Oleh:
Sulaiman Ibrahim
Dalam penyebaran agama Islam,para ulama di Sulawesi Selatan telah
menempuh berbagai cara, di antaranya ada yang giat melakukan dakwah Islamiyah
secara langsung di tengah-tengah masyarakat, ada pula selain melakukan dakwah
mereka juga membuat karya tulis untuk dijadikan bahan bacaan di kalangan
santri-santri dan masyarakat sekitarnya. Berbagai upaya dan cara itulah telah
ditempuh oleh ulama pendahulu dalam rangka mengkaji agama Islam dan menggali
kandungan ayat-ayat Alquran.
Literatur-literatur tafsir Alquran yang muncul dari
tangan para muslim Nusantara, dengan keragaman bahasa dan aksara yang digunakan
mencerminkan adanya “hirarki”, baik “hirarki tafsir” itu sendiri di tengah
karya-karya tafsir lain, maupun “hirarki pembaca” yang menjadi sasarannya.
Misalnya
penggunaan bahasa Arab, seperti yang ditempuh oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam tafsīr Marah{ Labīb, dari
segi sasaran –dengan mempertimbangkan bahasa Arab- tafsir ini lebih mudah
diakses oleh para peminat kajian Alquran secara Internasional, namun pada sisi
yang lain, yakni dalam konteks Indonesia sendiri, karya tafsir itu tentu
lebih bersifat elitis. Sebab, seperti yang kita ketahui bahwa tidak semua
muslim Indonesia mahir berbahasa Arab. Demikian juga, literatur tafsir yang
ditulis dengan bahasa daerah –Jawa atau Bugis misalnya- dan menggunakan
huruf Arab pegon, pada satu sisi akan mempermudah bagi komunitas muslim yang
kebetulan satu daerah dan menguasai bahasa lokal tersebut. Namun, pada tingkat
cakupan keindonesiaan, model inipun juga pada akhirnya tidak bisa
menghindardari sifat elitisnya, sebab seakan-akan karya ini hanya ditulis
khusus untuk daerah pemakai bahasa tersebut.
Satu
hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa sentimen orang-orang Bugis di
Sulawesi Selatan untuk
memelihara bahasa daerahnya berbeda jauh di bawah level sentimen suku lain
untuk melestarikan bahasa daerahnya. Tidak diketahui secara pasti apa yang
menyebabkan hal tersebut, namun dugaan sementara adalah karena kurangnya
literatur berbahasa Bugis yang beredar dalam masyarakat. Dapat dikatakan, tidak
banyak –bahkan sangat jarang– orang yang membuat karya tulis dalam
bahasa Bugis dewasa ini.
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya