Oleh: Sulaiman Ibrahim
Negara Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, merupakan negara hukum (Rechtsstaat)
karena terbangun dari keinginan yang lewat dari para The Founding Fathers
negara ini untuk melandaskan semua persoalan kebangsaan pada hukum yang
berlaku. Perjalanan sejarah yang cukup panjang terutama mengenai sejarah diberlakukannya
sistem politik hukum di Indonesia, telah membawa bangsa Indonesia pada sebuah
pandangan bahwa hukum itu penting tapi hal tersebut dalam implementasinya masih
menemui sejumlah kendala.
Terlepas dari persoalan
tersebut di atas, dimensi hukum di Indonesia dalam perspektif keindonesiaan berjalan bersamaan dengan
proses pembangunan nasional yang bersifat kesinambungan dimana hal tersebut
mencakupi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam
rangka menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Itulah sebabnya, dalam GBHN 1999 tertuang bahwa semua warga negara diharapkan
terbentuk dan berfungsi sesuai sistem hukum nasional yang mantap, bersumberkan
Pancasila dan UUD 1945 dengan memperhatikan kemajemukan hukum yang berlaku,
yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum,
tatanan yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta mampu mengamankan dan
mendukung pembangunan nasional yang didukung oleh aparatur hukum, sarana dan
prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum.
Dalam pembangunan nasional
terdapat beberapa asas atau prinsip pokok yang harus ditaati, dimana mengandung
pengertian bahwa penyelenggara pembangunan negara harusnya senantiasa
memberikan penyuluhan hukum terhadap masyarakat agar mereka sadar, tunduk dan
patuh terhadap dimensi hukum yang berintikan di atas nilai-nilai hukum keadilan
dan kebenaran, terutama alat penyelenggara negara kekuasaan hakim wajib dan
menjamin kepastian hukum (Soesito: 17).
Pluralisme hukum yang
berlaku di Indonesia terkadang memunculkan ketidak pastian hukum di antara
masyarakat. Ketidak pastian hukum yang dimaksud muncul diakibatkan tidak
efektifnya penyuluhan hukum itu sendiri. Karena demikian halnya, maka kesadaran
masyarakat terhadap pelaksanaan hukum masih rendah.
introduction |
Adapun gejala yang timbul
dalam masyarakat sehingga dikatakan peyuluhan hukum tidak efektif adalah wibawa
hukum menurun, artinya produk-produk hukum itu tidak direalisasikan dalam
kehidupan masyarakat. karena demikian halnya, maka wibaya hukum melamah.
Menurut Taneko Soleman B
(1993: 23); Wibawa hukum melemah dapat disebabkan oleh berbagai faktor sebagai
berikut; karena hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari
norma-norma sosial bukan hukum, misalkan sebab melemahnya sistem nilai dalam
masyarakat sebagai akibat modernisasi. Dalam hal ini, tentu saja akan
menimbulkan kesenjangan antara hukum yang berlaku dengan sistem nilai yang ada
di masyarakat.
Salah satu contoh
pelanggaran hukum yang diperbuat akibat melemahnya wibawa hukum adalah
terjadinya KKN, karena aparat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia
untuk memelihara hukum di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, fakta yang sering
ditemukan adalah terjadinya main hakim sendiri di kalangan masyarakat karena
penegak hukum lamban dalam mengambil kebijakan hukum.
Kasus seperti di atas sering
ditemukan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak
efektifnya penyuluhan hukum di tengah-tengah masyarakat yang menyebabkan
tatanan kemasyarakatan menjadi rapuh. Dalam prakteknya, efektivitas penyuluhan
hukum yang dimaksud dapat dilihat pada kalangan masyarakat Indonesia pada
umumnya dan khususnya masyarakat di kota Gorontalo.
Urgensi akan pemahaman holistik terhadap hukum
adalah sebuah hal yang tak bisa ditawar-tawar dalam sebuah masyarakat yang
menganut prinsip supremasi hukum (the rule of law). Persoalannya
adalah sebuah hal yang sangat sukar untuk memahami hukum Indonesia mengingat
berbagai kendala, utamanya diakibatkan oleh masih lemahnya tradisi akademis.
Terlepas dari berbagai ambiguitas sekaligus anomali yang menghadangnya, Masyarakat secara umum
mengenal adanya hukum dan sadar akan negara hukum, tetapi masyarakat tidak
mengetahui dan mengerti hukum sebenarnya, Kota Gorontalo, lebih parah lagi
masyarakat setempat menganggap sepeleh hukum yang ada, karena hukum bisa
terkalahkan oleh money power dan banyaknya penegak hukum melanggar
aturan itu sendiri.
Kondisi reformasi merombak
tatanan perpolitikan dan kenegaraan, tuntutan perbaikan di segala bidang
sebagai ungkapan hati nurani masyarakat, sehingga hukum-hukum yang selama ini
tidak merupakan akumulasi dari segala lapisan. Masyarakat meneriakkan hukum
transisi yang harus dibangun dari konsensus budaya dan suara masyarakat,
sehingga terkadang jemu dengan apa yang terjadi, penegak hukum tidak dapat
menjanjikan kedamaian dan keadilan, sehingga masyarakat lebih cenderung untuk
mengambil tindakan hukum sendiri.
Hal di atas juga terjadi di
tengah masyarakat di Kota Gorontalo, konflik sering terjadi, baik di kalangan
antara pemuda, orang tua, keluarga atau perang kelompok terjadi di sana sini,
tetapi tindakan preventif oleh penegak hukum seakan-akan bersifat apatis.
Anggapan ini didasarkan pada beberapa penelitian yang mengungkapkan bahwa para
penegak hukum tidak aktif dalam memberikan penyuluhan untuk meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat.
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya