain. Misalnya,
dengan cara mengaktifkan sikap toleransi antar mazhab “at-Tasamuh Baina
al-Mazahib”[58].
Hal ini disebabkan karena perbedaan antara sunnah dan syi’ah sangat
fundamental, dengan perbedaan yang menonjol pada pokok ajaran
masing-masing golongan seperti yang telah dipaparkan di atas[59].
Dalam hal ini penulis tertarik dengan pandangan imam Hasan al-Banna
dalam usahanya untuk menetralisir hubungan sunnah dan syi’ah dengan
semboyangnya yang berbunyi:
"نَتَعَاوَنُ فِيْمَا اِتَّفَقْنَا عَلَيْه، وَيَعْذُرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمَا اِخْتَلَفْنَا فِيْه"
“Kita
bekerjasama dalam perkara yang kita sefaham, dan saling memaafkan satu
sama lain terhadap perkara yang kita perselisihkan“.
Pesan
yang dapat difahami dari ucapan di atas adalah lebih kepada sikap
toleransi, dan bukannya pendekatan mazhab. Oleh karena itu bagi penulis
sebagai pengikut sunni, sikap di atas patut kita renungi bersama. Sebab
walau bagaimanapun kedua golongan (sunnah & syi’ah) adalah Islam,
keduanya serupa
tapi tak sama. Maksudnya keduanya serupa dalam frame agama Islam, tapi
sebagian kandungannya berbeda dan bertentangan antara satu dengan yang
lainnya.
Barangkali ungkapan ”serupa
tapi tak sama” ini tepat untuk menggambarkan hakikat Islam sunnah dan
Islam syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam
sunni dengan penganut Islam syi’ah. Sebab kalau sunni mengaku bahwa
al-Qur’an dan Sunnah adalah pegangan hidup dan asas seorang muslim,
islam syi’ah-pun demikian. Sehingga kalau ada orang luar Islam atau non
muslim coba-coba untuk menghina atau menugusik kedua sumber tersebut,
maka reaksi keras akan timbul dari kedua-dunya tanpa kecuali. Sebagai
contoh peristiwa yang baru-baru ini, yaitu rencana hari pembakaran
Al-Quran sedunia oleh sebuah gereja di Gainesville, Florida yang bernama gereja “Dove World Outreach Center”, rencana ini diprakarsai oleh pendeta Terry Jones, baik kalangan sunni maupun syi’ah sama-sama memberikan reaksi keras atas rencana tersebut, sehingga rencana tersebut digagalkan.
Namun
jika ditelusuri –terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara
keduanya ibarat minyak dan air seperti yang telah dijelaskan di atas,
sehingga, sulit dan tidak mungkin didekatkan. Oleh karena itu, penulis
merasa perlu pergeseran istilah pemaknaan baru, yang tadinya disebut
sebagai pendekatan ”Taqrib”, seperti slogan yang selama ini
dikembangkan, hendaknya diganti dengan sikap toleransi ”Tasamuh”.
Jadi
yang perlu dilakukan oleh sunni dan syi’ah adalah dialog untuk toleran
(Tasamuh), bukan untuk pendekatan (Taqarub). Sebab memang keduanya
berjauhan, dan tidak mungkin didekatkan atau dilekatkan antara satu sama
lain, dan tidak akan ketemu. Dengan sikap bertoleransi berarti tidak
saling menuduh, menuding, memojokkan, menghancurkan, apatah lagi kafir
mengkafirkan. Umat ini tidak perlu disibukkan dengan hal-hal di atas.
Meminjam istilah Prof. Hamid Thahir[60],
semua perkara tersebut adalah ”al-Musykilat az-Zaa`ifah”, yang makudnya
permasalahan-permasalahan palsu (semu). Jadi permasalahan taqrib bagi
penulis merupakan permasalahan semu, sebab tidak ada timbal balik. Dan
dalam kenyataannya usaha ”taqrib” tidak membuahkan hasil apa-apa pada
umat. Oleh karena itu, biarkanlah keduanya berkembang dengan normal,
alias tidak saling memaksakan aqidah satu pihak kepada pihak yang lain.
