Jika dikaji secara mendalam, teori Tâhâ maupun
Syahrûr tersebut, jika dikaji secara mendalam, menurut penulis, tampak
relevansinya dengan al-maslahah (kemaslahatan), Maqâsid al-Syarî`ah, yakni
tujuan-tujuan syariat dalam perumusan dan penetapan hukum Islam.
Rekonstruksi Penafsiran
Kajian terhadap hukum Islam terus berkembang --meski
pernah mengalami masa kemandekan (kejumudan), ketika taqlîd berkembang-- baik
berkaitan dengan aspek normatifnya maupun aspek implementatifnya (tatbîq), dan
dalam rupa apresiasi maupun kritik terhadapnya, dilakukan oleh kalangan Muslim
maupun kalangan non-Muslim/orientalis. Hal itu, karena hukum Islam merupakan
salah satu pilar di antara tiga pilar yang fundamental (penting) dalam
Islam. Pentingnya hukum Islam ini sendiri juga diakui oleh salah seorang
orientalis terkemuka, Joseph Schacht, yang menyatakan, “Islamic law is the
epitome of Islamic thought, the most typical manifestation of the Islamic way
of life, the core and kernel of Islam itself” , bahwa hukum Islam
merupakan lambang pemikiran Islam, manifestasi paling tipikal dari pandangan hidup
Islam serta merupakan inti dan titik sentral Islam itu sendiri. Kajian terhadap
hukum Islam agar dapat responsif dan aplikatif untuk memenuhi kebutuhan bagi
masyarakat menjadi semakin intensif di zaman modern ini, di mana terjadi
perubahan-perubahan sosial yang dihadapi kaum muslimin yang berkaitan dengan
berbagai masalah hukum Islam.
Permasalahan-permasalahan yang terkait dengan
perubahan sosial tersebut misalnya, tentang murtad dan hukumannya dalam konteks
kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia (HAM); kebebasan menjalankan
ajaran keagamaan/ajaran Islam menurut sekte/mazhab yang diyakini oleh
pengikutnya, misalnya bagaimana hukumnya orang yang berpegang pada keyakinan
dan amalan yang dijalankan oleh kelompok Ahmadiyah, mengenai adanya kenabian paska
Nabi Muhammad wafat, khususnya meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad merupakan
nabi. Masalah peran gender/kedudukan wanita dalam Islam (hukum Islam), di mana
terdapat dominasi atau diskriminasi gender oleh laki-laki terhadap perempuan:
perempuan tidak punya peran yang signifikan dalan ruang publik, misalnya
menjadi imam shalat Jum’at. Masalah jihâd/perang, bom bunuh diri, otopsi,
euthanasia, dan sebagainya. Pada pokoknya permasalahan tersebut berkaitan erat
dengan term yang populer dengan HAM.
Dalam konteks inilah, hukum Islam klasik (fiqh
tradisional) dipandang kurang sesuai lagi diterapkan dalam menjawab
permasalahan kontemporer di atas. Persoalannya karena hukum Islam klasik
tersebut memang diproduk (dirancang) untuk menjadi jawaban problem yang muncul
pada masanya, kala itu, yang sangat terbatas dan bersifat lokal. Meskipun
demikian, menjadi masalah krusial dan amat disayangkan, terdapat kenyataan
bahwa hukum fiqh klasik di atas masih dijadikan rujukan bahkan pedoman terutama
oleh kalangan yang berhaluan radikal dan konservatif. Penekanan haluan ini
didasarkan pada pendekatan/paradigma formalistik daripada pendekatan/paradigma
substantif. Padahal ketika orientasi atau concern hukum Islam diarahkan pada
bentuk-bentuk formalnya yang disebut sebagai formalisme (formalism), maka akan
mengakibatkan permasalahan serius, membahayakan bagi kehidupan yang tenteram,
terutama dalam kehidupan masyarakat yang plural, karena Islam bukanlah sekadar
bentuk-bentuk formal hukuman namun utamanya yang menjadi titik tekannya adalah
substansi atau tujuan hukum itu sendiri, yang intinya adalah untuk kemaslahatan
manusia. Berkaitan dengan itulah, Fazlur Rahman menegaskan “What is injurious
to a living faith and a living society is not forms but formalism”, bahwa
yang membahayakan terhadap keimanan yang hidup (dinamis) dan masyarakat yang
hidup (dinamis) bukanlah bentuk-bentuk formal, namun formalisme
(aliran/orientasi bentuk-bentuk formal simbolik). Akibatnya yang muncul adalah
penafsiran hukum Islam tampak tidak humanis (manusiawi), karena kaku dan tidak
fleksibel. Padahal Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi semesta alam
(rahmah li al-`âlamîn).
Untuk itulah, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh
dalam menghadapi masalah di atas. Salah satu bentuk upaya dan jawaban terhadap
kompleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini adalah dengan
melakukan reaktualisasi, revitalisasi ajaran Islam atau rekonstruksi penafsiran
doktrin Islam. Reaktualisasi ajaran Islam dalam suatu arti, dapat dinyatakan
sebagai upaya yang didorong oleh penilaian terhadap keadaan doktrin agama yang
ada dan kaum muslimin sebagai belum memuaskan untuk menggali apa yang diyakini
sebagai standar-standar Islam yang benar agar dapat dipedomani kaum muslimin
dalam beradaptasi dengan konteks masa kini yang terus berubah.
Konsepsi tentang reaktualisasi/revitalisasi maupun
rekonstruksi penafsiran ajaran Islam tersebut mengimplikasikan bahwa
penafsiran-penafsiran ajaran Islam yang masih dominan yang ada sekarang berasal
dari upaya mengadaptasikan ajaran tersebut ke dalam situasi masa lampau. Karena
itu, penafsiran tersebut telah terlalu dipengaruhi oleh proses perkembangan
historis dan kultural. Jadi, reaktualisasi/revitalisasi maupun rekonstruksi
penafsiran berarti melepas beban-beban sejarah dan budaya itu guna diberi
alternatif-alternatif baru yang diharapkan lebih responsif, kontekstual, dan
selaras dengan kebutuhan manusia. Dengan kata lain, warisan keagamaan Islam
tradisional banyak yang dipandang tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan zaman.
Reaktualisasi maupun rekonstruksi
penafsiran ajaran Islam ini bisa dilakukan dengan cara merumuskan teori yang
relevan dengan tujuan-tujuan Islam (Maqâsid al-Syarî`ah). Oleh karena itu,
berbagai teori untuk ijtihâd alternatif, yang diusulkan para pemikir kontemporer
dari berbagai disiplin ilmu, perlu diapresiasi secara baik, dan dikembangkan
lebih lanjut.
Paradigma Maqâsid al-Syarî`ah
Kata Maqâsid al-Syarî`ah merupakan gabungan dari dua
kata maqâsid (bentuk jamak dari maqsûd), yang berarti tujuan-tujuan, dan syarî`ah,
yang berarti jalan, --dalam arti luas ajaran Islam. Secara bahasa maqâsid
al-Syarî`ah berarti tujuan-tujuan Syarî`ah. Tujuan Syarî`ah pada intinya
adalah kemaslahatan (al-masâlih) yang bersifat langgeng, universal, dan umum
(abadiyyan wa kulliyyan wa `âmman). Secara lebih luas kemaslahatan itu
berupa keadilan, rahmat, kebijaksanaan, dan kemaslahatan itu sendiri, yang
merupakan tujuan utama Syarî`ah. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar
Islam mengenai kemaslahatan ini secara garis besarnya telah tercantum dalam
al-Qur’ân. Al-Qur’ân adalah totalitas syarî`ah, mata air kebijaksanaan, dan
sumber Syarî`ah. Sebuah kitab yang menjadi way of life umat Islam sepanjang
masa untuk kemaslahatan mereka baik di dunia dan akhirat.
Berdasarkan kerangka inilah, Syarî`ah menjadi
integral dengan tujuan Syarî`ah itu sendiri, yang intinya berupa keadilan,
rahmat, kebijaksanaan, dan kemaslahatan. Dalam pengertian ini, segala bentuk
penyimpangan dari prinsip-prinsip atau maqâsid al-Syarî`ah ini bukanlah
Syarî`ah. Dengan demikian, Syarî`ah itu tidak dapat dipisahkan dari
tujuannya (maqâsid al-Syarî`ah).
Paradigma Maqâsid al-Syarî`ah perlu mendapat
penekanan dalam setiap teori ijtihâd alternatif, sebab kajian terhadap maqâsid
al-Syarî`ah itu sendiri dapat memperkaya dan memperkuat pemikiran Islam
kontemporer, serta mengarahkan kepada sasaran yang tepat. Intinya,
signifikansi paradigma Maqâsid al-Syarî`ah adalah untuk mengarahkan suatu
kesimpulan hukum yang tepat sasaran, yakni memberikan kemaslahatan bagi
manusia. Dalam konteks inilah, al-Syâtibî (w. 790/1388), seorang ulama
progresif mazhab Mâlikî, menyatakan, bahwa “Siapa saja yang tidak mendalam
pengetahuan atau wawasannya tentang maqâsid al-Syarî`ah, justeru ia memahami
Syarî`ah tidak sesuai dengan tujuan yang dikehendaki Syarî`ah itu sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep maqâsid
al-Syarî`ah itu sendiri ternyata terus mengalami pengembangan. Maqâsid
al-Syarî`ah semakin dikembangkan lagi muatannya, bukan hanya memuat
al-kulliyyah al-khamsah (lima prinsip Syariat universal): hifz al-dîn
(memelihara agama), hifz al-nafs (memelihara jiwa/kehidupan), hifz al-nasl
(memelihara keturunan), hifz al-`aql (memelihara akal), dan hifz al-mâl
(memelihara harta), tetapi juga memuat al-`adâlah (keadilan), al-musâwah (egalitarian),
al-hurriyyah (kebebasan), al-huqûq al-ijtimâ`iyyah wa al-iqtisâdiyyah (hak-hak
sosial dan perekonomian).
Pada masa sekarang, al-kulliyyah al-khamsah,
menurut Jamâl `Atiyyah, dapat dikembangkan menjadi empat segmen: segmen
individu (majâl al-fard), keluarga (majâl al-usrah), umat (majâl al-ummah), dan
kemanusiaan (majâl al-insân).
Penekanan pada Maqâsid al-Syarî`ah dewasa ini menjadi
semakin signifikan untuk kebutuhan proyek Islam. Dalam konteks inilah, Walid
Saif menegaskan bahwa proyek Islam harus ditekankan pada prinsip-prinsip Islam
dan tujuan Syarî`ah (Maqâsid al-Syarî`ah) untuk memproduk sebuah model modern
bagi kemajuan dan peradaban yang merefleksikan nilai-nilai universalnya. Hal
ini pada esensinya merupakan proses kesejarahan yang dapat dicapai dengan
pencerahan (enlightenment), partisipasi aktif dalam urusan-urusan dunia,
produksi pengetahuan dan akumulasi kemajuan-kemajuan dalam seluruh level
kehidupan sosial (masyarakat).
