Oleh.
Dr. Oman Fathurahman[*]
“…It is works such as these that the
Muslim elite wrote for themselves and each other. It is from a study of such works
in their regional settings that a clearer and perhaps more worthy understanding
of Islam in Southeast Asia may be won…” (Johns 1976: 55).
Mempertimbangkan perkembangan
kajian-kajian Islam Nusantara, hingga kini ada bidang kajian yang sesungguhnya
potensial dan menarik tetapi belum mendapat perhatian serius dari kalangan
akademisi kajian Islam (Islamic studies). Bidang tersebut adalah kajian Islam
yang berbasiskan pada manuskrip-manuskrip Islam Nusantara.
Yang dimaksud dengan manuskrip di
sini adalah semua rekaman informasi yang ditulis tangan oleh seseorang tiga
sampai empat ratus tahun yang lalu. Pengertian ‘manuskrip’ dalam konteks ini
merupakan lawan kata dokumen yang diproduksi melalui mesin cetak atau alat
sejenis.
Berdasarkan penelitian awal atas
sejumlah koleksi, manuskrip Islam Nusantara memang dijumpai dalam jumlah besar,
dan ditulis dalam berbagai bahasa lokal seperti Melayu, Jawa, Sunda, Wolio, dan
lainnya, selain tentu saja manuskrip berbahasa Arab.
Umumnya, secara fisik
manuskrip-manuskrip tersebut kini dalam kondisi memprihatinkan dan sangat
rentan mengalami kemusnahan, baik karena faktor alam maupun akibat kecerobohan
manusia.
Kajian terhadap manuskrip-manuskrip
Islam Nusantara mempunyai beberapa keuntungan strategis sekaligus:
Pertama, dapat menggali kekhasan serta dinamika Islam dan
masyarakat Muslim lokal, karena manuskrip Islam Nusantara, selain menggunakan
bahasa Arab, ditulis dalam berbagai bahasa lokal seperti Aceh, Bali, Batak,
Belanda, Bugis-Makasar-Mandar, Jawa & Jawa Kuna, Madura, Melayu,
Minangkabau, Sanskerta, Sasak, Sunda dan Sunda Kuna, Ternate, Wolio,
Bahasa-bahasa Indonesia Timur, Bahasa-bahasa Kalimantan, dan Bahasa-bahasa
Sumatra Selatan, sehingga mengkajinya berarti akan menjadi semacam ‘jalan
pintas’ untuk mengetahui pola-pola hasil interaksi dan pertemuan Islam dengan
budaya-budaya lokal di Nusantara, yang tentunya menjadi kekayaan intelektual
tersendiri.
Kedua, kajian atas manuskrip-manuskrip Islam Nusantara dengan
sendirinya akan menjadi bagian dari upaya pelestarian (preservation) benda
cagar budaya Indonesia demi menjaga identitas kemajemukan, kebangsaan, dan
menjamin keberlangsungan transmisi pengetahuan yang telah diwariskan sejak
ratusan tahun lalu.
Ketiga, keberhasilan memetakan kejayaan tradisi intelektual Islam
Nusantara pada gilirannya dapat menunjukkan kepada dunia internasional bahwa
Nusantara bukanlah wilayah pinggiran (peripheral part), melainkan bagian tak
terpisahkan (integral part), dari dunia Islam secara keseluruhan.
Sejarah Kebudayaan Indonesia selama
berabad-abad telah mewariskan khazanah tertulis berupa manuskrip-manuskrip
Nusantara yang jumlahnya sangat berlimpah. Merujuk pada Undang-undang Cagar
Budaya No. 11 Tahun 2010, sebuah manuskrip tulisan tangan dapat dikategorikan
sebagai benda cagar budaya bila telah berusia minimal 50 (lima puluh) tahun,
serta memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan.
Kandungan isi manuskrip Nusantara
sendiri memang sangat luas dan tidak terbatas pada kesusastraan saja, tetapi
mencakup berbagai bidang lain seperti agama, sejarah, hukum, politik
kesultanan, resolusi konflik, adat istiadat, obat-obatan, teknik, dan
lain-lain, sehingga akan sangat relevan sebagai bahan pengetahuan umum dalam dunia
pendidikan di Indonesia.
Sejumlah upaya inventarisasi dan
katalogisasi berkaitan dengan dunia pernaskahan Nusantara yang dilakukan
belakangan ini menunjukkan bahwa kategori manuskrip keagamaan Islam (Islamic
manusripts) terdapat dalam jumlah besar, dan dijumpai dalam berbagai bidang
keilmuan Islam, seperti tafsir, hadis, tauhid, fikih, tasawuf, kalam, dan
lain-lain.
Terbukti pula bahwa jaringan lembaga
pendidikan Islam tradisional, seperti surau di Minangkabau, dayah di Aceh, dan
pesantren di Jawa, ternyata juga menyimpan khasanah manuskrip keagamaan Islam
tersebut dalam berbagai bahasa, seperti Arab, Melayu, Jawa, Sunda, dan
bahasa-bahasa lokal Indonesia lainnya.
Dalam konteks masyarakat akademik internasional,
manuskrip Islam telah mendapatkan perhatian besar, baik untuk bidang
pelestariannya sebagai benda cagar budaya, maupun sebagai sumber primer
penelitian dan kajian. The Islamic Manuscript Association (TIMA) yang bermarkas
di Cambridge University, UK, misalnya, merupakan salah satu asosiasi akademik
terkemuka yang mendapatkan dukungan finansial penuh dari the Prince Alwaleed
Bin Talal Centre of Islamic Studies untuk menyelenggarakan berbagai aktifitas
akademik, seperti konferensi internasional, scholarship, grant, penelitian,
penerbitan, dan berbagai aktifitas lainnya.
Sayangnya, cakupan aktifitas TIMA
tampaknya belum menjangkau khazanah manuskrip Islam Nusantara, yang
sesungguhnya diakibatkan oleh kurangnya informasi dan publikasi internasional
berkaitan dengan kekayaan warisan peradaban Islam Nusantara tersebut. Ada
beberapa kemungkinan mengapa informasi tentang kekayaan khasanah manuskrip
Islam Nusantara ini belum banyak diketahui:
Pertama, kurangnya penelitian-penelitian yang mendalam tentang
kekayaan khazanah manuskrip Islam Nusantara oleh sarjana-sarjana Indonesia
sendiri yang sesungguhnya memiliki pengetahuan memadai, baik berkaitan dengan
bahasa lokal yang digunakan maupun substansi keilmuan di dalamnya;
Kedua, mungkin saja sudah ada sejumlah kajian yang telah
dilakukan, namun hasil kajian tersebut tidak dipublikasikan dan kemudian
dikomunikasikan menggunakan bahasa dunia akademik internasional;
Ketiga, belum adanya sebuah pusat kajian Islam yang memberikan
perhatian pada kajian manuskrip Islam Nusantara secara komprehensif, dikelola
secara profesional, serta melakukan kajian terus menerus, dan akhirnya dapat
dijadikan sebagai rujukan para sarjana dalam mengkaji manuskrip Islam
Nusantara;
Keempat, masih minimnya dukungan finansial untuk upaya-upaya
pelestarian khasanah manuskrip Islam Nusantara semacam ini, sehingga minat
masyarakat akademik untuk menekuninya pun sangat rendah dan mengalami kendala.
Dalam hal ini, banyak sarjana Muslim
Nusantara yang sesungguhnya memiliki potensi untuk masuk dalam kajian Islam
Nusantara yang berbasiskan pada manuskrip tersebut, setidaknya karena dua
alasan:
Pertama, para sarjana Muslim Nusantara merupakan sumber daya
manusia (human resources) yang memiliki potensi besar dalam memadukan kajian
bidang-bidang keislaman dengan bidang umum termasuk Budaya dan Humaniora.
Potensi tersebut ditunjang oleh kenyataan bahwa sebagian mereka berasal dari
sebuah komunitas yang memiliki akar keilmuan Islam di pesantren-pesantren dan
madrasah, sehingga sangat menguasai topik-topik yang dibahas dalam literatur
Islam klasik, termasuk dalam manuskrip-manuskrip Islam Nusantara.
Kedua, banyak sarjana Muslim Nusantara memiliki kemampuan bahasa
yang banyak digunakan dalam manuskrip, yakni bahasa Arab. Apalagi berbagai
manuskrip dalam bahasa daerah pun umumnya ditulis dengan aksara Arab (Jawi dan
Pegon), sehingga penguasaan atas aksara dan bahasa tersebut menjadi sangat
penting. Sejauh ini, minimnya penguasaan para filolog —yang umumnya berlatar
belakang pendidikan umum— terhadap bahasa Arab seringkali menjadi faktor
penghambat dilakukannya penelitian atas manuskrip-manuskrip Islam tersebut,
sehingga tidak mengherankan jika puluhan ribu manuskrip Nusantara berbahasa
Arab lebih banyak “ditelantarkan”.
Karenanya, melalui refleksi ini,
sangat besar harapan bahwa di masa mendatang, berbagai hasil inventarisasi yang
terbukti berhasil menunjukkan peradaban tinggi Islam Nusantara, dapat memicu
dilakukannya berbagai kajian Islam Nusantara melalui manuskrip dan kitab yang
pernah ditulis oleh para pengarang masa lalu, sehingga para sarjana pribumi
dapat mengembangkan sendiri kesarjanaan berstandar internasional di bidang
kajian manuskrip Islam Nusantara tersebut. Semoga!