Lebih
heboh lagi dan berakibat fatal kalau sifat saling menjatuhkan terjadi
di kalangan yang mengaku sama-sama kalangan sunnah, yaitu antara aliran
Asy’ariah, Maturidiah, Salafiah, Wahabiah dan lain-lain. Semua golongan
tersebut masuk dalam frame ”Ahlu Sunnah”. Atau secara umumnya
diistilahkan sebagai ”salaf dan khalaf”. Dalam dunia maya seperti
facebook, blog, twitter dan lainnya ditemui penamaan website dengan
slogan yang mengarah kepada pencelaan antar golongan, seperti
penyantuman nama ”anti Wahabi”, ”anti Syi’ah”, ”anti Sunnah”, dll.
Pelabelan-pelabelan seperti di atas sangat merugikan umat Islam,
khususnya antara pengikut aliran sunnah sendiri, sebab ia akan menjadi
konsumsi publik. Implikasinya, seakan-akan Islam adalah agama
perpecahan, tidak menginginkan persatuan dan kedamaian antara sesama
pemeluknya. Kita harus membangun bukan meruntuhkan, berdialog bukan
menghujat, maju dan melangkah bersama-sama bukan mundur teratur
bersama-sama. Jangan menjajah teman sendiri, golongan sendiri, cukuplah
kita dijajah oleh orang luar ”non muslim” dan itupun belum kita
selesaikan sampai sekarang, dikarenakan sibuk dengan pertengkaran dan
perseteruan antara mazhab.
Masalah
umat di Indonesia masih banyak yang perlu dipikirkan oleh masing-masing
ulama mazhab (As’ariyah, Salafiah, Wahabiah, Syi’ah, Khawarij,
Mu’tazilah dll), terutama dari aspek sosial, yang kian hari dan kian
lama makin tidak menentu ke mana arah perbaikan sosial. Kalau kedua
golongan sunnah dan syi’ah saling bersikap ta’assub, niscaya akan
menghasilkan konflik intern dalam Islam. Masing-masing golongan merasa
paling benar. Yang akhirnya bukannya menghasilkan perbaikan bahkan
mengeruhkan dan mempertajam perbedaan, sehingga agenda perbaikan dan
peningkatan status sosial umat terlupakan. Alangkah indahnya kalau
masing-masing aliran memberhentikan perbincangan yang menjurus kepada
pengkafiran, sebab dikhawatirkan konflik dalam satu agama akan terjadi,
dan dijadikan sebuah peristiwa biasa dengan saling membunuh sesama
Islam, sehingga menjadi fenomena sosial yang sangat berbahaya. Sebagai
contoh kecil dapat dilihat konflik antara sunnah dan syi’ah di Iraq yang
bermula dari saling tuding menuding, lalu meningkat kepada masalah
politik, kemudian berani mengkafirkan golongan lain, hasil pengkafiran
adalah penghilangan nyawa, dan berhujung dengan gerakan terorisme.
Kalau
kita berpikir secarah jernih dan bertanya kepada diri atau golongan
masing-masing, siapakah sebenarnya yang memiliki otoritas untuk
mengakafirkan golongan lain? Tentu jawabannya baik dari pihak sunnah
ataupun syi’ah adalah sama, yaitu: Allah. Kalau sudah demikian
jawabannya, apa salahnya kalau kita menyudahi konflik intern yang ada di
dunia Islam dengan sikap toleransi saling hormat menghormati. Dan untuk
penilaiannya kita serahkan semua kepada Yang Maha Kuasa.
Baru-baru
ini dunia dikagetkan dengan dokumen-dokumen yang dibocorkan oleh
Wikileaks yang mengklaim mempunyai sekitar 251.000 dokumen. Yang sampai
sampai saat ini sudah ditayangkan kepada khalayak adalah sekitar 1.824
dokumen yang dimuat di websitenya[61]. Yang kemudian
dimuat dan disebarluaskan oleh beberapa media massa lain seperti: El
Pais, the Guardian, New York Times Der Spiegel, dan lain-lain. Selintas
dari beberapa yang dapat dilihat dari penayangan dokumen-dokumen
tersebut, memberikan indikasi yang kuat bahwa saat ini umat islam
benar-benar menghadapi suatu problematika atau permasalahan yang sangat
besar dan sangat serius. Di mana negara-negara Islam secara lahiriah
bersahabat, dan berteman, terlihat ketika bertemu bukan hanya bersalaman
bahkan saling berpelukan, mengajukan ucapan selamat, mengungkapkan rasa
persahabatan, tapi di sebalik itu dan setelah berpisah, saling tohok
menohok, dan menikam dari belakang. Ini pertanda satu musibah yang
besar, yaitu hilangnya kepercayaan antara sesama negara Islam. Di
samping itu, umat Islam saat ini berada dalam arena penjajahan modern,
atau lebih dikenal dengan nama lain sebagai penjajahan pemikiran
(Ghazwul Fikr), yang kandungannya adalah “Pemikiran Barat”, dan hasil
produknya adalah “Leberal & Sekuler”. Pemikiran ini melanda beberapa
intelektual Islam di dunia, yang kemudiannya menghasilkan produk yang
dikenal di negara-negara Arab sebagai “al-‘Almaniyyun”, dan di Indonesia
disebut “Islam Liberal”.
Ini persoalan dan masalah yang perlu difokuskan untuk penyelesaian,
baik oleh pihak Sunnah, Syi’ah, Salafi, Wahabi, Khawarij, Mu’tazilah
dll.
Penyelesaian Konflik Sunnah & Syi’ah
Untuk
menyelesaikan konflik antara Sunnah & Syi’ah, setelah melihat
perbedaan yang fundamental dan sangat jelas di antara keduanya, maka
tidak mungkin dilakukan pendekatan ”taqrib” antara satu dengan yang
lain. Namun tidak boleh ada kata ”Putus asa”. Kedua golongan hanya
memerlukan sikap saling menghormati dan bukan saling mencela. Kalau
bahasa al-Qur`an untuk toleransi agama adalah ”Lakum Diinukum”, maka
untuk toleransi dalam hubungan Sunnah & Syi’ah adalah ungkapan
”Lakum Mazhabukum”. Untuk hidup toleransi dan berdampingan, hendaknya
semua golongan bersikap jujur, tidak fanatik buta, dan jangan saling
menghina. Secara realitanya pihak sunnah dari berbagai golongannya
menghormati imam Ali yang diagung-agungkan oleh syi’ah, maka hendaknya
begitu juga sebaliknya pihak Syi’ah, menghormati para sahabat lain,
janganlah terus menerus mencela, dan mencaci para sahabat. Di samping
itu, kedua belah pihak jangan ada usaha untuk menarik dan memaksa pihak
lain untuk masuk ke golongannya, baik melalui usaha Syi’ahnisasi
(Tasyyii’) di kalangan penduduk Sunni, ataupun sebaliknya Sunnahisasi di
kalangan penduduk Syi’ah.
Di
akhirat kelak, kalau Syi’ah dengan pandangannya bahwa syafa’at akan
diperoleh dari Nabi Muhammad dan para imam-imamnya, bukan masalah utama,
berikan mereka kebebasan untuk berkeyakinan demikian, dan Sunnah juga
tetap dengan keyakinannya hanya mengharap syafa’at dari pada Nabi
Muhamammad saw saja. Begitupun halnya dengan keyakinan-keyakinan lain
yang berbeda secara fundamental, silahkan yakini apa yang telah
diyakini, dan buang jauh-jauh apa yang tidak diyakini, dan jangan
memaksakan yang lain untuk meyakini sebuah keyakinan. ”La Ikraaha fi
ad-Din”.
Dalam
sejarah ”Taqrib” (pendekatan sunnah & syi’ah), Syekh Mahmud Syaltut
(mantan syekh al-Azhar wafat tahun 1963) pernah memfatwakan bahwa orang
sunni boleh beribadah menurut mazhab ja’fari (fiqh Imamiyah)[62].
Sampai saat ini ulama masih simpang siur dalam memahami fatwa tersebut.
Dalam artian, apakah syekh Syaltut betul-betul memahami perselisihan
Sunnah dan Syi’ah atau tidak, sehingga beliau berani mengeluarkan fatwa
di atas tanpa klarifikasi dari kitab-kitab induk Syi’ah. Atau fatwa
tersebut lahir hanya sekedar usaha pribadi tulus ikhlas “Lillah Ta’aala”
untuk menetralisir hubungan Sunnah dan Syi’ah ketika itu?.
Hemat
penulis, fatwa tersebut sifatnya ijitihad pribadi. Beliau sangat
prihatin terhadap adanya perbedaan dan silang pendapat yang tajam serta
pertikaian yang berlarut-larut, yang hanya menimbulkan perpecahan umat.
Oleh karena itu, syekh Syaltut terinspirasi untuk menghentikan hal-hal
di atas dengan mengeluarkan fatwa yang tujuannya untuk menghormati
mazhab lain, hidup berdampingan, bertoleransi, dan saling menghargai.