Penekanan pada Maqâsid al-Syarî`ah tersebut
sebenarnya telah menjadi trend pemikiran yang telah berlangsung mulai abad
ke-20 Masehi. Dalam penelitian David Johnston dan Wael B. Hallaq,
pendekatan yang menekankan pada Maqâsid al-Syarî`ah tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua alur, kecenderungan atau model, yaitu model ”religius
utilitarianism” (utilitarianisme religius)/pendekatan maqâsidî
(“purposeful”/“purposive”) dan model ”religious liberalism” (liberalisme
religius).
Pendekatan utilitarian/pendekatan maqâsidî dalam
teori hukum Islam adalah teori yang berangkat dari tujuan-tujuan hukum wahyu
(Maqâsid al-Syarî`ah) dan bergerak dari yang general kepada yang spesifik,
bukan hanya menggunakan pertimbangan kepentingan publik (maslahah) dan
kemestian/ eniscayaan (darûrah) sebagai perangkat-perangkat pembimbing ke arah
perumusan hukum, tetapi juga mendasarkan pada perintah-perintah etis
(imperatives ethical) seperti keadilan (justice), dan terlebih lagi, perdamaian
dan rekonsiliasi. Sedangkan pendekatan kelompok kedua (religious
liberalisme) berpijak pada pengungkapan pemahaman wahyu baik teks dan
konteksnya. “Ini berarti bahwa hubungan antara teks wahyu dan masyarakat modern
tidak didasarkan pada penekanaan hermeneutika literalist, namun lebih pada
interpretasi spirit dan (penekanan) atau tujuan utama yang terdapat di balik
bahasa spesifik teks.”
Menurut Hallaq, secara teologis kedua kecenderungan
(model) penafsiran hukum di atas mengambil kerangka yang luas dari doktrin
keagamaan yang diajukan oleh Muhammad `Abduh. Keduanya juga mencanangkan
tujuan yang sama, yakni perumusan kembali teori hukum dalam suatu cara yang
membawa pada sintesa nilai-nilai keagamaan dasar Islam yang berhasil, pada satu
sisi, dan suatu hukum substantif yang cocok untuk kebutuhan masyarakat modern
yang sedang berubah, pada sisi lain. Metode-metode yang mereka gunakan untuk
sampai pada tujuan ini berbeda secara signifikan. Para utilitarianis keagamaan
menusliskan teori mereka terutama dalam hubungannya dengan kepentingan umum
(maslahah al-`âmmâh), yang secara tradisional merupakan suatu prinsip penerapan
yang agak terbatas yang meskipun demikian telah mereka perluas untuk
menjadikannya sebagai komponen terdepan dari teori dan metodologi hukum. Para
utilitarianis ini memberi kontribusi terhadap serangkaian prinsip-prinsip
partikular yang diletakkan oleh para fuqahâ’ awal dan Abad Pertengahan (sekitar
750-1350 M.). Akan tetapi, menurut Hallaq, mereka menanamkan prinsip ini secara
agak nominal (dangkal) yang dengannya mereka telah memanipulasi dan malah
menyusun kembali prinsip-prinsip itu ke arah yang lebih maju.
Para liberalis religius pada satu sisi membuang
seluruh prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh para fuqahâ’ tradisional dan
pemaknaan mereka, meskipun jauh dari perkembangan yang baik, merupakan fenomena
baru dalam Islam. Akan tetapi bukanlah asumsi-asumsi substantif mereka.
Tampaknya mereka telah mengambil aspek rasional dari tesis `Abduh bersama-sama
dengan warisan yang ada di belakangnya dan dalam hal ini Abduh mungkin diklaim,
secara paradoks, sebagai bapak ideasional kaum utilitarianis, dan sekaligus
moderat intelektual yang jauh dari kaum liberalis.
Sejumlah pemikir yang termasuk dalam model pertama
adalah Muhammad `Abduh (w. 1905), Rasyîd Ridâ (w. 1935), `Abd al-Wahhâb
Khallâf, (w. 1956), Muhammad Abû Zahrah, semuanya asal Mesir, `Allâl al-Fâsî
(w. 1963), pemikir asal Maroko, Muhammad Sa`îd Ramadân al-Bûtî (l. 1929), asal
Syiria, dan Hassan Turabî, Mahmûd Muhammad Tâhâ (w. 1985), keduanya asal Sudan.
Sedangkan yang termasuk dalam model kedua adalah Muhammad Sa`îd `Asymâwî, ahli
hukum Mesir, Fazlur Rahman (w. 1988), sarjana dan pembaru Pakistan, dan
Muhammad Syahrûr, pemikir liberal asal Syiria. Pada bagian berikut hanya
akan dibahas pemikiran hukum Tâhâ dan Syahrûr.
Teori Naskh Tâhâ dan Nazariyyat al-Hudûd Syahrûr
Teori Naskh Mahmûd Muhammad Tâhâ, reformis asal
Sudan, termasuk dalam model religious utilitarianism, sedangkan
Nazariyyat al-Hudûd (Teori Batas) Muhammad Syahrûr, masuk dalam kategori
model religious liberalism.. Teori naskh Tâhâ, dipandang `Abd Allâh Ahmad
al-Na`îm --seorang muridnya yang gencar mempromosikan dan mengembangkan
pemikiran gurunya ini--, sebagai suatu model yang relevan bagi pembaruan
metodologi pemahaman Islam, dan Nazariyyah al-Hudûd Syahrûr, dianggap Hallaq
sebagai upaya reformulasi teori hukum yang paling menyakinkan. Kedua teori atau
pendekatan alternatif ini dapat dipandang sebagai upaya reformulasi teori atau
pendekatan penafsiran hukum Islam agar dapat memadai –dalam menghadapi
tantangan zaman.
Pemikiran Tâhâ mengenai naskh di atas ini menekankan
pada prinsip-prinsip universal seperti kebebasan (al-hurriyyah, freedom)),
kesetaraan (al-musâwah, equality), dan keadilan (al-`adâlah, justice).
Berdasarkan prinsip kebebasan, dia menegaskan bahwa perbudakan yang masih
terdapat dalam pesan pertama Islam, bukanlah ajaran murni Islam; al-hijâb
bukanlah ajaran murni Islam, yang merupakan ajaran murni Islam adalah
al-sufur, karena sesuai dengan prinsip kebebasan. Sebab tujuan Islam
adalah `iffah (kesucian) yang terletak dalam hati. Menurut Tâhâ, prinsip
kebebasan dalam Islam ini adalah mutlak. Kebebasan mutlak ini merupakan hak
setiap individu sebagai manusia (HAM), tanpa memandang agama ataupun etinisnya.
Namun, perlu digaribawahi, bahwa kebebasan mutlak ini merupakan hak yang harus
diimbangi dengan kewajiban. Hak tersebut harus diimbangi dengan kewajiban, dan
kewajiban tersebut adalah menggunakan kebebasan secara baik. Kebebasan menjadi
terbatas hanya ketika kebebasan tidak diimbangi dengan sikap konsisten dengan
kewajibannya. Dalam kondisi seperti ini, kebebasan dicabut untuk kemudian
dibatasi dengan batas-batas di mana ia tidak sanggup (untuk menjalankannya),
dan dicabut dengan undang-undang (UU). UU dalam Islam adalah suatu peraturan
yang memiliki kemampuan untuk memadukan antara kebutuhan individu terhadap
kebebasan mutlak individual dengan kebutuhan kelompok terhadap keadilan sosial
yang menyeluruh. UU ini tidak mengorbankan individu untuk kepentingan kelompok,
dan tidak pula mengorbankan kelompok untuk kepentingan individu, tetapi
merupakan undang-undang yang seimbang antara keduanya. Jadi, kebebasan akan
terwujud ketika UU tersebut diaplikasikan, dengan segala bagian-bagiannya,
kepentingan individu dan kepentingan kelompok secara bersama-sama, dalam satu
sistem yang sama.
Prinsip kesetaraan yang berwujud kesetaraan ekonomi
(economic equality), kesetaraan politik (political equality) dan kesetaraan
sosial (social equality), menjadi landasan untuk membentuk masyarakat yang baik
(the good society). Berdasarkan prinsip keadilan, misalnya, poligami yang
masih ada dalam pesan atau misi pertama Islam, bukanlah ajaran murni Islam.
Prinsip-prinsip tersebut dijadikan bingkai/kerangka yang disebutnya dengan
istilah pesan kedua Islam (al-risâlah al-tsâniyyah min al-Islâm, the second
message of Islam), yang bersifat permanen, terkandung dalam ayat-ayat
Makkiyah, yang tepat diterapkan pada abad XX-an ini, menggantikan pesan pertama
Islam yang lebih bersifat temporer, seperti ketentuan-ketentuan hukum Islam
abad VII hijrah.
Pemikiran Tâhâ di atas banyak dipengaruhi oleh teori
Maslahah al-Syâtibî. Maslahah dalam pemikiran Tâhâ diletakkan dalam teori
naskh-nya tentang hukum-hukum yang prinsipil (usûl) dan hukum-hukum yang cabang
(furû`). Tâhâ menekankan bahwa wahyu Makkah yang pertama adalah berwujud prinsip-prinsip
(usûl al-Qur’ân) yang tetap (tidak berubah, qat`î), sedangkan wahyu hukum yang
termasuk dalam surat-surat Madaniyyah adalah cabang-cabang turunannya (furû`
al-Qur’ân), yang sifatnya tidak tetap (ghair qat`î). Tâhâ berpendapat
bahwa wahyu Madaniyyah yang berasal dari hukum-hukum yang prinsipil itu
mewakili aturan-aturan yang sesuai bagi masyarakat di mana wahyu al-Qur’ân itu
diturunkan. Sebagaimana al-Syâtibî, pemahamannya pada hukum-hukum Islam
yang prinsipil di atas bersandar pada penafsiran kembali (reinterpretasi)
terhadap konsep naskh. Menurut Tâhâ, pembatalan ayat-ayat al-Qur’ân
tidaklah dimaksudkan permanen, namun lebih karena penerapannya itu dimaksudkan
untuk ditunda sampai masyarakat siap memahami dan menerima pesan Islam yang
benar. Hukum-hukum yang bersifat historis dari wahyu Madaniyyah,
menurutnya, tidak hanya menghilangkan keaslian pengikatannya di bawah situasi
yang mengalami perubahan, bahkan harus dirubah ketika penerapan hukum-hukum
yang prinsipil itu dapat dicapai.
Menurut Tâhâ, masyarakat kontemporer telah
meningkatkan perluasan agar ketentuan-ketentuan hukum dalam ayat-ayat
Madaniyyah di atas bisa terjadi. Namun, dalam hal ini, sebagaimana
kebanyakan juris Islam, Tâhâ mengecualikan ketentuan-ketentuan seputar `ibâdât
dari adanya perubahan, namun ia berpendapat bahwa hukum-hukum yang berkaitan
dengan perbuatan-perbuatan ibadat mungkin mengalami perubahan. Misalnya, zakât
adalah sebuah kewajiban yang tetap (tidak berubah), namun ukuran-ukuran zakat
harus ditafsirkan dalam kerangka aturan-aturan prinsipil atas pemerataan
kesejahteraan.
Menurut al-Na`îm, implikasi utama dari argumen Tâhâ
di atas terkait dengan maksud studi pembaruan metodologi pemahaman Islam, di
mana hukum publik Syarî`ah selama ini lebih didasarkan pada al-Qur’ân dan
Sunnah periode Madinah daripada masa Makkah. Hal ini dilakukan oleh para ahli
hukum perintis melalui proses naskh, dengan berpegang pada teks-teks al-Qur’ân
dan Sunnah periode Madinah untuk mengganti dan menghapus --demi tujuan hukum
positif Syarî`ah-- semua teks periode Makkah yang tidak sesuai dengan
diturunkan sebelumnya. Masalahnya apakah naskh itu permanen, yang dengan
demikian teks-teks Makkah yang lebih awal tidak dapat dipraktekkan di masa
depan. Menurut Tâhâ, ini tidaklah mungkin! Sebab jika demikian halnya, maka
tidak ada gunanya pewahyuan teks-teks tersebut (mubadzir, sia-sia belaka). Ia
juga berpendapat bahwa membiarkan naskh (dalam arti menghapuskan pesan-pesan
teks-teks Makkah) menjadi permanen berarti membiarkan umat Islam menolak bagian
dari agama mereka yang terbaik. Ia menjelaskan bahwa naskh secara esensial
merupakan proses logis dan dibutuhkan dalam penerapan teks-teks yang tepat dan
menunda penerapan teks yang lain sampai saat memungkinkan penerapan teks itu
tiba.
Dalam konteks itulah, maslahah dipahami sebagai
aturan-aturan prinsipil yang tidak mengalami perubahan. Menerapkan hukum dari
pesan-pesan Islam yang prinsipil itulah, menurut Tâhâ, harus menerima maslahah
individual dan maslahah publik. Dia memimpikan agar penggunaan penafsiran
hukum Islamnya itu mengantarkan sebuah masyarakat pada kesetaraan, sosialisme,
dan demokrasi, nilai-nilai yang dia terima sebagai pesan Islam yang prinsipil
sebagaimana yang diwahyukan dalam surat-surat Makkiyah.
Teori naskh Tâhâ di atas relevan dijadikan sebagai
salah satu metode ijtihâd alternatif. Argumentasinya adalah karena teori naskh
ini berpijak kuat pada prinsip-prinsip ajaran Islam yang merupakan maqâsid
al-Syarî`ah, yang sifatnya qat`î, dalam pengertian tepat diterapkan untuk
segala ruang dan waktu. Selain itu, karena teori naskh tersebut berasal dan
berakar kuat dari tradisi Islam, meskipun penggunaan term naskh itu berbeda.
Dengan berakar pada tradisi Islam, teori naskh tersebut diasumsikan
(diharapkan) mempunyai signifikansi yang lebih dapat diterima oleh kalangan
Muslim sendiri. Dalam faktanya, teori naskh Tâhâ sangat relevan dengan
HAM yang menjadi tuntutan dewasa ini. HAM itu sendiri, jika ditelusuri secara
teliti, dalam kajian keislaman, inspirasinya berasal dari konsep maslahah/maqâsid
al-Syarî`ah.
Adapun Teori Batas Syahrûr dapat dijelaskan bahwa
perintah Tuhan yang diekspresikan dalam al-Kitâb dan al-Sunnah
mengatur/memberikan batas yang lebih rendah (al-Hadd al-Adnâ, a Lower Limit)
dan batas yang lebih tinggi (al-Hadd al-A`lâ, a Upper Limit) kepada seluruh
perbuatan-perbuatan manusia, Batas Bawah mewakili ketentuan hukum minimum dalam
sebuah kasus tertentu (partikular), dan Batas Atas yang merupakan batasan
maksimumnya. Batasan minimum tersebut adalah ketentuan yang diperkenankan
secara hukum, dan tak ada sesuatu yang melebihi batasan maksimum yang mungkin
diterima menurut hukum. Ketika batasan-batasan ini dipentingkan,
hukuman-hukuman menjadi dapat dijamanin, sesuai dengan ukuran pelanggaran
(kesalahan) yang dilakukan.
Syahrûr membagi 6 (enam) tipe Batas berikut.
Pertama, yang
merupakan batasan yang lebih rendah (Batas Bawah) ketika ia berdiri sendiri
(hâlat al-hadd al-adnâ), seperti larangan al-Qur’ân (al-Nisâ’/4: 22-23)
menikahi ibu, saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, dan dari pihak ibu,
dll., Yang disebutkan ini sebagai batas minimal yang dilarang dinikahi,
di mana perempuan kerabat yang selain disebut dalam ayat itu, atau tidak ada
hubungan keluarga boleh dinikahi.
Kedua,
batasan yang lebih tinggi (Batas Atas) ketika ia berdiri sendiri (hâlat al-hadd
al-a`lâ), seperti dalam ayat (al-Mâ’idah/5: 38) tentang hukuman potong tangan,
yang merupakan batas atas maksimal. Hukuman di atas ini tidak diperkenankan.
Ketiga, tipe
hukum yang mempunyai Batas Bawah dan Batas Atas yang saling berhubungan (hâlat
al-hadd al-adnâ wa al-hadd al-a`lâ ma`ân), seperti dalam ayat (al-Nisâ’/4: 11)
tentang warisan, di mana anak laki-laki batas maksimal atas 66,6 % dan
perempuan minimal mendapat 33,3 %, tetapi bisa mendapatkan bagian lebih bahkan
bisa sama dalam kondisi tertentu.
Keempat,
hukum yang sekaligus mempunyai Batas Atas dan Batas Bawah dalam satu titik
secara bersamaan (hâlat al-hadd al-adnâ wa al-hadd al-a`lâ ma`ân `lâ nuqtah
wâhidah ay hâlat al-mustaqîm aw hâlat al-tasyrî` al-`ainî), seperti hukuman
(QS. al-Nûr/24: 2) terhadap perempuan dan laki-laki yang berzina, dengan
seratus kali cambukan (yang merupakan batas minimal sekaligus juga batas
maksimal).
Kelima, tipe
hukum yang mempunyai curva yang bergerak antara Batas Bawah dan Batas Atas
saling mendekati namun tidak saling bersinggungan/bersentuhan (hâlat al-hadd
al-a`lâ bi khatt muqârib li mustaqîm, ay yaqtarib wa lâ yamuss), seperti
larangan (QS. al-Isrâ’/17: 32) “mendekati” zina merupakan batasan maksimal yang
tak boleh dilampaui.
Keenam, hukum
yang mempunyai curva yang bergerak antara Batas Atas yang positif dan Batas
Bawah negatif (hâlat al-hadd al-a`lâ mûjîb mughliq lâ yajûzu jawâzuhu, wa
al-hadd al-adnâ sâlib yajûzu tajâwazuhu), seperti dalam hal-hal yang berkaitan
dengan keuangan/moneter: pembayaran pajak, memberikan pinjaman yang bebas
(tanpa) keuntungan/tambahan (giving an interest-free loan), dan pinjaman
(utang) dengan mendapatkan keuntungan/tambahan (giving a loan with interest).
Dua batas itu menggambarkan ribâ sebagai batas atas yang tetap, dan zakat
sebagai batas bawah yang meniadakan, batas ini dapat dilampaui dengan cara
shadakah dan dengan sesuatu yang ada mûjib dan sâlib-nya di mana ada tipe nol
di antara keduanya, yakni tipe yang memuat riba “al-mûjib” dan qard hasan
“al-sifr” (nol), zakat dan sedekah ‘sâlib”. Ada tiga keadaan untuk memberikan
harta yang dapat dilakukan sesuai kecenderungan tempat berada dan kondisi orang
yang mengambil harta itu. Keadaan inilah yang merupakan riba dan sedekah
(sadaqât).
Dalam Teori Batas Syahrûr, kemaslahatan dibingkai
dengan batasan yang terdapat dalam ketentuan yang tersebut dalam suatu nass.
Kemaslahatan yang diambil tetap harus berada dalam lingkaran kemaslahatan yang
ditunjuk oleh nass, -- dalam konsep usûl al-fiqh konvensional disebut
maslahah mu`tabarah, mekipun tidak harus persis sama dengan ketentuan eksplisit
nass. Adapun kasus hukum yang tidak ada ketentuan eksplisitnya dalam nass,
dalam hal ini kemaslahatan yang ada di dalamnya masuk dalam kategori masâlih
mursalah. Konsep masâlih mursalah ini juga digunakan Syahrûr dalam kasus
demikian.
Teori Batasnya Syahrûr di atas menggunakan Sunnah
sepadan dengan al-Kitâb. Sunnah, dalam pandangannya, merefresentasikan sebuah
model metodologi hukum. Sunnah --dinyatakannya secara jelas, sebagaimana
al-Kitâb, tidak memberikan ketentuan secara niscaya terhadap kasus-kasus hukum
spesifik dan kongkret, tetapi lebih menyediakan jalan metodologi (minhâj) untuk
konstruksi sebuah sistem hukum. Bagian-bagian dalam Sunnah yang demikian adalah
kondusif untuk membuat metodologi, dan Teori Batas yang akan diambil sebagai
sesuatu yang sangat relevan. Hal itu, tidak akan diambil sebagai sesuatu yang
ekslusif begitu dari kehidupan pribadi Nabi dan sebagai yang tidak mengikat
seorang pun, tapi mengikat mereka yang hidup pada masa beliau.
Terlepas dari al-Kitâb dan ketetapan-ketetapannya
dari Sunnah yang relevan dengan Teori Batas, Syahrûr menolak seluruh
“sumber-sumber” hukum tradisional yang dianggap usang dan menindas, selain
al-Qur’ân/al-Kitâb dan al-Sunnah). Syahrûr menolak Qiyâs dan Ijmâ’
(konsensus). Di sini kita perlu memberikan penghargaan kepada Syahrûr karena
dia dapat melepas qiyâs dengan menetapkan pengganti dalam Teori Batas. Konsep
konsensus yang ia akui hanyalah satu, yaitu, ketika mayoritas penduduk memilih
suatu hukum yang disepakati dan ketika usul itu dipandang sebagai hukum, maka
mayoritas penduduk yang telah memilih tersebut harus bertanggung jawab terhadap
implikasinya. Hukum itu meskipun berubah, sepanjang bergerak di antara
batas-batas dan tidak keluar darinya, tetap dapat diikuti. Atas dasar ini, bagi
Syahrûr ide konsensus tradisional dianggap bersifat dugaan (wahmî) dan tidak
mengikat kaum Muslim zaman modern. Yang bersifat mengikat pada zaman
modern ini adalah konsensus mayoritas penduduk pada masa ini pula.
Terdapat pertanyaan esensial yang mengemuka dengan
sendirinya adalah: bagaimana Syahrûr menghubungkan kasus-kasus hukum yang
terjadi dan tidak terdapat (ketentuannya) di dalam teks-teks wahyu? Syahrûr
menjawabnya secara simpel: jika Tuhan menginginkan membuat ketentuan terhadap
masalah-masalah ini, Dia (tentu) melakukannya. Tetapi, bahwa Dia tidak
melakukannya, berarti bahwa Dia bermaksud membiarkannya kepada kita agar kita
menentukan hukum-hukumnya bagi kita sendiri. Seluruh masalah-masalah itu
ditempatkan oleh para juris tradisional di bawah lingkup masâlih mursalah,
seperti masalah pajak pendapatan, bea cukai, dan lainnya, yang semuanya harus
ditentukan aturannya sendiri oleh sebuah otoritas pemerintahan atau lainnya.
Negara dan masyarakatlah yang menetapkan ketentuannya terhadap
persoalan-persoalan yang tidak diatur ketentuannya oleh nass. Dalam masalah
pajak, misalnya, Batas Bawah adalah nol (zero), sedangkan Batas Atasnya (harus)
ditentukan sesuai dengan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang cocok dengan
suatu tempat dan waktu tertentu.
Teori Batas Syahrûr tersebut dihasilkan melalui
pembacaan kontemporer (qirâ’ah mu`âsirah) terhadap konsep al-Qur’ân dan Sunnah
(tepatnya pembacaan hermeneutika hukum al-Qur’ân kontemporer). Melalui
pembacaannya terhadap ayat-ayat al-Qur’ân ia menemukan kandungan dua istilah
yaitu hanîfiyyah dan istiqâmah. Hanîfiyyah diartikan oleh Syahrûr sebagai
penyimpangan dari jalan yang lurus. Istiqâmah, sebagai lawan hanîfiyyah,
berarti mengikuti jalan yang lurus.
Dua istilah itu integral dalam pesan Islam, menjadi
hubungan dialektik dan saling berdampingan. Kelengkungan merupakan kualitas
alamiah dalam arti ia merupakan hakikat alam manusia dalam eksistensinya berupa
materi atau dunia obyektif. Hukum fisika mengatakan bahwa sesuatu tidak bisa
terjadi secara lurus. Dalam kerangka persepsi hukum alam ini kelengkungan
(curvature) terlihat sebagai sifat gerak tidak lurus. Begitu pula kebiasaan,
adat, dan tradisi sosial bisa eksis secara harmonis dalam suatu masyarakat
tertentu dan bisa berubah dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Istiqâmah, sesuai dengan kondisinya untuk mengontrol perubahan yang terjadi
pada suatu masyarakat, menjadi sangat penting. Dengan istiqâmah, pesan hukum
akan bisa dipertahankan. Menurut Syahrûr, istiqâmah bukanlah merupakan sifat
alam (hanîfiyyah), tetapi lebih sebagai ketentuan Tuhan untuk bersama-sama
(dengan hanîfiyyah) mengatur masyarakat.
Hubungan antara hanîfiyyah dan istiqâmah sepenuhnya
dialektis, kesatuan dan perubahan, yang saling mengikat. Dialektika ini
diperlukan karena hal itu menunjukkan bahwa hukum itu bisa atau dapat
beradaptasi di setiap waktu dan tempat (sâlih likulli zamân wa makân).
Untuk menjustivikasi proyek hermeneutiknya tersebut,
Syahrûr memaparkan sebuah diskursus filsafat tentang hubungan antara
“al-kainûnah” (kondisi berada; das Sein; Being), “al-sairûrah” (kondisi
berproses; der Prozess; the process), dan al-sairûrah (kondisi menjadi; das
Werden; Becoming). Dari relasi ketiga kondisi ini, menurutnya, muncul secara
terus-menerus suatu hukum yang disebutnya dengan istilah ‘hukum dialektika
negatif’ (qanûn al-nafy wa nafy al-nafy; ‘hukum negasi dan penegasian negasi’).
Hukum negasi ini berarti bahwa A adalah A, tetapi juga bukan A, atau dengan
kata lain: dialektika internal. Teori dialektika tersebut dikaitkan Syahrûr
dengan pemahaman terhadap al-Tanzîl al-Hakîm. Dari sinilah kemudian Syahrûr
memandang pemahaman dan aplikasi Nabi Muhammad terhadap hukum al-Tanzîl
al-Hakîm, yang biasa dikenal dengan al-sunnah al-nabawiyyah (Sunnah Nabi),
bukan sebagai “wahyu kedua,” melainkan hanya sebagai “pemahaman awal” terhadap
al-Tanzîl al-Hakîm, dalam arti bahwa ia bersifat terbatas dan relatif.
Berdasarkan pemaparan Syahrûr dalam bukunya, sebagaimana disimpulkan oleh
Sahiron Syamsuddin, penerjemah bukunya tersebut, ia menggunakan paling tidak
dua macam metode inti dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ân.
Metode-metode yang dimaksud ialah (1) analisis linguistik semantik, dan
(2) penerapan ilmu-ilmu eksakta modern, seperti matematika analitik, teknik
analitik dan teori himpunan. Aplikasi metode yang kedua ini misalnya dia
terapkan dalam menafsirkan ayat-ayat waris. Singkat kata dua metode
Syahrûr mempengaruhi pengambilan hukum dalam hal masalah yang terkait.
Menurut Hallaq, dari seluruh usaha untuk
mereformulasi teori hukum, baik dari aliran utilitarisnisme religius maupun
liberalisme religius, pandangan-padangan Syahrûr, hingga kini paling
meyakinkan, walaupun pandangan Rahman tidak tertinggal jauh. Menurut
Hallaq, ”puncak keberhasilan dari suatu metodologi hukum bergantung tidak
hanya integritas intelektual dan tingkat kepintaran dalam berteori akan tetapi
bergantung juga pada kemungkinan dibuatnya metodologi hukum itu dalam konteks
sosial”. Inilah letak perbedaan lain yang mungkin dapat dibuat antara apa yang
disebut Hallaq dengan kaum utilitarianis (dan sebaiknya tidak menyebut ide-ide
itu dengan teori-teori atau metodologi-metodologi) sedikit banyak telah
terimplementasikan dalam sistem-sistem hukum di banyak negara-negara Islam.
Pada kenyataannya, mazhab `Abduhlah yang telah memainkan peranan utama dalam
membawa bentuk perubahan-perubahan. Kaum utilitarianis belakangan, seperti al-Fâsî
dan Khallâf, telah merasionalisasikan kemapanan, daripada menelorkan suatu
teori hukum baru atau merumuskan sebuah metodologi. Di lain pihak, pemikir
aliran keagamaan liberalis seperti Syahrûr ternyata telah menemui tantangan
keras dari sebuah kelompok pergerakan Islamis asli yang kuat dan besar. Syahrûr
merupakan salah satu dari pemikir liberalis religius yang secara khusus
menawarkan konsepsi hukum dan metodologi hukum baru yang telah dibuktikan,
namun hingga kini masih asing bagi mayoritas umat Islam.
Perbandingan
Baik teori Tâhâ maupun Syahrûr, jika dikaji secara
mendalam, menurut penulis, tampak relevansinya dengan al-maslahah
(kemaslahatan), Maqâsid al-Syarî`ah) atau tujuan-tujuan syariat dalam perumusan
dan penetapan hukum Islam. Dalam kedua teori tersebut, tampaknya kemaslahatan
menjadi standar bagi penafsiran hukum. Meskipun demikian, terdapat perbedaan di
antara kedua teori tersebut. Pada teori naskh Tâhâ metode penafsiran hukumnya
jelas-jelas didasarkan pada prinsip-prinsip Islam atau Maqâsid al-Syarî`ah yang
ditarik dari ayat-ayat Makkiyah yang bersifat qat`î (tidak mengalami perubahan)
melalui penerapan naskh terhadap ayat-ayat Madaniyyah yang sifatnya zannî
(tidak tetap). Sedangkan pendekatan penafsiran hukum yang digunakan Syahrûr
adalah hermeneutika, di samping juga pendekatan/metode “metaforik saintifik”
yang diadopsi dari ilmu-ilmu eksakta metaforik, ilmu eksakta/matematika modern,
yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Rene Descartes, yang memadukan antara
hiperbola (al-kamm al-muttasil) dan parabola (al-kamm al-munfasil), dalam soal
penafsiran ayat-ayat waris. Selain itu, ia juga menggunakan matematika analitik
terhadap konsep keturunan (diferensial/al-musytaq) dan integral (al-takâmul)
yang digagas oleh Newton, teknik analitik dan teori himpunan (nazariyyat
al-majmû`ât), di samping juga matematika klasik masih digunakan.
Jika dilihat dari paradigma Maqâsid al-Syarî`ah, maka
dalam beberapa hal Teori Batas Syahrûr masih terkekang dengan teks-teks qat`î
dalam pengertian konvensional, yang implikasi hukumnya, tidak bisa lepas dari
wilayah teks. Meskipun demikian, kesimpulan hukum yang ditarik melalui Teori
Batas ini relatif fleksibel, sebab hukum dapat bergerak antara Batas Bawah dan
Batas Atas, namun tidak dapat keluar dari batasan ini. Misalnya, tentang
poligami, Syahrûr membolehkan, dengan syarat-syarat yang ketat: perempuan yang
dipoligami harus janda dan memiliki anak yatim, serta berlaku adil, di mana
persyaratan ini didasarkan pada penafsiran terhadap ayat terkait. Tujuan dari
persyaratan ini adalah untuk tercapainya kemaslahatan khususnya bagi anak yatim
tersebut. Kemaslahatan itu sendiri merupakan Maqâsid al-Syarî`ah.
Sedangkan teori Naskh Tâhâ tampak jelas dan konsisten
berpegang pada prinsip keadilan, maka poligami ini, menjadi diharamkan, karena
dianggap tidak mencerminkan ajaran dasar Islam, berupa keadilan. Tujuannya agar
tercapai kemaslahatan bagi si perempuan, sehingga dapat membentuk keluarga yang
sakinah mawaddah wa rahmah.
Penutup
Teori Naskh Tâhâ dan Teori Batas Syahrûr, sebagai
model pembaruan pemikiran hukum Islam perlu dikembangkan lebih lanjut. Salah
satu bentuk yang dapat diusulkan adalah reformulasi al-maslahah. Bahwa
dalam konsep al-maslahah konvensional, apa yang dikategorikan sebagai maslahah
mulghah, padahal banyak yang sesuai dengan maqâsid al-Syarî`ah, seperti
keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan, menjadi diabaikan, yang implikasi
hukumnya adalah hukum itu tidak sejalan dengan tujuan hukumnya itu sendiri,
yang berintikan keadilan, rahmat, kebijaksanaan, dan kemaslahatan. Padahal
inilah yang menjadi tuntutan manusia di zaman modern dewasa ini.
Sumber: http://graduate.uinjkt.ac.id/index.php/en/publikasi/artikel-sps/4-teori-naskh-mahmud-muhammad-taha-dan-nazariyyat-al-hudud-muhammad-syahrur
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya