...Setiap
kita membuka naskah sebetulnya kita sedang merusak naskah. Jadi kalau
bisa membuka naskah itu kalau ada keperluan saja. Sebenarnya kita sadar
kalau naskah itu suatu saat pasti akan rusak. Akan tetapi kita bisa
memperlambat perusakannya itu dengan cara kita memperlakukan naskah
sehari-hari dengan baik...
..Jadi sebetulnya usia naskah itu sama sekali tidak penting. Yang penting adalah naskah...
...Ada
naskah yang tidak utuh dan rusak. Sering kali ada orang yang malu kalau
menunjukkan naskahnya yang rusak. Tapi itu tidak berarti bahwa isinya
tidak menarik. Kalaupun naskahnya rusak parah, tetap kita dapat
mengambil pelajaran dari naskah itu; dari segi huruf, dari segi isi,
dari segi penulisan, dan ada banyak sekali informasi dari naskah,
walaupun naskahnya rusak...
...Meskipun
naskah itu tidak kumplit, tetap naskah itu sangat penting. Justru karena
tidak kumplit menjadi penting, karena kita bisa belajar apa yang
dianggap penting menurut masyarakat untuk dilestarikan di dalam naskah.
Kalau semuanya kumplit, fikihnya kumplit, haditsnya kumplit, dan kumplit
kumplit semua, justru kita tidak mendapatkan pelajaran sama sekali.
Justru karena tidak kumplit itu yang menarik...
...Kepribadian seorang ilmuan, dia akan mencari sesuatu yang menurut dia menarik. Jadi dia akan mencari teks yang menarik...
...Kalau
di Eropa dan Amerika kalau membuka naskah yang sudah tua itu pake
bantal, tidak boleh di atas meja, harus ada bantalnya, agar tidak
merusak naskah dan harus hati-hati. Kalau saya sering lihat di sini
(Indonesia) orang membalikkan kertasnya dengan kasar dan keras. Atau
membalikkannya dengan memberi ludah di jari lalu jari itu untuk
membalikkan kertas...
Sesungguhnya saya akan
berbicara tentang naskah Jawa dan bagaimana teknik menjaga naskah secara
umum. Karena eksistensi naskah tergantung cara kita menyikapinya. Jika
kita menyikapinya dengan baik, maka naskah akan aman dan terjaga. Tapi
jika kita menyikapinya buruk, maka naskah akan cepat rusak.
Dimulai
dengan pembicaraan seputar naskah. Naskah Jawa bermacam-macam bahannya,
ada yang menggunakan Deluang, ada yang menggunakan Kertas—macam-macam
juga kertasnya—ada juga yang menggunakan Lontar, dan ada juga yang
menggunakan bahan lain. Bahan-bahan tersebut sebetulnya cepet rusak,
jika terkena lembab, kotor seperti kemasukan debu-debu, dan cara
menyikapi dengan tidak baik.
Ada banyak mis-konsepsi dan salah
faham dalam memandang naskah harus tua dan lama baru berharga. Kalau
kita tidak menganggap naskah berharga, wajar, menarik, dan lain
sebagainya dengan memandang usianya. Ada bermacam-macam naskah, ada yang
sama sekali tidak bagus, ada yang rusak, ada yang kotor, ada yang
kumplit, dan ada yang tidak kumplit. Jadi ada naskah lama dan naskah
baru. Selalu kalau orang bicara naskah sepertinya naskahnya harus lama,
tua. Kalau bisa usianya ratusan tahun baru menarik. Tapi kalau kita
lihat di wilayah Indonesia sampai sekarang ada beberapa orang tetap
menulis naskah. Jadi sebetulnya usia naskah itu sama sekali tidak
penting. Yang penting adalah naskah.
Ada naskah yang tidak utuh
dan rusak. Sering kali ada orang yang malu kalau menunjukkan naskahnya
yang rusak. Tapi itu tidak berarti bahwa isinya tidak menarik. Kalaupun
naskahnya rusak parah, tetap kita dapat mengambil pelajaran dari naskah
itu; dari segi khuruf, dari segi isi, dari segi penulisan, dan ada
banyak sekali informasi dari naskah, walaupun naskahnya rusak.
Tentang
naskah kumplit atau tidak kumplit, sering filolog hanya mencari naskah
yang kumplit. Tapi kalau kita lihat di dunia ilmu pengetahuan naskah
tetap berisikan pengetahuan dan memang jarang sekali ditemukan naskah
yang teksnya kumplit. Apalagi dalam dunia Islam itu ada isinya
mantra-mantra, jimat-jimat, doa-doa, hadits-hadits,
what ever-what ever,
yang jarang sekali yang kumplit. Jadi selalu menulis sesuatu
sekehendaknya sendiri untuk keperluannya dia (sang penulis) sendiri.
Jadi kalau ada sesuatu yang menurut dia tidak perlu untuk
dilestarikannya maka tidak ditulisnya. Jadi itulah naskah. Meskipun
naskah itu tidak kumplit, tetap naskah itu sangat penting. Justru karena
tidak kumplit menjadi penting, karena kita bisa belajar apa yang
dianggap penting menurut masyarakat untuk dilestarikan di dalam naskah.
Kalau semuanya kumplit, fikihnya kumplit, haditsnya kumplit, dan kumplit
kumplit semua, justru kita tidak mendapatkan pelajaran sama sekali.
Justru karena tidak kumplit itu yang menarik.
Tentang naskah bagus
dan naskah jelek. Tentu saja naskah yang bagus itu tulisannya rapi,
tidak kotor, itu baru enak dibaca. Apalagi di Indonesia ada
naskah-naskah yang perawatannya kurang, sering kita melihat
naskah-naskahnya kotor dan lapuk. Tapi kalau naskahnya bagus-bagus juga
belum tentu isinya bagus. Kalau isinya tidak bagus tentu tidak menarik.
Meskipun naskahnya kotor dan lapuk tapi isinya bagus, maka naskah itu
menarik.
Kepribadian seorang ilmuan, dia akan mencari sesuatu yang
menurut dia menarik. Jadi dia akan mencari teks yang menarik. Dia akan
mencari naskah yang berisikan teks yang menarik itu. Di Indonesia banyak
naskah yang dibeli atau dibawa oleh orang luar negeri. Tetapi untuk
mendapatkan suatu gambaran atau bayangan tentang bagaimana mengecek
naskah benar-benar naskah Indonesia sebetulnya kita menginfentarisir
teks sebetulnya apa yang sama sekali belum dicari dan naskah-naskah apa
yang perlu kita lestarikan. Jadi walaupun kita melihat setumpuk naskah
dari segi macam-macam kurang menarik, itu belum berarti isinya tidak
menarik.
Banyak naskah itu ditulis dalam buku tulis, contohnya
dari Jawa Tengah. Kita lihat kertanya itu memang untuk buku tulis
anak-anak sekolah. Jadi kertanya itu tidak harus seratus persen bagus,
disampul, untuk dilestarikan berabad-abad lamanya seperti Deluwang.
Banyak naskah dari buku seperti ini tidak bagus dan cepat rusak, karena
itu kita harus cepat-cepat dirawat dan diselamatkan. Tintanya dari
Pulpen dan dari tinta-tinta yang lain. Semua naskah, penting atau tidak
penting, perlu dilestarikan. Sedangkan di Jogja justru dibuang, ini apa
tidak penting dibuang saja. Karena kendala bahasa. Banyak naskah yang
ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Sangsakerta, karena tidak ada
yang bisa membacanya akhirnya naskah itu dianggap tidak penting dan
dibuang.
Kita harus memahami isi naskah untuk mendapatkan gambaran
dunia yang sebenarnya. Karena itu naskah harus DIHORMATI. Walaupun
naskah kotor, kita harus tetap menghormati naskah. Kalau kita tidak
menghormati naskah, kita tidak bisa memahami dengan baik dan sia-sia
semuanya. Naskah itu macam-macam, jadi ada yang huruf Arab, ada yang
huruf Latin, ada yang huruf Jawa, ada yang huruf Pegon, dan macam-macam.
Sebetulnya
naskah itu ada yang besar dan ada yang kecil sekali. Justru naskah yang
kecil yang menarik. Karena yang kecil yang dibawa kemana-mana sebagai
catatan pribadinya dia (sang penulis). Jadi kita bisa melihat apa yang
penting dalam kebudayaannya dia, sang penulis naskah.
Kita harus
hati-hati membuka dan menyentuh naskah. Kita harus sadar bahwa naskah
ini cuma ada satu, seperti nafas kita itu cuman satu. Jadi harus
hati-hati memperlakukan naskah. Ini pengalaman saya di perpustakaan.
Memang sekarang sudah ada mesin cetak yang bisa memperbanyak naskah.
Cuman di Indonesia sekarang ini sudah tidak ada lagi naskah yang
betul-betul tua sekali. Kebanyakan naskah-naskah abad ke-19 dan abad
ke-20. Jadi sebetulnya naskahnya masih berusia sekitar 2 abad-an yang
lalu. Jadi karena naskahnya sudah tua, maka kita harus hati-hati. Bukan
hanya kertasnya yang rusak, tapi juga punggung bukunya juga bisa rusak.
Contoh kalau kita membuka buku atau naskah dengan menekan dengan kuat,
maka punggungnya akan rusak. Itu harus hati-hati. Kalau di Eropa dan
Amerika itu kalau membuka naskah yang sudah tua itu pake Bantal, tidak
boleh di atas meja, harus ada Bantalnya, agar tidak merusak naskah dan
harus hati-hati. Kalau saya sering lihat di sini (Indonesia) orang
membalikkan kertasnya dengan kasar dan keras. Atau membalikkannya dengan
memberi ludah di jari lalu jari itu untuk membalikkan kertas. Rusak
kertasnya. Kalau kertasnya rusak bagaimana? Kita jangan memperlakukan
kertasnya dengan ditekan, dibanting, dan lain sebagainya. Paling sering
merusak naskahnya karena cara membacanya seperti itu. Kita jangan
memperlakukan naskah seperti itu.
Mereka di Eropa pun kalau
membuka naskah tangannya dengan dibungkus Sarung Tangan. Bukan karena
mereka lagi sakit, tapi mereka takut lembaban-lembaban keringat
tangannya menempel dan merusak naskah.
Jadi itu sangat penting
sekali perlu diperhatikan, agar naskah dijaga dan dirawat. Di Amerika
banyak sekali lembaga-lembaga yang menjaga dan merawat naskah. Tapi
kalau kita ingin berbicara bagaimana mengidentifikasi naskah Jawa harus
ada waktu sendiri, bukan sekarang.
Naskah jangan sampai terkena
basah-basah. Kalau membuka naskah jangan sambil meminum Kopi dan merokok
keretek yang akan menimpa naskah dan merusaknya. Di samping itu juga
akan memecah konsentrasi, kadang melihat naskah, kadang minum Kopi,
merokok, kadang ada nasi Padangnya..
Ini ada naskah Lontar dari Lombok. Isinya tentang
Nabi Bercukur. Sebetulnya Lontar itu di Indonesia adalah bahan naskah yang paling bagus. Karena kalau selain Lontar itu cepat kemakan Rayap.
Di
antaranya faktor yang bisa merusak naskah adalah mencoret-coret naskah,
menekuk-nekuk kertas, dan lain sebagainya. Itu membahayakan. Potocopy
pun akan merusak naskah. Coba bayangkan, kalau potocopy itu kan panasnya
100 derajat dan naskahnya dibolak-balik tunggu saja rusaknya.
Sebelum
membuka naskah, terlebih dahulu kita pastikan tangan kita harus kering.
Sering kali juga naskah bisa rusak ketika mau mencari keterangan yang
penting, akhirnya dibuka-buka secara cepat agar sampai pada halaman yang
dicari.
Cara meletakkan naskah juga kalau salah akan merusaknya.
Seperti meletakkan naskah di lantai yang dingin atau di meja yang kotor.
Atau naskah itu sering kesentuh oleh benda-benda lain, seperti kena
kabel komputer atau benda yang lain, maka itu akan cepat rusak.
Yang
paling gawat itu saya melihat di Keraton, di Perpusakaan, di
Perpustakaan Nasional, itu buku atau naskah ditumpuk saja, jadi naskah
yang ada di bawah kalau sudah lapuk terbebani oleh naskah yang ada di
atasnya maka akan rusak. Di Perpustakaan Nasional ada naskah tebal abad
ke-17 ada tulisan Belanda-nya tidak bisa dibuka, keras sekali seperti
Batu. Bukunya ada 10 (sepuluh) yang mungkin harganya satunya sekitar
20.000$ (dua puluh ribu dollar) kalau bisa dibuka. Tapi karena naskahnya
ditumpuk jadi tidak ada harganya sama sekali. Tidak ada suhu udara dan
ada kelembaban akhirnya rusak. Di Perpustakaan Nasional banyak sekali
naskah yang diperlakukan tidak baik. Akhirnya merusak naskahnya. Ini
pengaturan yang bodoh. Naskah bisa rusak karena memperlakukan naskah
sehari-harinya memang tidak bagus. Semestinya naskah dan buku itu tidak
ditumpuk.
Saya belum pernah ke pesantren. Jadi saya tidak tahu bagaimana cara orang-orang pesantren memperlakukan naskah.
Ada
asumsi bahwa kalau kita mau menjaga naskah dengan baik harus berada di
ruangan yang ber-AC. Itu sebetulnya omong kosong. Karena pada dasarnya
di ruang yang ber-AC ataupun tidak yang penting naskahnya kering. Jadi
kalau di ruangan yang ber-AC, ketika AC-nya dimatikan maka naskahnya
lebih parah lagi lembabnya. Kalau mau ditaruh di ruang yang ber-AC maka
AC-nya harus dinyalakan terus. Karena kalau kadang AC dihidupkan dan
kadang dimatikan maka naskahnya lembab-kering, lembab-kering, dan rusak.
Di
ruangan naskah pun kalau bisa jangan makan makanan di dalam ruangannya
atau kalau makan maka sisa-sisa makannya harus dikeluarkan, karena bau
dari sisa-sisa makanan itu juga akan merusak naskahnya.
Setiap
kita membuka naskah sebetulnya kita sedang merusak naskah. Jadi kalau
bisa membuka naskah itu kalau ada keperluan saja. Sebenarnya kita sadar
kalau naskah itu kan suatu saat pasti akan rusak. Akan tetapi kita bisa
memperlambat perusakannya itu kan dengan cara kita memperlakukan naskah
sehari-hari dengan baik.
Mendigitalisasi naskah itu bagus sekali,
supaya naskah tidak dibuka terus-terusan. Jadi kita bisa membaca dan
memahami isi naskah melalui Komputer, tidak membuka naskahnya langsung.
Memang naskah aslinya tetap penting karena kita bisa mendapatkan
informasi tentang hal-hal tentang naskah itu. Naskah asli harus disimpan
di rumah pemiliknya. Jadi sebelum kita ke perpustakaannya atau rumah
pemilik naskahnya, kita sudah tahu naskah mana yang menarik melalu
Komputer yag berisi digitalisasi naskah itu.
Membuat katalogisasi
naskah pun cukup melalui Komputer, tidak melalui naskahnya langsung.
Karena sering sekali perusakan naskah itu justru oleh orang yang
membikin katalog buku buat perpustakaan. Jika naskah sudah rusak, maka
jangan diapa-apain sebelum minta nasehat dari seorang pakar. Kalau ada
naskah rusak jangan sekali-kali menempelkan lakban atau solasi, karena
justru akan memperparah kerusakannya. Jadi sebaiknya harus ada satu buku
yang menjelaskan bagaimana cara merawat naskah yang sudah rusak.
Ketika
melihat watrmark (cap kertas) di naskah pun harus hati-hati. Karena
kalau caranya dengan mengangkat kertas ke atas agar bisa kelihatan
watrmark-nya, maka akan merusak naskah. Jadi kalau bisa lampunya saja
didekatkan ke naskah agar watrmark-nya kelihatan.
Persoalan judul.
Di Indonesia banyak sekali naskah yang tidak ada judulnya. Jarang
sekali ada naskah yang memang ada judulnya. Kita harus mencari judul
sendiri. Jadi kalau bisa difahami dulu isinya apa, maka baru bisa
ketahuan apa judulnya. Jangan dulu diberikan ke orang lain, sebelum
dicari judulnya. Memang sangat susah sekali mencari judul naskah kalau
di depan dan di belakang naskah tidak ada judulnya. Kita harus mencari
informasi dari naskah itu sendiri. Ada juga judulnya macam-macam dan
sering kali ada beberapa teks dalam satu naskah. Ada teksnya kecil
misalnya Suluk-Suluk atau kadang banyak sekali kumpulan-kumpulan teks
dalam satu naskah.
Kolofon itu yang mengetahui dimana dia menulis,
kapan dia menulis dan informasi-informasi yang lain. Sering kali
kolofon itu ada di bagian depan atau bagian akhir teks, tidak pernah ada
di tengah-tengah. Seringkali kolofon itu tidak memberikan informasi
yang utuh, sering kali ditulis cuman “
ditulis oleh Si Anu”, atau “
ditulis oleh Ale Capung”, atau “
ditulis dalam tahun Dal”, atau “
ditulis dalam Kliwon Legi” atau “
ditulis dalam Jumat Keliwon”,
dan informasi yang lain tidak ada. Ada juga kolofonnya menunjukkan
informasi lengkap, ditulis oleh Si Anu, pada hari ini, pada tahun ini,
dan lain sebagainya, ada juga. Tapi berbeda sekali kalau tidak ada
kolofonnya. Kita tidak bisa menyalahkan naskah. Kita, para peneliti,
harus membaca kolofonnya, agar kita tahu informasi tentang teksnya. Kita
tidak untuk teks itu sendiri, tapi untuk kepentingan orang lain. Kalau
naskah Keraton seringnya ada kolofonnya, ditulis oleh siapa, siapa,
siapa, itu ada, dan kapan ditulis dan dimana. Kalau di lingkungan rakyat
kadang naskahnya tidak ada kolofonnya.
Sering kita lihat
kesalahan dalam naskah, dan ini hanya bisa diketahui oleh para filologi.
Akan tetapi biasanya kesalahan itu dikasih tahu oleh penulis naskahnya
itu sendiri, misalnya dikasih coretan ke arah pinggir dan ditulis teks
yang benarnya apa.
******
Kita
harus sadar dan harus hati-hati. Jadi semua jenis bahan, kita perlakukan
secara halus, tidak kasar, supaya tidak rusak. Kalau naskahnya masih
baru dan bagus, ya kita bisa santai. Tapi kalau naskahnya sudah tua dan
sudah rusak, maka kita harus hati-hati memperlakukannya agar tidak
memperparah lagi kerusakannya.
Sebetulnya kita membuka naskah itu
tujuannya apa? Memang naskah harus dibuka, tapi dengan cara yang baik,
supaya tidak memperpara kondisinya. Jadi jangan sampai membuka naskah
secara percuma. Kita harus hati-hati sebelumnya dan apa tujuannya. Kalau
tujuannya ingin mengetahui isinya, kita harus langsung membuka dan
mencatat isinya apa saja, tidak dibolak-balik dari depan ke belakang dan
seterusnya. Intinya memperlakukan naskah dengan baik.
******
Persoalan
harga naskah sebuah manuscrip ada perbedaan antara dunia ilmu ilmu
pengetahuan dan dunia bisnis komersial. Kalau naskahnya masih bagus dan
isinya jarang atau tidak ditemukan di naskah lain, maka mahal. Tapi
kalau naskahnya sudah rusak-rusak dan isinya biasa ada juga di teks yang
lain, maka harganya tidak mahal. Ada perbedaan antara harga pasaran dan
pengetahuan. Karena kalau menurut ilmu pengetahuan semua naskah itu
sama-sama pentingnya.
Saya rasa Indonesia belum mengerti harga
dari benda-benda yang ada di Indonesia. Sering kali naksah-naskah
Keraton dijual, padahal penting. Tapi karena dia butuh duit. Mungkin
karena dia habis kalah judi. Atau mungkin anaknya perlu biaya sekolah.
Dijual paling 1000$ (Seribu dollar). Alasan kedua lebih bagus (baca;
untuk anak sekolah). Tapi seringnya alasan yang pertama (kalah judi).
Kita harus mengerti juga bahwa naskah itu milik pribadi orang. Jadi
kalau ada orang Keraton Solo itu jual ya jual. Ini kan terserah dia.
Tetapi gobloknya di Indonesia, orang Indonesia banyak yang membeli mobil
Mercy-Mercy dan lain sebagainya atau membeli Parfum-Parfum yang
mahal-mahal, sementara kalau ada orang yang mau jual naskahnya dengan
harga 1000$ saja lari dia, tidak mau beli. Karena orang-orang di sini
(Indonesia) tidak mau memakai uangnya untuk melestarikan kebudayaannya
sendiri. Dan kalau memang ada orang yang mau beli, ya jual. Jual sudah
selesai. Bagaimana bisa mempertahankan kebudayaannya sendiri, kalau ada
orang di Indonesia mau menjual naskahnya tidak mau dibeli. Jangan teriak
kalau ternyata naskah itu lari keluar dari Indonesia karena dibeli oleh
orang luar negeri. Kenapa tidak bisa langsung dijual saja ke
Perpustakaan Nasional saja dengan diberi harga yang bagus? Karena
Perpustakaan Nasional tidak punya duit, karena duitnya dipake buat
jalan-jalan ke luar negeri. Itukan kenyataan.
Jadi kalau ada orang
yang punya naskah mau dijual dan ada orang yang tertarik dan membelinya
maka oke lah, naskah itu akan bisa lestari. Saya pernah diwawancarai,
saya bilang “jangan dijual ke touris. Karena touris kan sama sekali
tidak mengerti. Awal-awalnya tertarik, tapi 10 tahun atau 20 tahun
kemudian dia buang juga karena bosan. Nah ini kan sayang.”
Kalau
bagi saya, naskah dijual pada orang yang mempunyai besar perhatiannya
terhadap naskah, ya tidak masalah. Toh naskahnya pasti akan dijaga dan
dirawat. Daripada dibuang. Tapi lebih baik naskah itu jangan keluar dari
Indonesia. Karena itu Perpustakaan Nasional harus mengatur sistem
jual-beli naskah yang ada di Indonesia, sehingga kalau ada orang yang
butuh duit dan akan membeli naskah lewat Perpustakan Nasional, tidak
dijual orang asing.
Disini ada juga orang Indonesianya tidak
mengerti, bahwa kalau ada barang yang dikeluarkan sesudah tahun 79, itu
barang sudah tidak bisa diterima oleh perpustakaan di Eropa misalnya,
itu terjadi. Ada orang touris yang tidak tahu, itu dia membeli naskah
yang jarang sekali tapi dia membelinya tahun 90. Itu semua perpustakaan
di Eropa dan Amerika tidak mau menerimanya, karena semua perpustakaan
tidak boleh menerima atau membeli barang-barang yang keluar dari
Indonesia. Lalu mau dikemanakan? Orangnya sudah tidak mau lagi punya dan
perpustakaan tidak boleh beli. Akhirnya naskah dibuang. Itu program
UNESCO. Orang itu tidak mau lagi mengirim ke penjualnya. Mau dikirim ke
siapa? Ada Undang-Undang di Eropa pelarangan mengoleksi naskah dari
Indonesia. Setelah itu bingung, barang-barang atau naskah-naskah itu mau
dikemanakan? Kalau dikembalikan juga ongkosnya mahal. Dan pemiliknya
pun setelah menerimanya kembali dibuang. Sayang sekali. Naskah tidak
boleh keluar dari Indonesia setelah ada Undang-Undang UNESCO. Lalu
naskah itu mau dikemanakan, sementara orang-orang Eropa tidak mau lagi
membelinya? Ya akhirnya naskah dibuang. Jadi jangan sampai menuduh siapa
saja yah dengan macam-macam.
Nah itu rasa cinta dan rasa sayang
terhadap benda-benda purbakala atau naskah-naskah kuno bagi Indonesia
sangat lemah. Orang-orang Indonesia sangat jarang sekali yang bisa
menghargai benda-benda kuno, barang purbakala miliknya sendiri. Atau ada
penghargaan tapi sangat kecil sekali, sangat lemah. Itu masalahnya.
Orang-orang Keraton Jogja sendiri tidak tahu bahasa Jawa dan huruf
Jawanya. Daripada tidak ngerti bagi dia ah dijual aja dapat duit..
Jadi
masalah harga naskah itu ada perbedaan antara pengetahuan dan harga
pasar. Orang-orang sudah pada tahu jalur-jalur pembelian itu seperti di
Keraton Solo dan Jogja. Di Singaraja-Bali itu banyak sekali
Lontar-Lontar yang bagus-bagus, kemudian hilang. Mungkin dijual. Kenapa
demikian? Karena Bupati tidak mau memberikan dana. Karena Bupati tidak
tertarik kepada naskah. Katanya undang-undang dan peraturan Otonomi
Daerah, di dalam peraturan itu mereka lupa tentang perpustakaan. Jadi
sekarang perpustakaan-perpustakaan sudah tidak ditangani lagi oleh
pusat, pusat bilang eeee..Otonomi Daerah, sedangkan Daerah tidak mau
membiayai karena tidak ada di dalam peraturan. Rusak semua!
******
Tentang
faktor yang dapat merusak naskah. Saya rasa bukan hanya faktor suhu
yang bisa merusak, akan tetapi juga polusi dan sikap kita terhadap
naskah, seperti coretan-coretan, udara juga berakibat jelek bagi kita
sendiri apalagi naskahnya. Kalau naskah itu dibawa ke Britis Library
dengan biaya 100.000$ itu bisa dilestarikan, tapi itu jarang terjadi.
Jadi naskah itu jangan ditumpuk terus dan lemarinya jangan ditutup
terus. Apalagi ada serangga yang akan memakannya. Karena itu
digitalisasi ini akan membantu melestarikan naskah, walaupun naskah
aslinya pasti akan rusak. Tapi hati-hati, karena contoh ada program dari
Ford Foundatioun sekitar tahun 90-an, naskah-naskah banyak sekali
di-micro film. Kalau sekarang kita suruh baca micro film, kita akan
kesusahan, karena micro film itu semenjak zaman Dinosaurus, dan sekarang
Digital. Dan digital pun harus ada software yang memungkinkan kita
untuk membacanya. Nah masalahnya kalau software-nya tidak disesuaikan
dengan bahannya, 20 tahun atau 30 tahun lagi software-nya sudah tidak
cocok lagi dengan generasi digitalnya. Ini sudah terjadi, misalnya kita
beli DVD 20 tahun yang lalu, kemudian kita sekarang tidak bisa
membacanya karena sudah tidak ada lagi programnya. Jadi tetap kita harus
memiliki naskah aslinya. Karena kalau software-nya sudah tidak bisa
dibaca lagi karena sudah tidak ada programnya, naskah aslinya masih bisa
dirujuk. Maka kita harus menjaga naskah aslinya sebaik-baiknya, meski
pun toh lama kelamaan pasti akan rusak. Jadi harus ditaruh di ruangan
yang luas, tidak kecil, ditutup jendela-jendela dan pintunya agar
debu-debu tidak masuk; dikasih AC, tapi jangan terlalu besar cukup 28
derajat, jangan terlalu dingin, yang penting naskahnya tetap kering; dan
hati-hati kalau ada orang yang masuk, dikasih daftar kunjungan, dan
perhatikan juga Boss-nya, karena di sini kan terkadang Boss-nya semaunya
sendiri. Dan harus ada catatan yang menjelaskan bagaimana cara
menangani naskah supaya tidak rusak. Terkadang juga atapnya bocor, nah
ini kebocoran harus cepat ditangani. Jadi kalau bisa membikin sap-sap
Papan, jarak antara Papan agak longgar, dan satu persatu naskah
diletakkan di atas papan, jangan ditumpuk. Kalau bisa jangan pakai Kaca,
karena lembab, lebih baik pake lemari kayu. Hati-hati rayap masuk,
karena rayap itu muncul dari Lantai.
Dr.
Dic van der Meij, pakar fillologi Jawa kebangsaan Belanda saat
mempresentasikan bagaimana cara menyikapi naskah atau manuscrip dengan
baik dan penuh kelembutan di Pelatihan yang diselenggarakan oleh Rumah
Kitab dan ILMU-PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan
Kemenag RI. Tgl. 21-22 Februari 2012.
Ditranskip oleh Mukti Ali
Sumber: http://www.rumahkitab.com/artikel/2/opini/184/memperlakukan_naskah_dengan_cinta.html