Dan yang terpenting, sebagi I’tibar untuk semua golongan dan mazhab
selain Ahlu Sunnah adalah, makna tujuan yang tersirat dari fatwa itu
adalah “Pihak Sunnah sangat terbuka untuk mazhab-mazhab lain dan
menginginkan persahabatan dan bukan pertengkaran dan perseteruan”.
Hal
ini terbukti ketika pihak Syi’ah tidak membolehkan penganutnya
beribadah menurut mazhab Sunnah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyid
Muhamad Husein Fadhlullah, seorang ulama syi’ah yang disegani oleh
penganut Syi’ah. Ia tegas melarang penganut syi’ah beribadah dengan cara
mazhab selain mazhab Ahlulbait[63].
Ketegasan ini jelas mencerminkan bahwa tidak ada jalan dan kemungkinan
bagi kedua golongan tersebut untuk saling mendekatkan mazhab apatahlagi
menyatukannya. Dengan demikian, sebaiknya beribadah sesuai dengan ajaran
masing-masing, tidak perlu memaksakan ritual Sunnah dipakai oleh
Syi’ah, dan Syi’ah juga tidak memaksakan ritualnya digunakan oleh
Sunnah, dan ini adalah penyelesaian dan solusi yang terbaik.
Dengan
konsep kembali ke ajaran masing-masing dan tidak memaksakan golongan
lain, penulis mengharap persaudaran dan hidup berdampingan akan
teralisasi. Alangkah
indahnya persaudaraan sesama Islam, tanpa menghiraukan alirannya. Kalau
kita sama-sama merenungi ucapan imam at-Thahawi:
"وَلاَ نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلُّهٌ"
“Tidaklah kami kafirkan seseorang dari umat Islam (Ahli Kiblat) selama ia tidak menghalalkan perkara dosa yang ia perbuat”.
Maksudnya,
antara sesama mukmin dan muslim tidak perlu saling mengkafirkan. Sebab
melabelkan kafir atau muslim itu adalah urusan Allah, bukan urusan
manusia. Masalah “Takfir” sangat berat, karena menyangkut urusan station
terakhir yaitu, Surga atau Neraka. Di samping itu, tidak ada jaminan
pada diri masing-masing atau kelompok masing-masing akan kepastiannya
untuk masuk surga.
Berlandaskan kepada sikap ilmiah, penulis boleh katakan dalam artikel ini tanpa tendensius apa-apa bahwa tidak benar pendapat yang mengatakan”Perbedaan sedikit sekali dibanding dengan persamaan”. Atau ”Perbedaan bukan pada masalah ushul, tapi perbedaan lebih kepada masalah furu”. Atau dikatakan ”Perbedaan hanya masalah-masalah kecil dan bukan masalah substansial”. Pandangan
seperti ini banyak ditemui di berbagai forum-forum diskusi, baik
nasional ataupun internasional. Juga dapat dibaca pada sebagian
buku-buku ulama dan intelektual muslim di Timur Tengah, seperti DR. Ali
Abdul Wahid Wafi dalam bukunya ”Baina as-Syi’ah wa Ahli Sunnah”, DR.
Syami an-Nassyar, DR. Shabir Ta’iimah dalam bukunya ”Tahaddiyyat Amaama
al-’Uruubah wa al-Islam”. Bahkan syekh Ghazali menegaskan bahwa,
”Sesungguhnya perselisihan yang terjadi antara Islam Sunnah dan Islam
Syi’ah hakikatnya sama dengan perselisihan antara mazhab-mazhab fiqh
Sunnah, seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i”[65].
Dalam
persepsi yang sama ulama Syi’ahpun mengatakan demikian. Sayyid Kasyif
al-Ghita’ berkata: ”Sesungguhnya perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah
hanyalah bersifat furu’iyah, dan hal ini biasa terjadi dalam
persaudaraan”[66].
Menurut hemat penulis, pandangan di atas sebenarnya pandangan yang
lebih beriorentasikan kepada rasa simpati (’Atifi) terhadap mazhab
Syi’ah dan bukan daripada hasil kajian dan penyelidikan ilmiah. Sebagai
bukti, kalau memang perbedaan terbatas hanya kepada hal furu’iyyah bukan
asasi dan prinsip, seperti berbeda pada tata cara wudhu’, cara
bertakbir dalam shalat, dan permasalahan fiqh lainnya, kalau hanya
demikian, kenapa mesti saling mencela, menghina dan menjatuhkan bahkan
saling mengkafirkan?
Mendekatkan
pemikiran Sunnah dan Syi’ah untuk memajukan dan membela Islam sangat
diharapkan. Dan memang itulah tujuan mulia dan utama demi mewujudkan
kekuatan, kebangkitan dan kemakmuran di seluruh negara-negara Islam,
sehingga terwujud kebaikan bagi tatanan masyarakat. Namun mendekatkan
apalagi menyatukan kepercayaan tidak mungkin terwujud. Sebab perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah sudah melebihi batas penelitian
ilmiah, bahkan sudah sampai kepada tahap klimaks yaitu ”Ta’assub Buta”.
Sementara sifat seperti ini dalam sejarah tidak pernah menyelesaikan
permasalahan, bahkan memperkeruh permasalahan yang ada. Dan sifat
Ta’assub inilah yang menyebabkan kemunduran kajian-kajian teologi Islam.
Sehingga muatan dan isi kitab-kitab klasik (Kutub at-Turats) dipenuhi
dengan berbagai kecaman, hinaan, dan cemoohan, seperti
perkataan-perkataan: Fasiq, Dhalal, Jahil, Zindiq bahkan sampai
perkataan kafir. Ada baiknya kita mengingat pesan salah seorang sufi
kenamaan yaitu imam Yahya bin Mu’az:
" إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَلاَ تَضُرُّه،ُ وَإِنْ لَمْ تُفْرِحْهُ فَلاَ تَغُمُّهُ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلاَ تَذُمُّهُ"
"Kalau
engkau tidak sanggup membantu orang lain (memberi manfaat), maka
janganlah merugikan dia. Kalau engkau tidak sanggup menghibur orang lain
(memberikan rasa senang), maka janganlah membuatkan dia sedih (susah).
Kalau engkau tidak sanggup memuji orang lain, maka jangalah mencelanya".
Dalam
etika beragama, Islam mengajarkan kita untuk tidak memaksa orang lain.
Dalam beberapa ayat dindikasikan bahwa tugas kita hanya menyampaikan
saja, dan bukannya memaksa golongan lain atau agama lain masuk ke
golongan kita atau ke agama kita. Seperti firman Allah swt berikut:
(لاَ
إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ
يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ) -
البقرة، 256-.
“Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah: 256).
(وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ) -هود، 118-.
“Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu,
tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Q.S. Huud: 118).
)وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعاً أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ( - يونس، 99-.
"
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di
muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya
mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya". (Q.S. Yuunus: 99).
Tidak
ada salahnya berbeda dan bersilang pendapat, tapi jangan sampai
perbedaan tersebut meningkat kepada permusuhan. Boleh menganggap salah
golongan lain, tapi jangan mencela dan mencaci. Tanamkan sikap toleransi
bukan ta’assub, menyambung persaudaraan sesama muslim bukannya
memutuskan hubungan, berdialog bukan berseteru antara satu sama lain.
Prioritaskan bendera ”agama” bukan bendera ”mazhab” dan ”golongan”.
Wallahu A’lam.
(*) Tulisan ini dipertajam dengan beberapa karya penulis yang telah dipublikasikan & proses terbit:
(1) “Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha”, Terbitan Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon 2009.
Buku tersebut asalnya desertasi Ph.D, Cairo Univesity, dan saat ini dijadikan referensi kajian Syi’ah di Harvard University & Yale University, dan dapat ditemui dalam koleksi perpustakaan United Kingdom “British Library”, Call Number: YP.2010.a.4230.
(2) “al-Firaq as-Syi’iyyah wa Ushuluha as-Siyasiyah wa Mauqif Ahli Sunnah Minha”, terbitan USIM 2009.
Buku tersebut asalnya desertasi Ph.D, Cairo Univesity, dan saat ini dijadikan referensi kajian Syi’ah di Harvard University & Yale University, dan dapat ditemui dalam koleksi perpustakaan United Kingdom “British Library”, Call Number: YP.2010.a.4230.
(2) “al-Firaq as-Syi’iyyah wa Ushuluha as-Siyasiyah wa Mauqif Ahli Sunnah Minha”, terbitan USIM 2009.
(4) “Nasy’at al-Firaq al-Islamiyah wa Tafarruqaha”, dalam proses terbit di Darul Kutub Ilmiyah, Beirut-Lebanon.
(5) "Perseteruan Politik: Syi'ah vs Syi'ah & Tanggapan Sunni, dalam proses terbit di Dar'ami Publishing, Jakarta-Indonesia.
(6). "Mazhab-Mazhab Syi'ah", Dalam proses terbit di Dar'ami Publishing, Jakarta-Indonesia.
Dan Lihat wawancara penulis tentang "LATAR BELAKANG MENEKUNI KAJIAN SYI’AH DI CAIRO UNIVERSITY". *Diterbitkan oleh Buletin FK el-Baiquni, Cairo-Egypt 2003 & Revisi 2010.http://dr-kamaluddin-nurdin.blogspot.com/2010/07/wawancara-tentang-syiah-2003.html.
[1] Huns Küng (lahir 19 Maret 1928 di Sursee, Canton Lucerne). ia adalah seorang pastor Katolik Roma, tetapi Vatikan
telah mencabut haknya untuk mengajar teologi Katolik, disebabkan karena
ia sangat vokal dalam mengkritisi sebagian ajaran dan tradisi Katolik,
seperti ia tidak percaya akan keperawanan Maryam yang merupakan ideologi
aliran Katolik, bahkan beliau berani mengkritik Paus Benediktus XVI (kawan lama ketika di kuliah),
terutama tentang penindasan dan kekerasan sexsual yang terjadi di
beberapa gereja, dan ucapan Paus bahwa Islam adalah agama kekerasan ia
seorang teolog Katolik yang tidak fanatik dengan Katoliknya, sehingga
terbuka dan toleran dengan penganut Kristen Protestan, bahkan selalu
berusaha untuk mengadakan pendekatan dan mengakurkan aliran kristen
Katolik dan kristen Protestan. Lihat:
[2] Hans kung: Projekti weltethos,p. 171, Munchen 1990.
[3] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[4] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[5] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 2/42.
[6] Al-Qadhi an-Nu’man, kitab Da’aaim, 1/2
[7] Amir Muhammad al-Qazawayni, as-Syi’ah fi ‘Aqaidihim wa Ahkamihim, hal: 24.
[8] Lihat usaha-usaha beliau dalam menetralisir hubungan Sunnah dan Syi’ah pada bukunya yang berjudul “as-Syi’ah wa at-Tasyayyu’”.
[9] Al-Hurru al-‘Aamili, Wasaail as-Syi’ah, 2/665. Tahziib al-Ahkam, 1/8.
[10] Lihat beberapa tafsir mu’tabar syi’ah: al-‘Iyasyi, 1/62. Al-Burhan, 1/157. As-Shafi, 1/92.
[11] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 1/143-144.
[12] Tafsir al-‘Iyaashi, 2/42. al-Majlisi, Bihaar al-Anwaar, 94/22. an-Nuuri at-Thabrisi, Mustadrak al-Wasaail, 1/371.
[13] Ibnu Babwaih, at-Taudih, hal 149.
[14]
Lihat rinciannya pada buku penulis, Mauqif az-Zaydiah wa Ahli as-Sunnah
min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha, hal: 185-190, Darul Kutub
al-Ilmiah, Beirut-Lebanon, 2009.
[15] Muhammad Husein al-Ghitah, Ashlu as-Syi’ah w aUshuluha, hala: 58.
[16] As-Sayyid Hasyim al-Bahrani, Ma’alim az-Zulfa fi Ma’arif an-Nasy’at al-Ula, hal: 249.
[17] Lihat. Wasaail as-Syi’ah, 10/318.
[18] Al-Majlisi, Biharul Anwar, 26/345.
[19] Al-Kulaini, Kitab Al-Kaafi, 2/634. (kitab ini sama kedudukannya dengan kitab shahih Bukhari disisi Ahlu Sunnah).
[20] Al-Kulaini, Kitab al-Kaafi, 1/239-240.
[21]
Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi, kitab Fashlul Khithab
Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, dinukil dari Asy-Syi’ah Wal
Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir.
[22] Biharul Anwar, 26/42.
[23] Muhammad Ibnu Jarir bin Rustum at-Thabari, Dalaail al-Imamah, hal: 27-28.
[24]
Suhuf bentuk jama’ dari Shahiifah, artinya lembaran, memiliki beberapa
sinonim dalam bahasa Arab, yaitu: Waraqah, Ruq’ah, Tirsun dan
Qirthaasun. Lihat: DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, kamus “Syawarifiyyah”,
Sinonim Arab-Indonesia, hal: 368.
[25]
Riwayat ini disebutkan di berbagai kitab-kitab Syi’ah, lihat:
al-Kulayni, al-Kaafi, 1/527-528. Ikmaal ad-Din, Ibnu Babwaih al-Qummi,
hal: 301-304.
[26] al-‘Allamah As-Sayyid Ali al-Husaini al-Milani (intelektual syi’ah kontemporer) mengarang sebuah buku yang berjudul “ عدم تحريف القرآن”
yang artinya: Tidak ada penyelewengan al-Qur’an. Buku ini dicetak oleh
Markaz al-Abhats al-‘Aqadiyyah. Sebuah pusat kajian syi’ah di Iran.
[27] Lihat: al-Wihdah al-Islamiah, hal: 33-34.
[28] Lihat
ketegasan ulama-ulama syi’ah tentang “Tahrif” dalam tafsir “as-Shaafi”,
imam al-Faidh al-Kaasyaani, tafsir “al-‘Iyasyi” imam al-‘Iyasyi.
[29] Lihat: DR. Musa al-Musawi, as-Syi’ah wa at-Tashih, hal: 131-132.
[30] Lihat : Footnote hal: 53.
[31] Al-Majlisi, Biharul Anwar, 17/155, 54/237.
[32] Ibnu Babwaih, I’tiqaadaat, hal 106-107.
[33] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 26/297.
[34] Husain bin Abdul Wahab, ‘Uyuun al-Mu’jizaat, hal, 17- 57.
[35] Hasyim al-Bahrani, Yanaabi’ al-Ma’aajiz, hal: 35-37. Madinah al-Ma’aajiz, hal 9-16.
[36] Lihat pada buku tersebut di atas hal: 58.
[37]
Untuk penjelasan rinci tentang kritikan syi’ah Zaidiyah terhadap syi’ah
Imamiyah dan syi’ah Isma’iliyah dalam masalah ini, dipersilahkan
membaca buku penulis: Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah
al-Isma’iliyah wa Falsafatuh, Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut-Lebanon,
2009.
[38] Al-Asy’ari, Maqaalaat al-Islamiyyin, 1/120.
[39] Al-Mufid, Awaail al-Maqaalat, hal 42-43.
[40] DR. Kamaluddin Nurdin, “Syawarifiyyah”, Kamus sinonim Arab-Indonesia, hal: 622.
[41]
Perlu disebutkan bahwa dalam kitab perjanjian lama hari kiamat
dinafikan, sedangkan dalam perjanjian baru hari kiamat diakui. Lihat
kajian: DR. Mohd Ali al-Khuli, al-Islam wa an-Nashraniyah, hal: 6, Darul
Fala, Yoradania, 2000.
[42]Al-Kulayni, Ushul al-Kafi, 1/409.
[43]
Lihat: Ibnu Bahwaih, al-I’tiqaad, hal: 106-107. As-Sayyid Hasyim
al-Bahrani, Ma’alim az-Zulfa fi Ma’arif an-Nasy’at al-Ula, hal: 249.
[44] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 27/79.
[45] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 60/215-218.
[46] Lihat: Maturidi, kitab at-Tauhid, hal: 305-307.
[47] Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, hal: 324.
[48] Untul Lebih jelasnya: lihat buku penulis: al-Mazahib al-‘Aqaaidiyah al-Islamiyah, Universiti Sains Islam Malaysia, 2010.
[49]
Hakikat Raj’ah diperselisihkan oleh syi’ah Imamiyah, lihat buku
penulis, al-Aqidah al-Islamiyah Fi Dhau` ad-Dirasat al-Kalamiyah, hal:
35-60.
[50]
Lihat rinciannya: DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni: al-Firaq as-Syi’iyah
wa Ushuluha as-Siyasiyah wa Mauqif Ahli Sunnah Minha, hal: 63-68,
Universiti Sains Islam Malaysia, 2009.
[51] Al-Kulaini, Ushul al-Kaafi, 1/324. al-Qadhi an-Nu’man, al-Azjuuza al-Mukhtarah, hal: 71.
[52] Lihat
rinciannya: DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli
Sunnah Min al-Aqidah al-Isma’iliyah Wa Falsafatuha, hal: 323-397, Darul
Kutub al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 2009.
[53]
Syi’ah Zaidiyah lebih dekat kepada fiqh hanafi, sedangkan dari aspek
aqidah pada awalnya lebih dekat kepada Salaf, dan dalam perkembangan
selanjutnya lebih dekat kepada Mu’tazilah.
[54] Sila rujuk beberapa kitab beliau: al-Badru ath-Thali’, 1/123. Fath al-Qadir, 4/78-280.
[55] Kitab Buhuts Fi al-Milal wan-Nihal, 7/468, dari website www.imamsadeq.org.
[56]
Untuk membedakan antara pengikut imam Zaid murni dengan yang tidak
mengikut seratus persen atau yang pengikut aliran Mu’tazilah, silahkan
membaca kajian thesis yang ditulis oleh Syarif Ahmad al-Khatib,
berjudul: “al-Imam Zaid bin Ali al-Mftaraa ‘Alai”.
[57]
“Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah Min al-Aqidah al-Isma’iliyah Wa
Falsafatuha”, hal: 29-32, Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 2009.
[58] Seperti sikap keterbukaan Syi’ah Zaidiyah terhadap Ahlu Sunnah.
[59] Lebih sukar lagi dengan Syi’ah
Isma’liyah yang dianggap keluar dari golongan Islam, dalam artian
mereka telah kafir. Sebagaimana yang disepakati oleh ulama Ahlu Sunnah
ataupun Ulama Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah sendiri, statemen
tersebut bisa dilihat dalam karya para ulama Zaidiyah, seperti : Ibnu
Hamzah al-‘Alawi dalam bukunya “Misykat al-Anwar“’, Imam ad-Dailami
dalam bukunya “Aqaid Aali Muhammad”. Dan golongan Isma’iliyyah ini
paling banyak mengadopsi filsafat Yunani khususnya Plato, dan banyak
terpengaruh dengan agama-agama Persia kuno, seperti : Zaradist, Manie
dll.
[60] Profesor
filsafat Islam di Fakultas Darul Ulum dan mantan wakil rektor
Universitas Kairo, Mesir. Dalam bukunya ”al-Falsafah al-Islamiyah fi
al-’Ashri al-Hadits”, beliau mengulas tentang perkembangan filsafat
Islam masa kini, dengan membaginya kepada dua bagian yatiu: al-Musykilat
az-Zaa`ifah, yaitu permaslahan palsu atau semu, dan al-Musykilat
al-Hakikah, yaitu permaslahan hakiki dan asasi.
[61] Lihat rincian: http://mirror.wikileaks.info/
[62]
Fatwa ini tidak ditemukan dalam empat kitab besar beliau, tapi dimuat
oleh majalah “Risalah al-Islam”, hal: 227-228, edisi ketiga, 6/1959.
dikeluarkan oleh lembaga pendekatan mazhab-mazhab Islam, Kairo. DR.
Yusuf Qardawi kurang yakin dengan fatwa tersebut bahkan beliau
menafikan keaslian adanya fatwa tersebut, namun penafian ini dapat
disangkal sebab dalam arsip ditemukan teks
ucapan fatwa tersebut bertuliskan dalam majalah “Risalah al-Islam”,
adapun Syekh Muhamad al-Ghazali dalam bukunya “Difaa’un ‘An al-‘Aqidah
wa as-Syari’ah” hal: 257, beliau mendukung sepenuhnya fatwa tersebut
dan dianggap sebagai awal persatuan umat Islam. Teks fatwa tersebut
adalah:
"إن
مذهب الجعفرية المعروف بمذهب الشيعة الإمامية الاثنا عشرية مذهب يجوز
التعبد به شرعا كسائر مذاهب أهل السنة. فينبغي للمسلمين أن يعرفوا ذلك، وأن
يتخلصوا من العصبية بغير الحق لمذاهب معينة، فما كان دين الله وما كانت
شريعته بتابعة لمذهب، أو مقصورة على مذهب، فالكل مجتهدون مقبولون عند الله
تعالى يجوز لمن ليس أهلا للنظر والاجتهاد تقليدهم، والعمل بما يقررونه في
فقههم، ولا فرق في ذلك بين العبادات والمعاملات".
[63] Muhamad Husein Fadhlullah, Masa’il Aqadiyah, hal: 110.
[64] Syekh al-Ghazali, Kaifa Nafham al-Islam, hal: 144-145.
[65] Lihat: al-Wihdah al-Islamiah, hal: 100, Muassasah al-A’alami, Lebanon.
SUMBER: http://dr-kamaluddin-nurdin.blogspot.com/2011/09/netralisasi-hubungan-sunnah-syiah.html
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya