Email: tafsirhadits@ymail.com / emand_99@hotmail.com

Powered By Blogger

Sabtu, 03 September 2011

Puasa, Pembinaan Akhlak, dan Sikap Umat*

Oleh: [Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA. **]

* Disampaikan dalam Khutbah ‘Idul Fithri, 1 Syawwal 1432 H/2011 M, di Masjid Istiqlal, Jakarta. ** Direktur Pusat Studi al-Qur’an, Jakarta.

9x الله أكبر الله أكبر الله أكبر
الله أكبر كبيرا و الحمد لله كثيرا و سبحان الله بكرة وأصيلا
لا إله إلا الله هو الله أكبر٬ الله أكبر ولله الحمد
الله أكبر٬ صدق وعده و نصر عبده و أعز جنده و هزم الأحزاب وحده
لا إله إلا الله هو الله أكبر٬ الله أكبر ولله الحمد
الله أكبر كلما هطل الغمام و ناح الحمام٬ و كلما ارتفعت الأعلام
WAN QADHA AL A’WAAM
الله أكبر كلما ارتقى فوق المنبر إمام وختم كالأمس شهر الصيام
الله أكبر الله أكبر ولله الحمد
و نشهد ربنا أنك أنت الله لا إله إلا أنت بعثت محمدا رسولا بشيرا ونذيرا
فصل اللهم    على سيدنا محمد وعلى آله و صحبه وسلم تسليما كثيرا
عباد الله أوصيكم و نفسي بتقوى الله فإنه النجاة غدا و المنجاة أبدا
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, wa Lillâhil Hamd
Dengan takbir dan tahmid, mengagungkan dan memuji Allah, kita melepas Ramadhan, yang semoga menempa hati, mengasuh jiwa, serta mengasah nalar kita sebulan lamanya.
Hari demi hari, selama bulan Ramadhan, kita berupaya membentuk kepribadian kita agar menjadi insan berakhlak mulia melalui pembiasaan meneladani sifat-sifat Allah, karena dalam pandangan Islam, bahkan agama-agama samawi, tolak ukur keluhuran akhlak adalah sifat-sifat Allah swt. yang tecermin dalam al-Asmâ’ al-Husnâ.
Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan peta-Nya, demikian termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian: 26-27). Sedang dalam bahasa hadits Nabi Muhammad saw.:
إن الله خلق آدم على صورته
Sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas peta-Nya.”
Keduanya berarti manusia dianugerahi Allah potensi, yang bila diasah dan diasuh dengan baik, akan menjadikannya berhasil meneladani sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk.
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, wa Lillâhil Hamd
Saudara! Cara yang paling ampuh guna pembentukan akhlak adalah pembiasaan. Dengan berpuasa itu kita berusaha membiasakan diri melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengantar kita merealisasikan pesan Nabi saw.:
تخلقوا بأخلاق الله
Berakhlaklah dengan akhlak Allah.”
Itu kita lakukan bermula dengan pengendalian diri dalam pemenuhan kebutuhan fa‘ali; tidak makan, tidak minum, dan tidak melakukan hubungan suami istri pada waktu tertentu, bahkan memberi pangan; karena Allah tidak makan dan tidak minum—tapi memberi pangan—dan tidak juga memiliki pasangan. Lalu, upaya itu ditingkatkan dengan meneladani sifat-sifat-Nya yang lain melalui pembiasaan hati dan pikiran menghindari segala sesuatu yang berdampak negatif, seperti angkuh, iri hati, culas, dan marah bukan pada tempatnya, sekaligus membiasakan diri melakukan hal-hal positif, hingga pada akhirnya pembiasaan-pembiasaan tersebut melahirkan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, bahkan kecerdasan-kecerdasan lainnya, seperti kecerdasan memahami diri, orang lain, dan lingkungan. Puncaknya adalah kecerdasan memahami wujud dan keesaan Allah, lalu menemukan dan menaati serta mengagumiNya. Demikian itu syariah puasa, yang bila dilakukan dengan baik dan benar, dapat mewujudkan manusia utuh yang berpadu dalam dirinya sifat-sifat terpuji sejalan dengan al-Asmâ’ al-Husnâ, yakni sifat-sifat Allah yang Mahaindah dan Maha Terpuji.
Memang, akhlak terbentuk melalui pembiasaan. Ia dibangun oleh pengetahuan, pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman itu. Kepribadian dan karakter yang baik merupakan interaksi seluruh totalitas manusia. Karakter terpuji merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada diri seseorang yang ditandai oleh sikap dan perilaku positif. Karena itu, ia berkaitan sangat erat dengan kalbu. Bisa saja seseorang memiliki pengetahuan yang dalam, tetapi tidak memiliki karakter dan akhlak terpuji, sebaliknya bisa juga seseorang yang amat terbatas pengetahuannya, namun karakternya amat terpuji.
إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله و إذا فسدت فسد الجسد كله ألا و هي القلب
Sesungguhnya dalam diri manusia ada suatu gumpalan, kalau ia baik, baiklah seluruh (kegiatan) jasad, dan kalau buruk, buruk pula seluruh (kegiatan) jasad. Gumpalan itu adalah hati.
Memang, ilmu tidak mampu menciptakan akhlak atau iman, ia hanya mampu mengukuhkannya. Karena itu, mengasuh kalbu sambil mengasah nalar akan memperkukuh karakter seseorang, apalagi jika didukung oleh pembiasaan sebagaimana pembiasaan berpuasa.
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, wa Lillâhil Hamd

Kita diperintahkan untuk mengumandangkan takbir pada hari Raya Idul Fithri, hari  kelahiran kembali fithrah kita. Bukan saja karena keyakinan akan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah fithrah manusia, tetapi juga karena keyakinan itu  adalah “Al-Mabda’ dan Al-Maad “, adalah pangkalan tempat bertolak dan pelabuhan tempat bersauh. Para nabi – kesemuanya tanpa kecuali –  membangkitkan kesadaran manusia tentang asal usul dan tujuan mereka. Dari mana mereka datang dan kemana kesudahan mereka.
قولوا لا إله الا الله تفلحوا
“Hayatilah Lailah Illah Allah kalian akan memeroleh keberuntungan.”
كل امر ذي بال لا يبدء فيه ببسم الله فهو أقطع
“Segala aktivitas yang tidak dimulai dengan Basmalah maka aktivitas itu puntung.”
Memang, ilmuwan pun berpesan, “Mulailah aktivitas Anda dengan menghadirkan dalam benak tujuan akhir Anda.”  Demikian antara lain Steven R. Covey menyebutkan dalam tujuh kunci suksesnya.
Perhatian  utama yang dihujamkan oleh para  Nabi adalah tanggung jawab atas seluruh  wujud yang terjangkau oleh manusia.  Tanggung jawab kemasyarakatan hanyalah sebagian darinya. Agama pun memberi tolok ukur baik dan buruk.
Saudara! Tolak ukur akhlak mulia adalah sifat-sifat Allah Yang Maha Esa itu, yang hendaknya diteladani oleh manusia sesuai kemampuan dan kapasitasnya sebagai mahkluk. Itu agaknya salah satu sebab mengapa kita diperintahkan untuk melepas Ramadhan dan menyambut ‘Idul Fithri dengan bertakbir dan bertahmid, yakni menghunjamkan dalam lubuk hati dan pikiran kita yang terdalam tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, seperti Maha Kasih, Maha Pemaaf, Maha Damai, Maha Adil, Maha Mengetahui, yang كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ “Setiap saat dalam urusan melayani kepentingan penghuni semua langit dan bumi” (QS. ar-Rahmân [55]: 29).
Saudara! Masyarakat yang pandangan hidupnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak dapat menjadikan kekuatan “si kuat” sebagai tolok ukur kebajikan dan akhlak mulia, karena Tuhan Yang Maha Esa itu, bukan hanya Tuhan buat mereka yang kuat, tetapi juga Tuhan mereka yang lemah. Memang, boleh jadi pembela pandangan ini akan berkata bahwa kekuatan nurani harus dapat menghancurkan tirani, dan dari sini kekuatan tetap menjadi tolok ukur akhlak mulia. Namun demikian, mereka lupa bahwa membela orang sakit berbeda dengan membela penyakit, dan bahwa memelihara yang sakit adalah sekaligus memelihara yang sehat, memelihara yang lemah justru merupakan pembelaan bagi yang kuat. Di sisi lain, agama tidak memuji kelicikan untuk meraih kekuatan atau kemenangan, bahkan agama menilai yang kalah dalam persaingan dan menerimanya secara ksatria lebih terpuji daripada yang menang dan meraih kekuatan dengan cara licik dan tidak sportif.
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, wa Lillâhil Hamd
Nilai yang dikandung oleh kalimat takbir yang kita kumandangkan ini merupakan satu prinsip lengkap menembus semua dimensi yang mengatur seluruh khazanah fundamental keimanan dan aktivitas manusia. Dia adalah pusat yang beredar di sekelilingnya sejumlah orbit unisentris. Ia serupa dengan matahari yang beredar di sekelilingnya planet-planet tata surya. Di sekeliling Tauhid itu beredar kesatuan-kesatuan yang tidak boleh berpisah atau memisahkan diri dari Tauhid, sebagaimana halnya planet-planet tata surya itu.
Saudara! Kenyataan membuktikan bahwa kesadaran akan kehadiran Allah selalu berdampingan dengan keadilan, yakni penempatan segala sesuatu pada tempatnya. Apabila keadilan telah terpenuhi, maka tidak ada lagi seseorang yang lebih kuat daripada yang lain, karena semua telah menjadi kuat dengan dan bersama Allah:
القوي منكم ضعيف حتى آخذ الحق منه والضعيف منكم قوي حتى أرد الحق إليه
“Yang kuat di antara kamu lemah, sampai aku merebut kembali hak pihak lain yang dirampasnya dan yang lemah menjadi kuat sampai haknya yang dirampas kembali kepadanya.”
Demikian antara lain ucap Sayyidina Abubakar ash-Shiddiq ketika menerima tanggung jawab menerima jabatan Khalifah .
Saudara! Allah berpesan:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah atau kelupaannya menjadikan mereka lupa diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. al-Hasyr [59]: 19).
Ini juga menjadi sebab mengapa dalam ‘Idul Fithri—“hari kembali kepada jati diri”—kita diperintahkan untuk mengumandangkan kalimat takbir agar kita tidak melupakan jati diri kita sebagai makhluk yang menyatu dalam dirinya debu tanah dan ruh Ilahi.
Dengan menyatunya jiwa dan raga, menyatu pula ucapan dengan bisikan hati, kata dengan perbuatan dan langkah menuju tujuan. Perpaduan ruh dan jasad dalam diri manusia mengantarnya menjadi manusia utuh sehingga tidak terjadi pemisahan antara keimanan dan pengamalan agama, tidak juga antara perasaan dan perilaku, perbuatan dengan moral, idealitas dengan realitas, dunia dengan akhirat. Akan tetapi, masing-masing merupakan bagian yang tak terpisahkan dan saling melengkapi. Jasad tidak mengalahkan ruh dan ruh pun tidak merintangi kebutuhan jasad. Kecenderungan individu memperkukuh keutuhan kolektif dan kesatuan kolektif mendukung kepentingan individu. Pandangan tidak hanya terpaku di bumi dan tidak juga hanya mengawang-awang di angkasa.
Manusia yang ber-‘Idul Fithri, atau dengan kata lain, yang menyatu kepribadiannya akan ditemukan teguh dalam keyakinan. Teguh tetapi bijaksana, senantiasa bersih menarik walau miskin, selalu hemat dan sederhana walau kaya, murah hati dan murah tangan, tidak menghina dan tidak mengejek, tidak berjalan menyebarkan fitnah, tidak menghabiskan waktu dalam permainan, tidak menuntut yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang lain. Ucapannya melipur lara, membawa manfaat. Diamnya pertanda tafakkur dan pandangannya alamat i’tibar. Bila beruntung ia bersyukur, bila diuji ia bersabar, bila bersalah ia istighfar, kalau ditegur ia menyesal, dan kalau dimaki ia berucap: “Bila makian Anda benar maka semoga Allah mengampuniku, dan bila keliru maka kumohon Tuhan mengampuni”. Demikian menyatu seluruh tuntunan kebaikan menyatu dalam dirinya, lahir dan batin!
Kesadaran akan Wujud dan Keesaan Allah itulah yang menghasilkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan yang menurut filosof dan ulama Islam kenamaan Muthahary merupakan peringkat kedua ajaran Islam. Manusia bukanlah hewan yang yang memertahankan hidupnya secara licik dan memusnahkan yang lain dalam perjuangan hidup. Ia adalah makhluk yang tercipta dari ruh Ilahi yang  memiliki kesadaran tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa, sehingga walau ia tercipta dari  debu tanah, yang mengantarnya cenderung untuk berlezat-lezat jasmani bahkan merusak atau berbuat kejahatan, tetapi dia dikarunia juga kesucian yang sungguh bertentangan pertumpahan darah, kepalsuan , kekejian dan  kehinaan.
Kemanusian yang adil dan beradab itulah yang mendorong Persatuan, menumbuhsuburkan Kerakyatan, dan membuahkan Keadilan Sosial. Kesadaran tentang nilai-nilai tersebut, yang merupakan salah satu sebab mengapa dalam rangkaian ‘Idul Fithri, setiap Muslim, kecil atau besar, kaya atau miskin, berkewajiban menunaikan Zakat Fithrah yang merupakan simbol dan pertanda kepedulian sosial dan lambang kesediaan memberi hidup bagi orang lain.
Saudara! Nilai-nilai agama dan moral memiliki aneka fungsi. Pertama, menjadi pendorong bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kedua, ia merupakan kekuatan penunjang bagi peningkatan partisipasi dan kreasi anggota masyarakat. Dan Ketiga, menjadi isolator yang membendung dan/atau menyeleksi ide dan paham yang dibawa masuk oleh era globalisasi. Ketiga hal ini kait-berkait. Kalau diibaratkan dengan listrik, yang pertama adalah penambahan daya, yang kedua adalah kesinambungan cahaya, sedang yang ketiga adalah pemeliharaannya.
Nilai-nilai moral dan kepercayaan itu juga yang mengundang kepercayaan pihak lain, yang pada gilirannya membuahkan integritas pelaku, trust (kepercayaan) pihak lain, bahkan reputasi masyarakat bangsa.  Itulah yang kini populer dinamai modal sosial.
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, wa Lillâhil Hamd
Saudara! Kalau dalam menetapkan kewajiban puasa -hari demi hari- al-Qur’an menyatakan bahwa tujuannya adalah “La‘allakum Tattaqûn” ( لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ) dalam arti agar kita menghindari segala yang berpotensi membawa bencana duniawi dan ukhrawi, maka dalam konteks penyelesaian kewajiban puasa sebulan penuh dan hadirnya Idul Fithri, dinyatakan-Nya: “Wa La‘allakum Tasykurûn” ( وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ), yakni “dengan harapan kamu bersyukur” (QS. al-Baqarah [2]: 185).
Syukur pada mulanya digunakan oleh bahasa aslinya (baca: bahasa Arab) untuk menunjuk tumbuhan yang hanya memperoleh sedikit air namun tumbuh subur mempersembahkan yang banyak. Dari sini syukur dipahami dalam arti sikap batin seseorang, yang bila menerima sesuatu dari siapa pun, kendati sedikit, namun ia menganggapnya banyak, dan bila memberi sesuatu, kendati banyak, ia masih menganggapnya sedikit. Sikap ini pada gilirannya menjadikannya beraktivitas positif untuk memanfaatkan semua nikmat yang diperolehnya sesuai dengan tujuan penganugerahan nikmat itu. Karena itu para pakar berkata: “Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap embusan angin yang bertiup di udara, setiap tetes hujan yang tercurah dari langit, semua harus disyukuri dan dimanfaatkan sebisa mungkin, karena semua akan dipertanggungjawabkan kelak di Hari Kemudian; “Tsumma Latus’alunna Yauma’idzin ‘anin Na‘îm” (ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِِ )  (Q.S.al-Takatsur [102]:8
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, wa Lillâhil Hamd
Kalau kita pandai bersyukur, kita akan giat bekerja menanggulangi problema kita sesuai dengan hakikat makna syukur sehingga kesejahateraan dapat merata dan bertambah sesuai janji Allah yang diumumkan-Nya;
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
Jika kamu bersyukur pasti Kutambah nikmat-Ku (QS. Ibrâhîm [14]: 7). Ini pada gilirannya akan mengurangi keluhan yang kita dengar atau cetuskan.
Kalau kita pandai bersyukur, kita akan mengakui persembahan pihak lain, walau persembahan itu sedikit, bukannya menafikannya dan menilainya nihil atau sedikit, karena  من لا يشكر الناس لا يشكر اللهSiapa yang tidak pandai bersyukur kepada manusia, maka dia tidak dinilai bersykur kepada Allah.”
Itulah sebagian nilai-nilai yang digarisbawahi al-Qur’an dalam konteks puasa dan ‘Idul Fithri.  Nilai-nilai yang bila diindahkan tidak hanya membuahkan budi pekerti luhur tetapi juga kesejahteraan lahir dan batin.
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, wa Lillâhil Hamd
Saudara! Kemajuan ekonomi sangat penting, tetapi yang harus didahulukan serta selalu berbarengan dengan upaya peningkatannya adalah nilai-nila agama dan moral. Pandangan ini bukan hanya dicetuskan oleh sekian banyak ulama dan pakar Muslim, tetapi juga telah diteriakkan oleh pakar-pakar filsafat Barat dan pemerhati sosial.
Auguste Comte (1798-1798 M ), filosof Prancis, bersama sekian banyak pemikir lainnya, ketika menyadari betapa materialisme dan kebebasan pribadi telah sedemikian merasuk dalam masyarakat Prancis setelah revolusi, menyatakan bahwa:
Sekian banyak kekuatan, selain kekuatan ekonomi dan politik, yang harus mendapat perhatian; bahkan, perbaikan di bidang ekonomi dan politik bergantung pada perbaikan di bidang akhlak. Karena itu pula yang terlebih dahulu harus diperbaiki—sebelum yang lain—adalah akhlak.
Nilai-nilai akhlak dan moral melahirkan modal sosial yang akan mampu memfungsikan ekonomi modern dan membentuk institusi politik yang bersih dan benar. Sebaliknya, mengabaikannya merupakan benih kehancuran masyarakat:
إنما الأمم الأخلاق ما بقيت فإن همو ذهبت أخلاقهم ذهبوا
Maksudnya:
Kelanjutan eksistensi satu masyarakat ditentukan oleh tegaknya moral anggota masyarakat itu dan kepunahannya terjadi pada saat keruntuhan moralnya.”
Kalau nilai-nilai moral terabaikan, maka yang menonjol adalah ego masing-masing, dan ketika itu bagi masyakarat tersebut akan terjadi apa yang diistilahkan oleh al-Qur’an dengan “Habithat A‘mâluhum” (حبطت أعمالهم) , yakni terjadi “pembengkakan” pada sosok masyarakat, yang secara lahiriah diduga sebagai tanda kesehatan/kemajuan, padahal pembengkakan itu adalah tumor ganas yang mengantar kematiannya.
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, wa Lillâhil Hamd
Saudara-saudara para ‘Â’idîn dan ‘Â’idât.
Persoalan yang kita hadapi bukannya ketiadaan nilai yang dapat mensejahateraan kita, tetapi ketidak atau kekurang mampuan kita merekat nilai-nilai tersebut dalam diri dan kehidupan bermasyarakat. Memang masyarakat bukan sekadar kumpulan sekian banyak individu, tetapi masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu yang terbentuk berdasar tujuan bersama. Ini karena setiap individu lahir dalam keadaan hampa budaya, lalu masyarakatnya yang membentuk budayanya. Budayanya itu lahir dari nilai-nilai yang mereka anut.
Nilai-nilai itulah yang membentuk kepribadian anggota masyarakat; semakin matang dan dewasa masyarakat, semakin mantap pula pengejawantahan nilai-nilai tersebut. Masyarakat yang belum dewasa adalah yang belum berhasil dalam pengejewantahan nilai-nilainya, sedang masyarakat yang sakit adalah yang mengabaikan nilai-nilai tersebut.
Untuk menyukseskan misi Nation and Character Building, kita tidak harus memulai dari sesuatu yang besar dan luas. Kita juga tidak harus memulai langkah kita dengan merambah ke dan di dalam wilayah yang bukan wilayah kita. Kita dapat memulainya dari diri kita masing-masing, lalu keluarga kita, serta apa yang berada dalam wewenang dan tanggung jawab kita. Itu pun kita lakukan dengan pembiasaan sehingga tanpa terasa ia menjadi kebiasaan dan ketika itu akan kalah bisa oleh biasa.
Salah satu kekurangan—kalau enggan berkata kekeliruan—kita dewasa ini adalah melakukan pemisahan antara dimensi jasadiah manusia dan dimensi ruhaniahnya, sehingga lahir manusia-manusia yang terpecah kepribadiannya. Bahkan, tidak jarang masyarakat kita melakukan pembiasaan-pembiasaan yang menciptakan dorongan bagi lahirnya karakter yang tidak sejalan dengan jati diri kita sebagai bangsa yang religius dan berfalsafah Pancasila.
Saudara! Ada orang, bahkan ada masyarakat, yang sakit tetapi sadar bahwa mereka sakit. Ada juga yang sakit, tetapi tidak menyadari penyakitnya. Yang lebih parah lagi adalah mereka sakit, para dokter pun telah mendiagnosis dan memberinya obat yang tepat, obatnya sudah di tangan mereka, tetapi mereka enggan menelannya. Tetapi masyarakat yang amat sangat kronis penyakittnya adalah yang obatnya dibuang atau dia lecehkan. Ini dikecam keras oleh Al-Quran. Umat Islam diperintahkan menghindari mereka:
وَذَرِ الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَعِبًا وَلَهْوًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
Tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama /pandangan hidup mereka sebagai bahan permainan dan senda-gurau, Mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia.  (Q.S. al-An’am :[6]:70).
Semoga  masyarakat kita tidak termasuk yang dimaksud oleh ayat ini. Namun bagaimanapun keadaan satu masyarakat – kronis penyakitnya atau ringan– yang pasti adalah kita  harus yakin dan optimis bahwa   kebenaran dan kebaikan adalah poros sistem wujud dan masyarakat manusia, dan bahwa kejahatan, kepalsuan dan kemunkaran tidak memiliki  kenyataan mendasar dan tidak memiliki topangan internal. Tokoh-tokoh kemunafikan diibaratkan oleh Al-Quran   bagaikan “khusyubun musan-nnadah (خشب مسندة) –  kayu yang tegak karena ditopang oleh faktor eksternal. Ia  adalah pohon tanpa akar, sehingga kalau ia wujud, wujudnya kebetulan dan bersifat sementara.  Ia diibaratkan oleh Al-Quran sebagai buih yang menyertai arus.
فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
Adapun buih maka ia  akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; sedangkan yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (Q.S. ar-Ra’ed [13]:17).
Karena  itu kita semua, masyarakat luas lebih-lebih pemimpin  formal dan nonformal, harus dapat menanamkan optimisme dengan bekerja keras menjelaskan nilai-nilai luhur yang kita anut, antara lain, melalui keteladanan serta pembiasaan-pembiasaan positif. Dalam pandangan agama: “Tuhan memberi kemampuan kepada Pemerintah meluruskan yang keliru serta mendorong kepada kebenaran melebihi kemampuan tuntunan-tuntunan-Nya yang termaktub dalam kitab suci”.
إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآن
Sesungguhnya Allah mencegah melalui penguasa apa yang tidak tercegah melalui al-Qur’an.”  Yakni  melalui   kekuasaan yang bijaksana dan kekuatan yang yang berada dalam wewenang mereka, sekian banyak hal dapat tercapai atau tertanggulangi. Karena itu, kata orang-orang bijak:
لو كانت لنا دعوة مستجابة لدعونا بها لأئمتنا
Seandainya kami tahu persis bahwa ada satu doa kami yang pasti dikabulkan Allah, maka itu akan kami gunakan untuk mendoakan pemimpin-pemimpin-kami.”
Saudara! Mari kita berdoa semoga para pemimpin kita selalu mendapat bimbingan dan kekuatan dari Allah swt sehingga diperlihatkan kepada mereka kebenaran dan diberi kemampuan untuk melaksanakannya dan diperlihatkan juga keburukan dan diberi kemampuan untuk menghindari dan menghindarkan masyarakat darinya.
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, wa Lillâhil Hamd
Saudara! Nabi Muhammad saw. bersabda: الدين النصيحةAgama adalah ketulusan.” Ketika Beliau ditanya: “Terhadap siapa tertuju ketulusan itu? Beliau menjawab: “Kepada Allah, kepad Kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, kepada pemimpin-pemimpin, dan kepada masyarakat luas.”
Saudara! Mari bersikap tulus kepada pemimpin-pemimpin kita sebagaimana kita mengharap agar mereka pun tulus kepada kita, masyarakat luas. Mari kita dukung mereka dengan  tulus dalam kebenaran dan menegur mereka dengan  halus bila mereka keliru.
يبقى الود ما بقي العتاب
“Keharmonisan hubungan akan tetap terjalin selama masih ada kritik membangun yang sopan dan halus.”
Mari kita jadikan bulan Ramadhan dan ‘Idul Fithri, sebagai  momentum untuk membina dan memperkukuh ikatan kesatuan dan persatuan kita, menyatu padukan hubungan kasih sayang antara kita semua, sebangsa dan setanah air.
Saudara! hidup di dunia ini hanya sementara. Kita tak tahu kapan kita dipanggil Allah.  Mari kita mengukir nama baik kita dan nama baik bangsa kita agar langgeng sepanjang masa, bahkan langeng dalam kehidupan di akhirat. Marilah dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang, dan dengan muka yang jernih, serta dengan tangan terulurkan, kita saling maaf memaafkan, sambil mengibarkan bendera as-Salâm, bendera kedamaian di tanah air tercinta, bahkan di seluruh penjuru dunia.
اللهم أنت السلام ومنك السلا م وإليك يعودالسلام فحينا ربنا بالسلام وادخلنا الجنة دار السلا م تباركت ربنا و تعاليت ياذا الجلال والإكرام
“Ya Allah, Engkaulah as-Salâm (kedamaian), dari-Mu bersumber as-Salâm, dan kepada-Mu pula kembalinya, Hidupkanlah kami, Ya Allah, di dunia ini dengan as-Salâm, dengan aman dan damai, dan masukkanlah kami kelak di negeri as-Salâm (surga) yang penuh kedamaian, Mahasuci Engkau, Mahamulia Engkau, Yâ Dzal Jalâli wal Ikrâm”.
الله أكبر 7

الله أكبر٬ الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا

لا إله إلا الله هو الله أكبر٬ الله أكبر ولله الحمد

إلهنا تم نورك فهديت٬ فلك الحمد وعظم حلمك فعفوت فلك الحمد٬ و بسطت رزقك فأعطيت ي فلك الحمد٬

عباد الله اتقواالله وصلوا على المصطفى نبي الله٬ اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آله و صحبه أجمعين     ربنا آتنا في الدنيا حسنة و في الآخرة حسنة و قنا عذاب النار

جعلنا الله و إياكم ممن يستمعون القول فيتبعون أحسنه٬ الله أكبر الله أكبر ولله الحمد