Oleh: Sulaiman Ibrahim
I. Pendahuluan
Kehidupan sosial-keagamaan era modern ini ditandai oleh
semakin seringnya terjadi tantangan dan benturan kultural, sosial, etnis dan agama
yang melibatkan masyarakat sipil. Hal ini memperkuat alasan betapa pentingnya
upaya menambah, mengembangkan, dan memperkaya intensitas saling tukar-menukar
pengetahuan yang dapat dipercaya sebagai penghubung tentang berbagai agama
(aspek doktrin) dan kehidupan sosial-keagamaan (aspek empiris-historis).[1]
Dilihat dari jumlah penganutnya, keberadaan agama yang ada di
suatu negara, terdapat agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya, dan ada
pula agama lainnya yang dianut oleh minoritas penduduknya. Di Indonesia
misalnya terdapat agama Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Agama Islam dianut
oleh mayoritas penduduk Indonesia,
diikuti oleh Kristen dan seterusnya. Memang, keberadaan agama yang berbeda-beda
itu pada suatu negara terkadang ditandai oleh adanya hubungan yang mesra dan
harmonis, dan kadang pula ditandai adanya hubungan yang penuh ketegangan,
konflik dan permusuhan yang membawa pertumpahan darah. Agama Kristen misalnya
telah berhubungan dengan agama Islam selama lebih dari empat belas abad
lamanya. Rentang waktu begitu panjang dan terus menerus dalam hubungan itu
telah menjadi saksi dari berbagai perubahan dan naik turunnya batas-batas
kebudayaan dan toritorial antara keduanya.[2]
Kecendrungan kekerasan bernuansa agama juga konflik etnik
yang semakin kental dibeberapa bagian wilayah Indonesia makin mengancam
keberadaan masa depan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Kekerasan tersebut
tentu saja tidak boleh berkembang dan dibiarkan. Ini tidak dapat dilepaskan
dari upaya setiap elemen bangsa untuk mencari jalan keluar dari ancaman konflik
agama dan etnik.
Kritik bahwa kekerasan berwajah agama itu tidak dapat
dilepaskan dari proses pendidikan agama yang cenderung memperkeras identitas
keagamaan secara eksklusif dan secara bersamaan menumpulkan kepekaan sesama
umat yang berbeda keyakinan. Klaim kebenaran (truth claims) suatu agama oleh pemeluknya acapkali
dijadikan dasar untuk menegasikan keberadaan pemeluk agama lainnya. Dalam
kehidupan masyarakat yang sangat majemuk baik dari aspek agama maupun etnik, tentu
saja hal ini tidak menguntungkan bagi harapan terciptanya sebuah kehidupan umat
beragama yang harmonis, toleran dan dialogis.[3]
Masyarakat sebagai suatu
sistem sosial yang majemuk, terlingkup di dalamnya berbagai komposisi sosial
dan aliran. Heteregonitas masyarakat tersebut membuat sistem sosial selalu
terus progresif dan berjalan dinamis. Akan tetapi, heterogenitas dalam
masyarakat di sisi lain akan mengakibatkan rawannya terjadi konflik di antara
sesama masyarakat. Terjadinya konflik lebih disebabkan oleh pengelolaan
stratifikasi sosial dalam masyarakat tidak berfungsi. Berbagai pendekatan teori
telah diupayakan oleh beberapa sosiolog untuk meneliti kestabilan terhadap
tingkat kerawanan sosial tersebut, tetapi kebanyakan sosiolog tersebut
mengacuhkan analisa konflik sosial. Kaum fungsional struktural misalnya,
melihat bahwa konflik hanyalah manifes dari disfungsinya sebuah struktur dalam
masyarakat dan melihat masyarakat hanya sebagai sebuah struktur yang paten.
Sebagai
antitesa dari teori tersebut, dalam melihat struktur masyarakat maka muncullah
teori baru, yakni strukturalisme konflik. Teori ini mengemukakan
kondisi-kondisi di mana secara positif, konflik membantu mempertahankan
struktur sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme
lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya terbentuk dan dipertahankan.
Selanjutnya konflik dapat menyatukan para anggota kelompok lewat pengukuhan
kembali identitas kelompok.
Di
dalam teori konflik dikenal adanya ukuran kepentingan sebagai unsur dasar dari
kehidupan sosial, bukan berdasarkan nilai. Dengan demikian, kehidupan sosial
melibatkan dorongan atau terjadinya dinamisasi bahkan dengan berbagai
gesekan-gesekan sosial bila diperlukan. Dari gesekan tersebut sebagian yang
bertentangan dengan sebuah gesekan atau yang pro pada reaksi aksi mengambil
jalur oposisi. Dari gerakan ini dapat melahirkan konflik struktural. Dari
konflik ini memicu lahirnya kecenderungan kehidupan sosial yang selalu
mementingkan kelompok. Akhirnya, terjadi perbedaan yang menonjol yang
melibatkan kekuasaan, menyebabkan sistem sosial terintegrasi dan ditimpa oleh
berbagai bentuk kontradiksi. Kemudian sistem sosial cenderung selalu berubah.
Dengan argumen seperti ini, maka strukturalisme konflik dapat dipahami sebagai
ilmu yang berusaha memberikan pengertian, gambaran tentang aktivitas sosial,
bahkan aksi-aksinya menurut lapisan atau susunan masyarakatnya yang berkaitan
dengan konflik sosial di dalam suatu kelompok masyarakat, baik secara vertikal
maupun horisontal.
[1]Amin
Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP
Muhammadiyah, 2005), h. 145.
[2]Hal
ini juga ditandai dengan periode panjang konfrontasi sekaligus juga kerja sama
yang produktif. Tetapi bagaimanapun juga, pola hubungan yang paling dominan
antara kedua tradisi keimanan ini yaitu permusuhan, kebencian, dan kecurigaan,
ketimbang persahabatan dan saling memahami. Lihat Alwi Shihab, Islam
Inklusif Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), cet. III, h. 95.
[3]Lihat
Samsuri, "Paradigma Pendidikan Islam dalam Masyarakat Majemuk" dalam Lektur,
Vol. X, No. 2, 2004, h. 225.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar