SYEKH SYA’RAWI DAN MODERASI ISLAM
Beliau adalah seorang pakar tafsir kontemporer yang gigih
menerapkan prinsip syariah dalam kehidupan sehari-hari. Beliau lahir
pada tanggal 15 April 1911 M di kampung Daqadus desa Mid Ghamr,
Daqhliyyah (salah satu bagian wilayah di Mesir). Beliau wafat pada
tanggal 17 juni 1998 M. Pada hari Rabu 17 Juni 1998 M, Syekh Sya’rawi
wafat di usia 87 tahun dan jasadnya dimakamkan di Mesir. Ayahnya adalah
seorang pedagang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan.
Pendidikan Sya’rawi dimulai dari menghafal al-Qur’an dari seorang syaikh di kampungnya iaitu Syekh Abdul Majid Pasha. Beliau menamatkan hafalan al-Qur’an pada usia 11 tahun, kemudian Ia masuk sekolah dasar (Ibtidaa’i) di al-Azhar, Zaqaziq tahun 1926 M. Lalu, dia melanjutkan sekolah menengah pertama (I’daadi) di al-Azhar, dan tamat Tsanawiyyah pada tahun 1932 M. Syaikh Sya’rawi masuk kuliah di fakultas Bahasa Arab, Universita Al-Azhar pada tahun 1937 M, dan tamat S1 (BA) pada tahun 1941 M.
Karirnya diawali sebagai tenaga pengajar di ma’had al-Azhar Tanta, ma’had Alexandria, ma’had Zaqaziq. Beliau juga mengabdikan ilmunya di luar negri (sebagai dosen) kurang lebih 16 tahun:
1) Universitas Malik Abdul Aziz, Makkah, Saudi Arabiah (6 tahun) dari 1944 hingga 1950.
2) Al-Jazair (4 tahun) dari 1966 hinga 1970).
3) Universitas Malik Abdul Aziz, Makkah, Saudi Arabiah (6 tahun) dari 1970 hingga 1976.
Nama beliau mulai mencuat dan dikenal luas ketika menjadi seorang da’i pada tahun 1973 M tepatnya pada program pengajian halaqah di televisi Mesir yang dikenal dengan program “Nur ‘Ala Nur”.
Pada tahun 1976 M, beliau dipercayakan oleh presiden Anwar Sadat untuk menjadi menteri Auqaf (menteri agama) Mesir. Namun jabatan tersebut tidak sampai selesai dan hanya 2 tahun saja beliau mengundurkan diri, sebab ketika itu beliau dengan tegas menolak usulan undang-undang keluarga yang bertentangan dengan ajaran syari’at Islam.
Beliau memang sangat unik, sebab beliau adalah seorang ulama yang tidak menulis buku tapi memiliki puluhan bahkan ratusan buku yang telah diterbitkan, beliau tidak menulis karena meyakini bahwa kalimat lisan lebih tajam dari tulisan, sebab dakwan lisan/ceramah dapat didengar langsung dari narasumber asli. Di samping itu beliau yakini bahwa tidak semua orang mampu membaca, oleh karena prinsip ini, tumpuan dakwahnya fokus kepada penyampaian ceramah dan pengajian.
Syekh Sya’rawi menjalani kehidupan sufi sebagai bentuk kerendahan diri (tawadhu’). Dalam ruang kerjanya hanya ada sajadah dan al-Qur’an. Namun demikian, pemikiran beliau logis dan kontekstual. Kepiawaiannya mentafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, sehingga beliau mampu memahamkan al-Qur’an kepada jama’ahnya dengan muda berdasarkan realita kehidupan kontemprorer.
Tentunya tidak asing lagi bahwa kitab yang monumental dan penuh manfaat yang ditinggalkan oleh beliau untuk umat Islam pada saat ini, adalah Khawati Sya’rawi atau di kenal dengan nama “Tafsir Al-Sya’rawi”, dalam muqaddimah tafsirnya, beliau menyatakan bahwa: “Hasil renungan saya terhadap al-Qur’an bukan berarti tafsiran al-Qur’an, melainkan percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seorang mukmin saat membaca al-Qur’an. Kalau memang al-Qur’an dapat ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak menafsirkannya hanya Rasulullah Saw, karena kepada beliaulah al-Qur’an diturunkan. Beliau banyak menjelaskan kepada manusia isi ajaran al-Quran dari dimensi ibadah, karena hal itu yang diperlukan umatnya saat ini. Adapaun rahasia al-Qur’an tentang alam semesta, tidak beliau sampaikan, karena kondisi sosio intelektual saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal itu disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya akan merusak puing-puing agama, bahkan memalingkan umat dalam jalan Allah SWT.
Salah satu pandangan moderat beliau yang merupakan hasil usaha pemikiran moderasi Islam dan bertujuan sebagai sifat “toleransi sosial” adalah ketika beliau menafsirkan sebuah ayat al-Qur’an dalam surah al-Israa’ ayat 110:
Beliau berkata: “Kalau sekiranya mengeraskan suara dilarang dalam shalat, maka tentunya meninggikan suara setinggi-tingginya lebih dilarang dalam agama, seperti menggunakan alat pengeras suara “Microfon”, sebab perbuatan ini akan mengganggu orang disekeliling, bukankah Allah telah nyatakan dalam al-Qur’an:
Ketika anda mengeraskan suara dalam membaca al-Qur’an menggunakan microfon, maka anda secara tidak langsung memaksakan dan mewajibkan diam bagi orang yang mendengarkan bacaanmu, sehingga anda akan membuatkan mereka terganggu, dan jika mereka tidak diam mendengarkan bacaanmu maka anda akan menyeret mereka dalam perbuatan dosa (disebabkan tidak mendengar bacaanmu), bukan itu saja, bahkan anda akan merusak aktiviti orang lain, kemungkinan mereka pada waktu yang sama sedang atau ingin membaca al-Qur’an juga, atau beristighfar, atau bertasbih ataupun shalat. Bagaimana boleh amalan anda yang hanya dianggap mandub dalam syari’at, mampu memaksa dan mengatur amalan orang lain. Sungguh perbuatan ini tidak boleh dilakukan, oleh karena itu janganlah sekali-kali mengganggu ketenangan orang lain, biarkan mereka bebas dengan urusan sendiri untuk berbuat amalan nawafil dan sebagainya, dan jangan menjadi orang yang digambarkan dalam al-Qur’an
(Merasa Baik Perbuatannya, Sementara Tidak Demikian):
Bagi pandangan beliau, amalan-amalan di atas memang tidak memiliki dasar dalam ajaran syari’at Islam, bahkan beliau nyatakan dengan contoh realita di masyarakat modern saat ini dan berkata dengan tegas: “seperti orang yang menyalakan microfon sebelum masuknya shalat subuh, ia membaca beberapa bacaan nasyid yang tiada dasar dalam agama, akibat perbuatannya, orang disekeliling menjadi terganggu, orang yang sakitpun tidak merasai ketenangan, sesungguhnya orang seperti itu sebenarnya tidak sama sekali memiliki rasa toleransi dan tidak menghiraukan keadaan sekelilingnya, sampai kapankah hal ini berlaku? Sampai kapankah ia sadar tentang hal ini, sementara perbutannya justru menganggu ketenangan manusia, nahkan dapat merusak amalan ibadah orang lain? ...
Sila rujuk:
Tafsir al-Sya’rawi jilid 14/halaman 8815 - 8816.
Pendidikan Sya’rawi dimulai dari menghafal al-Qur’an dari seorang syaikh di kampungnya iaitu Syekh Abdul Majid Pasha. Beliau menamatkan hafalan al-Qur’an pada usia 11 tahun, kemudian Ia masuk sekolah dasar (Ibtidaa’i) di al-Azhar, Zaqaziq tahun 1926 M. Lalu, dia melanjutkan sekolah menengah pertama (I’daadi) di al-Azhar, dan tamat Tsanawiyyah pada tahun 1932 M. Syaikh Sya’rawi masuk kuliah di fakultas Bahasa Arab, Universita Al-Azhar pada tahun 1937 M, dan tamat S1 (BA) pada tahun 1941 M.
Karirnya diawali sebagai tenaga pengajar di ma’had al-Azhar Tanta, ma’had Alexandria, ma’had Zaqaziq. Beliau juga mengabdikan ilmunya di luar negri (sebagai dosen) kurang lebih 16 tahun:
1) Universitas Malik Abdul Aziz, Makkah, Saudi Arabiah (6 tahun) dari 1944 hingga 1950.
2) Al-Jazair (4 tahun) dari 1966 hinga 1970).
3) Universitas Malik Abdul Aziz, Makkah, Saudi Arabiah (6 tahun) dari 1970 hingga 1976.
Nama beliau mulai mencuat dan dikenal luas ketika menjadi seorang da’i pada tahun 1973 M tepatnya pada program pengajian halaqah di televisi Mesir yang dikenal dengan program “Nur ‘Ala Nur”.
Pada tahun 1976 M, beliau dipercayakan oleh presiden Anwar Sadat untuk menjadi menteri Auqaf (menteri agama) Mesir. Namun jabatan tersebut tidak sampai selesai dan hanya 2 tahun saja beliau mengundurkan diri, sebab ketika itu beliau dengan tegas menolak usulan undang-undang keluarga yang bertentangan dengan ajaran syari’at Islam.
Beliau memang sangat unik, sebab beliau adalah seorang ulama yang tidak menulis buku tapi memiliki puluhan bahkan ratusan buku yang telah diterbitkan, beliau tidak menulis karena meyakini bahwa kalimat lisan lebih tajam dari tulisan, sebab dakwan lisan/ceramah dapat didengar langsung dari narasumber asli. Di samping itu beliau yakini bahwa tidak semua orang mampu membaca, oleh karena prinsip ini, tumpuan dakwahnya fokus kepada penyampaian ceramah dan pengajian.
Syekh Sya’rawi menjalani kehidupan sufi sebagai bentuk kerendahan diri (tawadhu’). Dalam ruang kerjanya hanya ada sajadah dan al-Qur’an. Namun demikian, pemikiran beliau logis dan kontekstual. Kepiawaiannya mentafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, sehingga beliau mampu memahamkan al-Qur’an kepada jama’ahnya dengan muda berdasarkan realita kehidupan kontemprorer.
Tentunya tidak asing lagi bahwa kitab yang monumental dan penuh manfaat yang ditinggalkan oleh beliau untuk umat Islam pada saat ini, adalah Khawati Sya’rawi atau di kenal dengan nama “Tafsir Al-Sya’rawi”, dalam muqaddimah tafsirnya, beliau menyatakan bahwa: “Hasil renungan saya terhadap al-Qur’an bukan berarti tafsiran al-Qur’an, melainkan percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seorang mukmin saat membaca al-Qur’an. Kalau memang al-Qur’an dapat ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak menafsirkannya hanya Rasulullah Saw, karena kepada beliaulah al-Qur’an diturunkan. Beliau banyak menjelaskan kepada manusia isi ajaran al-Quran dari dimensi ibadah, karena hal itu yang diperlukan umatnya saat ini. Adapaun rahasia al-Qur’an tentang alam semesta, tidak beliau sampaikan, karena kondisi sosio intelektual saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal itu disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya akan merusak puing-puing agama, bahkan memalingkan umat dalam jalan Allah SWT.
Salah satu pandangan moderat beliau yang merupakan hasil usaha pemikiran moderasi Islam dan bertujuan sebagai sifat “toleransi sosial” adalah ketika beliau menafsirkan sebuah ayat al-Qur’an dalam surah al-Israa’ ayat 110:
قُلِ
ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
“Katakanlah (wahai Muhammad):
Serulah nama "Allah" atau nama "Ar-Rahman", yang mana sahaja kamu
serukan (dari kedua-dua nama itu adalah baik belaka); kerana Allah
mempunyai banyak nama-nama yang baik serta mulia, Dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu
merendahkannya”. al-Israa’: 110.Beliau berkata: “Kalau sekiranya mengeraskan suara dilarang dalam shalat, maka tentunya meninggikan suara setinggi-tingginya lebih dilarang dalam agama, seperti menggunakan alat pengeras suara “Microfon”, sebab perbuatan ini akan mengganggu orang disekeliling, bukankah Allah telah nyatakan dalam al-Qur’an:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan
apabila dibacakan al-Quran, maka hendaklah kamu semua mendengarnya dan
diam, mudah-mudahan kamu semua beroleh rahmat”. al-A’raf: 204Ketika anda mengeraskan suara dalam membaca al-Qur’an menggunakan microfon, maka anda secara tidak langsung memaksakan dan mewajibkan diam bagi orang yang mendengarkan bacaanmu, sehingga anda akan membuatkan mereka terganggu, dan jika mereka tidak diam mendengarkan bacaanmu maka anda akan menyeret mereka dalam perbuatan dosa (disebabkan tidak mendengar bacaanmu), bukan itu saja, bahkan anda akan merusak aktiviti orang lain, kemungkinan mereka pada waktu yang sama sedang atau ingin membaca al-Qur’an juga, atau beristighfar, atau bertasbih ataupun shalat. Bagaimana boleh amalan anda yang hanya dianggap mandub dalam syari’at, mampu memaksa dan mengatur amalan orang lain. Sungguh perbuatan ini tidak boleh dilakukan, oleh karena itu janganlah sekali-kali mengganggu ketenangan orang lain, biarkan mereka bebas dengan urusan sendiri untuk berbuat amalan nawafil dan sebagainya, dan jangan menjadi orang yang digambarkan dalam al-Qur’an
(Merasa Baik Perbuatannya, Sementara Tidak Demikian):
قُلْ
هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ
سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ
يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Apakah akan kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka sudah berbuat sebaik-baiknya”.
Al-Kahfi :103.Bagi pandangan beliau, amalan-amalan di atas memang tidak memiliki dasar dalam ajaran syari’at Islam, bahkan beliau nyatakan dengan contoh realita di masyarakat modern saat ini dan berkata dengan tegas: “seperti orang yang menyalakan microfon sebelum masuknya shalat subuh, ia membaca beberapa bacaan nasyid yang tiada dasar dalam agama, akibat perbuatannya, orang disekeliling menjadi terganggu, orang yang sakitpun tidak merasai ketenangan, sesungguhnya orang seperti itu sebenarnya tidak sama sekali memiliki rasa toleransi dan tidak menghiraukan keadaan sekelilingnya, sampai kapankah hal ini berlaku? Sampai kapankah ia sadar tentang hal ini, sementara perbutannya justru menganggu ketenangan manusia, nahkan dapat merusak amalan ibadah orang lain? ...
Sila rujuk:
Tafsir al-Sya’rawi jilid 14/halaman 8815 - 8816.
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar