Oleh: Sulaiman Ibrahim
Abstrak
Hermeneutika al-Qur’an
adalah suatu penafsiran rasional “bebas terkendali” dalam rangka memahami al-Qur’an dengan kontekstual. Walaupun
Hermeneutika sebuah metode dari Barat, tetapi bukan berarti tidak bisa dipakai
untuk manafsirkan sebuah teks al-Qur’an. justru hal ini membuahkan sebuah ilmu
dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional
Kebutuhan
Sebuah Penafsiran
Sepanjang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, tidak ada
teks yang sakral. Sebab ilmu pengetahuan berkembang dengan cara mengkritik yang
lama dan melahirkan yang baru. Sakralisasi teks mungkin diperlukan oleh orang
awam supaya tidak bingung, sebagaimana mereka perlu pemimpin, apabila tidak ada
pemimpin mungkin pemandu, yaitu teks-teks. Tapi ketika sudah dewasa, orang
harus tahu bahwa sakralisasi bisa mempersempit Islam itu sendiri.[1]
Modernisme Islam atau pembaharuan
dalam Islam selama ini dipahami sebagai upaya untuk menyesuaikan paham-pahaDm
keagamaan Islam dengan dinamika dan perkembangan baru yang timbul atau
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Atau, yang
dimaksud dengan modernisme Islam adalah upaya memperbarui penafsiran,
penjabaran dan cara-cara pelaksanaan ajaran-ajaran dasar dan petunjuk-petunjuk
yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis sesuai dan sejalan dengan perkembangan
situasi dan kondisi masalah yang dihadapi.[2]
Dalam sejarah perkembangan
modernisme Islam terdapat suatu gagasan utama yang selalu dicetuskan oleh oleh
para tokoh pembaru, modernis, yaitu kembali kepada al-Qur’an dan Hadis.
Muhammad Abduh, misalnya, dengan serius mengajak untuk kembali kepada al-Qur’an
dan berpegang teguh dengannya, dan perlunya penafsiran/interpretasi baru
terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, sesuai dan sejalan dengan tuntunan dan
perkembangan zaman.[3]3 Sehubungan
dengan gagasan utama modernisme Islam, semua pihak, terutama tokoh-tokoh
modernis, sepakat dan antusias untuk mengoperasionalisasikan dan
melaksanakannya. Mengingat perlunya penafsiran atau interpretasi baru terhadap
ajaran-ajaran dasar Islam, khususnya al-Qur’an, maka mau atau tidak mau
terlibatlah apa yang disebut tafsir.
Al-Qur’an,
sebagaimana diyakini umat Islam, adalah kalam Tuhan yang menyimpan segala
petunjuk dan ajaran-Nya, yang meliputi segala aspek kehidupan manusia yang
umumnya diungkap dalam bentuk dasar-dasarnya. Dan tafsir dipandang dari segi
eksistensinya yang sangat melekat dengan al-Qur’an sungguh amat penting dan
utama. Kepentingan dan keutamaan tafsir amat terasa apabila dihubungkan dengan
keharusan umat Islam untuk memahami kandungan atau makna ajaran-ajaran
al-Qur’an. Memahami segala kandungan al-Qur’an
merupakan perintah Allah Swt. (QS. 38: 29) dan (QS. 4: 82).
Demikian
penting upaya memahami dan merenungkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an, demi
mendapatkan pelajaran-pelajaran berharga darinya. Untuk sampai pada tingkat
pengamalan dan pelaksanaan segala petunjuk, ajaran dan aturan serta norma
al-Qur’an tidaklah mudah, kecuali setelah memahami dengan sebaik-baiknya segala
nasehat dan petunjuk al-Qur’an, serta menghayati prinsip-prinsip ajarannya,
karena semua itu termuat dalam kemasan bahasa Arab yang beruslub tinggi. Hal
ini menurut al-Zarqani, jelas diperlukan tafsir. Tanpa tafsir, tidak akan
diperoleh apa-apa yang terkandung dalam khazanah al-Qur’an.[4]
Dalam
rangka penafsiran baru al-Qur’an sesuai dengan konteks kekinian dan kemoderenan
zaman, tafsir yang lebih diperlukan ialah tafsir yang bercorak rasional, yaitu
tafsir yang disebut dengan istilah tafsir al-Qur’an bi al-ra’y (dengan
menggunakan akal) atau tafsîr al-Ijtihâd.[5] Di
samping itu diperlukannya perpaduan antara pemikiran-pemikiran yang memberi
interpretasi pada wahyu (tafsir bi al-Ma’tsur)[6],
dengan interpretasi rasional “liberal” dalam hal ini “hermeneutik”.[7]
[1]Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, Doktrin dan
Peradaban Islam di Panggung Sejarah, (Jakarta:
Penerbit Paramadina, 2003) h. 118
[2]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian
Masalah Aqidah dan Ibadat, (Jakarta:
Penerbit Paramadina, 2002) cet I, h. 5
[3]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian
Masalah Aqidah dan Ibadat, (Jakarta:
Penerbit Paramadina, 2002) cet I, h. 5
[4]Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi al-‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: Musthafa al- Babi al-Halabi, tth.) jilid II, h. 6
[6] Menurut
al-Dzahabi al-tafsîr bi al-ma’tsûr adalah penjelasan terhadap
ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan: (a) ayat-ayat al-Qur’an, (b) riwayat
yang berasal dari Rasulullah Saw. (c) riwayat dari sahabat, dan (d) riwayat
dari para tabi’in. Lihat Al-Dzahabi, I, h. 152.
[7]Hermeneutika adalah ilmu yang mencoba
menggambarkan bagaimana sebuah atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau
dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi kita
sekarang. Ini melibatkan aturan metodologis yang diterapkan dalam penafsiran
maupun asumsi-asumsi epistimologis tentang
pemahaman. Hermeneutika mengasumsikan bahwa setiap orang mendatangi teks
dengan membawa persoalan dan harapan sendiri, dan adalah masuk akal untuk
menuntut penafsir menyisihkan
subjektivitas dirinya dan menafsirkan suatu teks tanpa pemahaman dan pertanyaan
awal yang dimunculkannya. Lihat Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas
Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme. Terjemahan dari: Qur’an, Liberation
& Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against
Oppression. Penerjemah: Watung A. Budiman. (Bandung: Mizan Media Utama,
2000), h. 83.
Ingin mendapatkan Artikel di atas silahkan hubungi Email: emand_99@hotmail.com
Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar