STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI ISLAM
Oleh:
Sulaiman Ibrahim
Pendidikan Islam mempunyai sesuatu kekuatan yang sangat signifikan dipertahankan atau dikembangkan. Hal ini mungkin dapat dilihat dari tataran filosofis atau konseptual dan Pengalaman selama ini dari lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dari waktu ke waktu telah mampu tumbuh di tengah-tengah dinamika masyarakat.
Menyoroti problematika pendidikan di negara kita dewasa ini, jelas bukan persoalan yang sederhana, untuk itu diperlukan data yang akurat. Padahal sangat sulit bagi kita semua untuk memperoleh data yang akurat. Kesalahan data dapat mengakibatkan kesalahan analisis, dan dengan begitu pembicaraan kita menjadi tidak relevan.
Namun demikian, masalah pendidikan bukan masalah yang berdiri sendiri. Pendidikan dapat dinyatakan sebagai “persimpangan jalan” antara perkembangan sosial budaya, termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan bukan sesuatu yang bebas. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya. Ia dapat memberi tetapi sekaligus ia juga menerima. Ia menghasilkan tetapi juga dihasilkan. Oleh karena itu, di dalam pendidikan ada kecendrungan tidak hanya terbatas untuk menghasilkan prilaku individu, tetapi berangsur berevolusi kearah tujuan sosial. (Djohar MS, t.th: 13)
Pendidikan agama Islam sebagai salah satu pendukung utama sistem pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas manusia Indonesia, memberi warna bagi peningkatan iman dan takwa (Imtak) dalam upaya mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dewasa ini. Keseimbangan antara kemajuan iptek dan imtak diharapkan menghasilkan cendekiawan muslim yang memiliki rasa tanggung jawab dunia dan akhirat. Kemajuan iptek yang dilepaskan dari dimensi agama ataupun sebaliknya, berkecendrungan pada apa yang disinyalir oleh Einstein dalam ucapannya yang termasyhur: science without religion is blind, religion without science is lame (ilmu tanpa agama itu buta, sedangkan agama tanpa ilmu akan menjadi lumpuh).
Pendidikan agama Islam mengandung arti yang luas, karena tidak hanya menyangkut pendidikan dalam arti pengetahuan, namun juga pendidikan dalam arti kepribadian. Pendidikan dalam arti pengetahuan tidak akan ada artinya kalau tidak melibatkan pendidikan kepribadian, karena pendidikan agama tidak cukup diukur pada ranah kognetif semata, namun juga melibatkan ranah afektif dan psikomotorik. Pendidikan Agama Islam justru diharapkan mampu merasuk ke dalam penghayatan, sehingga sikap dan tingkah laku sipenganut agama akan sejalan dengan pengetahuan keagamaan yang dimilikinya.
Pendidikan kita dalam era reformasi menghadapi dua tuntutan sekaligus. Pertama, tuntutan masyarakat terhadap mutu pendidikan kita yang rendah, dan kedua belum relevannya pendidikan dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Sejalan dengan itu pendidikan nasional menghadapi masalah memasuki era globalisasi yaitu era dunia terbuka. Di dalam kaitan ini, kemampuan bangsa kita masih belum memadai di dalam rangka kerja sama dan juga persaingan dengan bangsa-bangsa yang lain. Kedua masalah ini, sekaligus harus dapat diatasi dalam rangka untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia.
Dari sinilah muncul persoalan-persoalan yang mendesak untuk diantisipasi sebagai upaya untuk mengembangkan pendidikan khususnya di perguruan tinggi Islam.
Kondisi Pendidikan Tinggi Islam
Secara umum kondisi lembaga pendidikan Islam Indonesia masih ditandai oleh berbagai kelemahan. Pertama, kelemahan sumber daya manusia (SDM), manajemen maupun dana. Sementara itu, kita mengetahui bahwa jika suatu lembaga pendidikan ingin tetap eksis secara fungsional di tengah-tengah arus kehidupan yang makin kompetitif seperti sekarang ini, dan ini harus didukung oleh tiga hal, yaitu: SDM, manajemen dan dana. Kedua, kita menyadari bahwa hingga saat ini lembaga lembaga pendidikan tinggi Islam masih belum mampu mengupayakan secara optimal mewujudkan Islam sesuai dengan cita-cita Idealnya. Sementara masyarakat masih memposisikan lembaga pendidikan Islam sebagai pilar utama yang menyangga kelangsungan Islam dalam mewujudkan cita-citanya sebagai Rahmatan lil Alamin. Lembaga pendidikan tinggi Islam masih belum mampu mentransformasikan nilai-nilai ajaran Islam secara kontekstual dengan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Ketiga, kita masih lihat lembaga pendidikan tinggi Islam belum mampu mewujudkan Islam secara transformatif. Kita masih melihat bahwa masyarakat Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya telah berhenti pada dataran simbol dan formalistik. (Nata, 2001: 178-179)
Kalau kita menengok sejarah, bahwa aspirasi umat Islam dalam pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) pada mulanya didorong oleh beberapa tujuan, yaitu: (1) Untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah; (2) Untuk melaksanakan pengembangkan dan peningkatan dakwah Islam; dan (3) Untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan, baik pada kalangan birokrasi negara maupun sektor swasta, serta lembaga-lembaga sosial, dakwah, pendidikan dan sebagainya. (Azra, 1999: 24)
Pada perkembangan selanjutnya terdapat kecendrungan-kecendrungan baru untuk merespon berbagai tuntutan dan tantangan yang berkembang di masyarakat. Beberapa kecendrungan tersebut antara lain menyangkut: Pertama, tuntutan akan studi keislaman yang mengarah pada pendekatan non-mazhabi, sehingga menghasilkan pemudaran sektarianisme. Adanya perkuliahan perbandingan mazhab, masa’il fiqhiyah, pemikiran dalam Islam (Ilmu kalam, Filsafat Islam, Tasawuf) dan lain-lain, merupakan upaya pengembangan wawasan terhadap khazanah pemikiran ulama-ulama terdahulu dan kontemporer untuk merespon berbagai problem, tuntutan dan tantangan perkembangan zaman, dan sekaligus sebagai upaya melakukan pemudaran sektarianisme tersebut. Kecendrungan semacam ini sangat relevan dalam rangka mengantisipasi pluralisme serta pandangan bangsa Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Kedua, menyangkut pergeseran dari studi keislaman yang bersifat normatif kearah yang lebih historis, sosiologis dan empiris. Upaya ini diwujudkan antara lain dalam bentuk perpaduan antara empirik dan sumber wahyu yang saling mengontrol, dalam arti wahyu mengontrol untuk menghasilkan teori yang kridibel dan bermanfaat, dan dalam waktu yang sama hasil empirik akan mengontrol proses memahami wahyu. Ketiga, menyangkut orientasi keilmuan yang lebih luas. (Muhaimin, :296-297)
Memang pendidikan tinggi di Indonesia dilihat dari berbagai indikator menempati rangking yang paling bawah dalam lingkungan pendidikan tinggi di Asia. Memasuki milenium ketiga yang penuh dengan persaingan, keadaan pendidikan tinggi yang demikian tentunya perlu dengan segera diubah dan ditingkatkan mutunya. Paradigma baru perlu dirumuskan diikuti dengan penjabaran visi misi serta program-program peningkatan mutunya. Salah satu upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi kita memasuki milenium ketiga adalah merajut kerja sama atau networking, baik dengan pendidikan di dalam maupun di luar negeri, juga dengan berbagai lembaga penelitian terbaik.
Berbicara mengenai pendidikan tinggi di era globalisasi terdapat dua dimensi yang berkaitan erat yaitu: lokalisme dan globalisme. Tidak mungkin kita membangun lembaga pendidikan tinggi memasuki kehidupan global tanpa memperbaiki mutu dan kelembagaan dari pendidikan dalam negeri kita. Oleh sebab itu, dalam membicarakan misi pendidikan tinggi tidak terlepas dari analisis mengenai dimensi lokal dan kemudian sejalan dengan itu mengembangkan dimensi globalnya.
Menurut HAR Tilaar, (2000: 110) dimensi lokal visi pendidikan tinggi kita mempunyai unsur-unsur:1) akuntabilitas, 2) relevansi, 3) kualitas, 4) otonomi kelembagaan, dan 5) jaringan kerja sama. Pada dimensi global visi tersebut mempunyai tiga aspek yaitu: kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama.
Untuk mewujudkan visi misi perguruan tinggi bukan tanpa hambatan, dalam mewujudkan akuntabilitas, hambatan yang dihadapi adalah masih rendahnya partisipasi masyarakat. Selain itu orientasi ke pemerintah pusat akibat sistem yang sentralistik masih sangat dominan.
Pengembangan Keilmuan
Akhir-akhir ini terdengar keinginan beberapa lembaga pendidikan tinggi kita ke arah “research university”. Ide ini memang punya dasar. Lembaga pendidikan tinggi dalam proses globalisasi dewasa ini dimana persaingan semakin tajam serta kualitas produksi termasuk produksi lembaga pendidikan tinggi semakin menjadi tuntutan, memang di masa depan eksistensi lembaga pendidikan tinggi akan ditentukan oleh kemampuan risetnya.
Pendidikan tinggi tidak dapat hanya menjadi penonton atau mungkin sebagai pengeritik kejadian-kejadian sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Memang perguruan tinggi tidak lagi berdiri di atas menara gading atau menara batu di atas masyarakat. Perguruan tinggi adalah sebagian dari gerakan pembangunan nasional. Menurut Soejanto sebagaimana yang dikutip oleh HAR Tilaar mengatakan, apabila fakta dan realita dalam masyarakat merupakan teks maka tugas pendidikan tinggi untuk menganalisa teks itu dalam suatu konteks yang berarti. Hal ini berarti bahwa fakta-fakta itu perlu dikaji relasinya dengan kehidupan sosial budaya bangsa secara keseluruhan Kemampuan untuk mau dan dapat melihat teks yaitu fakta dan realita gejala-gejala sosial masih merupakan tugas yang berat bagi kebanyakan perguruan tinggi kita. Kemampuan ini hanya dapat ditingkatkan apabila syarat-syarat minimal suatu perguruan tinggi sudah dipenuhi antara lain prasarana kampus yang memadai, peralatan laboratorium, perpustakaan yang berfungsi, dan armada dosen yang siap tempur artinya punya dedikasi dan kemampuan profesional yang tinggi. Erat kaitannya dengan meningkatkan kemauan dan kemampuan lembaga pendidikan tinggi untuk melihat fakta sosial, ialah tumbuhnya suatu budaya kampus juga meminta perubahan citra dari masyarakat dan para mahasiswa mengenai kehidupan akademik.
Demikian suatu pandangan mengenai salah satu aspek pengembangan pendidikan tinggi kita dalam mengantisipasi perubahan masyarakat. Pengelolaan berkenaan dengan mobilisasi sumber agar lembaga pendidikan tinggi itu dapat berprestasi semaksimalnya sesuai apa yang diinginkan masyarakat dari lembaga itu. Ada kemungkinan bahwa struktur kelembagaan pendidikan tinggi kita perlu disesuaikan kembali (restrukturisasi) sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagai suatu ilustrasi, tuntutan terhadap profesi kependidikan semakin meningkat yaitu bahwa profesi kependidikan menuntut penguasaan dasar-dasar ilmu pengetahuan yang kokoh. (Allahu A’lam bi Shawab)
http://www.kompasiana.com/sulaiman_ibrahim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar